Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18976 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Felix Firyanto Widjaja
"Background: nowadays, radiofrequency ablation (RFA) is applied widely as an alternative therapy of resection in patient with hepatocellular carcinoma (HCC). Moreover, in single nodule with size of less than 2 cm, RFA may be the primary treatment. Although resection is the main treatment and one of the curative treatments in nodule meeting Milan criteria, it needs consideration of risk stratification for surgical resection. This report was aimed to search evidence of RFA compared with RFA in term of survival in patient with HCC single nodule size of more than 5 cm.
Methods: the searching was done using PubMed, Scopus, Web of Science, dan CINAHL from EBSCO with keyword of “hepatocellular carcinoma”, “single nodule”, “radiofrequency ablation”, “resection”, and “survival”. The limitation of the article was English with clinical question of “In patient with HCC single nodule size of more than 5 cm, was RFA more superior in resection in term of survival?”.
Results: there were three articles with retrospective studies. One of the article combined RFA and percutaneous ethanol injection in the analysis, meanwhile another article combined RFA and transarterial chemoembolization. These articles showed conflicting ata that showed absolute risk reduction of 33% till absolute risk increment of 60.6%.
Conclusion: all studies used RFA as the alternative of resection when the the tumor was unresectable which means the severity was higher in RFA group. Hence, we can not solely conclude that RFA resulted in worse survival.

Latar belakang: radiofrequency ablation (RFA) saat ini semakin luas dipergunakan sebagai terapi alternatif reseksi pada pasien dengan karsinoma sel hati (KHS). Bahkan pada ukuran nodul kurang dari 2 cm, RFA dapat menjadi lini utama pada kasus tersebut. Reseksi merupakan terapi utama dan salah satu terapi kuratif pada nodul dengan kriteria Milan, tetapi harus dipertimbangkan toleransi operasi pada pasien yang akan menjalani reseksi. Pada laporan kasus berdasar bukti ini kami bertujuan memperlihatkan efektivitas RFA dibandingkan reseksi dalam hal kesintasan, tetapi pada KHS nodul tunggal berukuran lebih dari 5 cm.
Metode: pencarian artikel dilakukan dengan menggunakan mesin pencari PubMed, Scopus, Web of Science, dan CINAHL dari EBSCO dengan kata kunci “hepatocellular carcinoma”, “single nodule”, “radiofrequency ablation”, “resection”, dan “survival”. Artikel dibatasi pada artikel berbahasa Inggris dengan pertanyaan klinis “Pada pasien dengan KHS nodul tunggal berukuran lebih dari 5 cm, apakah RFA lebih baik dibandingkan dengan reseksi untuk memperpanjang kesintasan?” Hasil: didapatkan tiga artikel penelitian retrospektif dengan satu artikel menggabungkan terapi RFA dan injeksi etanol dalam analisis dan satu penelitian menggabungkan RFA dengan transarterial chemoembolization (TACE) dalam analisisnya. Dari ketiga penelitian tersebut memperlihatkan penurunan risiko absolut 33% sampai peningkatan risiko absolut 60,6%. Kesimpulan: seluruh penelitian menjadikan RFA sebagai alternatif reseksi bila reseksi tidak dapat dilakukan yang berarti tingkat keparahan lebih tinggi pada RFA, sehingga sulit mengambil kesimpulan bahwa RFA memberikan kesintasan lebih buruk.
"
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2018
610 UI-IJIM 50:4 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Philadelphia: Elsevier Saunders, 2015
617.412 CAT
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Charles Saputra
"Latar Belakang: Ablasi radiofrekuensi merupakan modalitas terapi dengan tingkat keberhasilan yang tinggi pada aritmia jalur keluar ventrikel (AJKV). Menentukan sumber aritma pratindakan penting dilakukan untuk membantu pemilihan tehnik ablasi, menghindari komplikasi, serta menghemat waktu fluoroskopi. Algoritma EKG merupakan metode yang telah luas dipergunakan untuk memprediksi sumber AJKV, namun memiliki nilai diagnostik yang sangat bervariasi. Studi sebelumnya menunjukkan bahwa pengukuran sudut aortoseptal secara ekokardiografi dapat memprediksi sumber AJKV. Diperlukan penelitian lanjutan untuk membuktikan validitasnya, dengan urutan pengambilan data yang bersifat prospektif.
