Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 29 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Suganda
Abstrak :
Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang proses pelaksanaan kegiatan pembinaan pengembangan bagi industri mebel, yang dilaksanakan oleh Dinas perindustrian perdagangan, dan Koperasi kabupaten Musi Rawas, dan hambatan yang dihadapi oleh industri mebel dalam mengembangkan usahanya, serta upaya yang telah dilakukan oleh dinas dalam membantu mengatasi hambatan tersebut. Penelitian ini penting, mengingat industri mebel telah memberikan sumbangan terhadap peningkatan pendapatan bagi Kabupaten Musi Rawas. Selain itu dengan berkembangnya industri mebel, dapat membuka lapangan kerja bagi para pengrajin yang tinggal di sekitar lingkungan sentra industri tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yang menghasilkan data deskriptif, yang diperoleh melalui wawancara mendalam dengan para informan, observasi, dan studi kepustakaan. Pemilihan informan dilakukan dengan cara purposive sampling, dengan terlebih dahulu menetapkan sumber yang dapat memberikan informasi yang relevan sesuai dengan tujuan penelitian secara tepat dan mendalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan pelatihan yang diikuti oleh para pengrajin, telah mampu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, sehingga dapat membantu didalam proses produksi pada sentra industri tempat mereka bekerja. Sementara pengusaha sentra industri mebel sendiri, belum mampu menetapkan hasil pelatihan yang diikuti dalam mengelola usahanya. Selain itu pengusaha belum mau mencoba melakukan diversifikasi usaha, untuk meningkatkan nilai tambah sentra industri tersebut. Adapun hambatan yang dihadapi oleh industri mebel, terutama sentra industri Erlangga dan Aneka Rotan yang menjadi lokasi penelitian, dalam mengembangkan usahanya, antara lain : Pertama, pengusaha kesulitan mendapatkan tambahan permodalan, terutama menyangkut agunan yang harus diberikan kepada pihak bank. Dinas Perindagkop belum mampu membantu pengusaha dalam mendapatkan pinjaman modal usaha, dari lembaga keuangan lainnya, yang tidak meminta agunan. Dinas hanya memberikan pinjaman modal bergulir, untuk membantu pengusaha di bidang permodalan, yang jumlahnya relatif kecil. Kedua, menyangkut pemasaran produk. Kedua sentra industri membel ini, dalam memasarkan produknya hanya terbatas pada wilayah Kabupaten Musi Rawas. Untuk itu dinas, telah mengikutsertakan pengusaha dalam kegiatan festival di Kota Palembang. Akan tetapi kegiatan tersebut belum membuahkan hasil. Ketiga, pengelolaan usaha kedua sentra industri ini masih masih menyatukan antara keuangan usaha dengan keuangan rumah tangga. Dinas telah meberikan pelatihan manajemen sederhana untuk pengusaha, tetapi hasilnya masih tetap sama. Kenyataan ini disebabkan kedua sentra industri ini merupakan usaha keluarga, yang dimiliki secara perorangan, sehingga pengusaha dapat mengambil uang dari keuangan usahanya, untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Berdasarkan kondisi tersebut, ada beberapa saran yang diharapkan dapat dijadikan masukan dalam rangka mengembangkan sentra industri mebel, antara lain : Pemerintah Daerah kabupaten Musi Rawas, diharapkan dapat mengalokasikan dana dalam APBD untuk pengembangan industri mebel. Tersedianya dana untuk pelatihan, dan biaya operasional bagi pembina agar dapat menjalankan tugasnya. Dinas Perindagkop Kabupaten Musi Rawas, dapat menfasilitasi suatu hubungan kerja (kemitraan), antara pengusaha lokal dengan pengusaha di luar daerah, sebagai upaya untuk pengembangan industri mebel. Pengusaha mulai mengembangkan usahanya, dengan lebih berorientasi eksport. Dengan mencari informasi pasar, seperti kualitas produk, dan jenis desain yang sedang digemari oleh konsumen.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T7541
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suganda
Abstrak :
Aspek pengelolaan persampahan terdiri dari Teknis Operasional, Pembiayaan, Partisipasi Masyarakat, Hukurn, dan Kelembagaan. Sistem teknis operasional terdiri sistem pengumpulan, pengangkutan, pengolahan dan pembuangan akhir. Berdasarkan pelakunya, sistem pengumpulan sebagian besar dilakukan oleh masyarakat, sedangkan sistem pengangkutan dilakukan oleh pemerintah daerah. Penelitian ini dilakukan pada partisipasi masyarakat dalam operasionalisasi pengelolaan sampah domestik yaitu kegiatan pengumpulan sampah dari sumber rumah mewah, menengah, dan sederhana di Kecamatan Bantargebang, Rawa Lumbu, dan Bekasi 1imur. Beberapa masalah yang dapat diidentifikasi yaitu 1) cakupan pelayanan sampah yang masih rendah yaitu Kecamatan Bantargebang 35%, Rawa Lumbu 34,7%, dan Bekasi Timur 35,2% sehingga sisa sampah yang belum terangkut untuk Kecamatan Bantargebang 241 m3/hari, Rawa Lumbu 250 m3/hari, dan Bekasi Timur 393 m3/hari, 2) komposisi sampah domestik Kota Bekasi termasuk kecamatan tersebut mencapai 80%, sisanya 20% adalah sampah non domestik seperti industri, perkantoran, pertokoan, rumah sakit, dan pasar, 3) implementasi penegakan hukurn rendah dan lemah, dan 4) tidak adanya paradigma baru yaitu 3R (Reduce, Reuse, Recycle) dalam pengelolaan sampah. Hal tersebut diduga, salah satunya adalah akibat rendahnya partiaipasi masyarakat dalam operasionalisasi pengelolaan sampah. Berdasarkan identifikasi tersebut, rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini yaitu adakah perbedaan partisipasi masyarakat berdasarkan kategori rumah mewah, menengah, dan sederhana dalam operasionalisasi pengelolaan sampah domestik ?. Hipotesisnya adalah terdapat perbedaan partisipasi masyarakat berdasarkan kategori rumah mewah, menengah, dan sederhana dalam operasionalisasi pengelolaan sampah domestik. Tujuannya adalah mengetahui partisipasi masyarakat kategori rumah mewah, menengah, dan sederhana dalam operasionalisasi pengelolaan sampah domestik, sehingga kebijakan pemerintah daerah yang diterapkan terhadap masyarakat tepat.Penelitian ini dilakukan terhadap responden rumah mewah, menengah, dan sederhana yang berjumlah 116 di Kecamatan Bantargebang, Rawa Lumbu, dan Bekasi Timur, serta wawancara terhadap Lurah Pedurenan di Bantargebang, Lurah Bojong Rawa Lumbu di Rawa Lumbu, dan Lurah Duren Jaya di Bekasi Timur. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh Kesimpulan sebagai berikut: a. Terdapat perbedaan signifikan dalam kelompok sampel, yaitui antara mewah/menengah dengan sederhana. Perbedaan tersebut terletak pada I) kesesuaian tempat sampah dengan volume sampah yang dihasilkan, 2) kondisi tempat sampah, 3) keikutsertaan dalam penyuluhan, 4) kesediaan membayar retribusi, 5) keikutsertaan dalam go tong royong, dan 6) retribusi jika ditambah. b. Terdapat perbedaan partisipasi masyarakat dalam operasionalisasi pengelolaan sampah domestik di ketiga kecamatan yaitu 1) ketidaksesuaian kapasitas tempat sampah dengan volume sampah yang dihasilkan rumah mewah di Kecamatan Bekasi Timur dan rumah sederhana di Kecamatan Rawa Lumbu, 2) kebiasaan membuang sampah tidak pada tempatnya di Kecamatan Bantargebang dan Bekasi Timur, 3) penyapuan halaman yang kurang frekuensinya pada rumah mewah di Kecamatan Bantargebang, dan 4) keikutsertaan dalam penyuluhan yang kurang di Kecamatan Bantargebang dan Bekasi Timur. c. Adanya ketidaksesuaian kebijakan dengan kenyataan di masyarakat yaitu struktur retribusi sampah didasarkan pada kondisi bangunan tetapi pada kenyataannya di serahkan pada masyarakat, dan penenuan tarif progresif sampah didasarkan pada volume sampah yang dihasilkan tetapi kesulitan di pengukurannya. d. Prioritas masyarakat terhadap kualitas kebersihan masih kurang dibandingkan dengan permasalahan lain seperti keamanan, air bersih, listrik, dan lain-lain. Pengeluaran masyarakat semua kategori rumah untuk masalah keamanan, air bersih, dan listrik lebih tinggi dibandingkan dengan kualitas kebersihan.
