Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 86 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Asfara Rachmad Rinata
"Dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 bahwa pada hakekatnya bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, adalah rumusan dari founding father yang menegaskan bahwa ekonomi nasional dibangun atas dasar asas ekonomi kerakyatan. Migas merupakan salah satu sumber daya alam yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Oleh karenanya, pengelolaan migas harus dikelola oleh negara dan digunakan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Diterapkannya Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No. 37 Tahun 2016 Tentang Ketentuan Penawaran Participating Interest 10% pada Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi merupakan bentuk keseriusan pemerintah pusat dalam mendorong sekaligus mengikut sertakan pemerintah daerah dalam upaya memajukan pengelolaan industri minyak dan gas bumi. Dengan adanya kebijakan tersebut, pemerintah daerah lewat Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) akan lebih banyak memiliki peran untuk melakukan pengelolaan kekayaan migas di daerahnya. Sehingga harapannya akan terjadi hubungan timbal balik berupa perolehan keuntungan sekaligus dimaksudkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat pada daerah-daerah penghasil. Sehingga tujuan dari diberlakukannya otonomi daerah dapat tercapai. Hasil penelitian ini menyarankan untuk Pemerintah Pusat diharapkan tidak perlu menetapkan besaran maksimal participating interest yang ditawarkan kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dalam undang-undang dan daerah dibebaskan untuk menetapkan besaran participating interest nya masing-masing sesuai dengan kemampuan modal, sumber daya manusia, dan teknologi, dan juga perlunya peningkatan kinerja dan pengawasan Pemerintah Pusat kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) pengelola participating interest secara konsisten dan berkelanjutan.

Article 33, paragraph 3 of the 1945 Constitution states that, in essence, the earth, water, and the natural resources contained therein are controlled by the state and used for the greatest prosperity of the people. It is a formulation of the Founding father, which emphasizes that the national economy is built on the principle of a populist economy. Oil and gas are one of the natural resources owned by the Indonesian nation. Therefore, oil and gas management must be managed by the state and used for the prosperity and welfare of the people. The implementation of the Minister of Energy and Mineral Resources Regulation (Permen ESDM) No. 37 of 2016 concerning Provisions for Offering 10% Participating Interest in Oil and Gas Working Areas is a form of the central government's seriousness in encouraging and including local governments to advance the management of the oil and gas industry. This policy allows local governments through Regional Owned Enterprises (BUMD) to have more roles in managing oil and gas wealth in their regions, so there will be a reciprocal relationship in the form of profit generation that can accelerating the realization of social welfare in producing areas. The results of this study suggest that it is hoped that the Central Government does not need to determine the maximum amountof participating interest offered to Regional Owned Enterprises (BUMD) in thelawand the regions are feed to determine the amount of their respective participating interest in accordance with capital capabilities, human resources, and technology, as well as the need to improve the performance and supervision of the Central Government for Regional Owned Enterprises (BUMD) managing participating interest in a consistent and sustainable manner."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Editha Dewi Purnamasari
"Tata Kelola Teknologi Informasi merupakan bagian yang harus dikelola secara baik dikarenakan sangat penting untuk organisasi dalam mencapai tujuan dan strateginya. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur tingkat kapabilitas Tata Kelola Teknologi Informasi di Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Padang Lawas Utara dengan kerangka kerja COBIT 2019. Hal ini dilakukan untuk mengetahui informasi ketercapaian tingkat kapabilitas pada proses Tata Kelola di tempat studi kasus.Penelitian ini mengumpulkan data secara kualitatif yaitu melakukan wawancara dengan semi-terbuka bersama tiga responden yaitu Ketua Bidang Layanan E-Governance dan LPSE, Ketua Bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi, dan Kasubbag Keuangan, data ini merupakan data primer. Kemudian melakukan analisis dokumen untuk data sekundernya. Penelitian ini melakukan Pengolahan data dengan secara kuantitatif menggunakan kuesioner yang dibagikan dan dibuat berdasarkan aktivitas pada proses panduan kerangka kerja COBIT 2019 dan dilakukan validasi terhadap hasil tingkat kapabilitas dengan kodefikasi hasil wawancara maupun analisis dokumen organisasi. Dalam menganalisa adopsi teknologi COBIT 2019 dilakukan untuk menilai tingkat kapabilitas saat ini di Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten Padang Lawas Utara. Hasil dari penelitian ini adalah menginformasikan bahwa tingkat kapabilitas berada pada level 1 yaitu Performed. Sehingga rekomendasi terhadap penelitian ini adalah perancangan aktivitas yang disarankan dari panduan kerangka kerja COBIT 2019. Perlu adanya budaya transparansi, dokumentasi, dan prioritas dalam pengelolaan layanan TIK dan E-Governance sehingga dapat digunakan sebagai komunikasi ke pihak pemangku kepentingan dalam meninjau terselenggarakannya harapan sesuai dengan tujuan orgnisasi.

