Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 243696 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Adil Khan
"Diabetes melitus tipe 2 (T2DM), suatu gangguan metabolik kronis, sering kali dikaitkan dengan komplikasi dan komorbiditas yang memerlukan rawat inap untuk penanganan yang efektif. Kompleksitas perawatan bagi pasien ini sering kali membutuhkan penggunaan berbagai obat secara bersamaan, yang secara signifikan meningkatkan risiko potensi interaksi obat-obat (pDDI). Namun, masalah ini masih kurang mendapat perhatian yang memadai. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan prevalensi dan relevansi klinis pDDI pada pasien rawat inap dengan T2DM, mengidentifikasi faktor prediktor yang terkait, serta mengusulkan strategi yang dapat diterapkan untuk mengurangi dampaknya.Penelitian ini dilakukan dengan desain studi potong lintang retrospektif dua fase di sebuah rumah sakit tipe A (RSUI) menggunakan rekam medis pasien rawat inap dari Januari 2022 hingga Desember 2023. Fase 1 menganalisis prevalensi pDDI dan mengidentifikasi faktor prediktor menggunakan regresi logistik. Perangkat lunak Lexicomp® digunakan untuk meninjau profil obat pasien serta mengklasifikasikan pDDI berdasarkan tingkat keparahan, kategori risiko, dan tingkat dukungan bukti. Fase 2 menilai relevansi klinis pDDI utama dengan menghubungkan interaksi obat terhadap gejala klinis, kelainan laboratorium, dan kejadian efek samping.Dari 430 pasien T2DM, sebanyak 84,7% (n=364) mengalami pDDI, dengan total 1.642 interaksi yang teridentifikasi. Interaksi kategori sedang mencakup 77,5% (n=1.273), sementara 12,2% (n=201) tergolong interaksi utama. Berdasarkan kategori risiko, 77,5% (n=1.187) diklasifikasikan sebagai C, 15,3% (n=251) sebagai D, dengan tingkat dukungan bukti ‘cukup’ pada 64,8% (n=1.064) dan ‘baik’ pada 27,2% (n=447).Analisis multivariat menunjukkan adanya hubungan signifikan antara pDDI dengan penggunaan 7–12 jenis obat (OR = 30,1; p < 0,001) serta lama rawat inap ≥4 hari (OR = 9,7; p = 0,001). Interaksi utama secara signifikan berkaitan dengan penggunaan ≥13 obat (OR = 5,5; p = 0,002), lama rawat inap ≥4 hari (OR = 11,3; p < 0,001), serta infeksi saluran kemih (OR = 3,5; p = 0,02). Pasien dengan pDDI utama mengalami hipoglikemia, hiperglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, serta penurunan respons terapi.Temuan ini menyoroti tingginya prevalensi pDDI pada pasien T2DM dan menunjukkan perlunya strategi manajemen yang proaktif untuk menangani polifarmasi, lama rawat inap yang berkepanjangan, serta komorbiditas. Pemantauan ketat dan intervensi yang terarah sangat penting untuk mengurangi dampak negatif terhadap pasien.

