Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 55 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kurniasari
Abstrak :
[ABSTRAK
Latar Belakang: Mangiferin (MGR) adalah glikosida xanton yang pertama kali diisolasi dari Mangifera indica. Efek anti hiperglikemik dan anti hiperlipidemik MGR merupakan akibat dari aktivasi peroxisome proliferator activated gamma (PPARγ) dan AMP-activated protein kinase (AMPK). Aktivasi PPARγ menyebabkan peningkatan transkripsi gen glucose transporter 4 (GLUT4) sedangkan aktifasi AMPK menyebabkan stimulasi translokasi GLUT4 ke membran sel serta peningkatan oksidasi asam lemak. Mekanisme tersebut sama dengan tiazolidinedion (TZD), yaitu obat yang digunakan untuk pengobatan resistensi insulin. Metode: Tikus Spraque Dawley jantan diinduksi resistensi insulin selama 6 minggu dengan memberikan larutan fruktosa 60% melalui sonde dan fruktosa 10% sebagai air minum. Setelah induksi resistensi insulin selesai dilakukan terapi dengan MGR 50 mg/kgBB/hari atau MGR 100 mg/kgBB/hari atau pioglitazon (PIO) 3 mg/kgBB/hari diberikan selama 4 minggu dan selama itu induksi fruktosa tetap dilakukan. Pemeriksaan kadar glukosa, trigliserida, insulin, dan perhitungan nilai HOMA-IR dilakukan pada akhir minggu ke-6 sedangkan kadar kolesterol total plasma puasa, kadar protein kinase C alfa otot, serta tingkat ekspresi mRNA GLUT4 otot dan lemak diperiksa pada akhir minggu ke-10. Hasil: Pada tikus dengan resistensi insulin yang mendapatkan MGR 50 mg/kgBB/hari dan MGR 100 mg/kgBB/hari terdapat kecenderungan penurunan kadar trigliserida dan kolesterol total puasa, sedangkan kecenderungan penurunan kadar glukosa dan insulin puasa serta nilai HOMA-IR ditemukan pada kelompok yang mendapatkan MGR 50 mg/kgBB/hari bila dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapatkan terapi (IND FRK). Pada kelompok yang mendapatkan PIO 3 mg/kgBB/hari terdapat penurunan kadar glukosa, trigliserida, insulin, kolesterol total puasa, dan nilai HOMA-IR yang berbeda bermakna dengan kelompok IND FRK. Peningkatan ekspresi mRNA GLUT4 pada jaringan otot dan lemak terlihat pada kelompok yang mendapatkan MGR dan PIO, dan peningkatan ekspresi tersebut sedikit lebih besar pada kelompok yang mendapatkan PIO. Pada pemeriksaan kadar PKCα tidak ditemukan adanya perbedaan yang bermakna di semua kelompok. Kesimpulan: Pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian MGR 50 mg/kgBB memiliki potensi untuk memperbaiki resistensi insulin meskipun perbaikan tersebut masih belum optimal dibandingkan dengan kelompok yang mendapatkan PIO 3 mg/kgBB/hari.
ABSTRACT
Introduction: Mangiferin (MGR) is a glucoside xanthone that is first isolated from Mangifera indica. Anti-hyperglycemic and anti-hiperlipidemic effect of mangiferin related to activation of peroxisome proliferator activated gamma (PPARγ) and AMP-activated protein kinase (AMPK). Mangiferin act as PPARγ agonist and activate glucose transporter 4 (GLUT4) gene transcription while activation of AMPK leads to GLUT4 translocation to cell membrane and fatty acids oxidation. This mechanism are same as tiazolidinedion (TZD), which is one of medicine used for insulin resistance treatment. Methode: Male Spraque-Dawley rats are fed with high fructoce concentration (60% on direct oral and 10% in drinking water) for 6 weeks (IND FRK) to induced insulin resistance. Treatment with MGR 50 mg/kgBW/day or 100 mg/kgBW/day or pioglitazone (PIO) 3 mg/kgBW/day is given for 4 weeks after insulin resistance induction. Fasting plasma glucose, triglyceride, insulin, and HOMA-IR value are measured in the end of sixth and tenth week. Fasting plasma total cholesterol, muscle protein kinase C (PKCα) level, and mRNA GLUT4 expression level in muscle and white adipose tissue are measured in the end of tenth week. Result: In this study we found that MGR 50 mg/kgBW and MGR 100 mg/kgBW had tendention to decreased fasting plasma triglyceride and total cholesterol, while MGR 50 mg/kgBW/day also had tendention to decreaced fasting plasma glucose and insulin, and HOMA-IR value. In PIO treated rats, there were significant decreasement of fasting plasma glucose, triglyceride, insulin, and total cholesterol, and HOMA-IR value compared with untreated rats. Increase expression level of mRNA GLUT4 in muscle and adipose tissue were observed in rats given MGR 50 and 100 mg/kgBW/day and PIO 3 mg/kgBW/day. Expression level of muscle and adipose mRNA GLUT4 in PIO treated rats were higher than in MGR treated rats. In all study groups there were no significant difference of muscle PKCα level. Conclusion: MGR 50 mg/kgBW/day has potention to improve insulin resistance even though this effect less than PIO 3 mg/kgBW/day.;Introduction: Mangiferin (MGR) is a glucoside xanthone that is first isolated from Mangifera indica. Anti-hyperglycemic and anti-hiperlipidemic effect of mangiferin related to activation of peroxisome proliferator activated gamma (PPARγ) and AMP-activated protein kinase (AMPK). Mangiferin act as PPARγ agonist and activate glucose transporter 4 (GLUT4) gene transcription while activation of AMPK leads to GLUT4 translocation to cell membrane and fatty acids oxidation. This mechanism are same as tiazolidinedion (TZD), which is one of medicine used for insulin resistance treatment. Methode: Male Spraque-Dawley rats are fed with high fructoce concentration (60% on direct oral and 10% in drinking water) for 6 weeks (IND FRK) to induced insulin resistance. Treatment with MGR 50 mg/kgBW/day or 100 mg/kgBW/day or pioglitazone (PIO) 3 mg/kgBW/day is given for 4 weeks after insulin resistance induction. Fasting plasma glucose, triglyceride, insulin, and HOMA-IR value are measured in the end of sixth and tenth week. Fasting plasma total cholesterol, muscle protein kinase C (PKCα) level, and mRNA GLUT4 expression level in muscle and white adipose tissue are measured in the end of tenth week. Result: In this study we found that MGR 50 mg/kgBW and MGR 100 mg/kgBW had tendention to decreased fasting plasma triglyceride and total cholesterol, while MGR 50 mg/kgBW/day also had tendention to decreaced fasting plasma glucose and insulin, and HOMA-IR value. In PIO treated rats, there were significant decreasement of fasting plasma glucose, triglyceride, insulin, and total cholesterol, and HOMA-IR value compared with untreated rats. Increase expression level of mRNA GLUT4 in muscle and adipose tissue were observed in rats given MGR 50 and 100 mg/kgBW/day and PIO 3 mg/kgBW/day. Expression level of muscle and adipose mRNA GLUT4 in PIO