Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 40 dokumen yang sesuai dengan query
cover
An`amta Djamhari
"ABSTRAK
Air merupakan salah satu sumberdaya alam yang mempengaruhi kehidupan hajat hidup orang banyak. Air sungai yang letaknya jauh dari aktivitas manusia umumnya tidak mengalami pencemaran, sedang yang dekat dengan aktivitas manusia cenderung mengalami pencemaran. Sungai di Jakarta cenderung mengalami pencemaran sebagai akibat langsung dari pertambahan jumlah penduduk, laju pembangunan, pertambahan jumlah industri dan kegiatan ekonomi. Kondisi tersebut mengakibatkan peningkatan jumlah limbah yang sebagian dibuang ke sungai sehingga berakibat menurunnya kualitas air sungai.
Untuk menanggulangi masalah tersebut pada tahun 1989 Pemerintah DKI Jakarta mencanangkan Program Kali Bersih (Prokasih) yang mengikutsertakan peranserta industri, salah satu sasaran Prokasih di DKI Jakarta adalah Sungai Ciliwung.
Prokasih juga mendapat dukungan dari Gerakan Ciliwung Bersih (GCB) suatu gerakan yang beranggotakan Lembaga Swadaya Masyarakat., perguruan tinggi, swasta dan mahasiswa yang peduli terhadap air bersih oleh karena itu GCB merupakan bagian terpadu dalam Prokasih DKI Jakarta.
Prokasih di DKI Jakarta dinilai berhasil oleh Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup dalam mencapai tujuannya yaitu menurunkan atau mengurangi jumlah zat pencemar yang masuk ke sungai yang ditargetkan dalam Prokasih. Keberhasilan tersebut salah satunya berkat adanya peran serta industri sebagai peserta Prokasih.
Tesis ini bertujuan meneliti tentang hasil pera serta industri dalam Prokasih di DAS Ciliwung DKI Jakarta, tingkat peranserta, masalah pokok yang mempengaruhi tingkat peranserta serta perbedaan peranserta dan perbedaan masalah yang mempengaruhi tingkat peranserta antara industri dengan kategori PMA, PMDN dan Non-Fasilitas.
Peranserta industri yang diteliti dibatasi pada keikutsertaan industri dalam : (1) penurunan kadar BOD, COD, SS dan pH air,(2) pemantauan proses produksi dan limbah yang dihasilkan, (3) pendidikan dan penyuluhan bagi karyawan di bidang lingkungan,(4) penghijauan di sekitar lokasi pabrik.
Penelitian menggunakan metode survai dengan alat bantu kuesioner, jumlah industri yang disurvai direncanakan 75% dari seluruh peserta Prokasih tahun 1989 dan 1990 yang seluruhnya berjumlah 53 industri.
Berdasarkan penelitian awal jumlah industri yang menghasilkan limbah cair hanya 38 buah, sehingga jumlah sampel ditetapkan 27 buah industri yang dikelompokan berdasarkan kategori perusahaan: Penanaman Modal Asing (PMA) 6 buah, Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) 16 buah dan Non Fasilitas 5 buah. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara acak distratifikasi (stratified random sampling).
Hasil peranserta perusahaan industri dalam Prokasih selama dua tahun, pada penelitian ini dibagi menjadi 4 bidang yaitu :(1) Untuk menurunkan SOD, COD, SS dan pH air, telah dibangun Unit Pengolahan Limbah sebanyak 26 buah atau 96,3% dari seluruh responden, (2) Pemantauan proses produksi dan limbah yang dibasilkan telah dilakukan oleh 88,8% dari seluruh industri yang disurvai, (3) Pendidikan dan penyuluhan bagi karyawan di bidang lingkungan, telah dilakukan oleh semua industri, (4) Penghijauan di sekitar lokasi pabrik dilakukan oleh hampir semua industri, satu industri tidak melaksanakan karena tidak tersedianya lahan.
Hasil penelitian menunjukkan 22,2 % dari seluruh industri tingkat peransertanya tinggi, 70,4 % industri tingkat peransertanya sedang dan 7,4 % tingkat peransertanya rendah. Kondisi peranserta perusahaan industri tersebut dapat dinilai cukup baik.
Dari penelitian terungkap bahwa tidak terdapat hubungan yang kuat antara tingkat peranserta dengan kategori perusahaan (PMA, PMDN dan Non-Fasilitas). Hal ini ditunjukkan dengan angka tingkat hubungan yaitu r = 0,31 atau sangat lemah. Juga tidak terdapat perbedaan tingkat peranserta antara PMA, PMDN dan Non-Fasilitas yang ditunjukkan dengan Khi Kuadrat hitung < dari Khi Kuadrat tabel (X 2 (0,05) 4= 2,472 < 9,488)
Masalah pokok yang mempengaruhi tingkat peranserta tidak dapat terungkap secara jelas, namun jumlah industri yang merasa ada masalah dalam melaksanakan kegiatan Prokasih adalah sebagai berikut: (1) Kesulitan dalam cara penurunan HOD, COD, SS dan pH air dialami satu industri, (2) Masalah pemilihan teknologi yang tepat dan ekonomis dalam pemantauan proses produksi dan limbah yang dihasilkan dialami 7 industri, (3) Pendidikan dan penyuluhan bagi karyawan di bidang lingkungan tidak ada masalah, (4) Dalam penghijauan di sekitar pabrik ada 15 industri mengalami kesulitan diantaranya dalam penyediaan lahan, perawatan dan pemilihan jenis pohon.
Untuk tingkat peranserta sedang dan tinggi terdapat perbedaan jumlah perusahaan industri dengan status PMA, PMDN dan Non-Fasilitas, sedangkan pada tingkat peranserta rendah tidak terjadi perbedaan jumlah karena seluruhnya PMDN.
Ada perbedaan banyaknya masalah dan permasalahan yang dihadapi oleh industri dengan kategori perusahaan PMA, PMDN dan Non-Fasilitas.

ABSTRACT
Water is one of the natural resources influencing the lives of many people. The river water one located far away from people's activities usually is not so much polluted, but those located near them is. Rivers in Jakarta mostly directly polluted as a direct impact of rapid population growth, development effort, an increasing number of industries and economic activities. This condition resulting in the increase of the amount of waste with partially dumped into the rivers which causes the decrease of the quality of the river water.
To overcome this problem, the Government of the Capital City of Jakarta at 1989 has launched redundant Program Kali Bersih or Clean River Program, includes the participation of industrial, one of the purpose DKI Jakarta's Prokasih is Ciliwung river..
Prokasih is also supported by Gerakan Ciliwung Bersib (GCB) a movement whose members are Non Government Organization, colleges, private sector, student who care about clean water, therefore GCB is an integrated part in DKI Jakarta 's Prokasih﷓
The Prokasih program of the Jakarta special province considered as a success by the Minister of State for Population and the Environment, in achieving the target, though the decrease and in reducing the total amount of pollutant dumped into the rivers, as it has been targeted in Prokasih. The success has been achieved particularly because of the participations industrial in this program.
This thesis was written to analyze the results of the industrial participation in the program in DAS Ciliwung DKI Jakarta, the rates of participation and the primary issues facing the companies which influence the rate of participation among the 3 categories: Foreign Investment, Domestic Investment and Non-Facilitated.