Type 2 diabetes mellitus (T2DM), a chronic metabolic disorder, is frequently associated with complications and comorbidities that often require hospitalization for effective management. The complexity of care for such patients frequently requires multiple medications, and the simultaneous use of these treatments significantly increases the risk of potential drug-drug interactions (pDDIs). However, this issue remains inadequately addressed. This research aimed to determine the prevalence and clinical relevance of pDDIs among inpatients with T2DM, identify associated predictors, and propose actionable strategies to mitigate their impact. A two-phase retrospective cross-sectional study was conducted at a type A hospital (RSUI) using inpatient records from January 2022 to December 2023. Phase 1 analyzed the prevalence of pDDIs and identified predictors using logistic regression. Lexicomp® software was used to screen medication profiles and classify pDDIs based on severity, risk ratings, and documentation levels. Phase 2 assessed the clinical relevance of major pDDIs by correlating interactions with clinical symptoms, laboratory abnormalities, and adverse outcomes. Among 430 T2DM patients, 84.7% (n=364) experienced pDDIs, with 1,642 interactions identified. Moderate interactions comprised 77.5% (n=1,273), while 12.2% (n=201) were major. Risk ratings included 77.5% (n=1,187) classified as C, 15.3% (n=251) as D, and evidence support was ‘fair’ in 64.8% (n=1,064) and ‘good’ in 27.2% (n=447). Multivariate analysis revealed significant associations between pDDIs and prescriptions of 7–12 medications (OR = 30.1; p < 0.001), and hospital stays ≥4 days (OR = 9.7; p = 0.001). Major pDDIs were significantly linked to ≥13 medications (OR = 5.5; p = 0.002), ≥4 days hospitalization (OR = 11.3; p < 0.001), and urinary tract infections (OR = 3.5; p = 0.02). Patients with major pDDIs exhibited hypoglycemia, hyperglycemia, electrolyte imbalances, and reduced therapeutic responses. The findings underscore the high prevalence of pDDIs in T2DM patients and highlight the need for proactive management strategies to address polypharmacy, prolonged hospitalization, and comorbidities. Close monitoring and targeted interventions are essential to mitigate adverse outcomes"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsudin
Jakarta: UI-Press, 2011
615.7045 SYA i (1);615.704 5 SYA i (2)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Bandung ITB 1989,
615.704 5 Har i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Eninta Kartagena
"Pasien yang diberikan terapi antipsikosis dapat mengalami efek samping sehingga diperlukan kombinasi obat. Kombinasi obat dapat menimbulkan risiko terjadinya interaksi obat. Interaksi obat dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan ataupun merugikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran peresepan dan masalah interaksi pada peresepan golongan antipsikotik di Apotek X, Jakarta Timur. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan metode potong lintang. Analisis menggunakan aplikasi Micromedex dan uji Kai Kuadrat. Data diambil dari 436 lembar resep antipsikosis selama bulan Januari sampai dengan Februari 2017. Sebanyak 340 lembar resep 77,98 antipsikosis memiliki interaksi. Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara jumlah obat dalam satu resep dengan banyaknya interaksi yang terjadi. Haloperidol merupakan obat golongan antipsikosis yang paling banyak diresepkan dengan 156 lembar resep 30,29.

Patient who are given antipsychotic therapy may have side effects so that combination therapy may be required. Combination of drugs may cause the risk of drug interaction. Drug interaction may occur undesirable or harm effect. This study aim to determine the description of drug prescribing and drug interaction problem in the antipsychotic prescribing at Apotek X, East Jakarta. This study is descriptive analytical research based on the cross sectional method. Analysis using Micromedex application and Chi Square test. Data were taken from 436 antipsychotic prescription during the January February 2017. A total of 340 prescriptions 77,98 proofed to have drug interaction. This study concluded there is significant relationship between the total of drug prescribed with total of interaction. Haloperidol is the most widely prescribed antipsychotic drug with 156 30,29 prescription."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2017
S69395
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Dwi Sukmawati
"Dislipidemia merupakan faktor risiko terjadinya penyakit kardiovaskular dengan statin sebagai lini pertama pengobatannya. Keadaan dislipidemia biasanya diikuti oleh penyakit lain sehingga untuk terapinya diperlukan kombinasi obat. Penggunaan kombinasi obat akan meningkatkan risiko dari interaksi obat. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis interaksi obat golongan statin pada resep pasien rawat inap di RSPAD Gatot Soebroto periode Februari-April 2017. Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan pengambilan data secara prospektif. Penapisan interaksi menggunakan Micromedex dan Medscape Drug Interaction Checker. Hasil analisis didapatkan 558 kasus interaksi dari 490 jumlah resep yang memenuhi kriteria inklusi. Interaksi obat terbanyak memiliki tingkat keparahan moderat 88 diikuti dengan tingkat keparahan mayor 11 , dan minor 1 . Kombinasi statin dan klopidogrel merupakan kombinasi obat yang paling banyak mengalami interaksi. Mekanisme interaksi yang paling banyak terjadi pada penelitian ini adalah interaksi farmakokinetik. Hasil analisis bivariat menggunakan SPSS dengan uji Chi square menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara jumlah obat tiap resep dan interaksi p= 0,000.