treated rats were higher than in MGR treated rats. In all study groups there were no significant difference of muscle PKCα level. Conclusion: MGR 50 mg/kgBW/day has potention to improve insulin resistance even though this effect less than PIO 3 mg/kgBW/day., Introduction: Mangiferin (MGR) is a glucoside xanthone that is first isolated from Mangifera indica. Anti-hyperglycemic and anti-hiperlipidemic effect of mangiferin related to activation of peroxisome proliferator activated gamma (PPARγ) and AMP-activated protein kinase (AMPK). Mangiferin act as PPARγ agonist and activate glucose transporter 4 (GLUT4) gene transcription while activation of AMPK leads to GLUT4 translocation to cell membrane and fatty acids oxidation. This mechanism are same as tiazolidinedion (TZD), which is one of medicine used for insulin resistance treatment. Methode: Male Spraque-Dawley rats are fed with high fructoce concentration (60% on direct oral and 10% in drinking water) for 6 weeks (IND FRK) to induced insulin resistance. Treatment with MGR 50 mg/kgBW/day or 100 mg/kgBW/day or pioglitazone (PIO) 3 mg/kgBW/day is given for 4 weeks after insulin resistance induction. Fasting plasma glucose, triglyceride, insulin, and HOMA-IR value are measured in the end of sixth and tenth week. Fasting plasma total cholesterol, muscle protein kinase C (PKCα) level, and mRNA GLUT4 expression level in muscle and white adipose tissue are measured in the end of tenth week. Result: In this study we found that MGR 50 mg/kgBW and MGR 100 mg/kgBW had tendention to decreased fasting plasma triglyceride and total cholesterol, while MGR 50 mg/kgBW/day also had tendention to decreaced fasting plasma glucose and insulin, and HOMA-IR value. In PIO treated rats, there were significant decreasement of fasting plasma glucose, triglyceride, insulin, and total cholesterol, and HOMA-IR value compared with untreated rats. Increase expression level of mRNA GLUT4 in muscle and adipose tissue were observed in rats given MGR 50 and 100 mg/kgBW/day and PIO 3 mg/kgBW/day. Expression level of muscle and adipose mRNA GLUT4 in PIO treated rats were higher than in MGR treated rats. In all study groups there were no significant difference of muscle PKCα level. Conclusion: MGR 50 mg/kgBW/day has potention to improve insulin resistance even though this effect less than PIO 3 mg/kgBW/day.]
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kurniasari
Abstrak :
Berangkat dari sebuah kenyataan bahwa tidak sedikit dari pengarang Indonesia yang namanya jarang disinggung dalam pembicaraan kesusastraan Indonesia, skripsi ini membahas salah seorang dari pengarang tersebut, yaitu Sukro Wijono. Sukro Wijono merupakan seorang sastrawan yang pernah berkarya di tahun 1950-an dan 1960-an. Seiring dengan banyaknya majalah yang terbit pada tahun 1950-an, karya-karya yang pernah dihasilkannya bermunculan dalam beberapa majalah yang terbit pada waktu itu. Karyanya lebih banyak berbentuk cerpen daripada puisi.
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2002
S10888
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mira Kurniasari
Abstrak :
Perubahan kondisi lingkungan bersifat dinamis termasuk perubahan kuantitas dan kualitas lingkungan. Perubahan lingkungan terjadi akibat aktivitas alam maupun aktivitas manusia. Tidak sedikit aktivitas manusia yang menyebabkan pencemaran lingkungan dan kerusakan lingkungan. Alam memiliki kemampuan untuk memulihkan perubahan lingkungan yang terjadi, namun perubahan yang sangat besar memungkinkan alam kesulitan untuk melakukan pemulihan. DAS Citarum adalah sumber air baku utama bagi masyarakat Jawa Barat maupun DKI Jakarta. Kualitas DAS Citarum akan menentukan kualitas sumber air baku tersebut. Penelitian ini dimaksudkan untuk menganalisis pola perubahan kualitas air Citarum yang difokuskan pada parameter BOD5, COD, dan DO serta analisis alokasi industri sebagai suatu altematif antisipasi perubahan kualitas air sungai. Hipotesis dalam penelitian ini adalah: 1. Perubahan kualitas air Citarum homogen menurut waktu pengukuran sepanjang tahun 1994 hingga tahun 2000. 2. Ada kecenderungan perubahan kualitas air Citarum menurut waktu sepanjang tahun 1994 hingga tahun 2000. 3. Perubahan kualitas air Citarum homogen menurut lokasi Citarum dari hulu hingga hilir sungai. 4. Ada kecenderungan perubahan kualitas air Citarum menurut lokasi Citarum dari hulu hingga hilir sungai. 5. Ada pengaruh keberadaan waduk kaskade Citarum terhadap perubahan kualitas air Citarum. 6. Ada pengaruh alokasi industri terhadap perubahan kualitas air Citarum. Pengujian hipotesis tersebut dilakukan dengan menggunakan uji Friedman untuk mengetahui homogenitas perubahan kualitas air menurut perubahan waktu maupun lokasi. Uji Z untuk mengetahui kecenderungan perubahan kualitas air terhadap perubahan waktu maupun lokasi, perhitungan sen slope untuk mengetahui tingkat kecenderungan perubahan kualitas air, serta simulasi model terhadap variasi debit sungai, debit limbah, BOD5 limbah dan jarak dengan menggunakan program dari Perum Jasa Tirta II yaitu First Basic Streeter-Phelps Model. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1. Perubahan kualitas air Citarum tidak homogen menurut waktu pengukuran sepanjang tahun 1994 hingga tahun 2000. 2. Pada Citarum Hulu, kecenderungan perubahan BOD5 dan COD menurun dan perubahan DO menaik. Hal ini dimungkinkan kondisi lingkungan yang masih terpelihara dengan baik. Pada Citarum Hilir, kecenderungan perubahan BOD5 dan COD menaik dan perubahan DO menurun. Hal ini disebabkan adanya peningkatan kegiatan tambak ikan di kawasan waduk, kegiatan industri maupun peningkatan jumlah penduduk. 3. Pada Citarum Hulu, tingkat perubahan COD cenderung lebih besar dari pada BOD5. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan peraturan pengendalian limbah industri cukup efektif menurunkan kadar COD. Pada Citarum Hilir terutama di lokasi bendung Curug, tingkat perubahan COD jauh lebih besar dengan tingkat perubahan BOD5. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan kandungan organik yang tidak dapat terurai secara biologis tinggi yang diperkirakan bersumber dari kegiatan industri. 4. Perubahan kualitas air Citarum tidak homogen menurut lokasi Citarum mulai dari hulu hingga hilir sungai. 5. Sebelum waduk kaskade Citarum, kadar BODE dan COD menunjukkan kecenderungan menaik sehubungan peningkatan kegiatan industri. Sepanjang waduk kaskade Citarum, kadar BOD5 dan COD menunjukkan kecenderungan menurun sehubungan dengan proses sedimentasi dan aerasi pada waduk. Setelah waduk kaskade Citarum, kadar BOD5 dan COD menunjukkan kecenderungan menaik sehubungan peningkatan kegiatan industri. 