Information Technology Governance is a part that must be managed properly because it is very important for the organization in achieving its goals and strategies. This study aims to measure the level of capability of Information Technology Governance at the Communication and Information Office of North Padang Lawas Regency with the COBIT 2019 framework. This is done to find out information on the achievement of the capability level in the Governance process in the case study site. This study collects qualitative data. Namely conducting semi-open interviews with three respondents, namely the Head of the E-Governance and LPSE Services Division, the Head of the Information and Communication Technology Division, and the Head of the Finance Subdivision, this data is primary data. Then do document analysis for secondary data. This study carried out data processing quantitatively using questionnaires that were distributed and made based on activities in the COBIT 2019 framework guide process and validated the results of the capability level with the codification of interview results and analysis of organizational documents. In analyzing the adoption of COBIT 2019 technology, it was carried out to assess the current level of capability at the Communication and Information Office of North Padang Lawas Regency. The result of this research is to inform that the capability level is at level 1, namely Performed. So the recommendation for this research is the design of activities suggested from the COBIT 2019 framework guidelines. There needs to be a culture of transparency, documentation, and priorities in the management of ICT and E-Governance services so that they can be used as communication to stakeholders in reviewing the implementation of expectations in accordance with the objectives organization."
Jakarta: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Enny Nurbaningsih
"Buku Prof. Enny Nurbaningsih ini sangat komprehensif, kaya dan mencerahkan sehinga menjadi penting untuk dibaca dan dijadikan rujukan baik di dunia riset dan pendidikan, maupun dalam praktik pembangunan, penerapan dan penegakan hukum yang terkait dengan peraturan daerah dalam sistem hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UU NRI Tahun 1945."
Depok: Rajawali Press, 2020
352.02 ENN p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Bimo Tedjo Laksito
"Tesis ini membahas tentang bagaimana terjadi benturan kewenangan antara pemerintah dengan pemerintah daerah dalam pelaksanaan Permenkominfo 02/PER/M.KOMINFO/03/2008 tentang Pedoman Pembangunan Menara Bersama Telekomunikasi dan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Komunikasi dan Informatika dan kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (Nomor 18 Tahun 2009-07/PRT/M/200919/PER.MENKOMINFO/03/2009 ? 3/P/2009) tentang Pedoman Pedoman dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi. Metode yang digunakan dalam tesis ini adalah metode penelitian hukum Normative (yuridis normatif) yang menekankan penelitian pada telaah kaidah/substansi hukum yang menjadi norma dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam tesis ini ditemukan bahwa permasalahan menara bersama telekomunikasi terkait dengan aspek-aspek lain seperti penerapan prinsip fasilities sharing di industri telekomunikasi yang telah menjadi isu global dan telah diterapkan dibeberapa negara. Sedangkan dari aspek hukum, nuansa otonomi daerah sangat kental mengingat peran pemerintah daerah yang menjadi ujung tombak implementasi pengaturan menara telekomunikasi. Dalam nuansa otonomi daerah ini yang menonjol adalah perizinan yang kemudian terkait dengan retribusi perizinan.