Tujuan : Untuk meneliti validitas hubungan antara sudut aortoseptal melalui pemeriksaan ekokardiografi dengan sumber aritmia jalur keluar ventrikel.
Metode: Uji validitas pada penelitian diagnostik ini dilakukan pada Oktober 2020 sampai Juni 2021 pada pasien dengan TV / KVP dengan tipe EKG blokade cabang berkas kiri dan aksis inferior yang menjalani terapi ablasi radiofrekuensi. Pemeriksaan ekokardiografi dilakukan sebelum terapi ablasi radiofrekuensi. Sudut aortoseptal diukur pada pandangan parasternal long axis (PLAX) untuk mengukur sudut antara akar aorta dan septum interventrikular. Lokasi sumber AJKV ditentukan dengan pemetaan elektroanatomi pada saat tindakan ablasi radiofrekuensi dilakukan.
Hasil: Didapatkan sebanyak 41 subyek penelitian dengan rerata umur 44,7± 12,6 tahun. Sebagian besar subyek adalah pasien dengan sumber AJKV kanan (n= 34; 82,9%). Rerata sudut aortoseptal pada subyek dengan sumber AJKV kiri 127,2 ± 2,8 secara signifikan lebih kecil dibandingkan dengan sumber AJKV kanan 136,7 ± 5,7 (p<0.001). Pada subyek yang memiliki sudut <129,2o memiliki nilai sensitifitas 71,4 % dan spesifisitas 85,29% untuk memprediksi sumber AJKV kiri.
Kesimpulan : Studi validasi ini membuktikan bahwa sudut aortoseptal < 129,2o secara ekokardiografi merupakan alat diagnostik yang valid dengan OR 10,1 untuk memprediksi sumber AJKV kiri.

Background: Radiofrequency ablation has become therapeutic modality with high success rate for outflow tract ventricular arrhythmia (OTVA.) Determining the origin of OTVA before ablation is important to choose the appropriate approach, avoiding multiple complications, and saving fluoroscopy time. ECG-based criteria is a method that has been widely used to predict the origin of OTVA, but it oftenly has inconsistent diagnostic value to predict the location of OTVA. Previous study showed that aortoseptal angulation by echocardiography might be beneficial to predict the origin of OTVA. We need to validate the result in a prospective manner.
Objective: To validate the association between aortoseptal angulation measurements by echocardiography and OTVA origin.
Methods: A validation of diagnostic study held in October 2020 until June 2021 involving patients VTs/PVCs with the ECG’s morphology of LBBB and inferior axis who underwent radiofrequency ablation (RFA) therapy. An echocardiography examination was held before RFA therapy. Aortoseptal angulation is measured on parasternal long axis (PLAX) view to measure the angle between the aortic root and interventricular septum. The origin of OTVA was determined by mapping during RFA.
Results: There were 41 subjects with a mean age of 44.7±12.6 years. Majority of subjects were patients with right OTVA (n = 34, 82.9%). The mean aortoseptal angulation of the left OTVA 127.2 ± 2.8 was significantly smaller than the right OTVA 136.7 ± 5.7 (p<0.001). An angle below 129.2˚ has 71,4 % sensitivity and 85,29% specificity to predict an LVOT origin.
Conclusion: This validation study proved that ortoseptal angulation measurement by echocardiography <129,2o is a valid diagnostic tool to differentiate left OTVA origin with Odds ratio 10,1.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alessa Fahira
"Background: liver cancer is currently the second deadliest cancer in the world with hepatocelullar carcinoma (HCC) being the commonest form—accounting 90% of all its cases. With the current global alarming increase of obesity, there is hence an increase of fatty liver disease cases, which is one of the major non-viral etiology of cirrhosis in the world. The objective of this study is to evaluate whether obese HCC patients have worse survival outcome. Methods: PubMed, Cochrane, Scopus, ProQuest, and EBSCOhost were comprehensively searched for systematic review and cohort prognostic researches studying overall survival of HCC patients who are underweight and obesity according to their BMI. Three studies were selected and critically appraised. Data were then summarized descriptively.
