Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 183016 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alziqro Uzykawa Seiranausa
"Tulisan ini akan membahas dan menganalisis konsep pemidanaan dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia serta implementasi sistem peradilan pidana anak yang tepat terhadap anak yang berkonflik dengan hukum sebagai pelaku utama tindak pidana yang diancam pidana mati khususnya dalam tahap penuntutan. Metode yang digunakan dalam penulisan ini yaitu penelitian hukum doktrinal yang mengacu pada bahan pustaka dan sumber hukum tertulis seperti peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Kemudian, dalam penulisan ini juga menggunakan metode komparasi mikro yang mengacu pada peraturan perundang-undangan negara lain yang relevan. Perlindungan dan perlakuan khusus terhadap anak harus diterapkan dalam keadaan apa pun, termasuk pula ketika seorang anak melakukan tindak pidana. Salah satu prinsip perlindungan anak tersebut adalah larangan penjatuhan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Namun, terdapat fenomena yang tidak wajar dalam penerapan sistem peradilan pidana anak berupa penuntutan pidana mati terhadap anak berdasarkan Putusan Nomor 50/Pid.Sus-Anak/2024/PN.Plg. Pemidanaan terhadap anak tidak menitikberatkan pada tujuan pembalasan, tetapi mengutamakan upaya pemulihan dan perbaikan diri sebagaimana pendekatan keadilan restoratif. Dengan demikian, pidana mati sama sekali tidak dapat diterapkan terhadap anak baik dalam penuntutan maupun penjatuhan pidana.

This paper will discuss and analyze the concept of punishment in the Indonesian juvenile justice system, as well as the appropriate implementation of the juvenile justice system for children in conflict with the law as the primary perpetrators of crimes punishable by the death penalty, particularly during the prosecution stage. The method used in this paper is doctrinal legal research, drawing on library materials and written legal sources such as laws and court decisions. Furthermore, this paper also employs a micro-comparative method, drawing on relevant laws and regulations from other countries. Protection and special treatment for children must be applied in any situation, including when a child commits a crime. One of the principles of child protection is the prohibition of the death penalty or life imprisonment for children in conflict with the law. However, there is an unusual phenomenon in the implementation of the juvenile justice system in the form of a death penalty prosecution against a child based on Decision Number 50/Pid.Sus-Anak/2024/PN.Plg. Sentencing of children should not emphasize retribution but prioritize rehabilitation and self-improvement in line with a restorative justice approach. Therefore, the death penalty cannot be applied to children at all, whether in prosecution or sentencing."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khusnus Sabani
"Tesis ini menganalisis bagaimana pelaksanaan diversi di tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di Pengadilan Negeri, bagaimana parameter untuk mengukur keberhasilan pelaksanaan diversi oleh Petugas dan bagaimana model yang dapat dipakai untuk menjamin pelaksanaan Diversi. Tesis ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Diversi merupakan proses pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Diversi dapat dilaksanakan pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di Pengadilan Negeri berdasarkan pendekatan keadilan restoratif sesuai amanat Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam praktiknya tidak semua tindak pidana dapat dilaksanakan dengan diversi. Faktor yang mendorong terwujudnya proses diversi diantaranya adanya persetujuan dan kesediaan pihak korban dan pihak pelaku untuk menyelesaikan perkara melalui diversi serta adanya kesepakatan perdamaian antara pihak korban dan pihak pelaku dalam penyelesaian perkara dengan musyawarah diversi. Parameter untuk mengukur keberhasilan pelaksanaan diversi oleh Petugas di antaranya adanya kesepakatan diversi, tidak mengulangi pidana dan keberhasilan reintegrasi sosial. Model yang dapat dipakai untuk menjamin pelaksanaan diversi yaitu model Conference / Family Group Conference yang melibatkan instrumen masyarakat.