The aspect of Solid waste Management System are consist of operational technic, community participation, regulation, and institution. Based on it's role, a large part collecting system was done by community, whereas transportation system was done by district government. The scope of the study is particularly focused to the community participation in the operation of solid waste management from categories of house i.e, luxury, middle, and plain as solid waste generators in sub-district Bantargebang, Rawa Lumbu, and Bekasi Timur. There are more problems that identified namely : 1) the low of the services for solid waste i.e. sub-district Bantargebang 35%, Rawa Lumbu 34,7%, and Bekasi Timur 35,2%, so residu solid waste which hasn't transported for Bantargebang 241 m3/hari, Rawa Lumbu 250 m3/hari, and Bekasi Timur 393 m3/hari, 2) the composition of solid waste for Bekasi District conclude its sub-district are 80% and the residu are 20% namely non-domestic solid waste such as industries, office stores, hospitals, and market, 3) the implementation of the law is les and weak, and 4) there isn't new paradigm in solid waste management. Those are assumed as result of the low of the community participation in solid waste collecting system. Based on identification, the problem that was described in this reseach namely are there are community participation based on categories of house that are luxury, middle, and plain in the operation of solid waste management ?, the hypothesa namely there are some differences in The community participation base on the categories of house; luxury, middle, and plain in the operation of solid waste management, so that policy of district government which are implemented to community exactly true.The research was done to responden of luxury, middle, and simple which were amounts 116 at Sub-district Bantargebang, Rawa Lumbu, and Bekasi Timur, also depth interview to Lurah of Pedurenan at Bantargebang, Lurah of Bojong Rawa Lumbu at Rawa Lumbu, and Lurah Duren Jaya at Bekasi Timur. Based on result of research has got conclusion as follow: a. There are different in sample group, between luxury/middle with plain. The different in: 1) suitable between capacity of solid waste bin with solid waste volume that be produced, 2) condition of solid waste bin, 3) participation in information, 4) participation in pay retribution, 5) participation in mutual assistance, and 6) retribution if be increased. b. There are different community participation in the operation of solid waste management at three sub-district, 1) those are not suitable between capacity of solid waste bin with soiti waste volume that be produced luxury houses at sub district Bekasi Timur and simple houses at sub district Rawa Lumbu, 2) habit of dumping solid waste not in right place rub district Bantargebang and Bekasi Timur, 3) swept yard on luxury houses at sub-district Bantargebang, and 4) participation in information at sub-district Bantargebang and Bekasi Timur. c. There aren't suitable policy with fact in community those are structure of solid waste retribution based on building condition but in fact delivered over at community, and appointment of progresif retribution based on solid waste volume be produced but difficult at measurment. d. Prority of community on cleanness quality less be compared with other problem like security, water, electricity, etc. expenseas of community all house categories for security, water, electricity problem more than cleanness quality. Based on the result of research could he recommended as: a. Based on house categories, need socialization cleanness with different information according to its social condition. b. According to every sub-district, need informatin about 1) suitable between capacity of solid waste bin with solid waste volume that be produced luxury houses at sub-district Bekasi Timur and simple houses at sub-district Rawa Lumbu, 2) habit of dumping solid waste not in right place sub.-district Bantargebang and Bekasi Timur, 3) swept yard on luxury house at sub-district Bantargebang, and 4) participation in information at sub-district Bantargebang and Bekasi Timur. c. To engineer socialization of cleanness/ solid waste on community need involvement of social people like psychologist, communicant, sosiologist, etc. d. About policy, district government need to 1) appoinment right and community obligation, 2) extending servant area which has reached only 35%, 3) considering the old approaching namely collecting, transportation, treatment, and dumping to the new approach like 3R (reduce, Reuse, Recycle) and 4) considering institutional changing that is SubDin Kebersihan.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T14896
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sadeli Suganda
Abstrak :
Sejalan dengan gencarnya upaya penurunan Angka Kematian Ibu ( AKI ) dan Angka Kematian Bayi ( AKB ) sebagai salah satu upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia , maka pelaksanaan program Kesehatan Ibu dan Anak ( KIA) perlu terus dipantau dan dievaluasi secara kontinu dari berbagai aspek. Salah satu aspek yang cukup penting dan banyak berkontribusi dalam menopang keberhasilan program KIA adalah aspek tenaga pelaksana KIA, terutama tenaga bidan. Meskipun tenaga bidan telah ditempatkan oleh pemerintah RI ke seluruh pelosok tanah air sampai ke tingkat desa lewat program penempatan Bidan di desa, namun hasilnya masih belum sesuai dengan harapan, termasuk di Kabupaten DT II Tasikmalaya. Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian ini mencoba untuk mengetahui faktor-faktor yang diduga berhubungan dengan kinerja Bidan Desa di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Dt II Tasikmalaya. Penelitian ini menggunakan rancangan Cross sectional dengan sampel penelitian seluruh Bidan Desa di wilayah Kabupaten Tasikmalaya yang telah melaksanakan masa tugas minimal I tahun terhitung sampai 31 Maret 1997 yang jumlahnya adalah 270 orang. Bertindak selaku responden adalah Bidan Desa yang terpilih sebagai sampel. Jumlah total responden yang terjaring / diteliti sebanyak 235 orang (87,04%) setelah dilakukan pembersihan data dan dikurangi dengan Bidan yang sakit, cuti, atau tidak memenuhi panggilan. Variabel-variabel yang diteliti meliputi variabel Independen yang terdiri dan status perkawinan, status kepegawaian, daerah asal Bidan , pelatihan LSS, pendapatan, domisili, fasilitas pemondokan, dukungan masyarakat kepada Bidan, sikap terhadap pofesi Bidan, dan supervisi dan Puskesmas. Sedangkan variabel dependen yaitu kinerja Bidan Desa selama 1 tahun yang diukur dari pencapaian K4 dan Bulin Nakes (Ibu bersalin dengan ditolong oleh tenaga kesehatan). Dengan uji statistik Chi square, diketahui ada dua taktor yang secara statistik berhubungan bermakna dengan kinerja Bidan Desa, yakni Status Perkawinan (X2 = 4,34 p < 0,O1) dan Status Kepegawaian (X2 = 7,95 p < 0,0 1). Bidan Desa yang telah kawin dan Bidan Desa yang bersatus PNS lebih baik kinerjanya dibandingkan dengan Bidan Desa yang belum kawin dan Bidan Desa yang berstatus PTT. Disarankan, agar pembinaan Bidan Desa lebih ditingkatkan lagi khususnya dalam meningkatkan kematangan individu dan kemampuan berkomunikasi dengan masyarakat disamping ketrampilan teknis medis KIA Kepada para Bidan Desa PTT agar perlu dibina dan didorong motivasi kerjanya secara terus menerus serta diciptakan hubungan yang erat antara Bidan PNS dengan Bidan PTT dan antara Bidan yunior dengan Bidan senior. Untuk mendapatkan gambaran faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja Bidan Desa secara lebih komprehensif, perlu dilakukan penelitian terhadap faktor-faktor lain dengan rancangan yang berbeda dan kelompok sampel yang banyak / lebih luas. ......Within the serious efforts to decrease Maternal Mortality Rate (MMR) and Infant Mortality Rate (IMR) with respect to increase the quality of human resource development, the implementation of Mother and Child Health Program (MCH) should be monitored and evaluated continuously in every aspect. One of the important aspects and has been contributing a lot in the achievement of Mother and Child Health Program is the aspect of those who carry out the program, particularly the potential midwives. Although midwives have been assigned by Indonesian Government throughout the country to the level of rural area through Midwives Placement Program in rural area, the results are still beyond the expectation, including in Tasikmalaya Regency. Due to the fact, this study is an effort to identify the factors assumed to be related with the performances of village midwives within the operating area of health office of Tasikmalaya Regency. The study applying Cross Sectional Plan and the samples of study are midwives from all the villages throughout Tasikmalaya Regency who posses at least one year work experience dated from March 31 1997 totaling to 270 midwives. The respondents are midwives who are selected as samples. The number of total respondents in the study are 235 people (87,04%) after data sceening and subtracted by the sick midwives, the one having vacation and midwives disobeying the calls. The variables studied covering Independent Variables such as : marital status, employment status, place of origin/where the midwives are from, LSS training, income, domicile, accommodation, public support toward midwives, peoples' attitude toward midwives' skilllproflesion and supervision of Public Health Center (Puskesmas), while Dependent Variables is the petonnances of village midwives within one year period measured from the achievements of the fourth attendance ANC (K4) and delivery by midwives (Bulin Nakes). By applying the Statistic Test of Chi-Square, the two factors are identified that has relationship with the petonnances of village midwives, namely Marital Status (X 2 = 4.34 p < 0.01) and Employement Status (X2 = 7.95 p < 0,01). The married midwives and the midwives having government employee status (PNS) are having better performance compared with those unmarried and having temporary workers (PTT) status. It is suggested that improvement of village midwives should be upgraded particularly in the aspect of individual maturity and communication skills with the public, as well as technical skills in medical technique of MCH. To those midwives having temporary workers (PTT) status, they need to be encouraged and improved and continuously motivated in their works, and among the midwives having PNS and PTT status as well as the juniors and seniors are created close ties of relationships. In order to have a comprehensive descriptions of the factors relating to the performances of village midwives, the study has to be carried out on other factors with different scheme 1 plan and various 1 extended group of samples.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Azis Suganda
