Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 173959 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Honami Mulan Andadari Wicaksono
"Dugaan keberadaan 400 candi berdasarkan catatan Thomas Stamford Raffles dan banyaknya penemuan fragmen-fragmen dari zaman Hindu-Buddha, memberi kesan misterius pada Dataran Tinggi Dieng. Penelitian ini merupakan upaya dalam merangkai kembali narasi sejarah Dieng melalui salah satu tinggalan arkeologisnya yaitu Situs Ondho Budha. Sebagai situs yang sudah ditetapkan oleh BPCB pada tahun 2019, Situs Ondho Budha memiliki makna penting. Pemaknaan tersebut dapat dilihat melalui sisi religius kehinduan yang meliputi kawasan Dataran Tinggi Dieng dan menemukan korelasi antara karakteristik Situs Ondho Budha dengan konsep-konsep dalam ajaran agama Hindu seperti konsep axis mundi dan Gunung Mahameru, konsep Triloka, dan konsep Catur Purusa Artha. Penelitian ini menemukan bahwa Situs Ondho Budha berfungsi sebagai simbol perjalanan spiritual menuju moksha, yang hanya dilalui oleh individu dengan kesadaran spiritual tinggi, seperti kerabat kerajaan pada masa Hindu-Buddha. Temuan di sekitar Situs Ondho Budha juga menunjukkan adanya persebaran situs kepurbakalaan yang saling berasosiasi, mendukung teori bahwa Dataran Tinggi Dieng adalah kawasan sakral pada masa itu. Hasil penelitian ini menawarkan kebaruan dalam memahami fungsi dan makna religius Situs Ondho Budha dalam konteks religiusitas Hindu.

The hypothesis of the existence of 400 temples, based on records by Thomas Stamford Raffles and the numerous discoveries of fragments from the Hindu-Buddhist era, lends an air of mystery to the Dieng Plateau. This research endeavors to reconstruct the historical narrative of Dieng through one of its archaeological relics, the Ondho Budha Site. Officially recognized by the Cultural Heritage Preservation Agency (BPCB) in 2019, the Ondho Budha Site holds significant meaning. This significance is evident through the Hindu religious perspective encompassing the Dieng Plateau area, revealing correlations between the characteristics of the Ondho Budha Site and Hindu religious concepts such as the axis mundi and Mount Mahameru, the Triloka concept, and the Catur Purusa Artha concept. The study finds that the Ondho Budha Site serves as a symbol of spiritual ascent toward moksha, a path traversed only by individuals with heightened spiritual awareness, such as members of the royal family during the Hindu-Buddhist era. Findings around the Ondho Budha Site also indicate the dispersion of interrelated archaeological sites, supporting the theory that the Dieng Plateau was a sacred area in that period. This research provides new insights into the function and religious significance of the Ondho Budha Site within the context of Hindu religiosity."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2025
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mundardjito
"Kegiatan survei dan penelitian arkeologi di Indonesia sudah berlangsung lama sejak masa penjajahan Belanda. Namun demikian sampai saat ini tidak seorang pun dapat mengatakan secara pasti berapa jumlah sites arkeologi masa Hindu-Buda yang sudah pernah ditemukan, baik di daerah Jawa Tengah pada umumnya maupun di daerah Yogyakarta pada khususnya. Selain dari itu tidak seorang pun yang dapat menyatakan secara tepat di mana saja semua situs itu terletak, pada bentuk permukaan bumi seperti apa, bagaimana sebarannya, serta seberapa jauh kaitannya dengan lingkungan alam. Padahal keterangan mengenai lokasi sites, frekuensi, luas sebaran, kepadatan, bentuk konligurasi sebaran, dan korelasinya dengan sumberdaya alam merupakan data dasar yang biasa digunakan dalam studi arkeologi-ruang untuk mengetahui dan memahami berbagai hal mengenai perilaku dan gagasan keruangan masyarakat masa lalu.
Di berbagai bagian dunia penelitian arkeologi-ruang sudah lama dimulai (Parsons 1972.127-50; Clarke 1977:2-5), dan sudah lama pula diselenggarakan dengan strategi serta metode penelitian yang cukup memadai untuk mernungkinkan tercapainya tujuan penelitian sebagaimana dicontohkan oleh Gordon R. Willey dalam penelitian pionirnya di lembah Viru, Peru (Willey 1953). Demikian pula sudah hampir dua dasawarsa lamanya konsep arkeologi-ruang telah diperjelas serta dipertegas paradigmanya oleh David L. Clarke (1977), dan segala bentuk kajian yang sejenis dipersatukannya dalam satu wadah studi yang diberi nama spatial archaeology (arkeologi-ruang).