Results: the three studies included consist of one meta-analysis and two cohort studies. Meta-analysis study stated no association between overweight and obesity status with higher mortality rate in Asian race HCC patients (aHR, 1.10; 95% CI, 0.63-1.92). A cohort study from Japan reported while there was a significant difference of mortality rate in obese HCC patients in bivariate analysis, adjustment with other important prognostic factors with multivariate analysis found no significant correlation between obesity and HCC-related mortality rate (aHR, 1.00; 95% CI, 0.83-1.22). Another cohort study from China reported that HCC-related mortality rate in patients with higher BMI was lower than in patients with lower BMI (aHR, 0.347; 95% CI, 0.239-0.302).
Conclusion:there is no association between higher BMI with HCC-related mortality in Asian race patients.

Latar belakang: saat ini kanker hati adalah kanker paling mematikan kedua di dunia yang umumnya dengan karsinoma hepatocelullar (HCC) - terhitung 90% dari semua kasusnya. Dengan peningkatan obesitas global yang cukup mengkhawatirkan, maka ada peningkatan kasus penyakit hati berlemak, yang merupakan salah satu etiologi utama sirosis virus di dunia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi apakah pasien HCC obesitas memiliki hasil kelangsungan hidup yang lebih buruk.
Metode: PubMed, Cochrane, Scopus, ProQuest, dan EBSCOhost secara komprehensif mencari ulasan sistematis dan penelitian prognostik kohort dengan mempelajari kelangsungan hidup keseluruhan pasien HCC yang kekurangan berat badan dan obesitas menurut indeks massa tubuh (IMT) mereka. Tiga studi dipilih dan dinilai secara kritis. Data kemudian dirangkum secara deskriptif.
Hasil: tiga studi terdiri dari satu meta-analisis dan dua studi kohort. Studi meta-analisis menyatakan tidak ada hubungan antara kelebihan berat badan dan status obesitas dengan tingkat kematian yang lebih tinggi pada ,92). Sebuah studi kohort dari Jepang melaporkan sementara ada perbedaan yang signifikan dari tingkat kematian pada pasien HCC obesitas dalam analisis bivariat, penyesuaian dengan faktor prognostik penting lainnya berdasarkan analisis multivariat tidak ditemukan korelasi signifikan antara obesitas dan tingkat kematian terkait HCC (aHR, 1,00; 95 % CI, 0,83-1,22). Studi kohort lain dari Cina melaporkan bahwa tingkat kematian terkait HCC pada pasien dengan IMT tinggi, lebih rendah daripada pasien dengan IMT rendah (aHR, 0,347; 95% CI, 0,239-0,302).
Kesimpulan: tidak ada hubungan antara BMI yang lebih tinggi dengan mortalitas terkait HCC pada pasien ras Asia
"
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2019
610 UI-IJIM 51:4 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Jamtani
"Pendahuluan: Efikasi neoadjuvan kemoembolisasi transarterial (N-TACE) pada karsinoma hepatoseluler (KSH) yang dapat direseksi masih diperdebatkan. Meskipun N-TACE dapat mengurangi ukuran tumor, dampaknya terhadap luaran jangka panjang masih belum dapat disimpulkan.
Metode: Meta-analisis ini meninjau studi terkait N-TACE vs. Reseksi Hati (RH) pada karsinoma sel hati soliter besar (KSHSB) hingga Maret 2023 dari empat database online.
Hasil: 5 penelitian dengan total sampel 1556 pasien (N-TACE = 474; LR = 1082) dilakukan analisis. Dari hasil analisis, tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok N-TACE dan RH yang diamati pada KS dan KBT 1, 3, atau 5 tahun. Odds Ratio yang didapatkan adalah 0,91 (95% CI 0,54 – 1,54), 0,80 (95% CI 0,56 – 1,15), dan 0,88 (95%CI 0,47 – 1,65) untuk KS 1, 3, dan 5 tahun dan 0,66 ( 95% CI 0,32 – 1,34), 0,70 (95% CI 0,37 – 1,33), dan 0,75 (95% CI 0,28 – 1,98) masing- masing untuk KBT 1, 3, dan 5 tahun. Tidak ada perbedaan signifikan yang diamati pada kehilangan darah intraoperatif antar kelompok. Analisis subgroup menunjukkan KS 1, 3, dan 5 tahun yang mengarah ke N-TACE pada kombinasi kemoterapi dan KS 1 tahun yang lebih baik pada kelompok RH di kemoterapi agen tunggal. Selain itu, KBT 5 tahun lebih mengarah pada RH di kelompok agen kemoterapi tunggal (OR 2,82 95% CI 1,18 – 6,72) dan N-TACE pada kelompok kombinasi (OR 0,75 95%CI 0,28 – 1,98).