Hal lain yang dirasa menjadi permasalahan penting adalah kedudukan peraturan bersama menteri yang menjadi dasar bagi pengaturan menara bersama di rasa kurang memadai mengingat kedudukannya dalam tata urutan perundangundangan di Indonesia. Disamping itu aspek persaingan usaha juga menjadi isu yang penting.untuk dibahas. Akhirnya tesis ini ditutup dengan kesimpulan dan beberapa saran untuk pelaksanaan penaturan menara telekomunikasi ke depan.

This thesis discusses how the conflict of authority between the government and local governments in the implementation of the Guideline Development 02/PER/M.KOMINFO/03/2008 Permenkominfo Joint Telecommunication Tower and the Joint Regulation of the Minister of Home Affairs, Minister of Public Works, Ministry of Communications and Information Technology and chief Investment Coordinating Board (No. 18 of 2009-07/PRT/M/2009- 19/PER.MENKOMINFO/03/2009 - 3/P/2009) on Guidelines and Guidelines for Joint Use of Telecommunication Tower. The method used in this thesis is a normative legal research methods (normative), which emphasizes research on the study of rules / legal substance that became the norm in the legislation.
In this thesis found that problems related to the telecommunications tower together with other aspects such as application of the principle of sharing fasilities in the telecommunications industry that has become a global issue and has been implemented in several countries. While the legal aspects, the nuances of regional autonomy is very strong considering the role of local government to spearhead the implementation of regulation of telecommunication towers. In the nuances of regional autonomy that stand out are the licensing and permitting fees associated with.
Another thing that is felt to be an important issue is the status of joint ministerial regulations which became the basis for setting the tower along with the sense of lack of appropriate, considering its position in the sort order legislation in Indonesia. Besides that aspect of business competition issues penting.untuk also be discussed. Finally, this thesis concludes with a summary and some suggestions for the implementation of the regulation of telecommunications towers in the future."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28159
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Defny
Jakarta: UI-Press, 2012
320.809 598 DEF d
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Parusa Seno Adirespati
"ABSTRACT
Tesis ini membahas sistem pemerintahan daerah di tiga ibu kota, Jakarta, London, dan Paris. Penelitian ini menggunakan metode yuridis-normatif dan komparatif. Ibu kota umumnya memiliki kekhususan dibandingkan dengan daerah lain di suatu negara. Jakarta, London, dan Paris adalah kota-kota dengan populasi tinggi dan daerah perkotaan yang luas dan dapat ditemukan di negara-negara kesatuan. Ada tiga pertanyaan yang dibahas dalam tesis ini, yaitu perbandingan posisi tiga ibukota relatif terhadap daerah lain di negara masing-masing, perbandingan model pemerintah daerah dari tiga ibukota, dan tren terbaru tentang tata kelola ibukota. Sebagai ibu kota, Jakarta, London, dan Paris memiliki kekhasan masing-masing. Kekhususan tersebut dapat ditemukan dalam posisi mereka relatif terhadap daerah lain atau pemerintah daerah di masing-masing negara mereka sendiri, serta dalam model pemerintah daerah mereka sendiri. Persamaan dan perbedaan dapat ditemukan antara tiga ibu kota. Baik Jakarta dan Paris memiliki pemerintahan bertingkat tunggal, sementara London memiliki pemerintahan bertingkat dua di wilayahnya. Sehubungan dengan model pemerintah daerah, Jakarta memiliki kesamaan dengan London dalam hal dewan lokal dan kepala pemerintah daerah mereka. Jakarta juga memiliki kesamaan dengan Paris dalam hal keberadaan pengawasan negara atau pemerintah pusat. Tren terbaru yang ditemukan dalam tata kelola ibukota adalah pengembangan otoritas regional yang strategis, baik dalam bentuk otoritas kesatuan tunggal atau dalam bentuk badan koperasi otoritas lokal. Disarankan agar pembuat kebijakan meninjau dan mempertimbangkan model pemerintah daerah yang dapat ditemukan dalam sistem pemerintah daerah negara lain, dengan memprioritaskan efisiensi dan kinerja pemerintah daerah yang bersangkutan.