This thesis analyzes how the implementation of diversion at the level of investigation, prosecution, and examination of juvenile cases in the District Court, what are the parameters for measuring the successful implementation of diversion by Officers and what models can be used to ensure the implementation of Diversion. This thesis was prepared using doctrinal research methods. Diversion is the process of transferring the settlement of juvenile cases from the criminal justice process to a process outside criminal justice. Diversion can be implemented at the level of investigation, prosecution and examination of children’s cases in the District Court based on a restorative justice approach as mandated by Law No. 11 of 2012 concerning the Child Criminal Justice System. In practice, not all criminal offenses can be implemented with diversion. Factors that encourage the realization of the diversion process include the agreement and willingness of the victim and the perpetrator to resolve the case through diversion and the existence of a peace agreement between the victim and the perpetrator in resolving the case with a diversion deliberation. Parameters to measure the successful implementation of diversion by officers include the existence of a diversion agreement, not repeating the crime and the success of social reintegration. The model that can be used to ensure the implementation of diversion is the Conference / Family Group Conference model which involves community instruments."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Novel
"Dalam menjalankan tugasnya, aparatur penegak hukum tidak terlepas dari kemungkinan untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin perlindungan terhadap hak asasi seorang tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan pidana adalah melalui lembaga hukum yang dibentuk sebagai fungsionalisasi dan re-evaluasi terhadap sub-sistem peradilan pidana yang telah ada yang bertujuan sebagai lembaga pengawasan terhadap upaya paksa dari penegak hukum yang diberikan kewenangan oleh undang-undang dalam hal penegakan hukum (law enforcement). Dengan arah kebijakan yang didasarkan dalam rangka pembaharuan hukum pidana yang menuju pada proses hukum yang adil (due process of law), dibentuk lembaga Hakim Komisaris sebagai upaya dalam pengawasan upaya paksa yang dilakukan penegak hukum dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Upaya paksa dalam penegakan hukum pada sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) terakumulasi pada sub-sistem peradilan pidana dalam tahapan penyidikan dan penuntutan. Pada tahapan penyidikan dan penuntutan ini, Penyidik dan Penuntut Umum memiliki kewenangan untuk melakukan Penghentian Penyidikan dan atau Penghentian Penuntutan dengan syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan dalam KUHAP, tentunya dibutuhkan tindakan pengawasan terhadap kewenangan aparatur penegak hukum agar dalam melaksanakan kewenangannya tidak melakukan penyelewengan ataupun penyalahgunaan wewenang. Penerapan lembaga Hakim Komisaris merupakan mekanisme hukum yang diharapkan menjadi tahap minimalisasi terjadinya pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam sistem peradilan pidana terhadap upaya paksa yang tidak sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan berdasarkan sistem litigasi. Hakim Komisaris secara tidak langsung melakukan pengawasan atas pelaksanaan upaya paksa yang dilakukan oleh Penyidik dalam rangka penyidikan maupun Penuntut Umum dalam rangka penuntutan, mengingat tindakan upaya paksa pada dasarnya melekat pada instansi yang bersangkutan. Melalui lembaga ini juga dimungkinkan adanya pengawasan antara Kepolisian dan Kejaksaan dalam hal Penghentian Penyidikan dan Penghentian Penuntutan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Hakim Komisaris adalah lembaga yang merupakan salah satu model pengawasan secara horizontal yang diakomodir oleh Hukum Acara Pidana dalam rangka pembaharuan sistem peradilan pidana.

In its running tasks, law enforcement apparatus is not apart from the possibility to perform acts which are conflict with the legislation and regulations. One effort to ensure the protection of human rights of a suspect or defendant in the criminal justice process through the institution of law is establishing the institution namely Judicial Commissioner as the function and re-evaluation subsystem of criminal justice System that are aimed as a control force to the efforts of law enforcement has been given by law. With the policy directions that are based i n the framework of criminal law to the fair process (due process of law), Judicial Commissioner is established as a supervision to the force efforts made in the law enforcement. At the stage of investigation and prosecution, the investigator and the general prosecutor have the authority to make termination of investigation and prosecution with the terms and conditions stipulated in the criminal justice system. It is needed the supervision to them in order to carry authority, not to misuse or abuse authority. With the Judicial Commissioner, it is hopefully expected to minim ize the occurrance of violations of human rights in the criminal justice system toward the force efforts that does not comply with the procedure who have been determined based on the litigation system. Judicial Commissioner indirectly supervise the implementation of the force action which is done by the investigators in the investigation and by the general prosecutors in the prosecution effort. Through this institution, it is also possible for the supervision of police and prosecutors in the case of termination of investigation and termination of the prosecution. So that it can be said that the Judicial Commissioner is a horizontally control model in the framework of criminal justice system."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T25929
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bagas Dzikri Praludya
"Tulisan ini berisi mengenai Asas Dominus Litis dan perkembangan dalam sejarahnya pada sistem peradilan serta analisis dari implementasi peran Jaksa Penuntut Umum sebagai Dominus Litis dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian doktrinal dan non-doktrinal dengan menggunakan buku, jurnal, artikel, skripsi dan melalui wawancara dengan aparat penegak hukum serta praktisi hukum di Indonesia. Asas Dominus Litis adalah asas dalam Hukum Acara Pidana yang memberikan kewenangan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk mengontrol dan mengendalikan jalannya perkara tindak pidana serta menentukan apakah suatu perkara tindak pidana layak atau tidak untuk dilanjutkan ke tahap penuntutan dalam sidang pengadilan. Namun, dalam praktiknya masih ditemukan kendala sehingga implementasi terhadap Asas Dominus Litis ini belum terwujud secara utuh di Indonesia. Adapun kendala yang terdapat dalam implementasi asas ini di Kejaksaan Negeri Depok yakni dalam mekanisme koordinasi antara Jaksa Penuntut Umum dengan pihak penyidik terhadap suatu perkara tindak pidana yang ditangani, dalam penentuan dan pembuatan surat dakwaan, dan dalam penyelesaian perkara pidana di luar persidangan. Hal ini karena Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak memberikan kewenangan secara jelas kepada Jaksa Penuntut Umum untuk mengontrol dan memantau jalannya proses penyidikan yang dapat berakibat pada pengetahun dan pemahaman Jaksa Penuntut Umum dalam menilai dan meneliti berkas perkara yang diberikan oleh penyidik serta dapat berpengaruh pada keputusan Jaksa Penuntut Umum untuk menentukan suatu perkara tindak pidana layak atau belum untuk lanjut ke tahap penuntutan dalam sidang pengadilan.