Kesimpulan: Pengelolaan KSHSB memerlukan pertimbangan yang rumit dan diperlukan peningkatan strategi pengobatan untuk subkelompok HCC yang ini. Pengaruh N-TACE terhadap kelangsungan hidup jangka panjang dan kehilangan darah intraoperatif pada KSHSB memiliki hasil tidak signifikan. Namun, kombinasi kemoterapi pada N-TACE memberikan hasil yang lebih baik terhadap kesintasan pasien KSHSB.

Introduction: The efficacy of neoadjuvant transarterial chemoembolization (N- TACE) in resectable hepatocellular carcinoma (HCC) remains debated. While N- TACE may reduce tumor size, its impact on long-term outcomes is inconclusive. Methods: This meta-analysis reviewed studies on N-TACE before surgical resection vs. LR SLHCC up to March 2023 from four online databases.
Results: 5 studies with 1556 patients (N-TACE = 474; LR = 1082) were analyzed. No significant differences between N-TACE and LR groups were observed in 1-, 3-, or 5-year OS and DFS. The pooled HRs were 0.91 (95% CI 0.54 – 1.54), 0.80 (95% CI 0.56 – 1.15), and 0.88 (95%CI 0.47 – 1.65) for the 1-, 3-, and 5-year OS and 0.66 (95% CI 0.32 – 1.34), 0.70 (95% CI 0.37 – 1.33), and 0.75 (95% CI 0.28 – 1.98) for 1-, 3-, and 5-year DFS respectively. No significant differences were observed in intraoperative blood loss between groups as well. Subgroup analysis showed favorable 1-, 3-, and 5-year OS with combination chemotherapy N-TACE (combination group) and better 1-year OS in the LR group with single-agent chemotherapy N-TACE (single-agent group). In addition, 5-year DFS favored LR in the single-agent group (OR 2.82 95% CI 1.18 – 6.72) and N-TACE in the combination group (OR 0.75 95%CI 0.28 – 1.98).
Conclusion: Managing SLHCC requires intricate considerations and enhancement of treatment strategies for this challenging subgroup of HCC is needed. The influence of N-TACE on long-term survival and intraoperative blood loss in SLHCC appears limited. However, combination chemotherapy in N-TACE results in better outcomes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Latar Belakang: Tujuan studi ini adalah membandingkan terapi antara siklofosfamid dan mikofenolat mofetil pada remisi nefritis lupus melalui sebuah laporan kasus berbasis bukti (evidence-based case report) yang diperoleh dari telaah sistematis dan meta-analisis.
Metode: Metode yang digunakan pada studi ini adalah laporan kasus berbasis bukti menggunakan telaah sistematis dan meta-analisis. Pertanyaan klinis adalah manakah terapi imunosupresan yang memberikan hasil lebih baik pada remisi nefritis lupus; siklofosfamid atau mikofenolat mofetil? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kami melakukan pencarian dari situs PubMed dengan kata kunci ?lupus nephritis AND mycophenolate mofetil AND cyclophosphamide? dengan batasan telaah sistematis dan/atau meta-analisis, bahasa Inggris, dan hanya melakukan perbandingan secara spesifik terhadap kedua obat.
Hasil: Dari pencarian awal, kami memperoleh 11 artikel telaah sistematis dan/atau meta-analisis terkait terapi nefritis lupus. Satu artikel dieksklusi karena berbahasa Yahudi, empat artikel lain dieksklusi karena tidak spesifik melakukan perbandingan terhadap mikofenolat mofetil dan siklofosfamid sehingga diperoleh enam studi yang ikut serta dalam telaah kritis dan diskusi laporan kasus kami.