The industrial participation is observed limited to their participations in implementing: (1) The decrease in the amount of 9OD, COD, SS and the pH of the water, (2) The monitoring of production process and the waste production, (3) The education and counseling on environmental science for employees, (4) The a forestation program around the plant area.
The study has required the survey method using questionnaires. The total industrial plants observed covered about 75* of all 1989 and 1990 Prokasih program participants the totality 53 industries.
From 38 industries producing liquid waste according to the pre-study, only 27 industries were observed as samples within 3 categories: 6 Foreign Investments, 16 Domestic Investments and 5 Non-Facilitated. Sample was chosen using the stratified random sampling.
The results of the participation in Prokasih program in 27year time, in this study the provided 4: (1) There are 26 or 96,3% of all respondents have waste treatment plants to decrease BOD, COD, 5S and the pH of the water, (2) The monitoring of production process and the waste produced have been done by 80,8* of all surveyed industrial companies, (3) Education and counseling of environmental science for the employees has been done by all surveyed industrial companies, (4) The a forestation program around the plant area has been done by all participants, only one has not done it because of the lack of space.
Considering that 22,2* of all companies categorized good participation, 70,4* of all companies are categorized having average and 7,4* categorized lower participation. The participation condition companies in the Prokasih program have proven a success.
From the study it is understood that there is no correlation between the rate of participation and the company's category. This is proven by the weak correlation, r = 0.31. The differences in the rate of participation among those companies are not proven, since the value of the computed Khi Square is less than the value found in the Khi Square table.
The primary issues which influence the rate of participation cannot be found clearly, however, some companies feel that problems facing them subjectively in Prokasih program are: (I) The difficulties to decrease system BCD, COD, SS and pH of the water was felt by one industrial, (2) The problem in choosing the right technology and economically on monitoring the production process and the waste produced was felt by 7 industries, (3) All participants had no problem in education and counseling on environmental science for the employees, (4) The difficulty in a forestation around the plant area was felt by 15 industries such as in space supply, maintenance and choice of trees.
Foreign Investment, Domestic Investment and Non-Facilitated showed differences in the rate of participation (good and average), while for poor participation there was no differences since all were Domestic Investment.
There are differences in the number variety of problems facing those companies within each category.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lewoleba, Gregorius Goran
"Interaksi antara manusia dengan lingkungan pada hakekatnya berkembang sebagai perwujudan tanggapan aktif manusia terhadap tantangan yang dihadapi dalam suatu ekosistem. Dengan pegetahuan kebudayaan yang dimilikinya, manusia berusaha melihat, memahami, memilah-milahkan gejala untuk kemudian merencanakan tindakan dan menentukan sikap dalam beradaptasi terhadap lingkungannya dengan mengembangkan strategi yang dianggap effektif.
Upaya pemenuhan kebutuhan manusia untuk mempertahankan hidupnya senantiasa ditempuh dengan berbagai macam cara antara lain melalui kegiatan pertanian. Aktivitas manusia dalam bidang pertanian tidak lain merupakan pencerminan interaksi antara lingkungan dengan kemampuan manusia untuk mengubah dan mentransfer energi yang diperlukan dalam hidupnya. Meskipun demikian, hal ini tergantung dari kondisi ekosistem yang memberi peluang bagi usaha manusia untuk mempertahankan hidupnya, di samping pemahaman penduduk tentang lingkungannya.
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Amarasi Kabupaten Kupang Propinsi Nusa Tenggara Timur dengan mengambil 120 Kepala Keluarga (KK) sebagai responden yang dipilih secara random pada 3 buah desa yang ditentukan secara purposive. Metodologi yang digunakan adalah Deskriptif Kualitatif, dengan teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara terpimpin, wawancara mendalam dan studi kepustakaan, serta pengamatan terlibat.
Dengan memperhatikan latar belakang lingkungan dan masyarakatnyat maka timbul pertanyaan bagaimana penduduk setempat bertahan hidup di lingkungan yang mempunyai kondisi fisik yang "kurang menguntungkan", apabila dilihat dari mata pencaharian mereka, khususnya dalam bercocok tanam. Lebih lanjut hal itu menunjukan bahwa betapapun "kerasnya" kondisi lingkungan penduduk setempat ternyata masyarakat dapat mengelola sumberdaya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai perwujudan adaptasi aktif mereka. Oleh karena itu timbul pertanyaan lebih lanjut bagaimana masyarakat petani memahami lingkungannya ? Bagaimana mereka sampai pada keputusan beradaptasi terhadap lingkungannya dan bertahan hidup dalam kondisi fisik yang kurang mengunungkan, dengan mengembangkan pencaharian utama bercocok tanam ?
Secara umum penelitian ini dimaksud untuk memperoleh pengertian bagaimana ekosistem dan kebudayaan mempengaruhi pilihan strategi adaptasi penduduk di lingkungan savana. Lebih lanjut penelitian ini secara khusus bertujuan :
1) Untuk mengetahui pengaruh penggunaan teknologi terhadap kemampuan adaptasi masyarakat petani.
2) Untuk mengetahui pengaruh tingkat sosial petani terhadap kemampuan beradaptasi.
3) Untuk mengetahui pengaruh tingkat kebutuhan hidup masyarakat petani terhadap kemampuan beradaptasi.
4) Untuk mengetahui pengaruh tingkat pendidikan masyarakat petani terhadap kemampuan beradaptasi.
5) Untuk mengetahui pengaruh orientasi pasar masyarakat terhadap kemampuan beradaptasi
6) Untuk mengetahui pengaruh orientasi kerja masyarakat petani terhadap kemampuan beradaptasi.
7) Untuk mengetahui strategi adaptasi yang paling relevan agar dapat meningkatkan taraf hidup dengan tetap menjaga keseimbangan dan stabilitas ekosistem savana.
8) Untuk mengetahui pengaruh lingkungan dalam menentukan strategi adaptasi.
Sebagai implikasi dari keadaan lingkungan alam yang kurang menguntungkan, maka masyarakat petani di Kecamatan Amarasi menentukan strategi tindakan untuk beradaptasi dengan lingkungannya melalui kegiatan usaha tani terpadu di atas lahan kering. Bentuk kegiatan (dalam pengertian luas) yang dominan adalah perladangan berpindah dengan sistem tebas bakar dan penggembalaan ternak dengan sistem lepas liar.
Sebagai akibat dari bentuk kegiatan pertanian seperti tersebut di atas, maka semakin memperbesar areal lahan kritis dalam ekosistem savana yang pada gilirannya menjadi faktor menyebab proses perusakan lingkungan.
Akan tetapi berdasarkan hasil pengalaman yang diwarisi secara turun temurun dari para pendahulunya, masyarakat petani di Kecamatan Amarasi dapat bertahan hidup dalam ekosistem savana yang demikian itu. Hal ini disebabkan karena masyarakat petani memiliki "kearifan lingkungan" untuk menetapkan strategi beradaptasi, baik adaptasi secara ekonomis maupun adaptasi secara ekologis.
Adaptasi ekologis yang cukup efektif dan masih relevan dilakukan oleh masyarakat petani di Kecamatan Amarasi adalah sistem lamtoronisasi.