This paper discusses the principle of Dominus Litis and its historical development within the judicial system, as well as an analysis of the implementation of the role of the Public Prosecutor as Dominus Litis in the Indonesian criminal justice system. The research method employed includes both doctrinal and non-doctrinal approaches by utilizing books, journals, articles, theses, and interviews with law enforcement officials and legal practitioners in Indonesia. The principle of Dominus Litis in criminal procedural law grants the Public Prosecutor the authority to control and direct the course of a criminal case and to determine whether a criminal case is appropriate to be brought to trial. However, in practice, challenges remain, preventing the full realization of the Dominus Litis principle in Indonesia. The obstacles encountered in its implementation at the Depok District Prosecutor's Office include issues in coordination mechanisms between the Public Prosecutor and the investigators handling a criminal case, in the determination and drafting of indictments, and in the resolution of criminal cases outside the courtroom. This is due to the Criminal Procedure Code (KUHAP) not explicitly granting the Public Prosecutor the authority to supervise and monitor the investigation process, which in turn affects the Public Prosecutor’s knowledge and understanding in assessing and reviewing case files submitted by the investigators, and may influence the decision on whether a case is ready to proceed to the prosecution stage in court."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purnianti
Jakarta: UNICEF, 2003
364.38 PUR a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sidharta Praditya Revienda Putra
"Tesis ini membahas mengenai pro dan kontra yang muncul seiring dengan perdebatan mengenai pidana mati dilihat dari falsafah pemidanaan serta pelaksanaannya. Louk H.C. Hulsman, seorang sarjana hukum Belanda, menghubungkan pidana dan sistem peradilan pidana dengan menggunakan pendekatan kemanusiaan dan rasionalistik. Pendekatan Hulsman tersebut digunakan penulis untuk melihat apakah tujuan pemidanaan pidana mati sebagaimana the law on the books akan dapat diwujudkan dalam pelaksanaannya sebagai the law in action dan bagaimana pengaturan pidana mati dalam pembaharuan hukum Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian normatif, yang mengumpulkan dan mengolah data dari data kepustakaan serta dianalisa menggunakan pendekatan filsafat hukum (legal philosophy approach), pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan konsep (conceptual approach) dengan metode analisa deskriptifkualitatif, sehingga hasil yang diperoleh setalah dilakukan analisa hasil penelitian adalah kesimpulan bahwa falasafah pemidanaan pidana mati adalah retributif dan untuk mencegah masyarakat (potential offender) agar tidak melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati (teori prevensi umum/general deterrence) yang diwujudkan oleh sistem peradilan pidana saat ini tidak akan pernah mencapai tujuannya. Pengaturan pidana mati dalam pembaharuan hukum Indonesia lebih rasional dan manusiawi serta dimungkinkan sistem peradilan pidana dapat mewujudkan tujuan pemidanaan dari pidana mati yaitu demi pengayoman masyarakat yang menitikberatkan pada pencegahan (deterrent) dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum.