This thesis discusses the system of local government in three capital cities, Jakarta, London, and Paris. This study uses juridical-normative and comparative methods. Capital cities generally have specificities compared to other regions in a country. Jakarta, London, and Paris are cities with high population and large urban built-up area and can be found inunitary states. There are three questions that are discussed in this thesis, namely the comparison of the three capitals positioning relative to other regionsin their respective countries, the comparison of local government models of the three capitals, and the latest trendson capital city governance. As capital cities, Jakarta, London, and Paris have their own specificities. Those specificities can be found in their positioning relative to other regions or local governments in each of their owncountries, as well asin their own local government models. Similarities and differences can be found between the three capital cities. Both Jakarta and Paris have single-tieredgovernments, while London has two-tieredgovernmentin its area. In relationto the local government model, Jakarta has similarities with London in terms of their local councils and heads of local government. Jakarta also has similarities with Paris in terms ofthe existence of state or central government supervision. The latest trend found in capital city governance is the development of strategic regional authorities, whether in the shape of a single unitary authority or in the shape of local authorities cooperative bodies. It is suggested that policy makers should reviewand consider local government models that can be found in other countries systems of local government, by prioritising the efficiency and performance of the local government concerned."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Audy Pratama
"Satu hal yang terpenting dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah. Di Indonesia, salah satu urusan pemerintahan serentak diserahkan ke daerah pedalaman kerangka penyelenggaraan otonomi daerah adalah bidang administrasi kependudukan. Kewenangan penanganan masalah kependudukan diatur dalam undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 juga dalam UU No. 24 Tahun 2003 Jo. UU No. 23 Tahun 2006.
Kewenangan dalam penunjukan pejabat struktural di sektor kependudukan di daerah berdasarkan revisi undang-undang administrasi kependudukan dimiliki secara mutlak oleh pemerintah pusat. Menteri Dalam Negeri kemudian membuat mekanismenya lebih detail dengan dikeluarkannya Permendagri No. 76 Tahun 2015.
Hal ini menimbulkan berbagai permasalahan di daerah yang banyak mengepalai daerah melakukan proses pengangkatan pejabat struktural yang tidak sesuai dengan norma-norma tersebut menghasilkan pelayanan administrasi kematian terhalang. metode penulisan yang digunakan dalam penulisan ini bersifat yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif dan menggunakan materi literatur dan wawancara. Solusi terkait masalah pengangkatan pejabat struktural yang tidak sesuai dengan Permendagri No. 76 Tahun 2015 adalah memberikan surat peringatan kepada kepala daerah untuk membatalkan keputusan ini dan di beberapa area ditambahkan
dengan sanksi penghentian jaringan. Oleh karena itu perlu ditinjau kembali mengenai peraturan tentang administrasi kependudukan, apakah kewenangan ini diperlukan dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah pusat yang pelaksanaannya di daerah dilaksanakan secara dekonsentrasi melalui instansi vertikal atau kembalinya kewenangan daerah dalam mengangkat pejabat secara struktural