Kesimpulan: Berdasarkan bukti-bukti ilmiah yang diperoleh, mikofenolat mofetil memberikan efektivitas yang sama (non-inferior) dengan siklofosfamid dalam mencapai remisi pada nefritis lupus, tetapi memiliki tingkat keamanan yang lebih baik daripada siklofosfamid. Pasien pada kasus mendapatkan mikofenolat mofetil dan telah menunjukkan perbaikan secara klinis ke arah remisi pada evaluasi pasca-rawat inap

Background: The aim of this case study is to compare the effectiveness between cyclophosphamide and mycophenolate mofetil to achieve remission of lupus nephritis in an evidence-based case report from meta-analyses.
Methods: Method in this case study is evidence-based case report using meta-analyses. Clinical question used in this paper is; which immunosuppressant gives better result in achieving remission in lupus nephritis patient: cyclophosphamide or mycophenolate mofetil? To answer this question, we search the evidence from PubMed with the keywords: ?lupus nephritis AND mycophenolate mofetil AND cyclophosphamide? with inclusion criteria of meta-analysis, written in English, and focused comparing cyclophosphamide and mycophenolate mofetil.
Results: From the searching method, we found 11 articles which is relevant. One has been excluded since it written in Hebrew, 4 articles excluded since are not focus answering the clinical question. At the end, 6 studies were included to the critical appraisal step.
Conclusion: Based on the evidences, mycophenolate mofetil is non-inferior to cyclophosphamide in achieving remission in lupus nephritis patients, but with the better safety profile. Patient in our case study get mycophenolate mofetil and shows better clinical condition towards remission as she are evaluated in the outpatient clinic.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yoga Yuniadi
"Tujuan penelitian ini untuk melihat karakteristik elektrofisiologi dan hasil ablasi frekuensi radio (AFR) pada flutter atrium (FLA) yang belum tersedia hingga saat ini di Indonesia. Tiga buah kateter elektroda multipolar dimasukkan perkutan ke dalam jantung lalu ditempatkan di sinus koronarius (SK), berkas His dan mengitari anulus trikuspid. Kateter ablasi 8 mm digunakan untuk AFR linier cavotrikuspid isthmus (CTI) pada FLA tipikal dan kebalikan tipikal. Blok bidireksional ditentukan atas dasar pemanjangan waktu konduksi dinding lateral bawah ke ostium SK dan sebaliknya lebih dari 90 mdet, dan/atau dengan cara pemacuan diferensial. Terdapat 27 subyek dengan 30 FLA terdokumentasi yang terdiri dari 19 tipikal, 5 tipikal terbalik dan 6 atipikal. Hanya 9 pasien yang tidak mempunyai penyakit jantung struktural. Rerata panjang siklus takikardia (PST) adalah 261,79 ± 42,84, 226,5 ± 41,23, dan 195,4 ± 9,19 mdet masing-masing untuk FLA tipikal, kebalikan tipikal dan atipikal (p = 0,016). Konduksi CTI menempati 60% dari PST atau rerata 153,0 ± 67,37 mdet. Aktivasi SK terbagi menjadi 3 jenis yaitu proksimal ke distal, distal ke proksimal dan fusi. AFR pada FLA tipikal dan tipikal terbalik sukses sebanyak 96 % dengan tingkat kekambuhan 4,5 % pada rerata masa pengamatan 13 ± 8 bulan. Pada populasi penelitian ini jenis FLA terbanyak adalah FLA tipikal. Kebanyakan subyek menderita penyakit jantung struktural. AFR sangat efektif menyembuhkan FLA tipikal dan kebalikan tipikal. (Med J Indones 2007; 16:151-8)

This study aimed to elaborate the electrophysiology characteristics and radiofrequency ablation (RFA) results of atrial flutter (AFL) which has not been established in Indonesia. Three multipolar catheters were inserted percutaneously and positioned into coronary sinus (CS), His bundle area and around tricuspid annulus. Eight mm ablation catheter was used to make linear ablation at CTI of typical and reverse typical AFL. Bidirectional block was confirmed by conduction time prolongation of more than 90 msec from low lateral to CS ostium and vice versa, and/or by means of differential pacing. Thirty AFL from 27 patients comprised of 19 typical AFL, 5 reverse typical AFL and 6 atypical AFL enrolled the study. Mean