6. Sebelum waduk kaskade Citarum, tingkat peningkatan COD hampir dua kali dari tingkat peningkatan BOD5. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan organik yang sulit terurai yang umumnya bersumber dari kegiatan industri cukup tinggi. Sepanjang waduk kaskade Citarum, tingkat penurunan COD hampir dua kali dari tingkat penurunan BOD5. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan organik yang sulit terurai menurun cukup efektif dengan adanya proses sedimentasi dan aerasi pada waduk. Setelah waduk kaskade Citarum, tingkat peningkatan COD hampir 4 kali dari tingkat peningkatan BOD5. Hal ini menunjukkan peningkatan kegiatan industri sangat tinggi dibandingkan dengan lokasi sebelum waduk kaskade Citarum. 7. Adanya perbedaan yang nyata terhadap kadar BOD5 dan DO pada variasi jarak industri. Kesimpulan hasil penOlitian ini menunjukkan bahwa: 1. Pola perubahan kualitas air Citarum tidak homogen menurut waktu sepanjang tahun 1994-2000. 2. Kecenderungan perubahan kualitas air Citarum menurut waktu tergantung pada pola pertumbuhan penduduk dan ekonomi yang berpotensi mempengaruhi kualitas air. 3. Pola perubahan kualitas air Citarum tidak homogen menurut lokasi Citarum dari hulu hingga hilir sungai. 4. Kecenderungan perubahan kualitas air Citarum menurut lokasi tergantung pada kondisi lingkungan dan kegiatan yang berpotensi mencemari lingkungan. 5. Keberadaan waduk kaskade Citarum mempengaruhi perubahan kualitas air Citarum dengan adanya peningkatan kualitas air Citarum setelah waduk kaskade Citarum. 6. Alokasi kegiatan industri mempengaruhi perubahan kualitas air Citarum. Hal ini ditunjukkan dengan adanya perbedaan kadar BOD5 dan DO pada variasi jarak industri. ......The Identification and Analysis on The Pattern of Water Quality Fluctuation at CitarumThe changes of environmental condition are dynamic, so are the changes of environmental quantity and quality. Environmental changes are resulted from natural as well as human activities. Many of human activities have caused pollution and environmental damages. Nature has self-recovering ability from any damages. However, nature will have difficulties in recovering from tremendous changes. Citarum catchments area is the main drinking water source for West Java and Jakarta communities. The quality of Citarum catchments area determines the quality of the drinking water source. This research aims to analyze the pattern of water quality fluctuation at Citarum focusing on the BOD5 and DO parameter while also analysing industrial allocation as an alternative to anticipate the changing of river water quality. Hypotheses used in this research were as follows: 1. There was homogeneity in the changes of water quality at Citarum according to time during the year of 1994 to 2000. 2. Water quality at Citarum had a tendency to change according to time during the year of 1994 to 2000. 3. There was homogeneity in the changes of water quality at Citarum according to location along the upper to the lower stream. 4. Water quality at Citarum had a tendency to change according to location along the upper to the lower stream. 5. The existence of Citarum cascade dam affected the water quality fluctuation at Citarum. 6. Industrial allocation influenced the water quality fluctuation at Citarum. Those hypotheses were tested using Friedman test to examine the homogeneity in the pattern of water quality fluctuation with the changes of time and location, Z test to examine the trend of water quality fluctuation with the changes of time and location, sen slope calculation to examine the degree of trend of water quality fluctuation; and model simulation with the variation of river flow rate, wastewater flowrate, BCDs level of the wastewater and distance using First Basic Streeter-Phelps Model, a program owned by Perum Jasa Tirta The research found that: 1. Water quality fluctuation at Citarum was not homogeneous according to time during the year of 1994 to 2000, 2. At the upper stream of Citarum, there was a trend of decreasing BOD5 and COD level and increasing DO level. This possibly because the environmental condition was still well maintained. At the lower stream of Citarum, there was a trend of increasing BOD5 and COD level and decreasing DO level. An increasing fish farming activity at the dam area, increasing industrial activity as well as population growth possibly caused this condition. 3. At the upper stream, the degree of change in COD more than BOD5. It meant that the application of industrial wastewater regulation is effective to decrease COD. At lower Citarum, particularly at Curug dam, the degree of change in COD level change was far more significant than the degree of BOD5 change. It showed the increase of organic content that was not biodegradable possibly came from industrial activities. 4. Water quality fluctuation at Citarum was not homogenous with the changes of location along upper to lower stream. 5. Before Citarum cascade dam, BOD5 and COD tended to increase with the increasing industrial activities. Along Citarum cascade dam, BOD5 and COD level tended to decrease because of sedimentation and aeration process in the dam. After Citarum cascade dam, BOD5 and COD tended to increase with the increasing of industrial activities. 6. Before Citarum cascade dam, the increase of COD level was almost twice the increase of BOD5 level. This showed the relatively high content of organic matter came from industrial activities that were difficult to degrade. Along Citarum cascade dam, COD level decreased with a rate almost twice as BOD5 level. This showed that organic matter that was difficult to degrade decreased quite effectively with sedimentation and aeration process in the dam. After Citarum cascade dam, the rate of COD level increase was almost four times the increase of BOD5 level. This showed that the increase of industrial activities was very high compare to the location before Citarum cascade dam. 7. There are significant difference of BOD5 and DO at variation of distance among industries. The research concluded that: 1. The pattern of water quality fluctuation at Citarum did not show any homogeneity according to time during the year 1994 to 2000. 2. The trend of water quality fluctuation at Citarum according to time depended on the rate of population and economy growth. 3. The pattern of water quality changes did not show any homogeneity according to location from upper to lower stream. 4. The trend of water quality fluctuation according to location depended on the existing environmental condition and on the activities having a potency to pollute the environment. 5. The existence of Citarum cascade dam affected water quality fluctuation at Citarum as shown by the increase of river water quality after passing the Citarum cascade dam. 6. The allocation of industrial activities influenced water quality fluctuation at Citarum. This was shown by the fluctuation of BOD5 and DO level with the variation of distances from industry.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T 3692