Dalam penelitian ini ditemukan bahwa kemampuan masyarakat petani beradaptasi terhadap ekosistem savana dipengaruhi oleh cultural core (inti kebudayaan) yang meliputi aspek sosial budaya, sosial ekonomi dan penguasaan teknologi yang dijabarkan ke dalam beberapa variabel yaitu orientasi kerja, kebutuhan hidup dan orientasi pasar. Sedangkan variabel yang tidak mempunyai hubungan pengaruh dengan kemampuan beradaptasi dari masyarakat petani adalah status sosial, tingkat pendidikan dan tingkat penguasaan teknologi.

Interaction among humans with their environment is basically progressing as a manifestation of active responses against challenges met in any ecosystem. With their cultural knowledge, humans try to see, understand and identify symptoms, plan their actions and determines attitudes in adapting to the environment by developing strategies, which are supposed to be effective.
Efforts to fulfill human necessities in order to survive are always achieved through various ways such as through agriculture represent reflection of interactions between environmental condition and human ability to modify natural resources and transferring them into energy they need yet; this depends on the ecosystem condition that gives opportunity for humans to survive, beside people is understanding about their environment.
This research is carried out in the Sub-District of Amarasi, District of Kupang, East Nusa Tenggara; using 120 heads of household (K<) as respondents, purposively selected by random sampling from villages.
Methodological approach used is descriptive qualitative, where data collection was conducted with the help of guided interviews and depth interview, supported by Library Studies, and participant observation.
Taking the background of environment into consideration, there is question as to how the local inhabitants in the ecosystem could survive in the ecosystem that has physical condition, which is less profitable seen from their way of living, especially in cultivation. It was also indicated how hard the local ecosystem condition might be. In reality the inhabitants are able to manage the available resources to fulfill their necessities as a manifestation of their active adaptation. Further questions are how the peasant community perceives their ecosystem and how they arrive on a decision to adapt to their ecosystem and survive in a natural condition, which is less profitable, by developing cultivation as the main economic activity. This research is meant to study how ecosystem and cultural affects community strategic adaptation alternative in a savanna ecosystem.
Further, this research is especially supposed
1) To know the influence of technology application on the adaptation ability of the peasant community.
2) To know the influence of life necessities standard of the peasant community on their adaptation ability.
3) To know the influence of education level of the peasant community on their adaptation ability.
4) To know the influence of social status of the peasant community on their adaptation ability.
5) To know the influence of market orientation of the peasant community on their adaptation ability.
6) To know the influence of work orientation of the peasant community on their adaptation ability.
7) To know the strategic adaptation which is most relevant in order to obtain living standard increase by keeping the harmony and stability of the savanna ecosystem.
8) To know the influence of environment in deciding strategic adaptation.
As implication of the condition of the natural ecosystem, which is less profitable, the peasant community in the Sub-District of Amarasi determine their strategic adaptation to their environment by way of integrated cultivation activity on the dry fields. The dominant cultivation activities (in broad meaning) are slash and burn shifting cultivation system and natural animal (wildlife) pastoral system.
As result from such kind of activities, critical areas are extending, causing environmental deteriorations.
But, based on experiences, which are inherited form, their ancestors, from generation to generation the peasant community in the Sub-District of Amarasi has been able to survive in the savanna ecosystem. This is due to the fact that the peasant community have "environmental wisdom" to determine strategic adaptation, either economic or ecologic. Ecologic adaptation, which is still effective and relevant that performed by the peasant community in .the Sub-District of Amarasi is "Lamtoro cultivation system". In this research it was found that the peasant community's ability in adapting themselves to the savanna ecosystem is being affected by their cultural core that cover their cultural, social, and economic aspects, and their technological mastery that are formulated in some variables i.e. work orientation, life necessities and market orientation. Whereas variables that have no influences on the adaptation ability of the peasant community are social status, educational level and technological mastery.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Anggun Paramita Djati
"Leptospirosis adalah penyakit berbasis lingkungan yang masih belum menjadi prioritas upaya pengendalian penyakit. Masalah dalam penelitian ini yaitu distribusi leptospirosis berdasarkan habitat dan relung ekologi yang sesuai berbasis ekososial dengan pendekatan ilmu lingkungan belum banyak diketahui. Penelitian bertujuan untuk mengembangkan model prediksi kejadian leptospirosis menurut relung ekologis berbasis ekososial. Penelitian dilakukan tahun 2019- 2020. Data time-series (2008-2018) di Demak, Boyolali, Kota Semarang, dan Ponorogo meliputi titik koordinat penderita dan variabel lingkungan alam, sosial, dan binaan, dilengkapi hasil wawancara dan Focus Group Discussion (FGD). Metode yang digunakan yaitu Pemodelan Relung Ekologis dan Analisis Jaringan Sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum kerapatan vegetasi berkontribusi paling besar terhadap semua model prediksi. Faktor lingkungan lain yang berkontribusi yaitu kepadatan penduduk dan tata guna lahan. Kesimpulan penelitian ini yaitu pemodelan relung ekologis yang dikombinasi dengan analisis jaringan sosial dapat memprediksi sebaran leptospirosis. Prediksi ini dapat digunakan sebagai dasar penentuan intervensi disesuaikan kearifan lokal daerah.

Leptospirosis is an environmental-based disease that has not yet become a priority in disease control efforts. The problem in this study namely the distribution of leptospirosis based on habitat and ecological linkages in accordance with the environmental science approach, is not widely known. This study aimed to develop a predictive model for the incidence of leptospirosis according to ecosocial based ecological niches. The research was conducted in 2019-2020. Time-series data (2008-2018) in Demak, Boyolali, Semarang City, and Ponorogo included the coordinates of sufferers and variables of the natural, social, and built environment, complemented by the results of interviews and Focus Group Discussions (FGD). The methods used were Ecological Niche Modeling and Social Network Analysis. The results showed that in general the density grew the largest for all predictive models. Other environmental factors were population density and land use. The conclusion of this study was that ecological niche modeling combined with social network analysis can predict the distribution of leptospirosis. This prediction could be used as a basis for determining the choice of local wisdom."
Jakarta: Sekolah Ilmu Lingkungan Univeristas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nizhar Marizi
"Dengan intensitas perkembangan yang tinggi, salah satu masalah yang dihadapi DKI Jakarta saat ini adalah perubahan pemanfaatan ruang yang tidak terkendali. Kawasan Kemang di Jakarta Selatan adalah kawasan yang diarahkan sebagai kawasan perumahan pada dokumen Rencana Tata Ruang. Namun pada kenyataannya, kini pola kegiatan pemanfaatan ruang di kawasan tersebut semakin bergeser menuju ke arah yang lebih komersial.
Perubahan pemanfaatan ruang ini meningkatkan intensitas kegiatan dan berdampak pada menurunnya tingkat pelayanan prasarana pendukung yang pada awalnya ditujukan untuk pelayanan perumahan. Berbagai kegiatan yang berlangsung di wilayah penelitian berlangsung di luar asumsi perencanaan sehingga dampak Lingkungan akibat berubahnya pemanfaatan ruang ditelusuri berdasarkan fenomena yang terjadi dengan adanya perubahan tersebut. Dampak pada Lingkungan fisik yaitu kemacetan lalu lintas, meningkatnya limbah padat dan cair, dan kebisingan. Selain itu, secara sadar pelaku usaha juga menggunakan fasilitas umum untuk kepentingan usahanya (free riders). Dampak pada Lingkungan sosial ekonomi adalah terjadinya konflik sosial, meningkatnya kesempatan kerja masyarakat dan penerimaan pemerintah dan pajak dan retribusi.