Abstrak :
Kegiatan industri di Indonesia rnenunjukkan peningkatan cepat. Kebutuhan tenaga kerja untuk kegiatan industri tersebut juga terus meningkat dan akan menyerap tenaga kerja yang berasal dari bukan lingkungan industri. Dengan demikian upaya menumbuhkembangkan sektor industri akan berpapasan dengan masalah nilai-nilai yang dimiliki masyarakat tenaga kerja yang memiliki basis nilai-nilai kebudayaan agraris. Kebudayaan industri modern yang antara lain bertumpu pada orientasi pandangan bahwa kemajuan masyarakat diniungkinkan oleh adanya persaingan dan konflik, berhadapan dengan orientasi pandangan kebudayaan agraris yang menekankan keharmonisan dan keutuhan, Masuknya karyawan ke dalam lingkungan industri yang merupakan perubahan lingkungan karyawan dari agraris ke industri, mau tidak mau menyebabkan karyawan beradaptasi terhadap lingkungan industri tersebut. Penelitian ini ingin menggali pengetahuan mengenai profil dan pola adaptasi karyawan terhadap lingkungan industri yang mencakup lingkungan fisik, lingkungan sosial, tuntutan prestasi produksi, disiplin kerja dan penghasilan, Dalam melihat adaptasi tersebut dipergunakan 3 (tiga) model adaptasi yang diperkenalkan Bennet (1976) yaitu: penyesuaian (adjustment), reaksi (reaction), dan penarikan diri (withdrawal). Selain itu juga akan dilihat kaitan adaptasi dengan pertimbangan-pertimbangan karyawan mengenai ganjaran dan hukuman yang bakal diterima bila mereka melakukan atau tidak melakukan adaptasi menurut perspektif Teori Pertukaran Social (Social Exchange Theory) Romans. Penelitian dilakukan secara kualitatif dengan pengamatan terlibat dan wawancara tidak terstruktur selama kira-kira 6 bulan pada sebuah perusahaan industri pengolahan yang berlokasi di wilayah Jakarta Utara. Temuan lapangan menunjukkan bahwa terdapat variasi pada pola adaptasi bersifat penyesuaian antara lain penyesuaian terfokus, penyesuaian sepihak, penyesuaian yang mengandung reaksi dan penyesuaian yang berdampingan dengan reaksi. Pola adaptasi bersifat reaksi nampak pada adaptasi terhadap hubungan vertikal dan disiplin kerja. Variasi adaptasi penyesuaian selalu memperhitungkan ganjaran dan hukuman yang bakal diterima. Ganjaran-ganjaran yang umumnya diminati karyawan ialah penghasilan lebih tinggi, penghargaan dan persahabatan di tempat kerja, dan keringanan kerja. Ganjaran lebih besar memperlihaikan gejala hubungan positif dengan adaptasi karyawan. Sistem manajemen yang diterapkan belum cukup menjadi stimulan bagi karyawan untuk bekerja secara optimal. Penentuan target yang belum optimal, tidak adanya sistem bonus, sistem karier dan penilaian yang kurang jelas, belum bisa memfasilitasi adaptasi karyawan terhadap lingkungan industri. Para manajer sebagai kelompok menengah di pabrik belum berfungsi sebagai perantara yang bisa mensosialisasikan etos kerja industrial kepada karyawan, karena mereka sendiri belum cukup memiliki etos kerja industrial dan secara individual mereka juga memiliki kepentingan-kepentingan mengenai ganjaran dan hukuman baik dari perusahaan maupun dari karyawan.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Toni Suganda
Abstrak :
Sumber penghasilan paling besar bagi perusahaan asuransi adalah melalui aktivitas investasi (investing activities) yang dapat dilakukan pada instrumen pasar modal seperti saham, deposito, obligasi, dan reksadana. Dan sumber modal yang dimiliki oleh perusahaan adalah lebih banyak diperoleh dari investasi yang ditanamkan oleh masyarakat. Untuk itu, di dalam melakukan investasi di pasar modal, investor sebaiknya mengetahui situasi pasar yang akan dimasuki secara umum. Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi resiko kerugian yang mungkin akan terjadi, sebab kerugian kegiatan investasi memiliki hasil yang tidak pasti. Untuk dapat memaksimumkan profit dengan resiko yang seminimum mungkin maka investor membentuk suatu portfolio, dengan mengalokasikan investasi mereka ke beberapa instrumen investasi seperti saham, deposito, obligasi, dan reksadana dalam jangka waktu tertentu dengan diikuti strategi investasi untuk membentuk suatu portfolio yang efektif. Selain itu investor juga ingin memiliki kepastian bahwa modal yang mereka miliki dalam bentuk cash dapat bertahan secara likuid. Pendekatan yang umum digunakan dalam membentuk dan mengelola portfolio investasi adalah pendekatan yang ditemukan oleh Markowitz. Dengan teorinya yang dikenal dengan teori diversifikasi maka resiko investasi dapat diminimumkan dengan menggabungkan beberapa instrumen investasi yang memiliki korelasi yang negatif. Sehingga bila suatu kondisi terjadi maka suatu instrumen investasi akan turun sementara instrumen investasi lainnya akan naik sehingga secara keseluruhan efeknya dapat diminimalkan. Portfolio Markowitz ini memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelemahan utamanya adalah portfolio ini hanya berguna dalam meminimumkan resiko dan mempertahankan nilai investasi secara nominal dan tidak secara real. Artinya daya beli dari uang yang diinvestasikan belum tentu sama setelah jangka waktu tertentu. Di sisi lain, kelebihan utamanya adalah portfolio mudah dibentuk agar sesuai dengan karakteristik investasi yang diinginkan dan tujuan yang ingin dicapai. Dengan metode efficient frontier Markowitz, bobot optimum investasi PT Asuransi Ramayana, Tbk terdapat pada saham (0.0080), obligasi (0.7904), dan reksadana (0.2016). Sedangkan pada kinerja portofolio aktual, perusahaan lebih mengutamakan faktor keamanan pada investasinya, yaitu dengan memberikan bobot yang besar pada deposito (0.9157). Tingkat return bulanan yang dihasilkan oleh metode Markowitz (1.1738%) relatif lebih besar daripada total portofolio aktual (1.0668%), dengan selisih return sebesar 0.1070% setiap bulannya. Karena terdapat perbedaan antara portfolio PT Ramayana dengan portfolio indeks pasar maka yang akan digunakan adalah portfolio PT Ramayana yang menggunakan metode efficient Frontier Markowitz. Reward to variability PT Ramayana (0.8714) lebih tinggi daripada reward to variability indeks pasar (0.7355). Untuk meningkatkan kinerja portfolio PT Asuransi Ramayana, Tbk pada masa-masa yang akan datang maka sebaiknya proporsi investasi pada instrumen deposito dapat dialihkan kepada instrumen obligasi dan instrumen reksadana yang memiliki return yang lebih tinggi dan resiko (standard deviasi) yang relatif kecil. Jenis obligasi yang dimiliki PT Asuransi Ramayana saat ini hanya satu jenis, sementara reward to variability ratio yang dihasilkan obligasi cukup tinggi, untuk itu pada masa-masa yang akan datang sebaiknya PT Asuransi Ramayana menambah emiten obligasinya. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) pasal 7 KMK 481 / KMK 017 / 1999 untuk industri asuransi kerugian di Indonesia mengenai Pembobotan Investasi maka Metode Efficient Frontier Markowitz dapat diterapkan dalam pengelolaan investasi PT Ramayana, Tbk karena masih termasuk dalam ketentuan yang berlaku.