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pasaribu, F. Kurniasari
Abstrak :
IFRS merupakan bagian integral dari Rumah Sakit yang merupakan pengelola tunggal perbekalan farmasi di RSUD Koja dan menyerap anggaran belanja farmasi yang tinggi pada tahun 2002 yaitu sebesar 94,88% dibandingkan pada tahun 2001. Penggunaan anggaran yang tinggi sebaiknya diikuti dengan pengelolaan yang baik, serta kreativitas dalam mengatasi berbagai kendala dan keterbatasan dalam pelayanan Farmasi. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan gambaran pengelolaan perbekalan farmasi secara optimal yang dihubungkan dengan pelaksanaan fungsi perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, pencatatan dan pelaporan. Penelitian bersifat studi kasus dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Metoda yang digunakan adalah analisis deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam, observasi, dan teiaah dokumen. Informan penelitian terdiri dari Direktur beserta pejabat struktural yang terkait, Apoteker sebagai Kepala IFRS, dan staf Asisten Apoteker, keseluruhan perbekalan farmasi yang tersedia. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa belum adanya struktur organisasi yang baku serta uraian tugas dan wewenang yang jelas di IFRS, kualitas dan kuantitas SDM yang kurang, PFT yang belum terlibat secara aktif, tidak lengkapnya sistem prosedur tetap sebagai acuan bagi petugas, penyerapan anggaran yang digunakan untuk belanja farmasi sebesar Rp. 3.858.191.076,- pada tahun 2002 dan adanya hutang belanja farmasi 2002 sebesar Rp. 446.109.951,-. Proses perencanaan menggunakan metoda konsumsi, proses pengadaan secara pelelangan dan pengadaan secara langsung pada tahun 2002, sedangkan pengadaan pada tahun 2003 dilakukan secara langsung, dengan jumlah idle stock berdasarkan stock opnanne per 31 Desember 2002 sebesar Rp. 1.990.165.381,-. Dari anggaran yang tersedia besarnya anggaran yang digunakan untuk pendistribusian perbekalan farmasi sebesar Rp. 2.544.259.058,- pada tahun 2002 dan Rp. 998.386.463,- pada tahun 2003. Diperoleh juga hasil pencatatan stok yang tidak tepat sehingga menghasilkan pelaporan yang tidak pasti. Kesimpulannya adalah pengelolaan perbekalan farmasi pada periode 2002 sampai dengan Mei 2003 belum dilakukan secara optimal yang disebabkan oleh factor-faktor seperti: belum adanya struktur organisasi baku, kualitas dan kuantitas petugas kurang, belum adanya revisi Formularium Rumah Sakit oleh PFT, belum adanya evaluasi terhadap kebijakan tahun 1997, prosedur tetap (SOP) yang tidak lengkap, serta pengawasan yang kurang. Saran untuk mencapai pengelolaan perbekalan farmasi secara optimal adalah menetapkan struktur organisasi yang baku, pelatihan logistik bagi petugas, penetapan standar minimal pelayanan IFRS, melakukan proses perencanaan secara VLW, pengadaan menggunakan metoda ABC, revisi Formularium Rumah Sakit oleh PFT, dan kepada pihak manajemen untuk mengevaluasi pelayanan obat bagi karyawan agar tercapainya efisiensi dan efektifitas. Daftar Bacaan: 31 (1982 - 2002)
The Optimally Management of Pharmaceutical Preparation at Koja Hospital North JakartaThe pharmacy department is an integral element of hospital in managing pharmaceutical operation at RSUD Koja. In 2002, the use of pharmaceutical are 98,88% higher than the last year's account. Logically, a higher cost should be followed by a good management of pharmaceutical operation and an improved creativity in handling the operational problems. The objective of research is to obtain optimal figure of pharmaceutical operation connected to planning, procurement, storage, distribution, stock records, and data reporting. The method of research is by doing case-study with qualitative analysis and the use of descriptive analysis. The data collecting was done by in depth interview, observation, and document finding. The informant are focused on director with the hospital managers who connected to pharmaceutical operation, pharmacist as a chief of pharmacy department and staff and all of source that connected to the pharmaceutical. The result shows, there are no standard structure of hospital pharmacy with job description as a guide to staff, no empowering, improper quality and quantity of human resources, no activity of The Pharmacy and Therapeutics Committee, there are no systematic procedure and rules guide staff. In 2002, the total cost of pharmaceutical preparation is Rp 3.858.191.076 and the total debt of Rp 446,109.951. The current method of planning based on consumption, tendering procurement and direct procurement in 2002, with the total of idle stock in December 31, 2002 is Rp. 1.990,165.381. The cost of pharmaceutical distribution is Rp. 2,544.259.058 in 2002 and on the next year is already reach the point of Rp. 998.386.463 until may 31, 2003. Besides, there are inaccurate records which causing an invalid reports. The conclusion of research are no optimal management of pharmaceutical operation in 2002 until May 2003, caused by no standard structure, lack of quality and quantity of human resource, no systematic procedures and consistent rules, and no monitoring of results- The Suggestion in obtaining the optimal management of pharmaceutical operation are to build a standard structure, a continue training of logistic, for staff, minimal standard pharmaceutical care, planning process by VEN, using ABC method of procurement, revise the hospital's flow of drugs and to evaluate of drugs providing especially for the employee to obtain efficiency and effectiveness. Reference: 31 (1982 - 2002)
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T12946
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Kurniasari
Abstrak :