Untuk mengakomodasi munculnya kegiatan-kegiatan usaha di kawasan ini, dengan tetap mempertahankan peruntukan utama Kawasan Kemang sebagai kawasan perumahan, Pemerintah DKI memberlakukan Kawasan Kemang sebagai Kampung Modern, yaitu kawasan permukiman yang terintegrasi dengan kegiatan usaha yang ada, agar kawasan permukiman tersebut mampu untuk memenuhi kebutuhan penghuninya sendiri. Akan tetapi, sampai saat ini masih banyak kegiatan usaha yang kelengkapan izinnya belum memenuhi syarat, masih bermunculannya tempat-tempat usaha Baru, dan masih adanya kegiatan usaha yang berlokasi di Luar kawasan yang diperbolehkan. Hal ini secara langsung melanggar peraturan hasil penyesuaian tersebut. Untuk mengatasi permasalahan tersebut sangat dibutuhkan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif dan dapat diandalkan. Mengingat sudah banyaknya dokumen yang mengatur pemanfaatan ruang di Kawasan Kemang, maka masalah yang diangkat dalam penelitian ini menyangkut keefektifan institusi yang terkait dengan pengendalian pemanfaatan ruang di Kawasan Kemang.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan evaluasi formatif pada keefektifan produk dan proses pengendalian pemanfaatan ruang di Kawasan Kemang. Kriteria utama yang digunakan dalam evaluasi adalah kriteria keefektifan yang berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil yang diharapkan atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan. Penelitian dilaksanakan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan by product dan pendekatan by process. Pendekatan by product menilai keefektifan kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang melalui evaluasi keefektifan produk yang mengatur pemanfaatan ruang, dan pendekatan by process, menilai keefektifan institusi yang terkait dengan pengendalian pemanfaatan ruang dengan menganalisis proses dan prosedur pengendalian pemanfaatan ruang yang dijalankan oleh institusi tersebut.
Dari sisi produk, pengendalian pemanfaatan ruang di Kawasan Kemang dikatakan efektif, jika ketiga indikator yaitu pemanfaatan lahan, kegiatan penunjang perumahan, dan pemanfaatan ruang di lokasi yang diizinkan dapat dipenuhi. Dari sisi proses, pengendalian pemanfaatan ruang di Kawasan Kemang dikatakan efektif, jika keenam indikator yaitu proses pelayanan IMB, proses pelayanan IPB, proses pelayanan izin UUG, proses pelayanan SKM, pelaksanaan tugas dan wewenang pengawasan, serta pelaksanaan tugas dan wewenang penertiban dapat dipenuhi.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa institusi yang terkait dengan pengendalian pemanfaatan ruang di Kemang belum efektif. Untuk penyempurnaan kinerja institusi terkait dengan pengendalian pemanfaatan ruang Kawasan Kemang, maka perlu dilakukan upaya untuk: 1) Melaksanakan up-grading atau peningkatan kualitas (capacity building) aparat institusi, terutama dalam hal pengaktifan monitoring dan pencegahan dampak; 2) Melakukan pemantauan, pendataan, dan pelaporan atas kegiatan pemanfaatan ruang secara menyeluruh dan periodik/rutin untuk mendapatkan basis data dalam melaksanakan pengendalian pemanfaatan ruang; 3) Melakukan penajaman tugas pokok dan fungsi institusi yang terkait atau mengupayakan dibentuknya tim khusus yang secara formal berada dalam struktur kepemerintahan daerah dan resmi berwenang.

With its high intensity development, Jakarta is currently faced with the problem of uncontrolled change of spatial use. South Jakarta's Kemang is an area determined by the city Spatial Planning document for housing. However, facts show that the area had gradually been used for more commercial purposes.
The change in spatial use has resulted in higher level of activities and consequently lower level of service of the supporting facilities initially planned for residences. Various activities in the research area took place beyond what had been settled. Therefore, the environmental impacts due to the change of spatial use in Kemang were measured based on the phenomena resulting from such change. Impacts on the physical environment included traffic jams, increased volume of solid and liquid waste and higher level of noise disturbance. Business owners consciously acted as free riders by intentionally making use of public facilities. Impacts on socio-economic conditions were social conflicts, more employment opportunities for residents in the area and increased government revenues from taxes and levies.
In order to make room for new businesses in Kemang while maintaining its status as a residential area, Jakarta city administration has determined the area as a Kampung Modern (Modem Village), i.e. an area integrated with existing business activities to enable it to meet the needs of its residents. However, there are still many businesses with no proper business licenses, and new ones keep springing up despite the fact that these violate the revised city regulation. People have even set up their businesses outside permitted zones. To solve this problem, it is crucial to have effective and reliable control measures regarding the area spatial use. Since there are already many documents concerning spatial use in Kemang, this research focused on the effectiveness of institutions related to spatial use control in the area.
Using formative evaluation approach, the research assessed the effectiveness of the products and spatial use control in Kemang. The key criterion used was effectiveness. It had to do with whether an alternative had achieved the expected result or had reached the target of the action. By product and by process approaches were used. The by product approach measured the effectiveness of spatial use control by evaluating the product controlling spatial use in Kemang while the by process approach reviewed the effectiveness of institutions dealing with spatial use by analyzing the process and procedure of spatial use control implemented by these institutions.
In terms of product, spatial use control in Kemang would be considered to have been effective when the following three indicators, i.e. land use, housing supporting activities and spatial use in permitted locations had been in place. In terms of process, such control would be effective when six indicators such as building construction permit, building use permit, nuisance law permit and construction certificate applications as well as monitoring and control duties and responsibilities had been properly in place.
It can be concluded from the research results that the institutions dealing with spatial use control in Kemang had not been performing effectively. Improving the performance of institutions concerned with spatial use control in Kemang calls for: 1) Upgrading or building the capacity of the institutions' officers, particularly in monitoring implementation and impact prevention; 2) Monitoring, collecting data and preparing comprehensive and periodic/routine reports of spatial use activities to develop a database to support spatial use monitoring and controlling; 3) Enhancing related institutions' key responsibilities and functions with one institution authorized to monitor the implementation, or establishing a special team which will be within the formal regional government structure and given the official authority to perform spatial use control.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15148
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Davis, Mackenzie Leo, 1941-
New York: McGraw-Hill, 2014
628 DAV p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sudjoko
"Keberadaan manusia di alam, baik segi fisik maupun mentalnya, memiliki potensi sebagai penyebab perubahan lingkungan. Perilaku manusia, yang berdampak pada perubahan-perubahan lingkungan, sangat ditentukan oleh kondisi mental, yakni etika lingkungan.