One of the most important things in implementing regional autonomy is the division of authority between the central and regional governments. In Indonesia, one of the governmental affairs that is simultaneously transferred to the interior areas in the framework of implementing regional autonomy is the field of population administration. The authority to handle population problems is regulated in Law No. 23/2014 as well as in Law No. 24 of 2003 Jo. UU no. 23 of 2006. The central government has absolute authority to appoint structural officials in the population sector in the regions based on the revision of the population administration law. The Minister of Home Affairs then made the mechanism more detailed with the issuance of Permendagri No. 76 of 2015. This raises various problems in the regions where many head the regions carry out the process of appointing structural officials who are not in accordance with these norms resulting in obstructed death administration services. The writing method used in this writing is normative juridical with a qualitative approach and uses literature and interview materials. Solutions related to the problem of appointing structural officials that are inconsistent with Permendagri No. 76 of 2015 is to provide a warning letter to the regional head to overturn this decision and in several areas it was added with network termination sanctions. Therefore it is necessary to revisit the regulations regarding population administration, whether this authority is required to be fully owned by the central government whose implementation in the regions is carried out in a deconcentrated manner through vertical agencies or the return of regional authority in appointing officials structurally."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sad Dian Utomo
"Selama 40 tahun terakhir, kecamatan mengalami perubahan seiring perubahan kebijakan mengenai pemerintahan daerah. Perubahan kebijakan makro ini memerlukan penyesuaian pada tingkat organisasi dan operasional. Namun belum direspon baik oleh Pemerintah Pusat, dan gamang dalam memosisikan kecamatan, dengan tidak jelasnya bentuk organisasi kecamatan, camat diberi tugas urusan pemerintahan umum yang merupakan kewenangan kepala wilayah, dan tidak ada pedoman pengukuran kinerja kecamatan. Timbul masalah konseptual, yaitu bagaimana memosisikan kecamatan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, apakah bagian unit kewilayahan yang diperluas perannya melalui desentralisasi dalam kota (Norton, 1994); unit yang menjalankan fungsi tertentu dalam rangka dekonsentrasi (Leemans, 1970); ataukah dipandang tidak relevan lagi dalam pengelolaan kota terpadu (Smith, 1985)? Hal ini dirumuskan dalam pertanyaan penelitian, yaitu: bagaimana dinamika kelembagaan kecamatan, mengapa itu terjadi, dan bagaimana kelembagaan kecamatan diposisikan. Penelitian ini menggunakan teori desentralisasi, pemerintahan daerah, pemerintahan wilayah, dan kelembagaan sebagai panduan. Penelitian ini menggunakan pendekatan konstruktifis dengan teknik kualitatif melalui studi kasus di Kecamatan Cikulur, Tulakan, Jatiuwung dan Bubutan. Hasil penelitian memperlihatkan dinamika kelembagaan kecamatan lebih banyak disebabkan faktor eksogen daripada endogen. Selanjutnya, dilakukan reposisi kelembagaan kecamatan dalam tiga model, yaitu model kelembagaan kecamatan kawasan perkotaan, perdesaan dan hybrid.

Local government has changed sub-district status over 40 years. This macro policy alters operations and organization. The Central Government must improve, and placing the sub-district is giddy. The sub-district head manages regional government and does not assess performance. Then a conceptual problem arises: how to position the sub-district in local government administration—as part of a local government unit whose role is expanded through decentralization within cities (Norton, 1994), as a unit that performs specific functions in deconcentration (Leemans, 1970), or as a unit no longer relevant in integrated city management (Smith, 1985). This is formulated in research questions, namely: how are the dynamics of sub-district institutions in the administration of local government, why does it happen, and how are sub-district institutions positioned? Rebuilding sub-district institutions needs knowing their dynamics and causes. Decentralization, local self-governance, local state government, institutional theory, and institutional dynamics drive this research. Four sub-districts—Cikulur, Tulakan, Jatiuwung, and Bubutan—are studied using constructivist case studies. The research found that exogenous factors caused the sub-district institutional dynamics more than endogenous ones. Three models—urban, rural, and hybrid—reposition sub-district institutions."