Permukiman Nelayan Muara Angke merupakan permukiman yang dibangun atas dasar perencanaan sebelumnya oleh pemerintah DKI Jakarta. Tujuan pembangunannya adalah untuk memukimkan kembali nelayan-nelayan yang sebelumnya menempati kawasan yang tidak diperuntukkan bagi kegiatan bermukim seperti muara sungai atau tepi laut dari beberapa tempat di DKI Jakarta dan mewujudkan perumahan yang yang sehat, aman, nyaman sesuai dengan pola penghidupan mereka. Tipe rumah tinggal yang telah dibangun adalah rumah tidak bertingkat (rumah), rumah panggung dan rumah susun. Dalam perkembangannya, perumahan nelayan turut memberikan pengaruh terhadap penurunan kualitas lingkungan Permukiman Nelayan Muara Angke. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana keberlanjutan Permukiman Nelayan Muara Angke ditinjau dari pengaruh rumah tinggal terhadap peningkatan kualitas sosial budaya nelayan dan lingkungannya. Tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah mengidentifikasi pengaruh rumah tinggal nelayan terhadap kualitas sosial budaya penghuninya, mengidentifikasi pengaruh rumah tinggal terhadap kualitas lingkungan dan mengidentifikasi keberlanjutan Permukiman Nelayan Muara Angke ditinjau dari kontribusi yang diberikan oleh rumah tinggal di dalamnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan kondisi rumah tinggal nelayan berupa rumah, rumah panggung dan rumah susun. Perubahan kondisi rumah disebabkan oleh dua faktor yaitu pertama, kondisi hidrologi berupa banjir dan pasang surut; kedua, peralihan kegiatan ekonomi dari nelayan penangkap ikan menjadi nelayan pedagang. Banjir dan pasang surut yang semakin sering melanda tempat tinggal mereka telah mengubah persepsi terhadap banjir dari semula sebagai hal yang biasa menjadi hal yang tidak menyenangkan (buruk). Persepsi ini telah menimbulkan motivasi penghuni rumah, rumah panggung dan rumah susun untuk melakukan perlawanan terhadap lingkungan. Motivasi perlawanan terhadap lingkungan memacu tindakan-tindakan mengubah rumah tinggal berupa pengurugan tanah dan melapisi permukaannya dengan perkerasan. Peralihan kegiatan ekonomi dari nelayan penangkap ikan menjadi nelayan pedagang disebabkan oleh penurunan kualitas penangkapan ikan karena penggunaan teknologi yang sederhana. Penurunan kualitas penangkapan ikan berpengaruh langsung terhadap penurunan penghasilan nelayan. Kondisi ini menyebabkan perubahan persepsi mereka tehadap kegiatan penangkapan ikan dari semula sebagai profesi yang dapat menghidupkan menjadi kegiatan yang tidak menguntungkan dan membutuhkan biaya operasional yang tidak sedikit. Persepsi ini menimbulkan motivasi nelayan untuk mengubah mata pencaharian kepada kegiatan yang dianggap lebih dapat memberikan kehidupan. Berdasarkan pengamatan keberhasilan orang lain dan pengalaman yang dialaminya, nelayan memilih menjadi pedagang ikan. Perubahan kegiatan ekonomi telah memotivasi mereka untuk menyesuaikan komposisi rumah tinggal yang semula terdiri dari bangunan rumah tinggal dan ruang terbuka sebagai tempat penyimpanan alat-alat perikanan menjadi seluruhnya digunakan untuk bangunan rumah tinggal. Motivasi penyesuaian bentuk rumah tinggal menimbulkan tindakan mengubah penataan ruang rumah untuk menampung kegiatan menetap sekaligus tempat berusaha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi rumah dan rumah panggung memberikan empat pengaruh positif terhadap kecenderungan potensi peningkatan kualitas sosial budaya penghuninya yaitu kemampuan rumah tinggal dalam memberikan dukungan terhadap pemenuhan kegiatan ekonomi, mengakomodasi perkembangan keluarga, mendukung peranan perempuan dalam pengasuhan anak dan memenuhi kebutuhan pencapaian privacy penghuninya. Sedangkan rumah susun hanya memberikan satu pengaruh positif terhadap kualitas sosial budaya penghuninya yaitu kemampuan rumah tinggal dalam memberikan dukungan terhadap kegiatan ekonomi penghuninya. Rumah, rumah panggung dan rumah memberikan satu pengaruh negatif terhadap kualitas sosial budaya penghuninya berupa kecenderungan penurunan interaksi sosial diantara sesama anggota masyarakat lainnya karena penataan ruang rumah tinggal berorientasi ke dalam dan lebih mementingkan pencapaian privacy. Ditinjau dari kondisi rumah, rumah panggung dan rumah susun dalam memberikan pengaruh positif dan negatif terhadap penghuninya maka secara umum dapat dikatakan bahwa kondisi rumah tinggal nelayan cenderung berpotensi meningkatkan kualitas sosial budaya penghuninya. Hasil temuan penelitian menunjukkan kondisi rumah, rumah panggung dan rumah susun memberikan lima pengaruh negatif terhadap kecenderungan penurunan kualitas lingkungan yaitu pertama, kontruksi bangunan yang tidak tepat dengan kondisi tanah rawa sehingga mengakibatkan penurunan permukaan tanah; kedua, penggunaan lahan yang secara maksimal untuk rumah tinggal dan melapisi seluruh permukaan tanah dengan perkerasan sehingga menghalangi peresapan air ke dalam tanah; ketiga peningkatan konsumsi listrik sebagai akibat penyaluran air bersih dan penerangan alami yang tidak optimal serta peningkatan penggunaan peralatan listrik sebagai sarana untuk membantu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga ataupun pencarian informasi/hiburan; ketiga pengelolaan sampah yang kurang tepat dimana tempat sampah dibiarkan terbuka sehingga mencemari udara di dalam rumah; keempat, kepemilikan septic tank pribadi justru menyebabkan pengelolaan limbah kotoran manusia menjadi tidak efisien dan manambah kecenderungan pencemaran air tanah; kelima, penyaluran air hujan secara langsung ke saluran lingkungan berpotensi meningkatkan jumlah air di dalamnya sehingga mempercepat terjadinya banjir terutama pada musim penghujan. Kondisi rumah, rumah panggung dan rumah susun hanya memberikan satu pengaruh positif bagi peningkatan kualitas lingkungan yaitu dalam hal pengelolaan air kotor. Penghuni rumah, rumah panggung dan rumah susun menyalurkan air kotor ke saluran lingkungan dan melakukan kegiatan kerja bakti secara rutin membersihkan saluran-saluran di sekitar rumah mereka sehingga mengurangi genangan air dan timbunan sampah yang terbawa saat air pasang. Ditinjau dari kondisi rumah, rumah panggung dan rumah susun dalam memberikan pengaruh positif dan negatif terhadap kualitas lingkungan maka secara umum dapat dikatakan bahwa kondisi rumah tinggal nelayan cenderung berpotensi menurunkan kualitas lingkungan. Hasil penelitian dan perhitungan menunjukkan bahwa kondisi rumah, rumah panggung dan rumah susun lebih besar memberikan pengaruh negatif dibandingkan pengaruh positifnya terhadap kualitas Permukiman Nelayan Muara Angke. Keberadaan perumahan nelayan di dalamnya cenderung berpotensi menurunkan kualitas lingkungan sehingga dapat dikatakan bahwa Permukiman Nelayan Muara Angke tidak berkelanjutan. Kondisi ketidakberlanjutan terjadi karena upaya peningkatan kualitas sosial budaya penghuni diiringi dengan penurunan kualitas lingkungan. Jika kondisi penurunan kualitas lingkungan terus terjadi pada akhirnya dapat membahayakan penghuni yang tinggal dan berkegiatan di dalamnya terutama mereka dari generasi yang akan datang. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Permukiman Nelayan Muara Angke menunjukkan kecenderungan potensi tidak berlanjut karena menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Berkenaan dengan hal tersebut maka saran-saran yang disampaikan agar Permukiman Nelayan Muara Angke dapat terus berlanjut sebagai berikut pertama, keberadaan nelayan penangkap ikan di DKl Jakarta perlu diiringi dengan peningkatan teknologi penangkapan ikan yang lebih maju sehingga kegiatan penangkapan ikan menjadi profesi yang menguntungkan dan menjanjikan penghidupan; kedua, upaya masyarakat mengatasi banjir yang terns menerus perlu diimbangi dengan intervensi pemerintah berupa penanggulan kawasan; ketiga perencanaan pembangunan perumahan nelayan di masa mendatang sebaiknya disesuaikan dengan karakter masyarakat nelayan yang terdiri atas sub-sub kelompok sesuai mata pencaharian mereka yaitu nelayan penangkap ikan, nelayan pembuat sarana, nelayan pengolah ikan dan nelayan pedagang/pemodal; ketiga, pengadaan rumah tinggal nelayan di perkotaan harus berhadapan dengan masalah keterbatasan lahan, sehingga kecenderungan tipe huniannya diarahkan ke rumah susun, dalam perlu diperhatikan adalah luas bangunan dan penataan ruang rumah agar dapat mengakomodasi perkembangan kondisi sosial budaya keluarga nelayan.
The Fisherman Settlement of Muara Angke is in fact a settlement constructed upon previous planning designed by the government of DKI Jakarta. The purpose of the construction itself is to resettle fishermen who previously inhabited areas not destined for settlement activity such as estuary or sea shores in several locations in DKI Jakarta and also in realize healthy, sale, and eolulnrtable housing suitable to their living pattern, The types of residence built are rumah tidak bertingkat (rumah), rumah panggung, and rumah susun. Within the development, fisherman housing has given influences in the diminution of environmental qualities of the Muara Angke Fisherman Settlement. This, of course, questions the probability of the continuation of Muara Angke Fisherman Settlement observed from the influences of residences to the socio-cultural quality augmentation of the fishermen and their environment. The purpose of the research which is about to be achieved is to identify the influences of the fishermen's residences towards the socio-cultural qualities of the inhabitants, to classify the influences of the residences towards the environmental qualities, and to identify the continuance of the Muara Angke Fisherman Settlement regarded from the contributions donated the residences within. Research reveals that there have been changes in the fishermen's housing conditions in terms of rumah, rumah panggung, and rumah susun. The alteration of housing conditions is caused by two main factors; the hydrological conditions in terms of floods and tide, and the shift of economical activities from becoming fishing fishermen to merchant fishermen. Floods and tide striking their residences have amended the perception towards floods from what was enjoyable to now unpleasant. This perception has generated motivations to the residents of rumah, rumah panggung, and rumah susun to commit a fight against the environment. This battling motivation against the environment triggers acts of transforming residences in terms of levering the soil and coating the surface solidly. The transformation of economical activities from being fishing fishermen to merchant fisherman is caused by the diminution of fishing quality due to the simple technological usage. The downgrade of fishing quality affects immediately in decreasing the fishermen's income. This condition triggers the change of their perception towards fishing activity from what was life-supporting profession to non-profit action that needs high operational costs. This perception sets off fishermen's motivation to change their living to activities considered to be able to give more income. Based on the observations of other people's success and the undergone experiences, fishermen tend to choose to become merchant fishermen. The alteration of economical activities has motivated them to adjust the housing composition that was based upon residential structure and open spaces for storing fishing equipment to become residential structure completely. This motivation of adjusting the residence makes them to alter the house space arrangement so that it would be possible to accommodate settling activities and workplace at the same time. Research findings reveal that conditions of rumah, rumah panggung, and rumah susun has given six negative influences to the environmental quality diminution, which are first of all, building construction inappropriate for the swamp condition so that it causes the decline of land surface; second, maximum land usage for residence thus having solid covering that prevent water absorption by the soil; third, the increase of electricity as a consequence of clean water distribution and non-optimal natural illumination and the increase of electrical appliances either as a mean to help finishing household chores or as a source of information and entertainment; fourth, the mismanagement of garbage where trash containers are left open thus contaminating the air within the house; fifth, the possession of personal septic tanks which in fact makes human waste management inefficient and add up water pollution; sixth, the distribution of precipitation directly onto the waterway creates the potential to increase water volume thus accelerating floods, especially during rainy season. The condition of rumah, rumah panggung, and rumah susun seems to only contribute one positive impact to the augmentation of environmental quality, which is in terms of filthy water management. The inhabitants of rumah, rumah panggung, and rumah susun distribute filthy water to the waterways and perform routine joint environmental cleaning by cleaning surrounding waterways in order to decrease puddle and garbage pile carried away by tide. Observed from the conditions of rumah, rumah panggung, and rumah susun in contributing positive as