Menurut Alois A Nugroho, dasar-dasar pertimbangan untuk etika lingkungan ada lima kategori, yaitu : (1) egoisme etis, (2) humanisme, (3) vitalisme, (4) altruisme planeter subtipe tak holistik, dan (6) altuistue planeter subtipe holistik. Lima kategori ini merupakan etika yang berjenjang, karena dari satu etika ke etika yang lain merupakan perluasan-perluasannya. Selanjutnya, lima kategori yang merupakan dasar pertimbangan untuk etika lingkungan itu dalam tesis ini diangkat sebagai tipe etika lingkungan.
Pembentukan etika lingkungan pada diri orang per orang dapat didekati dari pendekatan ekologik dan teologik. Peranan pendekatan ekologik adalah memberikan pengetahuan tentang konsep, teori, prinsip, dan hukum-hukum ekologi (kognitif) yang kemudian diharapkan mampu diinternalisasi sampai kepada tingkat kesadaran lingkungan, sehingga mampu pula membawa ke arah pembentukan nilai-nilai dan etika lingkungan (afektif). Sedangkan pendekatan teologik lebih menekankan kepada tanggung jawab manusia terhadap alam, sebagai yang diajarkan oleh kitab suci setiap agama, karena konsep etika juga menyangkut tentang tanggung jawab.
Isu tentang kerusakan lingkungan telah menjadi salah satu kekhawatiran yang muncul sebagai dampak negatip dalam.rangka pembangunan dan modernisasi masyarakat, dan negara kita adalah salah satu di antara negara yang tengah giat melaksanakan pembangunan dan modernisasi itu. Sementara itu Mahasiswa merupakan calon-calon pemimpin masyarakat yang di kemudian hari, pada masa mereka menduduki jabatan tertentu di masyarakat, kondisi mentalnya yang berupa etika lingkungan merupakan salah satu bekal yang amat penting dalam menentukan peranan manusia/masyarakat terhadap lingkungannya. Oleh sebab itu, sebagai pemimpin masyarakat nanti, mulai sekarang mahasiswa harus dibekali dengan etika lingkungan yang luhur, agar setiap keputusan dan parilakunya, baik yang menyangkut diri sendiri maupun koinunitasnya di dalam proses pembangunan, selalu mengacu kepada keseimbangan ekosistem/lingkungan.
Yogyakarta sebagai kota pendidikan, yang telah terkenal sejak lama, memiliki daya tarik bagi lulusan SMTA dari sekitarnya dan bahkan dari seluruh penjuru Indonesia, untuk memperoleh pendidikan tinggi pada PTN maupun PTS di kota ini. Setelah menyelesaikan studinya mereka akan kembali ke daerah asal ataupun menyebar ke daerah lain.
Karena itu, dengan mengetahui tipe etika lingkungan mahasiswa Yogyakarta merupakan hal yang penting dalam pembinaan generasi muda pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya.
Untuk mengetahui tipe etika lingkungan mahasiswa Yogyakarta dilakukan penelitian terhadap mahasiswa Yogyakarta yang menempuh pendidikannya pada PTN dan PTS yang berdomisili di Daerah Istimewa Yogyakarta. Tipe etika lingkungan dalam penelitian ini diungkap melalui gagasan sikap atau perilaku yang akan diambil atau dilakukan oleh responden jika seandainya menghadapi persoalan lingkungan, sehingga lebih tepat bila dinyatakan sebagai ide tentang etika mengenai lingkungan. Dengan dipandu oleh kajian pustaka bahwa psmbentukan etika lingkungan dapat didekati dari pendekatan ekologi dan teologi, maka diduga bahwa ketaatan terhadap agama yang dianut oleh mahasiswa dan keterlibatan dalam organisasi pecinta alam (OPA) akan memberikan warna pada etika lingkungan yang dimilikinya. Karena itu, ketaatan beragama dan keterlibatan dalam kegiatan OPA didudukkan sebagai variabel bebas, sedangkan ide tentang etika mengenai lingkungan merupakan variabel tergantung.
Pengambilan data penelitian dilakukan dengan teknik wawancara terhadap sampel sebanyak 300 orang mahasiswa yang ditetapkan dengan teknik kuota. Pengambilan sampel dengan teknik kuota ini semata-mata hanya didasarkan kepada keterbatasan biaya penelitian yang pengambilan datanya dengan teknik wawancara. Hasil penelitian yang dianalisis dengan deskriptif dan chi-kuadrat sampel tak berpasangan, menunjukkan bahwa: (1) ide tentang etika mengenai lingkungan mahasiswa Yogyakarta cenderung bertipe etika vitalisme, (2) ada kecenderungan ide tentang etika mengenai lingkungan ke arah tipe etika yang lebih rendah untuk masalah lingkungan yang menyangkut langsung kehidupan sehari-hari, (3) ide tentang etika mengenai lingkungan mempunyai ketergantungan dengan tingkat ketaatan beragama, dan (4) ide tentang etika mengenai lingkungan tidak mempunyai ketergantungan dengan tingkat keterlibatan dalam OPA.
Pembahasan hasil penelitian, dengan menghubungkan dengan berbagai pendapat/teori, menyatakan bahwa ide tentang etika mengenai lingkungan mahasiswa Yogyakarta masih diwarnai oleh pengetahuan yang bersifat umum yang sering diekspose dalam media massa, Di samping itu, dalam hubungan dengan ketaatan beragama, dapat ditafsirkan bahwa penghayatan agama telah mampu memberikan sumbangan dalam pembentukan etika lingkungan: sedangkan jika dihubungkan dengan keterlibatan pada OPA, kegiatannya belum mampu memberikan sumbangan pada pembentukan etika lingkungan. Kegiatan OPA mahasiswa masih banyak diwarnai oleh Kode Etik Pecinta Alam Indonesia yang butir-butirnya masih menunjukkan kecenderungan pada pandangan antroposentrik. Oleh sebab itu, disarankan perlu dilakukan peninjauan kembali terhadap kode etik tersebut untuk perumusan kembali dengan menyesuaikan kepada konsepkonsep baru ilmu lingkungan.

Human potentialities, both seen from the physical and the mental aspects, determine environmental changes. Human behavior toward nature, which affects environmental changes, depends on their mental condition that is their environmental ethics.
Alois A. Nugroho stated that the basis of environmental ethics can be classified in to five categories, i.e.: (1) Egoism Ethics, (2) Humanism, (3) Vitalism, (4) Planetary Altruism subtype Non-holistic, and (5) Planetary Altruism subtype Holistic. The five categories are structurally hierarchical, because the upper level categories are improving continuously from the lower levels. In this research, the five categories which is considered as the environmental ethics are being adopted as types of environmental ethics.
The formation of individual environmental ethics in man can be seen from two kinds of approach, e.g. ecological approach and theological approach. The goals of ecological approach are to give the knowledge, as well as concepts, theories, principles, and laws of ecology and environmental sciences. By way of internalization, hopefully, the knowledge will motivate the development of environmental awareness. Since ethics always related to responsibility, theological approach can be used to develop ethics, because many religions, through the Holy Scriptures such as Koran and Bible, emphasize on the responsibility of man to the nature.