The most value for insurance company's income is by investing activities which is conducted in capital market instruments such as stocks, fixed deposits, bonds and mutual funds. In other side, capital source that owned by the company is being reached mostly by investment that is invested by public (investor). Therefore, if the investor is investing on capital market, they should know first about the market situation in generally. Acknowledge of this circumstance is a key to anticipate the loss which is can be happened, this is because of uncertainty loss result in investment activity. For maximizing the profit with minimum risk, the investor build a portfolio that allocate their investment into several investment instruments such as stocks, fixed deposit, bonds and mutual funds in certain term which is followed by investment strategy to make an effective portfolio. Besides of that, the investor also need a certainty for their cash capital can stand as a liquid. The common approach that is used in making and managing the investment portfolio is a theory which is found by Markowitz. The theory is known as `Diversification Theory. By using this theory, the investment risk can be minimized by combining several investment instruments which are having a negative correlation. Then if there is a condition happened, while an investment instrument will decrease, in the opposite side, other investment instruments will increase. So, in cumulative the total effects can be minimized. The Markowitz Portfolio has some strengthens and weaknesses. The main weakness is the portfolio can be only used in minimizing the risk and maintaining the investment value as nominal and not for real. It means that the buying power from the investment money is not same after several times longer. In other side, the main strengthen is easily to build a portfolio which has same investment characteristics with the demanded and the purpose there are going to be achieved. In term of Markowitz's efficient frontier method, optimum proportion of PT. Asuransi Ramayana,Tbk investment diversifies into stocks (0.0080), bonds (0.7904) and mutual funds (02016). Meanwhile, in actual portfolio, the company prefers the secure factor for their investment. Therefore, they distribute the most proportion into deposits (0.9157). Monthly return rate that is provided by Markowitz's method (1.1738%) is better than total actual portfolio (1.0668%), with difference of return is about 0.1.70% in each month. In case of difference between PT. Asuransi Ramayana's portfolio and market portfolio, so then we are using PT. Asuransi Ramayana's portfolio which uses Markowitz's Frontier Efficient Method. Reward to variability of PT. Asuransi Ramayana (0.8714) is higher than reward to variability of market index (0.7355). In future, for increasing PT. Asuransi Ramayana' portfolio, it will be better if investment's proportion in fixed deposits can be replaced by bonds and mutual funds which is having higher return and lower risk (deviation standard). Nowadays, PT. Asuransi Ramayana only deploys into a single type of bond. Meanwhile, in the above mention, we are calculating and finding the result of reward to variability ratio that produced by bonds is quite higher. Hence, PT. Asuransi Ramayana, Tbk is better to add their bond's emittent in the next investment strategy. Regarding on Ministry of Finance (MOF) Statement, article of 7, 4891KMK101719999 for Indonesian Loss Insurance Industry about investment proportion, the Markowitz Efficient Frontier Method can be implemented in PT. Asuransi Ramayana's investment strategy, in fact that the method is under the rule of MOF Statement.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T18494
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yonatan Simon Suganda
Abstrak :
Pasar AC Indonesia diprediksi akan menjadi yang terbesar ketiga di dunia, namun persaingan cukup ketat karena sebagian besar produsen menggunakan teknologi kompresi uap. Beberapa perusahaan mulai menyadari bahwa penawaran layanan dapat meningkatkan keuntungan mereka melalui integrasi barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan pelanggan dan meningkatkan produktivitas pelanggan. Hasil dari proses servitisasi ini adalah model bisnis yang disebut Cooling-as-a-Service. Cooling-as-a-Service di pasar AC Indonesia bukanlah hal baru, tetapi tidak diterapkan secara luas dan beberapa implementasinya tidak berhasil. Masih sedikitnya penelitian mengenai model bisnis ventilasi dan AC di Indonesia terutama yang menggunakan perspektif penyedia dan pengguna. Makalah ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi faktor-faktor sukses kritis Cooling-as-a-Service di Indonesia dan bagaimana faktor-faktor tersebut akan membantu para pemangku kepentingan. Melalui tinjauan pustaka, wawancara dengan para ahli, dan survei, penulis menentukan serangkaian faktor keberhasilan kandidat. Kemudian, metode ANP yang dimodifikasi berdasarkan DEMATEL digunakan untuk mengidentifikasi dan menentukan peringkat faktor penentu keberhasilan dari perspektif penyedia dan logika SERVQUAL-refined Kano dari perspektif pengguna. Integrasi dari perspektif diadik ini digunakan untuk membangun respon strategis untuk mengimplementasikan program Cooling-as-a-Service yang lebih baik di Indonesia. Penelitian ini akan berkontribusi untuk memperluas pemahaman Cooling-as-a-Service di Indonesia dan mendorong inovasi terhadap model bisnis ini. ......Indonesia air conditioner market is predicted to be the third biggest in the world, but the competition is tough because most manufacturers use vapor compression technology. Some companies begin to realize service offering is able to increase their profit through integrating goods and services to satisfy customer's needs and enhance customer’s productivity. The result of this servitization is a new business model called Cooling-as-a-Service. Cooling-as-a-Service in Indonesia's air conditioning market is not new, but not widely implemented and some implementation is not successful. There are still a few numbers of studies regarding ventilation and air conditioning business model in Indonesia especially using both providers and users’ perspectives. This paper aims to identify and evaluate the critical success factors of Cooling-as-a-Service in Indonesia and how those factors will help the stakeholders. Through literature reviews, interviews with experts, and surveys, the author determined a set of candidate success factors. Then, a modified ANP method based on DEMATEL is used to identify and rank the critical success factors from provider’s perpective and SERVQUAL-refined Kano logic from user’s perspective. The integration from this dyadic perspective is used to build a strategic response to implement a better Cooling-as-a-Service program in Indonesia. This research will contribute to expand the understanding of Cooling-as-a-Service in Indonesia and encourage the innovation towards this new business model.
Jakarta: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gelar Winayawidhi Suganda
Abstrak :
Seiring dengan waktu, pembangunan di kota-kota besar bergeser kearah vertikal dengan sistem ventilasi buatan. Hal tersebut berdasarkan berbagai penelitian dapat meningkatkan resiko Sick Building Syndrome (SBS) di gedunggedung dimaksud. Kantor Pusat PT. X berada di Gedung Y dengan karakteristik demikian. Tesis ini bertujuan untuk mengetahui kualitas udara dalam ruangan, karakteristik umum pekerja, dan kejadian SBS di Kantor Pusat PT. X. Berdasarkan penelitian beberapa parameter kualitas udara seperti CO2, kelembaban, dan ventilation rate tidak memenuhi Standar. Didapatkan juga beberapa kasus mirip SBS seperti iritasi mata (16.13 %) dan kelelahan (13.98 %). Kejadian SBS kemungkinan merupakan hasil interkoneksi berbagai faktor termasuk kualitas udara dan karakteristik responden.
Recently development of big city has been swifted to vertical development with artificial ventilation. According to vast amount of research that situation could lead to Sick Building Syndrome (SBS) cases. The Headquarter of PT. X located at Y Building has that charasteristic. This Theses aims on knowing indoor air quality (IAQ), workers? characteristics and SBS cases in The Headquarter of PT. X. According to this research some parameters e.g. CO2, relative humidity and ventilation rate are out of standards. Some cases has also been found, e.g. eye irritation (16.13 %) and fatigue (13.98 %). These cases may be a result of many factors including IAQ and workers? characteristics.
Depok: Universitas Indonesia, 2010
T31105
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Emirhadi Suganda
Abstrak :
ABSTRAK
Indonesia saat ini mempunyai jumlah pulau sekitar 17.000 buah dan panjang pantai sekitar 81.000 km. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, setelah Canada. Bagi indonesia, sumberdaya kawasan perkotaan pantai sangat penting karena terdapat 140 juta penduduk atau 60% penduduk indonesia tinggal di wilayah ini dengan lebar 50 km dari garis pantai. Sampai tahun 2000, terdapat 42 kota besar dan 181 kabupaten berada di wilayah pantai yang menjadi tempat pusat pertumbuhan ekonomi, industri dan berbagai aktivitas lainnya. Wilayah perkotaan pantai sangat rentan terhadap perubahan lingkungan dan penerima dampak dari daratan. Hal ini karena letak wilayah pantai yang berada diantara daratan dan lautan, dan adanya keterkaitan serta saling mempengaruhi antara ekosistem daratan dan lautan. Daya dukung dan daya tampung wilayah perkotaan pantai sudah melampaui kapasitasnya, 80% masyarakat perkotaan pantai masih relatif miskin, berpendidikan rendah dan sering termarjinalisasikan (DKP, 2005).

Rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah: "Pembangunan kawasan perkotaan pantai saat ini, merupakan salah satu penyebab degradasi lingkungan fisik dan sosial, yang mengakibatkan letidaksejahteraan masyarakat, khususnya petani dan nelayan". Penataan ruang yang diperuntukan bagi kawasan perkotaan pantai, jika dikaitkan dengan pembangunan berkelanjutan, mempunyai formula sebagai berikut:

a. Ditinjau dari aspek berkelanjutan, penataan ruang = f (X,Y,Z) Penataan ruang adalah fungsi dari (lingkungan, ekonomi, sosial) Dimana:

X = Lingkungan, berupa keseimbangan ekosistem
Y= Ekonomi, berupa adanya kesempatan pekerjaan.
Z = Sosial, berupa teratasinya masalah kependudukan.

b. Ditinjau dari aspek kawasan, keberlanjutan = f (P, Q) Keberlanjutan adalah fungsi dari integrasi penataan ruang (kawasan daratan, pantai) Dimana:

P= Penataan ruang di kawasan daratan
Q = Penataan ruang di kawasan pantai

Pertanyaan penelitian yang timbul dalam rangka pembangunan berkelanjutan di kawasan perkotaan pantai adalah: (i) Mengapa pembangunan di kawasan perkotaan pantai menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan fisik dan sosial; (ii) Tata ruang perkotaan pantai yang bagaimana, yang sesuai dengan pembangunan berkelanjutan dan fokus pada peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat?.

Tujuan yang dirancang adalah untuk mengantisipasi tantangan dan prospek yang ada di masa mendatang, sebagai berikut: (a) Menemukan kelemahan pembangunan di kawasan perkotaan pantai yang menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan fisik dan sosial, yang pada akhirnya menyebabkan ketidak berlanjutan (Lingkungan, Ekonomi & Sosial); (b) Menemukan dan menetapkan prinsip serta kriteria untuk penataan ruang kawasan perkotaan pantai dalam pembangunan berkelanjutan, yang dapat membuat masyarakat strata bawah dapat meningkatkan kesejahteraannya lahir dan batin (well being). Dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut: Hipotesis 1: Pembangunan kawasan perkotaan pantai akan berkelanjutan jika mengintegrasikan penataan ruang kawasan daratan dan pantai. Hipoesis 2: Penataan ruang kawasan perkotaan pantai yang melibatkan partisipasi dan menampung aspirasi masyarakat, akan meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian untuk mengeksplorasi dan mengembangkan teori/konsep yang sudah ada (Exploratory Research) dengan carapre-scriptif. Sedangkan metoda penelitian yang dipilih adalah berupa gabungan antara penelitian metode kualitatif (untuk ranah makna) dan penelitian metode kuantitatif (untuk ranah fakta).

Wilayah penelitian yang diambil adalah: Kecamatan Pulomerak sebagai lokasi yang sudah dikembangkan (Desa Mekarsari, Desa Tamansari, Desa Margasari, dengan jumlah total responden 97 Kepala Keluarga (KK). Sedangkan Kecamatan Bojonegara dipilih untuk lokasi yang akan dikembangkan (Desa Bojonegara, Desa Margagiri, Desa Puloampel, dengan jumlah total responden 95 KK). Adanya pembangunan, merupakan daya tarik internal bagi penduduk pendatang, karena Pulomerak-Bojonegara mempunyai fasilitas pusat jasa, pusat perekonomian and simpul transportasi. Sedangkan daya tekan eksternal adalah berupa kemiskinan dan pengangguran penduduk di luar kawasan. Pembangunan tersebut pada kenyataannya menimbulkan degradasi, baik lingkungan fisik maupun sosial, berupa ketidaksejahteraan penduduk lokal.

Kerangka konsep penelitian ini adalah: Pembangunan berkelanjutan dapat terlaksana dengan mempertimbangkan aspek penduduk, tata ruang dan sumberdaya alam. Pada kawasan penelitian pembangunan belum berkelanjutan, disebabkan oleh: tekanan jumlah penduduk (asli dan pendatang) yang mempengaruhi ketidakseimbangan daya dukung dan daya tampung; kemudian tata ruang yang ada belum dilaksanakan secara taat asas; sehingga menyebabkan degradasi lingkungan. Melalui studi kepustakaan, dihimpun data tentang pembangunan perkotaan pantai, teori pengembangan wilayah, permasalahan perkotaan pantai dan kemiskinan. Instrumen penelitian yang digunakan adalah Dynamic SWOT ( untuk mengetahui konsep strategi wilayah), analisis kebijakan Analytical Hierarchi Process (AHP). Untuk menganalisis daya dukung dan daya tampung, digunakan interpretasi superimposed data topografi berupa peta Rupabumi digital 1:25.000, melalui program GIS. Sedangkan untuk mengetahui data profil kependudukan diambil uji statistik dengan program Excell. Juga dilakukan observasi mendalam atas aspirasi penduduk tentang kesulitan, keresahan dan harapan hidup. Analisis dan sintesis dari proses penelitian tersebut di atas, diharapkan akan menemukan "Model Tata Ruang di Kawasan Perkotaan Patai dalam Pembangunan Berkelanjutan". Untuk kawasan perkotaan pantai, teori pengembangan wilayah yang akan dikembangkan adalah gabungan antara teori consensus planning, teori pola perkembangan lincar Branch; dan teori pendekatan normatif von thurunen. Pengembangan teori yang dipelajari dari studi kepustakaan di bidang kewilayahan/tata ruang, akan didasarkan pada Ecological Landscape Planning yaotu perencanaan dengan pendekatan ekologis, yang mempunyai fokus pada tiga perspektif yaitu perencanaan dengan pendekatan ekologis, yang mempunyai fokus pada tiga perspektif yaitu bio-fisik, masyarakat dan ekologi. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan pendekatan perencanaan tata ruang berbasis lansekap ekologi adalah perencanaan dengan menggabungkan subdisiplin ekologi dengan geografi, dengan penekanan pada daya dukung dan daya tampung. Teori Lansekap Ekologi menekankan peran dan pengaruh manusia pada struktur dan fungsi lansekap, serta bagaimana jalan keluar untuk merestorasi degredasi lansekap.