well as negative impacts to the environmental qualities, it can be generally said that fishermen's housing conditions tend to downgrade environmental qualities. Research indicates that the conditions of rumah and rumah panggung give four positive effects to the augmentation of socio-cultural qualities of the inhabitants, which are the ability of the house to provide support to the fulfillment of economical activities, to accommodate family development, to support the role of women in child care, and to fulfill the need of privacy achievement of the inhabitants. On the other hand, rumah susun only gives one positive impact to the socio-cultural qualities of the inhabitants, which is the ability of the house to provide support to the economical activities of the inhabitants. rumah, rumah panggung, and rumah susun donates one negative outcome towards the socio-cultural quality of the inhabitants, which is in terms of a tendency to decrease social interaction among society members because the space management of the housing is oriented inward and aimed more to the privacy achievement. Observing the condition of rumah, rumah panggung, and rumah susun in presenting positive and negative impacts for the inhabitants, therefore it can be concluded in general that the condition of Fishermen's housing tends to augment the socio-cultural qualities of the inhabitants. Research and calculations indicate that the conditions of rumah, rumah panggung, and rumah susun give more negative influences rather than positive ones to the quality of the Muara Angke Fisherman Settlement. The existence of fishermen's housing there tends to downgrade the environmental qualities so that it can be said that the Muara Angke Fisherman Settlement is not in continuation. This condition of non-continuance happens due to the efforts to increase socio-cultural qualities of the inhabitants followed by the diminution of environmental qualities. If this condition of quality diminution keep on occurring, in the end, it can jeopardize the inhabitants living and doing activities inside, specially those of future generation. Based on the above explanation. it can be interred that the Muara Angke Fisherman Settlement doesn't show the continuance tendency as it causes environmental quality diminution. Concerning the matter, the suggestions so that the Muara Angke Fisherman Settlement can stay exist are; first, the existence of fishing fishermen in MI Jakarta needs to be followed by the augmentation of fishing technology far more advance so that fishing can be lucrative and promising; second, the ceaseless efforts of the society in dealing with floods needs to be balanced with government intervention in terms of barricading the area; third, the construction design of fisherman housing in the future should be adjusted with the characters of the fisherman society which is based on sub groups according to their methods of living, which are fishing fishermen, facility producers fishermen, fish processing fishermen, and mercantile fishermen; fourth, the establishment of fisherman housing in urban areas has to be able to deal with the problem of land inadequacy, so that the tendency of the settlement type is aimed to rumah susun, and what needs to be noted is the width of the building and the spatial arrangement in order to accommodate the development of socio-cultural conditions of fisherman families.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15257
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Septi Kurniasari
Abstrak :
ABSTRAK
Kaki diabetik merupakan komplikasi yang sangat menakutkan bagi pasien DM karena resiko amputasi yang sangat tinggi. Tujuan Penelitian: menganalisis faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kejadian kaki diabetik. Peuelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan pengumpulan data secara cross sectional. Sampel sebanyak 136 pasien DM yang mempunyai kelainan benluk kaki dan Iuka kaki. Pada penelitian ini pengumpulan data yang digunakan yaitu dengan cara observasi dan kuesioner. Hasil penelitian analisis bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan senam kaki, perawatan kaki, kepatuhan dalam pencegahan Iuka, kontrol gula darah, pengetahuan, dan diet dengan kejadian kaki diabetik. Scdangkan secara analisis multivariat hanya ada 3 variabel yang merupakan faktor paling berkontribusi yaitu senam kaki, kepatuhan dalam pencegahan luka dan pengetahuan. Rekomendasi hasil penelitian ini adalah melakukan konseling secara rutin, klub diabetes, dan rutinitas melakukan senam diabetes.
2007
T22882
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ari Kurniasari
Abstrak :
Tesis ini membahas tentang kebijakan pemerintah Soeharto dalam menanamkan nilai-nilai Pancasila di tingkat Sekolah Menengah Atas pada tahun 1975-1994 melalui mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila, Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), dan PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa). Kebijakan tersebut merupakan implementasi dari tujuan pemerintah dalam melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen. Selain itu juga untuk membentuk generasi muda agar memiliki karakter Pancasila. Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode sejarah yang terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah Soeharto tersebut menuai kritikan dari masyarakat. Kritik diarahkan pada materi pendidikan Pancasila dan PSPB yang diulang-ulang baik pada jenjang dan mata pelajaran yang berbeda. Tahun 1994 pemerintah akhirnya menggabungkan mata pelajaran yang memiliki kajian yang sama sebagai tanggapan atas kritik tersebut.
This thesis discusses the policy during Soeharto's era in instilling the values of Pancasila at the higher secondary school level within 1975-1994 through the subject of Pendidikan Moral Pancasila, the P4 training, and the subject of PSPB. The policy was the implementation of the government's purpose in enforcing Pancasila purely and consistently. In addition, it was meant to develop the young generation to possess the Pancasilacharacters. The methods used in this research were heuristic, critics, interpretation, and historiography. The research result shows that the Soeharto's government's policy triggered criticism from public. The criticism was directed to the materials of Pancasila education and PSPB which were given repeatedly at different levels and subjects. In 1994 the government finally combined the subjects with similar content as the response of the criticism.