Dyslipidemia is a risk factor for cardiovascular disease with statins as the first line treatment. Dyslipidemia is usually followed by other diseases that lead to the need of drugs combination therapy. Drugs combination will increase the risk of drug interactions. The purpose of this study was to analyze statin drug interactions in prescription of hospitalized patients at Gatot Soebroto Army Center Hospital in period of February April 2017. This study was analytical descriptive with prospective data collection. Drug interaction screening used Micromedex and Medscape Drug Interaction Checker. The analysis results obtained 558 cases of interactions of 490 prescriptions that complied the inclusion criteria. The most common drug interaction contained moderate severity of 88 followed by major severity of 11 , and minor 1 . Statin and clopidogrel were the most frequent combination that lead to interactions. The most frequent interaction mechanism in this study was pharmacokinetic interactions. The result of bivariate analysis which used SPSS with Chi square test showed that there was a significant correlation between the number of drug each prescription and the interaction p 0,000."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2017
S67509
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Galuh Zhafirah Rahmita
"Tuberkulosis Resisten Obat (TB RO) merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang sudah resisten terhadap obat lini pertama. Penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan di dunia karena penularannya sangat cepat dan morbiditasnya cukup tinggi. Banyaknya obat yang digunakan dalam pengobatan TB RO menyebabkan kemungkinan munculnya reaksi obat tidak diinginkan (ROTD). ROTD dapat menjadi salah satu faktor penyebab ketidakpatuhan pasien dan pada akhirnya dapat mempengaruhi hasil pengobatan. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis hubungan antara ROTD dengan kepatuhan dan hasil pengobatan TB RO. Desain studi yang digunakan adalah cross sectional dengan data dari rekam medis pasien di RS UI periode 1 April 2022–28 Februari 2023. Analisis data menggunakan uji Chi Square. Dari 65 pasien ditemukan pasien yang mengalami ROTD sebanyak 62 pasien yang didominasi oleh pasien laki-laki, usia produktif, tidak memiliki penyakit penyerta, serta pasien yang menggunakan paduan pengobatan jangka panjang. Hasil Uji Chi Square untuk ROTD dengan kepatuhan menunjukkan nilai p=0.373 (p>0.05) dan untuk ROTD dengan hasil pengobatan didapatkan nilai p=0.120 (p>0.05). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara ROTD dengan kepatuhan dan hasil pengobatan pasien tuberkulosis resisten obat di Rumah Sakit Universitas Indonesia.

Drug Resistant Tuberculosis is a disease caused by Mycobacterium tuberculosis which is resistant to the first-line drugs. This disease is still a health problem worldwide because of its fast transmission and high morbidity rate. The large number of drugs used to treat Drug Resistant Tuberculosis causes the possibility of Adverse Drug Reactions (ADRs). ADRs can be one of the factors causing patient non-compliance and can ultimately affect treatment outcomes. This study aimed to analyze the relationship between ADRs with adherence and treatment results of Drug Resistant Tuberculosis. The research design used was cross sectional with medical record data of Drug Resistant Tuberculosis patients at University Indonesia Hospital from April 1, 2022, until February 28, 2023. Data analysis used the Chi Square test. From 65 patients, 62 patients with ADRs were found, dominated by male patients, adult patients with no comorbidities, and patients who used long-term combination medication. The results of the Chi Square Test ADRs with adherence showed a value of p=0.373 (p>0.05) and for ROTD with treatment results obtained p=0.120 (p>0.05). From this study, it can be concluded that there is no relationship between ADRs with Adherence and Treatment Result of Drug Resistant Tuberculosis Patients at University of Indonesia Hospital."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yumna Nabila Fanani
"Coronavirus disease 2019 (Covid-19) adalah penyakit yang muncul di akhir tahun 2019. Namun, hingga saat ini belum ada terapi spesifik untuk penanganan Covid-19 sehingga digunakan beragam obat dalam terapinya. Kondisi ini membuat sebagian besar pasien Covid-19 tergolong dalam pasien polifarmasi sehingga dapat meningkatkan risiko interaksi obat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis potensi interaksi obat pada pasien Covid-19 di Rumah Sakit Universitas Indonesia periode Agustus sampai Desember 2020. Penelitian ini menggunakan desain studi cross-sectional. Pengambilan data dilakukan dengan teknik consecutive sampling. Instrumen yang digunakan untuk analisis interaksi obat adalah Lexi-Interact®. Dari 107 pasien Covid-19 yang digunakan sebagai sampel penelitian, antibiotik dan antivirus yang banyak diberikan adalah azitromisin (61,68%) dan oseltamivir (63,55%). Jumlah resep yang ditemukan dari 107 pasien berjumlah 322 resep dengan 98,1% termasuk dalam resep polifarmasi. Kejadian potensi interaksi obat pada pasien Covid-19 ditemukan berjumlah 304 interaksi obat, dengan 24,01% kategori B (tidak perlu tindakan apa pun), 54,61% kategori C (pantau terapi), 16,45% kategori D (pertimbangkan modifikasi terapi), dan 4,93% kategori X (hindari kombinasi). Potensi interaksi obat terbanyak yang ditemukan pada kategori D adalah interaksi antara azitromisin dengan domperidon (14 kasus), sedangkan pada kategori X adalah interaksi antara sukralfat dengan vitamin D3 (14 kasus). Analisis korelasi Spearman’s rho menunjukkan korelasi antara komorbid, jumlah obat per resep, dan lama rawat inap dengan potensi interaksi obat (p < 0,05). Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat berbagai potensi interaksi obat yang terjadi pada pasien Covid-19 di Rumah Sakit Universitas Indonesia sehingga diperlukan modifikasi terapi, pengaturan waktu pemberian obat, perubahan rute pemberian obat, penyesuaian dosis, dan pemantauan efek yang mungkin muncul akibat interaksi obat.