Tahapan penelitian dikembangkan dengan melihat beberapa indikator sebagai berikut: hasil indikator degradasi lingkungan, yang terdiri atas data erosi, sedimentasi, pencemaran dapat disimpulkan bahwa telah terjadi degradasi lingkungan pada kawasan penelitian. Untuk mengetahui besarnya lokasi perubahan penggunaan ruang/lahan, digunakan metoda GIS, yaitu dengan cara analisis superimposed dalam kurun waktu 10 tahun (1992-1997-2002). Kemudian hasil superimposed ini dibandingkan dengan peraturan yang berlaku antara lain acuan pada Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung. Berkurangnya lahan alamiah dan bertambahnya lingkungan buatan dari tahun 1992 s/d 2003, memperlihatkan adanya pengawasan pembangunan yan tidak terkendali dan tata ruang yang ada belum memasukkan konsep lingkungan hidup secara utuh, sehingga kepentingan pembangunan ekonomi lebih ditekankan dibanding kepentingan atas perlindungan dan kelestarian alam. Dilihat dari hasil indikator penggunaan ruang dapat disimpulkan bahwa telah terjadi degradasi lingkungan pada kawasan penelitian, dengan adanya penggunaan ruang secara berlebihan, dan terjadinya konvensi hutan lindung menjadi daerah terbangun. Dilihat dari hasil indikator kemiskinan, yang terdiri dari data indikator kemiskinan, Human Development Index (HDI), Millennium Development Goals (MDGs), Partisipasi masyarakat dan aspirasi ibu rumah tangga dapat disimpulkan bahwa telah terjadi degradasi sosial pada kawasan penelitian. Analisis SWOT yang didasarkan pada loika yang memaksimalkan kekuatan (stength) dan peluang (opportunity), namun secara bersamaan meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (treats). Untuk mengurangi terjadinya degradasi lingkungan, dan kesenjangan ekonomi-sosial, serta untuk memperkecil ancaman bagi kebijakan tata ruang yang belum mendukung, maka diperlukan penyempurnaan atas kebijakan tata ruang yang ada (strategi W1-T3). Hasil akhir kebijakan publik yang dipilih oleh para pakar melalui model AHP adalah kebijakan penataan ruang dengan pendekatan : ekologi/holistik, daratan & pantai, dengan pelaku masyarakat/ stakeholders, ekosentrisme sebesar 38% (new paradigm), lebih diutamakan dibanding dengan kebijakan ruang dengan pendekatan: mekanistik, daratan & pantai, pelaku pemerintah & industri swasta, biosentrisme sebesar 35% (bussines as usual plus), dan kebijakan penataan ruang dengan pendekatan: mekanistik, bias daratan, pelaku pemerintah, antroposentrisme sebesar 27% (bussines as usual). Perubahan kebijakan ini tidak dapat dilakukan secara instant, melainkan harus secara bertahap.

Kesimpulan penelitian:
a. Kelemahan pembangunan di kawasan Perkotaan Pantai saat ini, yang menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan fisik dan sosial, karena belum mengintegrasikan penataan ruang kawasan daratan dan pantai, dan pemerintah belum taat asas dalam perencanaan, pengendalian dan pelaksanaan pembangunannya.
b. Prinsip penataan ruang di kawasan perkotaan pantai adalah dengan menggunakan perencanaan tata ruang berbasis Lansekap Ekologi, yaitu perencanaan dengan menggabungkan subdisiplin ekologi dengan geografi, dengan penekanan pada daya dukung dan daya tampung.
c. Kriteria penataan ruang di kawasan perkotaan pantai adalah berdasarkan keberpihakan pada lingkungan yang pengembangannya menggunakan etika lingkungan ekosentrisme, dengan memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologi, keberpihakan pada ekonomi kemasyarakatan, dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang ditujukkan untuk kesejahteraan semua anggota masyarakat ; keberpihakan pada keadilan sosial.
d. UU Nomor 24 tahun 1992 tentang penataan ruang, perlu disempurnakan karena: () Bias pemerintah (seharunya perpihak pada pemerintah, pengusaha dan masyarakat sebagai kesatuan stakeholders), (ii) Bias kota (seharusnya dengan pendekatan perkotaan dan pedesaan), (iii) Bias daratan (seharusnya dengan pendekatan daratan, lautan dan udara), (iv) Belum menerapkan sanksi bagi pelanggaran pelaksanaan penataan ruang di lapangan.
e. Perencanaan tata ruang yang ada cukup baik sebagai payung normatif, namun untuk rencana detail tata ruang (RDTR) seperti yang digunakan di kota bojonegara perlu disempurnakan, khususnya peruntukan bagi kawasan pantai.
f. Degradasi lingkungan fisik dan sosial yang terjadi, disebabkan aparat pemerintah tidak taat asas dalam melaksanakan tata ruang di lapangan, khususnya yang berkaitan dengan bidang pemanfaatan dan pengendalian tata ruang.
g. Kemiskinan di kawasan penelitian terjadi karena pemerintah melaksanakan pembangunan ekonomi, lebih berpihak pada pelaku ekonomi (elit pengusaha), dibanding dengan berpihak pada masyarakat umum, termasuk petani dan nelayan.
h. Penetapan kebijakan baru dalam penataan ruang perkotaan pantai: yaitu model proses penataan ruang kawasan perkotaan pantai.

Saran penelitian
a. Perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian "Model Proses Penataan Ruang Kawasan Perkotaan Pantai" sebagai konsep baru, harus disertai dengan tatanan baru pada proses pembuatan kebijakan dan kelembagaan penataan ruang Kebijakan berbasis bottom-up approach akan memperkuat landasan pelaksanaan kebijakan tersebut di lapangan. Sedangkan kelembagaannya dapat dikembangkan BKTRD) Badan Koordinasi Tata Ruang Daerah), yang secara normatif sebagai perwakilan BKTRN di pusat, namun mempunyai kewenangan otorisasi di daerah.
b. Pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan, tidak sekedar tataran peraturan dan konsep, namun lebih kearah kemauan politik dan budaya. Untuk itu diperlukan penelitian lanjutan untuk penataan ruang dalam pembangunan berkelanjutan, fokus pada pendekatan partisipasi politik (political Participation) dan pendekatan budaya (Cultural Vibrancy).
2007
D623
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Emirhadi Suganda
Abstrak :
ABSTRAK
Indonesia saat ini mempunyai jumlah pulau sekitar 17.000 buah dan panjang pantai sekitar 81.000 km. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, setelah Canada. Bagi indonesia, sumberdaya kawasan perkotaan pantai sangat penting karena terdapat 140 juta penduduk atau 60% penduduk indonesia tinggal di wilayah ini dengan lebar 50 km dari garis pantai. Sampai tahun 2000, terdapat 42 kota besar dan 181 kabupaten berada di wilayah pantai yang menjadi tempat pusat pertumbuhan ekonomi, industri dan berbagai aktivitas lainnya. Wilayah perkotaan pantai sangat rentan terhadap perubahan lingkungan dan penerima dampak dari daratan. Hal ini karena letak wilayah pantai yang berada diantara daratan dan lautan, dan adanya keterkaitan serta saling mempengaruhi antara ekosistem daratan dan lautan. Daya dukung dan daya tampung wilayah perkotaan pantai sudah melampaui kapasitasnya, 80% masyarakat perkotaan pantai masih relatif miskin, berpendidikan rendah dan sering termarjinalisasikan (DKP, 2005).

Rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah: "Pembangunan kawasan perkotaan pantai saat ini, merupakan salah satu penyebab degradasi lingkungan fisik dan sosial, yang mengakibatkan ketidaksejahteraan masyarakat, khususnya petani dan nelayan". Penataan ruang yang diperuntukan bagi kawasan perkotaan pantai, jika dikaitkan dengan pembangunan berkelanjutan, mempunyai formula sebagai berikut:

a. Ditinjau dari aspek berkelanjutan, penataan ruang = f (X,Y,Z) Penataan ruang adalah fungsi dari (lingkungan, ekonomi, sosial) Dimana:

X = Lingkungan, berupa keseimbangan ekosistem
Y= Ekonomi, berupa adanya kesempatan pekerjaan.
Z = Sosial, berupa teratasinya masalah kependudukan.

b. Ditinjau dari aspek kawasan, keberlanjutan = f (P, Q) Keberlanjutan adalah fungsi dari integrasi penataan ruang (kawasan daratan, pantai) Dimana:

P= Penataan ruang di kawasan daratan
Q = Penataan ruang di kawasan pantai

Pertanyaan penelitian yang timbul dalam rangka pembangunan berkelanjutan di kawasan perkotaan pantai adalah: (i) Mengapa pembangunan di kawasan perkotaan pantai menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan fisik dan sosial; (ii) Tata ruang perkotaan pantai yang bagaimana, yang sesuai dengan pembangunan berkelanjutan dan fokus pada peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat?.