Depok: Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
T51980
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asih Kurniasari
Abstrak :
Pesatnya transformasi sektor energi ramah lingkungan membuat fungsi dari sistem penyimpan energi menjadi krusial. Kapasitor lithium-ion (KLI) merupakan sistem penyimpan energi yang melengkapi kekurangan densitas daya pada baterai lithium-ion (BLI) dan densitas energi pada superkapasitor. Karakteristik luas spesifik permukaan (specific surface area, SSA) dan porositas serta properti fisik lain pada karbon aktif sebagai material katoda menentukan kapasitas muatan yang tersimpan pada KLI. Pada penelitian ini, karbon aktif berbahan biomassa tongkol jagung dengan variasi laju alir gas nitrogen (N2) dibuat dan dianalisis untuk mendapatkan karakteristik optimal dan pengaruhnya terhadap performa elektrokimia sel KLI. Proses karbonisasi tongkol jagung (corncob) dilakukan dalam aliran gas Argon (Ar). Aktivasi nitrgoen corncocb activated carbon (NCAC) menggunakan KOH sebagai agen kimia dan pirolisis di suhu 700°C dalam N2 dengan laju alir sebesar 200, 300, dan 400 standard centimeter cubic per minute (sccm). Karakterisasi morfologi melalui scanning electron microscopy (SEM) dan energy dispersive x-ray (EDX) memperlihatkan bahwa ketiga NCAC memiliki sebaran pori berukuran mikro yang merata serta komposisi karbon C di atas 90%. Pengujian Brunauer-Emmett-Teller (BET) menunjukkan sampel aktivasi kering memiliki luas SSA lebih besar daripada aktivasi basah, dimana SSA terbesar terdapat pada NCAC300 (1936 m2/g). Karakterisasi kristalinasi dan vibrasional dengan x-ray diffraction (XRD) dan Raman spectra memperlihatkan struktur ketiga NCAC berupa karbon amorf yang solid, dan NCAC300 memiliki properti fisik kristalit yang paling optimal. Ketiga sampel NCAC dijadikan material aktif katoda dan LTO sebagai material aktif anoda KLI. Analisis properti elektrokimia sel telah dilakukan melalui uji cyclic-voltammetry (CV) dan charge-discharge (CD). Pengujain CV pada scan rate 5, 10, 15, 25, dan 50 mVs-1 menunjukan ketiga sel memiliki kurva quasi-rectangular dengan kapasitansi spesifik terbesar dimiliki oleh KLI-200 pada 5mV/s sebesar 24.22 Fg-1 dan rating terbaik pada scan rate tertinggi dimiliki oleh KLI-400 sebesar 8.27 Fg-1. Kestabilan coulomb dan energi spesifik tertinggi tercapai pada KLI-300 dengan densitas energi 10.791 Wh/kg pada densitas daya 526.39 W/kg. Dari hasil ini, laju gas N2 pada 300 sccm memberikan hasil karakterisasi dan kinerja yang optimal pada karbon aktif tongkol jagung dan KLI.
The rapid transformation of the environmentally friendly energy sector makes the function of energy storage system become crucial. The lithium-ion capacitor (LIC) is energy storage system which complements the gap of lack power density in lithium-ion batteries (LIB) and energy density in super-capacitor. Specific surface area (SSA), porosity, and other physical properties of activated carbon (AC) as cathode materials determine the load capacity stored at LIC. In this study, AC from corncob as biomass with variations flow rate of nitrogen gas (N2) was made and analyzed to obtain characteristic and their effect on the electrochemical performance of LIC. The carbonization process is carried out in the Argon gas (Ar). Activation was prepared using KOH and pyrolisis at 700°C with flow rate of N2 at 200, 300, and 400 standard centi-meter cubic per minute (sccm). Morphological characterization through scanning electron microscopy (SEM) and energy dispersive x-ray (EDX) showed that all NCACs had evenly distributed microporous with carbon C contained in surface area above 90%. The Brunauer-Emmet-Tller (BET) test exposed that dry activation had a greater SSA than wet activation, where the largest SSA is found in NCAC300 (1936m2/g). Characterization of crystallite and vibrational with x-ray diffraction (XRD) and Raman spectra revealed the all samples has solid amorphous carbon, and NCAC300 has the most optimal physical properties of crystallite. The three NCACs and LTO were used as cathode and anode active materials of LIC. Analysis of electrochemical properties of cells has been carried out through cyclic-voltammetry (CV) and charge-discharge test (CD). CV testing on scan rates 5, 10, 15, 25 and 50 mVs-1 show that three cells have quasi-rectangular curves with the largest capacitance owned by LIC-200 at 5mVs-1 at 24.22 Fg-1 and the best rating is owned by LIC-400, amounting to 8.27 Fg-1. The highest coulomb stability and specific energy was reached at LIC-300 with an energy density of 10.79 Whkg-1 at power density of 526.39 Wkg-1. From this result, the N2 at 300 sccm gives the most optimal characterization and performance results on LIC with corncob activated carbon.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
T53496
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Nani Kurniasari
Abstrak :
Krisis di pariwisata Indonesia tidak bisa dihindari, sehingga perlu penanggulangan krisis yang tepat. Penanggulangan krisis di sektor pariwisata tidak hanya berhenti ketika krisis terjadi. Namun, diperlukan juga komunikasi pascakrisis untuk mencegah dan memperbaiki kerusakan reputasi yang terjadi. Penelitian ini mengamati strategi komunikasi pascakrisis yang terjadi di sektor pariwisata Indonesia dengan penerapan teori komunikasi krisis situasional atau Situational Crisis Communication Theory (SCCT) menggunakan pendekatan kualitatif. Melalui penelitian ini, diketahui bahwa Indonesia menangani krisis pariwisata dengan cara resposif melalui lima langkah penanggulangan krisis, yaitu rehabilitasi, rekonstruksi, menyatakan berakhirnya krisis kepada publik, pemulihan citra dan menindaklanjuti informasi sebagai antisipasi krisis di masa depan.
Crisis in Indonesian tourism is inevitable, so need to be conquered in a suitable way. Conquering the crisis in tourism sector don?t just stop when it occurs. But you also need communication post-crisis to prevent and repair the damaged reputation. This study observes post-crisis communication strategy that is happening in Indonesian tourism sector by applying the Situational Crisis Communication Theory (SCCT) with qualitative approach. Through this research, it is known that Indonesia handles the tourism crisis by responsive ways with five steps, which are rehabilitation, reconstruction, stating that crisis is over, image recovery, and following up the information in order to anticipate any crisis in the future.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T41814
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6   >>