Coronavirus disease 2019 (Covid-19) is an infectious disease that emerged at the end of 2019. There is currently no specific treatment for Covid-19, so various drugs have been used for treatment. It makes the majority of Covid-19 patients classified as polypharmacy and increased risk of drug interactions. The primary aim of this study is to analyze the potential of drug interaction in Covid-19 patients at Universitas Indonesia Hospital for period August to December 2020. This study used a cross-sectional study design. The data was collected with consecutive sampling technique. Lexi-Interact® was used to investigate potential drug interactions. A total of 107 Covid-19 patients were included in the study, the most frequently antibiotic and antiviral used are azithromycin (61.68%) and (63.55%). A total of 322 prescriptions were found, among them 98.1% were polypharmacy. The potential drug interactions in Covid-19 patients were found 304 drug interactions, around 24.01% belonged to risk category B (no action needed), 54.61% belonged to risk category C (monitor therapy), 16.45% belonged to risk category D (consider therapy modification), and 4.93% belonged to risk category X (avoid combination). The highest frequency of potential drug interactions in category D was the interactions between azithromycin and domperidone (14 cases), while in category X was the interaction between sucralfate and vitamin D3 (14 cases). Spearman’s rho correlation analysis showed that comorbidity, number of drugs per prescription used by patient, and length of stay were correlated with the potential for drug interactions (p < 0.05). The conclusion of this study is various potential drug interactions Covid-19 inpatients at the University of Indonesia Hospital were found, so therapy modification, timing of drug administration, change the route of drug administration, dosage adjustment, and monitoring potential negative effects are needed."
Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
S70514
UI - Dokumentasi  Universitas Indonesia Library
cover
Shinta Kamila
"Acute kidney injury (AKI) didefinisikan sebagai penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba dalam waktu 7 hari. AKI dapat disebabkan oleh obat-obatan nefrotoksik yang disebut dengan istilah Drug Induced Acute Kidney Injury (DI-AKI). Obat nefrotoksik merupakan penyebab paling umum ketiga dari penyakit ginjal dan bertambah buruk dalam beberapa dekade terakhir karena seringnya penggunaan obat nefrotoksik serta dikaitkan dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Studi retrospektif ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi kejadian DI-AKI, karakteristik pasien, jenis obat yang berpotensi menyebabkan AKI, beserta faktor yang dapat memengaruhi terjadinya DI-AKI pada pasien rawat inap di Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI) pada tahun 2021. Untuk menelusuri pasien yang mengalami AKI digunakan kode diagnosa ICD 10 dan analisis kausalitas obat menggunakan algoritma Naranjo. Total pasien rawat inap di RSUI tahun 2021 adalah 4.273 pasien dan terdapat 397 pasien (9,3%) yang memiliki diagnosis AKI saat masuk rawat inap dan selama perawatan. Dari 397 pasien, 38 pasien (9,5%) masuk ke dalam kriteria inklusi. Prevalensi DI-AKI pada pasien rawat inap di RSUI tahun 2021 adalah sebesar 8,31% (33 pasien) dari seluruh pasien yang memiliki diagnosis AKI saat masuk rawat inap dan selama perawatan, serta sebesar 0,77% dari seluruh pasien rawat inap di RSUI pada tahun 2021. Berdasarkan algoritma Naranjo, dari 33 pasien yang mengalami DI-AKI terdapat 3 pasien (7,89%) dengan derajat kausalitas dapat terjadi (probable) dan 30 pasien (78,95%) dengan derajat kausalitas belum pasti terjadi (possible). Obat yang berpotensi menyebabkan AKI terbanyak berasal dari golongan diuretik (29,76%), golongan antibiotik (21,43%), golongan ACEi/ARB (21,43%), golongan antiviral (9,52%) dan golongan NSAID (7,14%). Dalam penelitian ini, mayoritas pasien yang mengalami DI-AKI merupakan pasien laki-laki, berusia 18-59 tahun, menggunakan ≥15 obat lain, dan memiliki ≥4 masalah kesehatan. Sementara itu, tidak ditemukan hubungan yang signifikan pada faktor usia, jenis kelamin, jumlah obat, dan jumlah masalah kesehatan terhadap kejadian DI-AKI pada penelitian ini.