Tujuan yang dirancang adalah untuk mengantisipasi tantangan dan prospek yang ada di masa mendatang, sebagai berikut: (a) Menemukan kelemahan pembangunan di kawasan perkotaan pantai yang menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan fisik dan sosial, yang pada akhirnya menyebabkan ketidak berlanjutan (Lingkungan, Ekonomi & Sosial); (b) Menemukan dan menetapkan prinsip serta kriteria untuk penataan ruang kawasan perkotaan pantai dalam pembangunan berkelanjutan, yang dapat membuat masyarakat strata bawah dapat meningkatkan kesejahteraannya lahir dan batin (well being). Dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut: Hipotesis 1: Pembangunan kawasan perkotaan pantai akan berkelanjutan jika mengintegrasikan penataan ruang kawasan daratan dan pantai. Hipoesis 2: Penataan ruang kawasan perkotaan pantai yang melibatkan partisipasi dan menampung aspirasi masyarakat, akan meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian untuk mengeksplorasi dan mengembangkan teori/konsep yang sudah ada (Exploratory Research) dengan carapre-scriptif. Sedangkan metoda penelitian yang dipilih adalah berupa gabungan antara penelitian metode kualitatif (untuk ranah makna) dan penelitian metode kuantitatif (untuk ranah fakta).

Wilayah penelitian yang diambil adalah: Kecamatan Pulomerak sebagai lokasi yang sudah dikembangkan (Desa Mekarsari, Desa Tamansari, Desa Margasari, dengan jumlah total responden 97 Kepala Keluarga (KK). Sedangkan Kecamatan Bojonegara dipilih untuk lokasi yang akan dikembangkan (Desa Bojonegara, Desa Margagiri, Desa Puloampel, dengan jumlah total responden 95 KK). Adanya pembangunan, merupakan daya tarik internal bagi penduduk pendatang, karena Pulomerak-Bojonegara mempunyai fasilitas pusat jasa, pusat perekonomian and simpul transportasi. Sedangkan daya tekan eksternal adalah berupa kemiskinan dan pengangguran penduduk di luar kawasan. Pembangunan tersebut pada kenyataannya menimbulkan degradasi, baik lingkungan fisik maupun sosial, berupa ketidaksejahteraan penduduk lokal.

Kerangka konsep penelitian ini adalah: Pembangunan berkelanjutan dapat terlaksana dengan mempertimbangkan aspek penduduk, tata ruang dan sumberdaya alam. Pada kawasan penelitian pembangunan belum berkelanjutan, disebabkan oleh: tekanan jumlah penduduk (asli dan pendatang) yang mempengaruhi ketidakseimbangan daya dukung dan daya tampung; kemudian tata ruang yang ada belum dilaksanakan secara taat asas; sehingga menyebabkan degradasi lingkungan. Melalui studi kepustakaan, dihimpun data tentang pembangunan perkotaan pantai, teori pengembangan wilayah, permasalahan perkotaan pantai dan kemiskinan. Instrumen penelitian yang digunakan adalah Dynamic SWOT ( untuk mengetahui konsep strategi wilayah), analisis kebijakan Analytical Hierarchi Process (AHP). Untuk menganalisis daya dukung dan daya tampung, digunakan interpretasi superimposed data topografi berupa peta Rupabumi digital 1:25.000, melalui program GIS. Sedangkan untuk mengetahui data profil kependudukan diambil uji statistik dengan program Excell. Juga dilakukan observasi mendalam atas aspirasi penduduk tentang kesulitan, keresahan dan harapan hidup. Analisis dan sintesis dari proses penelitian tersebut di atas, diharapkan akan menemukan "Model Tata Ruang di Kawasan Perkotaan Patai dalam Pembangunan Berkelanjutan". Untuk kawasan perkotaan pantai, teori pengembangan wilayah yang akan dikembangkan adalah gabungan antara teori consensus planning, teori pola perkembangan lincar Branch; dan teori pendekatan normatif von thurunen. Pengembangan teori yang dipelajari dari studi kepustakaan di bidang kewilayahan/tata ruang, akan didasarkan pada Ecological Landscape Planning yaotu perencanaan dengan pendekatan ekologis, yang mempunyai fokus pada tiga perspektif yaitu perencanaan dengan pendekatan ekologis, yang mempunyai fokus pada tiga perspektif yaitu bio-fisik, masyarakat dan ekologi. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan pendekatan perencanaan tata ruang berbasis lansekap ekologi adalah perencanaan dengan menggabungkan subdisiplin ekologi dengan geografi, dengan penekanan pada daya dukung dan daya tampung. Teori Lansekap Ekologi menekankan peran dan pengaruh manusia pada struktur dan fungsi lansekap, serta bagaimana jalan keluar untuk merestorasi degredasi lansekap.

Tahapan penelitian dikembangkan dengan melihat beberapa indikator sebagai berikut: hasil indikator degradasi lingkungan, yang terdiri atas data erosi, sedimentasi, pencemaran dapat disimpulkan bahwa telah terjadi degradasi lingkungan pada kawasan penelitian. Untuk mengetahui besarnya lokasi perubahan penggunaan ruang/lahan, digunakan metoda GIS, yaitu dengan cara analisis superimposed dalam kurun waktu 10 tahun (1992-1997-2002). Kemudian hasil superimposed ini dibandingkan dengan peraturan yang berlaku antara lain acuan pada Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung. Berkurangnya lahan alamiah dan bertambahnya lingkungan buatan dari tahun 1992 s/d 2003, memperlihatkan adanya pengawasan pembangunan yan tidak terkendali dan tata ruang yang ada belum memasukkan konsep lingkungan hidup secara utuh, sehingga kepentingan pembangunan ekonomi lebih ditekankan dibanding kepentingan atas perlindungan dan kelestarian alam. Dilihat dari hasil indikator penggunaan ruang dapat disimpulkan bahwa telah terjadi degradasi lingkungan pada kawasan penelitian, dengan adanya penggunaan ruang secara berlebihan, dan terjadinya konvensi hutan lindung menjadi daerah terbangun. Dilihat dari hasil indikator kemiskinan, yang terdiri dari data indikator kemiskinan, Human Development Index (HDI), Millennium Development Goals (MDGs), Partisipasi masyarakat dan aspirasi ibu rumah tangga dapat disimpulkan bahwa telah terjadi degradasi sosial pada kawasan penelitian. Analisis SWOT yang didasarkan pada loika yang memaksimalkan kekuatan (stength) dan peluang (opportunity), namun secara bersamaan meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (treats). Untuk mengurangi terjadinya degradasi lingkungan, dan kesenjangan ekonomi-sosial, serta untuk memperkecil ancaman bagi kebijakan tata ruang yang belum mendukung, maka diperlukan penyempurnaan atas kebijakan tata ruang yang ada (strategi W1-T3). Hasil akhir kebijakan publik yang dipilih oleh para pakar melalui model AHP adalah kebijakan penataan ruang dengan pendekatan : ekologi/holistik, daratan & pantai, dengan pelaku masyarakat/ stakeholders, ekosentrisme sebesar 38% (new paradigm), lebih diutamakan dibanding dengan kebijakan ruang dengan pendekatan: mekanistik, daratan & pantai, pelaku pemerintah & industri swasta, biosentrisme sebesar 35% (bussines as usual plus), dan kebijakan penataan ruang dengan pendekatan: mekanistik, bias daratan, pelaku pemerintah, antroposentrisme sebesar 27% (bussines as usual). Perubahan kebijakan ini tidak dapat dilakukan secara instant, melainkan harus secara bertahap.