Jakarta: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susi Mirzawati
"Semua tanah dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah tanah bersama Bangsa Indonesia dan penguasaannya ditugaskan kepada Negara, untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Hak menguasai dari Negara merupakan kewenangan dibidang hukum publik dari Negara, yang sesuai dengan pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria terdiri dari kewenangan pembentukan Hukum Tanah Nasional dan kewenangan melaksanakannya. Sejak semula kedua kewenangan tersebut dianggap sebagai tugas Pemerintah Pusat. Kalaupun ada pelimpahan kewenangan dalam pelaksanaannya, pelimpahan itu adalah dalam rangka dekonsentrasi kepada pejabat-pejabat Pemerintah Pusat yang ada di Daerah ataupun kepada Pemerintah Daerah dalam rangka medebewind, bukan otonomi. Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Kewenangan Pemerintah Pusat dibidang pertanahan tersebut diserahkan kepada Daerah Kabupaten dan Kota berdasarkan asas desentralisasi (otonomi). Namun otonomi dibidang pertanahan ini tidak diartikan sebagai penyerahan pengaturan dan pengurusan segala masalah pertanahan sepenuhnya kepada Daerah Kabupaten dan Kota masing-masing. Sepanjang mengenai pengurusan pertanahan dari aspek yuridis dan politis tetap dipegang oleh Pemerintah Pusat. Sedangkan pengurusan pertanahan dari aspek fisik merupakan kewenangan Pemerintah Daerah. Adapun pelaksana kebijakan pertanahan, sebelum diundangkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, ditugaskan kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) beserta segenap jajarannya. Setelah diundangkan undang-undang dimaksud, maka melalui Keputusan Presiden Nomor 95 tahun 2000 tentang BPN, BPN ditugaskan melaksanakan kebijakan pertanahan hanya ditingkat pusat, sedangkan di Daerah diserahkan kepada Dinas Pertanahan Kabupaten/Kota. Karena dirasakan masih belum sempurna persiapan disegala bidang, maka diputuskan oleh Pemerintah, bahwa pelaksanaan otonomi dibidang pertanahan ini ditangguhkan sampai selambatlambatnya tanggal 31 Mei 2003."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
T36523
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joshua Jolly Sucanta Cakranegara
"Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) merupakan provinsi ke-34 atau provinsi termuda di Indonesia. Pembentukan provinsi ini tidak terlepas dari dinamika historis yang panjang. Hal ini dapat dilihat dari periode berdirinya Kesultanan Bulungan, pemerintah kolonial Hindia Belanda, pemerintah pendudukan Jepang, hingga pemerintah Indonesia. Dengan pendekatan sejarah, tulisan ini bertujuan memaparkan dinamika historis pembentukan Provinsi Kalimantan Utara setelah 1998, yakni sejak otonomi daerah menguat pada 1999 melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah hingga pembentukan final melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2012 tentang Pembentukan Provinsi Kalimantan Utara. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pembentukan provinsi ini tidak dapat dilepaskan dari semangat otonomi daerah yang digencarkan setelah 1998. Selain itu, sejumlah kajian multidimensional dalam bidang sosial-ekonomi, pengelolaan sumber daya alam, pertahanan-keamanan, dan kewilayahan telah menjadi landasan kuat pembentukan provinsi ini. Dengan demikian, proses-proses politik, baik di tingkat pusat maupun daerah, serta pengkajian yang mendalam dan dukungan masyarakat setempat yang besar merupakan faktor kunci pembentukan Provinsi Kalimantan Utara. Hal ini pun menjadi sebuah dinamika sejarah tersendiri dalam sejarah pemerintahan daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

North Kalimantan Province (Kaltara) is the 34th province or the youngest province in Indonesia. The establishment of the province is inseparable from long historical dynamics. This can be seen from the period of the establishment of the Bulungan Sultanate, the Dutch East Indies colonial government, the Japanese occupation government, until the Indonesian government. By applying historical approach, this paper aims to explain the historical dynamics of the establishment of North Kalimantan Province after 1998, since regional autonomy strengthened in 1999 through Law Number 22 of 1999 on Regional Government to the final establishment through Law Number 20 of 2012 on Establishment of North Kalimantan Province. The results of this study indicate that the establishment of the province cannot be separated from the spirit of regional autonomy that was intensified after 1998. In addition, a number of multidimensional studies in the social-economic, natural resource management, defense-security, and territorial fields have become a strong foundation for the establishment of the province. Thus, political processes, both at the central and regional levels, as well as in-depth study and great local community support were key factors in the establishment of North Kalimantan Province. This become a historical dynamic in the history of regional government in the Unitary State of the Republic of Indonesia (NKRI)."
Kalimantan Barat : Balai Pelestarian Nilai Budaya, 2020
900 HAN 4:1 (2020)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   3 4 5 6 7 8 9   >>