Nowadays, issues of environment deterioration have been taking place seriously. We are concerned about environmental deterioration more seriously in the development and modernization processes of the nation. Whereas the youth, especially students of tertiary education will be leaders of their society in the future. Indonesian leaders have important role in social changes of their society. They are social and innovation agents as much as motivators of the social changes. Therefore, as social agents or leaders in the future, students of tertiary education must be provided with environmental ethics from now on, in order to be able to exercise right justification for themselves, or their community and to maintain the stability of their ecosystem and environment.
Yogyakarta has been famous as students city. It attracts not only youths graduated from SMTA (Senior High School) from the nearly districts or cities, but also other regions of Indonesia. They come to Yogyakarta in order to continue their studies at the State-owned or Private Universities. After graduating from the tertiary education, most of them will go back to their homesteads or scattered in other regions of Indonesia. With regard to that, introduction of environment ethics as earlier as possible and continuously, seems very important.
The objective of this research is to identify the types of environment ethics of students in several State-owned and Private Universities in the Daerah Istimewa Yogyakarta. The types of environmental ethics in this research will be represented by conceptual attitude or behavior of the students in facing environmental problems, which in this case are identical to their environmental ethics. According to several theories, ecological and theological approach can be used as tools to develop environmental ethics; it is estimated that the degree of environmental ethics of the students is in line with their religiousness, activities or involvement in the Organisasi Pecinta Alam (OPA = Nature Lovers organization). Hence, both the degree of religiousness and the involvement in the OPA are regarded as independent variables in this research, and the ideas on environmental ethics as dependent variable.
Data of this research were collected from 300 respondents by way of interviews, using quota sampling technique. method of sampling were adopted due to lack of financial support. Descriptive analysis has been carried out based on statistical chi-suare contingency tables, indicating that: (1) ideas of environmental ethics of the students in Yogyakarta tend to vitalism ethics, (2) there are tendencies that the level of the students, ideas of environmental ethics tend to become lower in the daily life affairs, (3) there's dependency between the degree of religiousness and the ideas of environmental ethics, and (4) there's no dependency between the degree of students involving in OPA and the ideas of environmental ethics.
Evaluation of data based on existing knowledge and theories indicates that the ideas of environmental ethics were determined by popular knowledge, which is commonly exposed in mass-medias. While it is true that there is dependency between the degree of religiousness and their ideas of environmental ethics, it does not represent the degree of involvement in the OPA. It seems that the activities of OPA refer to the Ethic Codes of the national OPA, which is mainly dominated by anthropocentric ethics or ideas.
Therefore, I propose to re-examine these ethics codes in terms of their reformulation or adaptation to the latest concepts in environmental science."
Depok: Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adri Waani
"ABSTRAK
Penelitian ini bertolak dari keinginan peneliti untuk menguji secara empirik tentang hubungan sebab akibat perubahan kondisi udara. Perlunya mengkaji perubahan kondisi udara karena seakan-akan terdapat ketidaksesuaian antara teori dan fakta serta terdapatnya perbedaan pendapat di kalangan beberapa ahli.
Secara khusus, penelitian ini bertujuan menganalisis terjadinya perbedaan kondisi udara akibat aktivitas manusia dalam penggunaan tanah (pertanian, permukiman dan hutan).Lokasi penelitian Daerah Aliran Ci Liwung Hulu yang meliputi 27 lokasi pengamatan. Sampel penelitian secara random diambil 6 unit lokasi dengan mengumpul data tentang radiasi netto-albedo permukaan, konsentrasi CO2-O2, suhu udara dan kelembaban nisbi udara. Hipotesis yang hendak diuji ialah terjadi perubahan kondisi udara apabila terjadi perubahan penggunaan tanah dari hutan menjadi pertanian, hutan menjadi permukiman dan pertanian menjadi permukian.
Pengujian hipotesis dilakukan dengan menganalisis beda rataan masing-masing komponen kondisi udara menurut kawasan penggunaan tanah, menggunakan uji t pada taraf signifikansi tertentu.
Perubahan-perubahan kondisi udara yang terjadi di Daerah A1iran Ci Liwung Hulu diperoleh dari adanya perbedaan-perbedaan herikut ini: (1) rataan suhu udara kawasan hutan (23,1 °C), kawasan pertanian (24,7 °C), dan kawasan permukiman (26,0 °C); (2) konsentrasi CO2 yang ditunjukkan oleh rataan konsentrasi 0, di kawasan hutan (8,21 µmoles/ml), kawasan pertanian (7,84 µmoles/ml), kawasan permukiman (7,23 µmoles/ml); (3) rataan kelembaban nisbi udara di kawasan hutan {94 %), kawasan pertanian {83 %), kawasan permukiman (77 %); (4) radiasi netto ditunjukkan oleh rataan albedo perrnukaan di kawasan hutan (11,37%), kawasan pertanian {17,23 %), kawasan permukiman (21,03 %).
Data yang diperoleh ternyata mendukung dugaan peneliti, sehingga hipotesis penelitian teruji dan dapat diterima untuk keperluan penarikan kesimpulan tentang masalah yang diteliti. Kelembaban udara dan radiasi netto di kawasan hutan lebih tinggi dari kawasan pertanian dan permukiman. Suhu udara dan konsentrasi CO2 di kawasan hutan lebih rendah dari kawasan pertanian dan permukiman.
Hasil-hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan dalam rangka arahan bagi pengelolaan lingkungan yang dilakukan di daerah hulu sungai. Hal ini terutama karena adanya peningkatan perubahan penggunaan tanah sehubungan dengan aktivitas pariwisata.

ABSTRACT
In this paper an attempt is made to find out whether changes will occur in the microclimate of an area, changes in the use of the land takes place. Although it is well known that the microclimate of an area will change, due to changes in land use, sufficient proof, however, is still lacking.
This research is carried out in the Upper Ciliwung Basin, well above the one with a true tropical climate, on 27 observation posts. The data gathered are on surface albedo-net radiation, concentration of C02-02, air temperature near the ground and relative humidity, The land use consists of changes from woodland to agricultural land and lastly to housing compounds successively.
The findings conclude, that there is an increase in mean temperature from woodland to agricultural land and housing respectively, from 23,1 0C, to 24,7 0C to 26,0 0C respectively.
The concentration of CO,; by measuring the concentration of O2, is as follows: woodland 8,21 µmoles/ ml, agriculture 7,84 µmoles/ml, housing 7,23 µmoles/ ml.
Relative humidity of the air is found to decreasing in percentage points on those three types of land uses, which can be seen in the following: woodland Q4 per cent, agriculture 83 per cent and housing 77 per cent.
On .the other hand, the net radiation decrease, indicated by increase of surface albedo from woodland to housing, as can be seen in the following figures: woodland 11,37 per cent, agriculture 17,23 per cent, and finally housing 21,03 per cent.
The results of this investigation proves that any change of land use from woodland is detrimental to the environment in general.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurwiyoto
"Sistem perladangan merupakan adaptasi terbaik dari masyarakat yang tingkat teknologinya sederhana. Sistem perladangan ini dapat dipertahankan selama penduduk masih sedikit dan hutan tersedia, namun sekarang telah mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup, sehingga menimbulkan pertanyaan :
Mengapa sistem perladangan di Bengkulu mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup ?
Apakah batas secara teknis dari kawasan hutan lindung yang ada sekarang sudah memadai ?