tachycardia cycle length (TCL) were 261.8 ± 42.84, 226.5 ± 41.23, and 195.4 ± 9.19 msec, respectively (p = 0.016). CTI conduction time occupied up to 60% of TCL with mean conduction time of 153.0 ± 67.37 msec. CS activation distributed to three categories which comprised of proximal to distal, distal to proximal and fusion activation. Only nine of 27 patients had no structural heart disease. RFA of symptomatic typical and reverse typical AFL demonstrated 96% success and 4.5 % recurrence rate during 13 ± 8 months follow up. Typical AFL is the predominant type of AFL in our population. The majority of AFL cases suffered from structural heart disease. RFA was highly effective to cure typical and reverse typical AFL. (Med J Indones 2007; 16:151-8)"
Medical Journal of Indonesia, 2007
MJIN-16-3-JulySept2007-151
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
T. Sareo
"Abstrak
A 43-year old male presented with persistent discomfort and pain upper abdomen (epigastrium) more on left side associated with fever on and off, along with fatigue and loss of appetite for the last four months. Physical examination revealed mass on left hypochondrium extending to epigastrium with mild distension of the abdomen. Imaging studies of the patient showed dextrocardia on chest x-ray postero-anterior (PA) view, thoracic and abdominal CT scan showed situs inversus totalis with multiple SOL (space occupying lesion) in right lobe of liver with largest measuring 8x6 cm2 in the 4th segment. USG-guided FNAC of the mass showed features of hepatocellular carcinoma. Thereupon, hepatocellular carcinoma in situs inversus totalis was diagosed to this patient and was clinically staged as T3aN0M0. He was given sorafenib 400 mg orally twice daily with an advice to come for regular assessment every 4 week."
Jakarta: Faculty of Medicine Universitas Indonesia, 2014
610 UI- MJI 23:1 (2014) (2)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Anastasia Kosasih
"ABSTRAK
Tuberkulosis (TB) merupakan penyebab salah satu utama kematian di dunia. Pada tahun 2014, diperkirakan terdapat 9.6 juta kasus TB baru dan terdapat 1.5 juta kematian yang disebabkan oleh TB dari seluruh dunia. Tuberculosis destroyed lung merupakan komplikasi dari TB paru berat dan dapat menyebabkan berbagai gangguan dan difungsi pernapasan. Destroyed lung dapat mempengaruhi angka harapan hidup sehingga perlu dilakukan pembedahan. Pembedahan dapat membantu mencapai terapi yang efektif dengan membuang jaringan TB aktif.
Tujuan untuk menentukan peluang kelangsungan hidup pasien dengan tuberculosis-destroyed lung yang menjalani oprasi.
hasil studi oleh Byun CS dkk menunjukan angka mortalitas operatif sebesar 6.8%, SE 2.9%, 9% CI (3.9% TO 9.7%). Mortalitas dalam 5 tahun sebesar 11.1%, SE 3.7%, 95% CI(7.4% TO 14.8%) dan 23.8%, SE 5%, 95% CI (18.8% to 28.8%) dalam 10 tahun. Rifaat A. dkk menunjukan mortalitas post-operasi sebesar 7.1%, SE 6.8%, 95% CI (0% to 20.3%). Bai L. dkk memperllihatkan mortalitas post-operasi sebesar 5.8%, SSE 1.8%, 95% CI (4% to 7.6%).
Simpulan tindakan pembedahan pada pasien dengan Tuberculosis destroyed lung dapat dilakukan dengan angka mortalitas yang rendah (operatif dan post-operatif)."
Jakarta: Departement of Internal Medicine, Faculty of Medicine Universitas Indonesia, 2016
616 UI-JCHEST 3:2 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Aji Muharrom
"ABSTRACT
Systemic lupus erythmatosus (SLE) is an autoimmune disease which involved many organs. One of its severe manifestations is lupus nephritis (LN). Treatment of LN consist of two phases, induction and maintenance. Inappropriate treatmen approach could increase morbidity and mortality in LN pantients. Renal flare is among many bad outcomes of LN that should be mitigated with an approciate therapuitec approach. Various guidelines stated usage of mycophenolate mofetil (MMF) or azathioprine (AZA) as an appropriate immunosuppresant in the maintenence phase"
Jakarta: University of Indonesia School of Medicine, 2018
616 IJR 10:2 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>