Kesimpulan penelitian:
a. Kelemahan pembangunan di kawasan Perkotaan Pantai saat ini, yang menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan fisik dan sosial, karena belum mengintegrasikan penataan ruang kawasan daratan dan pantai, dan pemerintah belum taat asas dalam perencanaan, pengendalian dan pelaksanaan pembangunannya.
b. Prinsip penataan ruang di kawasan perkotaan pantai adalah dengan menggunakan perencanaan tata ruang berbasis Lansekap Ekologi, yaitu perencanaan dengan menggabungkan subdisiplin ekologi dengan geografi, dengan penekanan pada daya dukung dan daya tampung.
c. Kriteria penataan ruang di kawasan perkotaan pantai adalah berdasarkan keberpihakan pada lingkungan yang pengembangannya menggunakan etika lingkungan ekosentrisme, dengan memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologi, keberpihakan pada ekonomi kemasyarakatan, dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang ditujukkan untuk kesejahteraan semua anggota masyarakat ; keberpihakan pada keadilan sosial.
d. UU Nomor 24 tahun 1992 tentang penataan ruang, perlu disempurnakan karena: () Bias pemerintah (seharunya perpihak pada pemerintah, pengusaha dan masyarakat sebagai kesatuan stakeholders), (ii) Bias kota (seharusnya dengan pendekatan perkotaan dan pedesaan), (iii) Bias daratan (seharusnya dengan pendekatan daratan, lautan dan udara), (iv) Belum menerapkan sanksi bagi pelanggaran pelaksanaan penataan ruang di lapangan.
e. Perencanaan tata ruang yang ada cukup baik sebagai payung normatif, namun untuk rencana detail tata ruang (RDTR) seperti yang digunakan di kota bojonegara perlu disempurnakan, khususnya peruntukan bagi kawasan pantai.
f. Degradasi lingkungan fisik dan sosial yang terjadi, disebabkan aparat pemerintah tidak taat asas dalam melaksanakan tata ruang di lapangan, khususnya yang berkaitan dengan bidang pemanfaatan dan pengendalian tata ruang.
g. Kemiskinan di kawasan penelitian terjadi karena pemerintah melaksanakan pembangunan ekonomi, lebih berpihak pada pelaku ekonomi (elit pengusaha), dibanding dengan berpihak pada masyarakat umum, termasuk petani dan nelayan.
h. Penetapan kebijakan baru dalam penataan ruang perkotaan pantai: yaitu model proses penataan ruang kawasan perkotaan pantai.

Saran penelitian
a. Perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian "Model Proses Penataan Ruang Kawasan Perkotaan Pantai" sebagai konsep baru, harus disertai dengan tatanan baru pada proses pembuatan kebijakan dan kelembagaan penataan ruang Kebijakan berbasis bottom-up approach akan memperkuat landasan pelaksanaan kebijakan tersebut di lapangan. Sedangkan kelembagaannya dapat dikembangkan BKTRD) Badan Koordinasi Tata Ruang Daerah), yang secara normatif sebagai perwakilan BKTRN di pusat, namun mempunyai kewenangan otorisasi di daerah.
b. Pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan, tidak sekedar tataran peraturan dan konsep, namun lebih kearah kemauan politik dan budaya. Untuk itu diperlukan penelitian lanjutan untuk penataan ruang dalam pembangunan berkelanjutan, fokus pada pendekatan partisipasi politik (political Participation) dan pendekatan budaya (Cultural Vibrancy).
2007
D641
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sonya Puspasari Suganda
Abstrak :
Disertasi ini membahas cara pandang masyarakat Jerman terhadap kematian, yang diverbalisasikan dalam teks berita duka cita. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh ketertarikan tentang tema kematian, yang oleh kebanyakan orang sulit diterima sebagai kenyataan empiris, dan perubahan dalam hal peristilahan, yaitu bergesernya istilah “Todesanzeige” „iklan kematian' menjadi ”Traueranzeige” „iklan kesedihan'. Sesuai dengan maknanya, dalam Todesanzeige fokus penyusunan teks terletak pada fenomena kematian, sedangkan dalam Traueranzeige aspek emosi, yaitu duka, juga ditonjolkan dalam teks. Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah teks berita duka cita berbahasa Jerman, yang terbit di negara Republik Federal Jerman dalam kurun waktu antara tahun 2012 sampai dengan 2014. Data diperoleh baik dari surat kabar cetak maupun daring. Data yang terkumpul dibagi atas tiga perspektif, yaitu perspektif keluarga, perspektif teman/kolega, dan perspektif diri sendiri. Diasumsikan bahwa teks berita duka cita merupakan pencerminan cara pandang suatu masyarakat terhadap kematian, termasuk masyarakat Jerman. Hakikat penelitian ini adalah analisis teks, yang bertujuan mengungkap kematian dari sudut pandang masyarakat Jerman pembuat teks berita duka cita. Penelitian ini adalah penelitian semiotik budaya, yang dikaji melalui ancangan analisis wacana kritis. Kerangka analisis utama yang digunakan bersumber dari Fairclough 1995, yang diperkuat oleh telaah budaya dalam teks dari Fix 2011. Meskipun dikatakan bahwa teks berita duka cita adalah salah jenis teks yang sangat terikat pada konvensi, temuan yang diperoleh dari analisis deskriptif teks menunjukkan adanya variasi dan preferensi individual. Salah satu preferensi individual ini secara kuantitatif dibuktikan melalui jumlah superstruktur teks yang berbeda-beda. Hasil penelitian ini mencatat superstruktur yang ditemukan dalam teksteks yang diteliti berkisar antara delapan sampai dua superstruktur. Bentuk kalimat yang mendominasi adalah bentuk kalimat berita. Unsur semiotis non-verbal juga memiliki peran penting dalam teks. Jenis tanda yang paling banyak muncul dalam teks adalah ikon. Secara interpretatif terlihat dalam teks bahwa ada dua arah penyampaian. Melalui teks, pembuat teks ingin menciptakan interaksi dengan orang yang meninggal dunia, dan dengan pihak pembaca teks. Interaksi pembuat teks dengan orang yang meninggal dunia dinyatakan melalui kalimat-kalimat yang menggunakan kata sapaan orang kedua tunggal. Interaksi pembuat teks dengan pembaca teks diwujudkan dalam fokus berita yang mengabarkan kematian, ritual terkait kematian, dan bentuk belasungkawa yang diharapkan atau tidak diharapkan. Di tataran eksplanatif teks berita duka cita dikaji dengan memperhatikan hubungannya dengan konteks sosial budaya. Dalam teks, terlihat bahwa aspek “mourning” „berkabung' yang lebih mendominasi daripada aspek “grief” bdquo;duka'. Grief adalah kondisi psikis seseorang, sedangkan mourning merupakan konstruksi budaya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa fenomena kematian juga merupakan fenomena budaya. Secara kuantitatif, makna kematian yang paling banyak ditemukan dalam teks adalah yang didasari oleh religiositas 6 dari 12 makna kematian. Meskipun demikian, sikap religius dalam teks belum tentu mencerminkan sikap religius masyarakat pembuat teks dalam keseharian mereka. Sikap religius dalam teks dianggap sebagai alternatif pemaknaan Deutungsangebot, yang disebabkan karena konsep kematian yang memang sulit dijelaskan secara empiris.
This dissertation discusses how Germans perceive death, as verbalised in obituary. This research is motivated by the concept of death, which most people have difficulties to accept as an empirical fact, and also a terminological shift in standard German language, namely from Todesanzeige, which literally means 39 announcement of death 39 to Traueranzeige, meaning 39 announcement of grief 39. In accordance with its meaning, Todesanzeige focuses on the phenomenon of death, whereas in Traueranzeige the aspect of emotion generated by the event of death also plays an important role. The data analyzed in this study is German obituary, published in the German Federal Republic in the period between 2012 through 2014. Data were obtained from both print and online newspapers. The collected data is further categorized into three perspectives family, friend colleague, and self perspective. It is assumed that how a society of one culture perceives death is also reflected in obituary. The nature of this research is text analysis, which aims to uncover the meaning of death from the German point of view. The field of this research is cultural semiotics, which is assessed through critical discourse analysis. The main analytical framework used is from Fairclough 1995, and supported by theories of culture on text by Fix 2011. Although it is said that obituary is the type of text, which is strongly tied to the convention, the descriptive text analysis showed variation and individual preference. As shown quantitatively, texts contain a number of different superstructures, ranging from eight to two superstructures. The construction of the sentence is dominated by declarative sentences. The common type of non verbal semiotic elements found in texts is icon. Analysis from interpretative level showed that there are two types of interaction, specifically the interaction between the text maker with the deceased, and the interaction between text maker with the text reader. The interaction between the text maker and the person who died can be seen from the expressions as if the text maker spoke directly with the deceased, using address form in second person singular. Interaction with the readers is expressed through utterance, in which the text maker informs about the death event and rituals related to death, and expected or unexpected type of condolence forms. On the explanatory level, it is concluded that mourning as a construction of culture is more dominant than grief as a state of psyche. It is safe to say, that death phenomenon is also cultural phenomenon. How the German perceive death in obituaries is mainly influenced by religiosity 6 out of 12 perceptions of death. However, religiosity in text doesn 39 t always correlate with religiosity in their daily life. Religiosity in text can be seen as an alternative of sense making Deutungsangebot, due to the lacking of an empirical explanation of the death concept and the death meaning.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2016
D2251
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>