The thesis examines pros and cons which often appearing along with the debate on death penalty seen from the philosophy and the punishment. Louk H.C. Hulsman, a Dutch jurist and criminologist, relates crimes and criminal justice system using humanitarian and rationalistic approach. The Hulsman approach was used to see whether the purpose of the death penalty as the aw on the books can be implemented as the law in action. In this case, the study sees criminal justice system as a process and death penalty arrangement in Indonesian law reform. The method used was normative research which collected and processed data taken from legal philosophy approach, statute approach, and conceptual approach with qualitative-descriptive analysis method. This study concluded that the philosophy of death penalty was retributive. In addition, it was to warn the society (potential offender) committing crimes charged with death sentence (general deterrence theory). The existing criminal justice system will never be able to reach the philosophy of death penalty mentioned above. The new Indonesian Criminal Law s more rational and humane and there is a possibility for the criminal justice system to actualize the purpose of death penalty that is the society protection emphasizing on the deterrence of committing crimes by upholding legal norms."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28576
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
M. Hardika Aji Drajatsatria
"Skripsi ini membahas mengenai pengaturan hukuman mati di Indonesia ditinjau dari aspek politik hukum pidana. Permasalahan yang diangkat ialah pertama, apa dasar politik hukum pidana oleh para pembuat kebijakan memasukan hukuman mati dalam jenis hukuman pidana. Kedua, jenis tindak pidana apa saja yang dapat diancamkan dengan hukuman mati ditinjau dari frasa kejahatan paling serius, dimana diatur dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Penelitian ini menggunakan metode yuridis-normatif, dimana data penelitian ini sebagian besar dari studi kepustakaan yang diperoleh. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa (1) dasar politik hukum pidana diaturnya hukuman mati dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia ialah berdasarkan tujuan pemidanaan baik tujuan pembalasan ataupun pemidaan sebagai sebuah tujuan. (2) jenis tindak pidana yang dapat diklasifikasikan sebagai kejahatan paling serius didasarkan oleh instrument hukum internasional yang terkait dan dibandingkan dengan kejahatan yang di Indonesia dianncamkan dengan hukuman mati.

This main of this study is the arrangements about the death penalty in Indonesian in terms of aspect criminal legal policy. The problem is, first, what political policy makers criminal legal policy include the death penalty as a criminal punishment. Second, what are types of crime that can be threatened with the death penalty in terms of the most serious crime. This research is a normative juridical research, which some of the data are based on the related literatures. The results of this study stated that, (1) criminal legal policy in the regulation of the death penalty in Indonesia regulatory purpose of retribution and utilitarian theory. (2) Types of offenses classified as the most serious crime to compare International human right instrument with Indonesian law regulation.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S55426
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inten Kuspitasari
"Pidana mati di Indonesia diberlakukan sejak zaman penjajahan Belanda hingga sekarang, tetapi dalam pelaksanaannya banyak penundaan eksekusi pidana mati yang cukup lama bahkan sampai bertahun-tahun lamanya, sehingga membuat asumsi tidak adanya kepastian hukum bagi penerapan pelaksanaan eksekusi pidana mati. Dan pejabat yang mempunyai kewenangan dalam pelaksanaan pidana mati adalah Jaksa. Metode yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum yuridis normative. Penundaan pelaksanaan eksekusi pidana mati dapat terjadi karena beberapa faktor, diantaranya: Faktor Substansi Hukum (Perundang-undangan), Faktor Penegakan Hukum (Struktur Hukum) serta Faktor Sarana dan Fasilitas. Saran yang dapat diberikan yaitu agar pembuat undang-undang dan para penegak hukum agar segera membuat aturan yang mengatur tentang adanya batasan waktu dalam mengajukan pelaksanaan eksekusi pidana mati guna memperlancar eksekusi pidana mati sehingga memperoleh kepastian hukum yang jelas.

Capital punishment in Indonesia has been in effect since the Dutch colonial era until now, but in practice there are many delays in the execution of the death penalty which is quite long even for years, thus making the assumption that there is no legal certainty for the implementation of the execution of capital punishment. And the official who has the authority in carrying out capital punishment is the Prosecutor. The method used in writing this law is normative juridical research. Postponement of the execution of capital punishment can occur due to several factors, including: egal Substance Factor (Invitation Act), Law Enforcement Factor (Legal Structure) and Facilities and Facilities Factors. Suggestions that can be given are for lawmakers and law enforcers to immediately make rules governing the existence of time limits in proposing the execution of capital punishment in order to facilitate the execution of capital punishment so as to obtain clear legal certainty."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rima Ameilia
"ABSTRAK
Perlindungan terhadap hak-hak anak mutlak diperlukan. Negara sebagai pihak yang menjamin kepastian hak-hak anak Indonesia juga Wajib memastikan hak-hak anak tersebut terpenuhi. Anak dalam peradilan pidana memiliki kerentanan yang lebih dari biasanya, terutama dalam hal pelanggaran hak-haknya. Oleh karena itu diperlukan perlindungan yang khusus. Analisis Rancangan Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia merupakan upaya peneliti dalam berkontribusi mewujudkan mekanisme perlindungan hak-hak anak dalam peradilan pidana anak bagi anak-anak yang disangka atau divonis sebagai pelanggar hukum pidana. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif peneliti melakukan analisis wacana kritis terhadap teks Rancangan Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia pada bagian Acara Peradilan Anak. Melakukan interpretasi terhadap teks merupakan langkah awal yang digunakan, kemudian melakukan dekonstruksi terhadap teknis tersebut. Berdasarkan analisis yang sudah dilakukan oleh peneliti, rnaka hasil dari teknik analisis wacana kritis terhadap Rancangan Undang Undang Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia pada Acara Peradilan Anak belum cukup mewakili hak-hak anak dan berpihak pada anak dalam sistem peradilan pidana.