Penelitian ini mengajukan dua hipotesis.
(a) Terlalu besarnya jumlah penduduk yang bergantung pada bidang pertanian kecil, memaksa sebagian penduduk menggunakan tanah di kawasan hutan lindung sehingga mengakibatkan kerusakan hutan.
(b) Batas secara teknis dari kawasan hutan lindung di Kecamatan Kepahiang belum memadai.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebab-sebab sistem perladangan di Kecamatan Kepahiang mengakibatkan kerusakan hutan dan mengetahui batas secara teknis yang sesuai dari kawasan hutan lindung.
Variabel bebasnya adalah penggunaan tanah, yang mempengaruhi kerusakan hutan sebagai variabel tidak bebas. Responden berjumlah 127 kepala keluarga, dan data dikumpulkan melalui wawancara berdasarkan daftar pertanyaan. Sampel kesuburan tanah diambil di wilayah berlereng 15%-40% dan lebih dari 40%. Data penggunaan tanah dan kemampuan tanah berasal dari Badan Pertanahan Nasional.
Data dianalisis dengan uji Kruskal Wallis, dan data peta dianalsis dengan pendekatan analisis wilayah melalui teknik Overlay, kemudian keseluruhan data dikorelasikan.
Temuan hasil penelitian ini yang penting adalah bahwa sistem perladangan di Kecamatan Kepahiang dilakukan dengan membuka hutan primer dan luas tanah garapan 2,61 hektar tiap keluarga serta laju perluasan 0,49 hektar tiap keluarga tiap tahun. Daya dukung lingkungan yang ada sudah terlampaui sehingga sistem perladangan ini tidak dapat dipertahankan. Di samping itu, sifat berpindah-pindahnya bidang tanah garapan dengan mencari hutan primer mengakibatkan kerusakan hutan.
Orientasi usahatani penduduk adalah perkebunan kopi, di mana penggarapan tanah wilayah berlereng lebih dari 40% menyebabkan terjadinya penurunan kandungan N,P,K dan pH. Penggarapan di kawasan hutan lindung merupakan akibat terlalu besarnya jumlah petani yang bergantung pada tanah dan timbulnya lapar tanah karena meningkatnya kebutuhan petani.
Batas secara teknis dari kawasan hutan lindung menurut Tata Hutan Guna Kesepakatan, ternyata belurn memadai dan sebagian tanahnya digarap sebagai tempat usahatani. Batas secara teknis untuk kawasan hutan lindung meliputi 28.049 hektar, yang terdiri dari 15.202 hektar sebagai kawasan hutan lindung mutlak, dan 12.847 hektar sebagai daerah penyangga.

Shifting cultivation system is the best adaptation from community with simple level technology. The shifting cultivation system can be maintained as long as population are rare and forest are still available, however this system now results in environmental destruction, therefore rise the question:
Why do the shifting cultivation system in Bengkulu cause the destruction of environmental?
Is the present technical boundary of the protecting forest area appropriate?
The research proposes two hypothesis:
The large population that depends on small farming area, press forces the part of the population to cultivate the land in protecting forest area, that resulting forest destruction.
Technical boundary from protecting forest area in Kepahiang Sub-district is not sufficient yet.
The aims of the research are to get to know the causes of shifting cultivation system in Kepahiang Sub-district which result in forest destruction, and to know the appropriate technical boundary from protecting forest area.
The independent variable of this research is land utilization that influences forest destruction as a dependent variable.
The number of respondence are 127 head of household, and the data was collected by interviewing based on the questionnaire list, and soil fertility samples were taken from area of slope 15%-40% and more than 40 %. The data of land utilization and land capability were gained from "Badan Pertanahan Nasional".
The data were analyzed by Kruskal-Wallis test, and the data of maps were analyzed by region analysis approach with Overlay technic, then all of the data were correlated.
The important finding of this research is that the shifting cultivation system in Kepahiang Subdistrict is carried out by cultiving primary forest and cultivation area 2,61 hectare for each family with growth area 0,49 hectare each family every year. The present environmental carrying capacity is exceeded therefore this shifting cultivation system can not be maintained. In addition, the shifting cultivation system by looking for primary forest causes forest destruction.
The orientation of the farmer's work is coffee plantation, which the area cultivation in slope region is more than 40%, causes the declining deposit of N,P,K, and pH. The cultivation_ in protecting forest area is the result of too large number of farmers that depend on land, and need of land because of the increase of farmer's need.
Technical boundary of the protecting forest area according to "Tata Guna Hutan Kesepakatan" actually is not appropriate yet, and part of this land cultivated as farmer's work area. Technical boundary of this protecting forest area comprises 28.049 hectare, consists of 15.202 hectare as an absolute protecting forest area, and 12.847 hectare as a buffer zone.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hermayulis
"ABSTRAK
Penelitian ini mencoba melihat dampak pembangunan terhadap kehidupan masyarakat, terutama dalam sistem kekerabatan pada masyarakat Sumatra Barat, khususnya Kotamadya Padang, sehubungan dengan terjadinya perubahan (pergeseran) pola penguasaan dan pola penggunaan tanah. Penyelenggaraan pembangunan nasional bukan hanya merigakibatkan peningkatan kebutuhan akan lahan untuk mendirikan bangunan, melainkan juga menimbulkan kebutuhan akan aturan yang menertibkan penguasaan tanah.
Telah diketahui bahwa nilai-nilai yang menjadi rujukan dalam manusia mengembangkan interaksi dengan 1ingkungannya tidak statis dan teknologi serta perubahan lingkungan yang terjadi. Dengan demikian ada hubungan timbal balik antara sistem nilai dengan lingkungan. Karena itu kalau lingkungan permukiman berubah karena bencana alam atau karena perubahan manusia, pada akhirnya dapat mempengaruhi sistem nilai masyarakat yang bersangkutan. Sebaliknya dapat menyebabkan terjadinya perubahan terhadap lingkungan, khususnya lingkungan hidup sosial yang terlihat dari timbulnya perubahan hubungan social.
Pengertian perubahan hubungan sosial dalan kajian ini adalah suatu proses pergeseran berupa pengurangan, atau penambahan unsur-unsur sistem nilai baru dalam struktur hubungan kekerabatan. Perubahan hubungan sosial ini dapat terjadi karena adanya dinamika dalam masyarakat dan adanya adaptasi, penerimaan dan inovasi nilai-nilai baru sebagai akibat adanya interaksi dengan masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Kenyataan tersebut terlihat dalam masyarakat Kotamadya Padang, yang banyak dipengaruhi oleh timbulnya nilai baru tentang pemilikan dan pentingnya pemilikan tanah secara pribadi. Hal ini di samping disebabkan oleh diberlakukan dan diterapkan Undang-undang Nomor 5 tahun 1964 dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961, juga disebabkan oleh dilaksanakan pembangunan fisik tanah. Perubahan pengggunaan tanah dengan dilaksanakan pembangunan, secara langsung atau tidak akan manyebabkan terjadinya perubahan dalam penguasaan tanah telah mengalami perubahan, seperti halnya dalam struktur masyarakat. Namun ada yang beranggapan bahwa perubahan yang mendasar belum terjadi karena adanya hubungan dengan masyarakat lain yang mempnnyai latar belakang budaya yang berbeda. Sehingga mereka berusaha untuk mempertahankan identitas sistem budayanya, sebagaimana yang dikenal?.