Acute kidney injury (AKI) is defined as a sudden decrease in kidney function within 7 days. AKI can be caused by nephrotoxic drugs and called as Drug-Induced Acute Kidney Injury (DI-AKI). Nephrotoxic drugs are the third most common cause of kidney disease and have worsened in recent decades due to the frequent use of nephrotoxic drugs and are associated with high mortality rates. This retrospective study aims to determine the prevalence of DI-AKI, patient characteristics, types of drugs that have the potential to cause AKI, along with factors that can influence the occurrence of DI-AKI in inpatients at University of Indonesia hospital in 2021. ICD 10 diagnostic code was used for detecting AKI and Naranjo algorithm was used for analyzing adverse effects. Total inpatients at the University of Indonesia hospital (RSUI) in 2021 were 4.273 patients and 397 patients (9,3%) diagnosed with AKI on admission and during treatment in hospital. Of the 397 patients, 38 (9,5%) were included in this study. The prevalence of DI-AKI in inpatients at RSUI in 2021 was 8,31% (33 patients) out of patients diagnosed with AKI on admission and during treatment in hospital, and 0,77% of all inpatients at RSUI in 2021. Naranjo algorithm showed 3 patients (7,89%) in the probable category and 30 patients (78,95%) in possible category. The most common drug groups causing AKI were diuretics (29,76%), antibiotics (21,43%), ACEi/ARBs (21,43%), antiviral (9,52%) and NSAIDs (7,14%%). In this study, DI-AKI mostly occurred in male patients, 18-59 years old, used ≥15 concomitant drugs, and had ≥4 medical problems. Meanwhile, there was no significant relationship between age, gender, number of drugs, and number of medical problems and the incidence of DI-AKI found in this study."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghea Shafa Aldora
"Liver injury didefinisikan sebagai kenaikan konsentrasi enzim hati yang sering diukur, termasuk aminotransferase [aspartat aminotransferase (AST), alanin aminotransferase (ALT)], alkalin fosfatase (ALP), atau γ-glutamyl transpeptidase. Drug-induced liver injury (DILI) adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan bahaya tak terduga pada hati yang disebabkan oleh obat yang umum digunakan. Penelitian cross-sectional retrospektif ini dilakukan untuk menganalisis prevalensi kejadian DILI dan golongan obat yang berpotensi menyebabkan kejadian DILI pada pasien rawat inap ICU dan non-ICU Rumah Sakit Universitas Indonesia Tahun 2021. Analisis DILI dilakukan dengan menggunakan algoritma Naranjo. Pada penelitian ini, prevalensi DILI pada pasien rawat inap di RSUI tahun 2021 sebesar 35,83% dari pasien dengan diagnosis liver injury saat masuk rawat inap dan selama perawatan, sedangkan prevalensi DILI pada seluruh pasien rawat inap ICU dan non-ICU di RSUI tahun 2021 adalah sebesar 1,01%. Sebanyak 1 pasien (2,13%) termasuk dalam kejadian dapat terjadi DILI (probable) dan 42 pasien (89,36%) kejadian belum pasti terjadi DILI (possible). Golongan obat yang ditemukan berpotensi menimbulkan DILI adalah antibiotik (31,58%), agen kardiovaskular (24,21%), analgesik (14,74%), antitukak (11,58%), antivirus (8,42%), antiemetik (8,42%), dan antidiabetes (1,05%). Pada penelitian ini, DILI banyak ditemukan pada pasien laki-laki, berumur 18-59 tahun, memiliki BMI gemuk (≥25,1), dan memiliki jumlah masalah kesehatan ≥2. Hasil menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara jenis kelamin, usia, BMI, dan jumlah masalah kesehatan dengan DILI. Dapat disimpulkan bahwa DILI merupakan salah satu penyebab utama dari liver injury di RSUI sehingga diperlukannya monitoring dan penilaian DILI secara berkala.