ABSTRACT
The protection of children's rights is absolutely necessary. State as a party, which ensures the rights of children in Indonesia are also required to ensure children's rights are met. Children in the criminal justice have more vulnerability than usual, especially in the case of violation of his rights. Therefore, it needs special protection. Analysis of the Draft Law on Children's Criminal Justice System in Indonesia is contributing to the efforts of researchers in realizing the mechanism of protection of the rights of children in child criminal justice for children suspected of or convicted for criminal offenders. By using a qualitative research approach to critical discourse analysis of the text of the Draft Law on Children's Criminal Justice System in Indonesia on the Occasion of Juvenile Justice. Interpretations of the text is the first step used, then perform the deconstruction of the text. Based on the analysis already done by the researchers, the results of the techniques of critical discourse analysis of the Draft Law on Children's Criminal Justice System in Indonesia on the Occasion of Juvenile Justice has not adequately represent the rights of children and in favor of the children in the criminal justice system."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Panjaitan, Melvia Body
"ABSTRAK
Tesis ini membahas konsep justice collaborator dalam praktik sistem peradilan
pidana Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis
normatif. Pada mulanya Justice Collaborator hanya dikenal dalam Praktik Sistem
Peradilan Pidana Indonesia. Analisa penerapan konsep Justice Collaborator atas 3
(tiga) kasus yakni Agus Condro Prayitno, Kosasih Abbas dan dibahas Thomas
Claudius Ali Junaidi sebagai bahan analisis dalam tesis ini. Dari hasil analisis
diperoleh kesimpulan bahwa terdapat ketidakseragaman pemahaman dari para
penegak hukum dalam menerapkan Konsep Justice Collaborator dalam Praktik
Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Untuk itu ada beberapa kriteria untuk dapat
dijadikan Justice Collaborator yaitu: tindak pidana yang akan diungkap merupakan
tindak pidana serius dan/atau terorganisir; bukan pelaku utama dalam tindak pidana
yang akan diungkapnya; memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses
peradilan; Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang
bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan;
inisiatif dari pelaku kejahatan tersebut untuk mengakui perbuatannya dan bersedia
membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap perkara dimaksud; Pelaku
kejahatan membuat perjanjian mengenai kedudukan nya sebagai Justice Collaborator
dengan Jaksa Penuntut Umum. Kedepan dibutuhkan formulasi dan konsepsi
pengaturan Justice Collaborator dalam proses hukum pidana sebagai upaya
pembaharuan hukum pidana di Indonesia serta integrasi antar penegak hukum untuk
mewujudkan Sistem Peradilan Pidana yang well-done-integrated dalam menerapkan
Konsep Justice Collaborator

ABSTRACT
This thesis discusses the concept of justice collaborator in the practice of the
Indonesian criminal justice system. The method used is a normative juridical
research. Justice Collaborator at first known only in Indonesia Practice Criminal
Justice System. Analysis of the application of the concept of Justice Collaborator on
three (3) cases namely Agus Condro Prayitno, Kosasih Abbas and Thomas Claudius
Ali Junaidi discussed as material analysis in this thesis. From the analysis we
concluded that there is a variation on the understanding among the law enforcement
officer in applying the concept of Justice Collaborator in Practice Criminal Justice
System. There are several criteria to fullfiled as Justice Collaborator, namely: a
criminal act that will be revealed is a serious criminal offense and / or organized; not
the main offender in the crime that will revealed; testified as a witness in the court;
Prosecution lawsuit alleges that the offender has provided information and evidence
is very significant; initiative of the offender to confess and willing to assist law
enforcement officer to uncover the case; offender made an agreement regarding his
position as Justice Collaborator with the Public Prosecutor. In the future there is
should be a formulation and conception of Justice Collaborator in the process of
criminal law as an effort to reform the criminal law in Indonesia as well as the
integration among law enforcement officer to created the well-done-integrated
Criminal Justice System in applying the concept of Justice Collaborator."
2016
T46150
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>