ABSTRACT
This research tried to study the impact of development towards community life, particularly in the kinship systems of West Sumatra Community, specifically and utilization pattern of land_ The implementation of national development have not only resulted in the increasing need of land for building constructions but it has also caused the need for regulations dictating land tenure.
It is known that man's values of reference in developing interactions with the environment is not static but keep on growing in accordance with the growth of the community, technological advancement and environmental transformations that occurred. Thus, there is an interrelationship between the value system and the environment. Therefore, should the residential environment change due to natural disaster or man-made, then, eventually, it can influence the value system of the community concerned. Conversely, especially, it can cause changes towards the environment, especially the social living environment, manifested in the occurrence of changes in social relationship.
The meaning of social relationship change in this study is the shifting process in the form of reduction or increase in the element of the new value system in the structure of kinship relationship. This social relationship changes can occur because of the presence and innovations of new values as a result of interactions with the community and the surrounding environment.
Those facts can be seen in the community of Padang Municipality, which is greatly influenced by the presence of new values on ownership and its importance individually. This has occurred, besides the enactment and implementation of Act number 5 year 1960 and Government Regulations number 10 year 1961, due to the implementation of physical development of land as well. The changes in land utilization anda the implementation of development, directly or indirectly, will cause in land tenure.
Several researchers are of the opinion that the Minangkabau Culture has experienced changes like it it the case in the structure of the community. However, there are others who are of the opinion that basic changes has not yet occurred, because of the presence of relationship with other communities that have different cultural backgrounds. Thus, they tried to defend the identity of its cultural system, as is recognized in ?.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roosdilan Kurdi
"ABSTRAK
Industrialisasi dari tahun ke tahun semakin meningkat proses ini menuju pertumbuhan ekonomi dan struktur industri yang kuat.
Keterlibatan manusia khususnya tenaga kerja dalam proses pembangunan semakin meningkat, agar supaya tenaga kerja menjadi sehat dan produktif, maka peranan kesehatan kerja dan keselamatan kerja semakin menjadi penting.
Dalam hal ini pula perlu diterapkan peraturan-peraturan yang telah ada sesuai dengan petunjuk dan maksud dari peraturan itu.
Pada saat ini banyak timbul masalah-masalah dalam kesehatan kerja yang datangnya dari pihak majikan, buruh tenaga kerja) itu sendiri.
Dalam penelitian ini akan dilakukan dari dekat, yaitu, sampai sejauh mana sudah dilaksanakan peraturan-peraturan atau perundang-undangan kesehatan kerja yang telah dilaksanakan dan masalah apa saja yang menghambat dalam pelaksanaannya.
Dalam penelitian itu diambil sebanyak sepuluh buah perusahaan industri yang ada di Kawasan Pulo Gadung itu, hampir 80% sudah melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidang kesehatan kerja, keselamatan kerja dan kecelakaan kerja.
Hasil dari pengamatan bahwa diperusahaan industri itu sudah hampir 85% sudah mempunyai tenaga dokter umum dan tenaga perawat.
Hasil pengamatan, apabila terjadi suatu kecelakaan ringan dapat ditangani oleh petugas kesehatan perusahaan itu sendiri kecuali yang agak berat baru di bawa ke Rumah Sakit Umum yang ada di wilayah itu atau Rumah Sakit tertentu yang sudah rutin sebagai langganan. Dan untuk program preventif teknis, yakni terhadap ancaman lingkungan kerja, itu dilakukan pemeriksaan oleh Kanwil Hiperkes setempat, tidak oleh pengusaha yang bersangkutan inipun dilakukan sebagian besar atas permintaan atau atas dasar keluhan pada karyawan.
Dalam pengamatan, bahwa pada umumnya ancaman lingkungan kerja berupa debu adalah paling utama, dan urutan kedua kebisingan dan ketiga panas.
Dalam pengamatan bahwa, secara komperhensif bentuk pelayanan kerja adalah meliputi bentuk kuratif preventif serta perlindungan tenaga kerja sudah dilaksanakan terpadu.
Dalam pengamatan pelayanan preventif medis meliputi pemeriksaan calon karyawan, pemeriksaan berkala, imunisasi, pendidikan kesehatan dan lain-lain baru bisa dilaksanakan oleh 6 perusahaan itupun dalam keadaan sangat sederhana sekali (mungkin karena biayanya yang agak minim).
Dalam pengamatan bahwa imunisasi pada umumnya dilakukan oleh 10 perusahaan itu, terutama jenis vaksinasi kholera, sedangkan kegiatan pencegahan lainnya melalui pendidikan kesehatan hanya dilakukan oleh 5 perusahaan, dengan menggunakan ceramah atau spanduk.
Dalam pengalaman dan kekurangan dari pihak perusahaan bahwa sudah pernah diadakan latihan penataran hygine perusahaan dan kesehatan kerja terhadap para dokter perusahaan para medis, sesuai dengan kebutuhan dan pengembangan tenaga kesehatan dan keselamatan kerja didasarkan pada prospek jumlah tenaga kerja yang ada pada perusahaan industri itu.

ABSTRACT
Industrialization is increasing from year to year; this process proceeds to strong economical growth and industrial structure.
The involvement of man especially labor force in the development process is increasing in order the labor force becomes healthy and productive, so the role of occupational health and occupational safety becomes more important.
Also in this matter we need apply the existing regulations according to the directive and the aim of those regulations. At this time many problems appear in the occupational health, which come from the employer's side or from the employees or the labor force themselves.
In this research we will carry out from near as how far the regulations or the legislation have been executed and what kind of problems hamper the execution.
In our approach as many as ten industrial enterprises in the Pulo Gadung Industrial Estate nearly 80% have carried out the regulation of the Legislation in the field of occupational health, occupational safety and occupational accident.
The result of the survey that in the industrial enterprise already nearly 85% have public doctors and nurses.
The result of the survey shows that when it happens a light accident the health officers in charge of the enterprise themselves can overcome it, except in case of more serious accident the patient has to be taken to Public Hospital in that region or to a certain Hospital which is already routine as customer.
And for technical preventive program, i.e. against occupational environment threat, the inspection is done by the local Kanwil Hiperkes, not by the entrepreneur concerned, mostly it is done on the request or based on the complaint of the employees.
In the survey in general shows that occupational environment threat conspicuously consists of dust, and on the second place noise and heat.
In the survey that comprehensively the form of occupational service envelops preventive curative form and the protection of the labor force has been carried out solidly.
In the survey the medical preventive service envelops the examination of would-be employee, periodical examination, immunization, health education etcetera can be just executed by 6 enterprises that is to say in a very in a very simple way (probably its cost is rather small).
In the survey that immunization in general is done by 10 enterprises, especially cholera vaccination, while activities on other prevention through health education have been only done by 5 enterprises, using lectures or banners.
In the experience and shortcoming of the enterprise "side that training on enterprise" hygiene and occupational health have been given to enterprise doctors and nurses according to the need and development of the health staff and occupational safety based on the prospect of the number of the labor force owned by that industrial enterprise.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>