Liver injury is defined as elevations in the concentration of frequently measured liver enzymes, including aminotransferase [aspartate aminotransferase (AST), alanine aminotransferase (ALT)], alkaline phosphatase (ALP), or γ-glutamyl transpeptidase. Drug-induced liver injury (DILI) is a term used to describe unexpected harm to the liver caused by commonly described drugs. This retrospective cross-sectional study was conducted to analyze the prevalence of DILI and the categories of drugs that have the potential to caused DILI in ICU and non-ICU inpatients at University of Indonesia hospital in 2021. DILI analysis was performed using Naranjo algorithm. According to this research, the prevalence of DILI in inpatients at RSUI in 2021 was 35.83% of patients diagnosed with liver injury on admission and during treatment in the hospital, while the prevalence of DILI in all inpatients at RSUI in 2021 was 1.01%. In which, 1 patient (2.13%) was assessed as a probable DILI event, and 42 patients (89.36%) were assessed as possible DILI event. Antibiotics (31.58%), cardiovascular agents (24.21%), analgesics (14.74%), anti-ulcers (11.58%), antivirals (8.42%), antiemetics (8.42%), and antidiabetics (1,05%) were the major categories of drugs with the potential of causing DILI. In this study, most cases of DILI occurred in men gender, age 18-59 years, with obese BMI (≥25.1), and patients with health issues ≥2. The analysis showed there was no significant relationship between gender, age, BMI, and number of health problems with DILI. It can be concluded that DILI is one of the main causes of liver injury at RSUI in which regular monitoring and assessment of DILI is deemed to be necessary."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stefanus Imanuel Setiawan
"Tuberkulosis TB merupakan salah satu penyakit pembunuh yang kerap menjadi masalah besar di dunia dan diperburuk oleh masalah efek samping obat yang berdampak pada terhentinya pengobatan pasien TB. Penelitian ini dilaksanakan untuk mengkaji hubungan antara efek samping OAT dengan keberlanjutan pengobatan TB. Studi ini dilakukan dengan desain penelitian analitik menggunakan studi cross-sectional dengan melibatkan 172 data rekam medis penderita TB paru dewasa yang diobati dan mendapatkan efek samping di RSCM selama tahun 2014.
Pada penelitian ini didapatkan 73,8 pasien mendapatkan efek samping minor dan 26,2 mengalami efek samping minor. Jenis efek samping minor yang muncul didominasi oleh gangguan gastrointestinal 34 dan jenis efek samping mayor didominasi hepatitis yang diinduksi oleh obat 60 . Penelitian ini menunjukkan terdapatnya hubungan yang bermakna antara variabel jenis efek samping dengan keberlanjutan terapi OR, 9,33; 95 CI, 4,20-20,72.

Tuberculosis TB is one of top infectious diseases killer and remains as a major health problem worldwide. Moreover, the TB treatment adverse effects are able to escalate the treatment default. This study aimed to evaluate the correlation between anti TB drug adverse reactions and treatment default. A cross sectional study was performed with a total of 172 medical record data of adult pulmonary TB patients who were treated with first line anti TB drugs in Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital during 2014 and experienced adverse reaction.
127 patients 73.8 were experiencing minor adverse reaction and 45 patients 26.2 were experiencing mayor adverse reaction. The adverse reaction was dominated by gastrointestinal disorders 34 and drug induced hepatitis 60. There was a significant correlation between adverse reactions of anti TB drug and the treatment default cases OR, 9.33 95 CI, 4.20 20.72 p.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70355
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>