Di Indonesia paradigma arkeologi-ruang belum dijadikan landasan pokok dalam kebanyakan penelitian semacam ini, bahkan dengan berat hati dapat ditegaskan bahwa pelaksanaan penelitian arkeologi-ruang di negara kita masih dalam taraf uji coba, dan sebagian besar masih merujuk pada kajian keruangan yang kurang luas rentangan wawasannya. Relatif terlalu sedikit ahli arkeologi kita yang berhasrat terjun menekuni bidang kajian arkeologi-ruang, dan oleh karena itu belum banyak hasil penelitian yang dapat dijadikan bahan acuan atau bahan banding yang memadai. Oleh sebab itu pula masuk akal kiranya jikalau di negara kita data dasar yang biasa diperlukan dalam kajian arkeologiruang belum tersedia, atau kalau pun ada belum cukup siap untuk dapat digunakan secara Iangsung dalam penelitian khusus semacam ini. Pada dewasa ini Para peneliti arkeologiruang di Indonesia harus berupaya keras, dan menggunakan sebagian besar waktunya untuk melacak lebih dahulu informasi keruangan dari benda-benda dan situs-situs arkeologi yang pernah diketahui atau disebut dalam laporan-laporan inventarisasi kepurbakalaan, kernudian mendaur ulang dan menambahnya dengan data yang lebih lengkap dan lebih khusus, serta melengkapinya dengan data baru sebelum dapat diolah dalam tahap analisis untuk memungkinkan tercapainva tujuan penelitian dengan hasil yang memadai.
Kajian ini tidak lain merupakan satu upaya kecil untuk mengembangkan penelitian arkeologi-ruang di negara kita, khususnva dalam skala regional (makro) serta yang dilaksanakan dengan strategi dan metode yang dianggap sesuai dengan hakikat data arkeologi-ruang yang ada di lndonesia. Disadari sepenuhnya bahwa tanpa melakukan kajian semacam ini, perkembangan studi arkeologi-ruang di Indonesia niscaya akan menjadi amat lambat, sehingga akan makin jauh tertinggal dari penelitian serupa di negara lain. Arkeologi-ruang.
Pokok Kajian. Arkeologi-ruang, yang merupakan salah satu studi khusus dalam bidang arkeologi, pada pokoknya lebih menitikberatkan perhatian pada pengkajian dimensi ruang (spatial) dari benda dan situs arkeologi daripada pengkajian atas dimensi bentuk (formal) dan dimensi waktu (temporal). Dalam sejarah perkembangan arkeologi di berbagai bagian dunia, pengkajian khusus keruangan terhadap benda-benda arkeologi maupun situs-situs memang datang lebih kemudian daripada pengkajian atas dimensi bentuk dan waktu. Begin.) pula dalam empat dasawarsa terakhir ini di dunia arkeologi terdapat semacam pergeseran tekanan perhatian, yaitu dari pengkajian atas artefak kepada pengkajian atas situs yang pada hakikatnya merupakan satuan ruang tertentu tempat terletaknva sekumpulan artefak, Kemudian dalam tahap perkembangan berikutnya tekanan itu diberikan kepada pengkajian atas wilayah (region) sebagai satuan ruang yang lebih luas, tempat terletaknya situs-situs. Pemberian tekanan perhatian kepada dimensi ruang inilah yang mengakibatkan bergesernya kesibukan sebagian ahli arkeologi dari kajian morfologi, tipologi dan klasifikasi benda arkeologi kepada upaya untuk rnemperoleh kembali informasi keruangan sebagai babas untuk dikaii lebih cermat, baik dari benda-benda arkeologi yang berada dalam satuan ruang berupa sites maupun dari situs-situs yang berada dalam satuan ruang yang lebih luas berupa wilayah."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1993
D222
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Wayan Srijaya
"ABSTRAK
Kegiatan inventarisasi peninggalan purbakala yang ditemukan di pulau Bali telah dimulai sejak masa penjajahan Belanda. Kegiatan inventarisasi itu masih terbatas pada situs-situs yang terdapat di sekitar Pejeng dan Bedulu, sehingga tidak mengherankan apabila jumlah situs dan artefak yang terdaftar waktu itu berbeda jauh dengan apa yang didaftarkan kemudian. Di samping itu dilakukan pula kegiatan penelitian terhadap kepurbakalaan di Bali akan tetapi frekuensinya masih sangat terbatas dan baru beberapa dekade terakhir ini jumlahnya meningkat. Meskipun kegiatan penelitian itu intensitasnya meningkat, namun apa yang dilakukan masa itu belum mencakup seluruh aspek. misalnya aspek lingkungan fisik. Hal ini perlu mendapat perhatian, oleh karena lingkungan fisik khususnya, merupakan salah satu unsur yang membentuk budaya masyarakat (Fagan 1991: 417---21). Oleh karena itu untuk memperoleh gambaran mengenai lingkungan kuno, maka diperlukan pengintegrasian tinggalan arkeologi di satu pihak dan lingkungan fisik di pihak lain.
"
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ninny Soesanti Tedjowasono
"Sektor pertanian merupakan tulang punggung kehidupan ekonomi kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia pada kurun waktu abad 4 sampai dengan abad 15 Masehi. Tampilnya sektor partanian di tempat teratas ini tentu saja tidak hanya disebabkan oleh keunggulan teknologi berladang atau bersawah masyarakat masa lalu saja semata-mata. Namun keterkaitan dari banyak komponen kehidupan sangat menunjang keunggulan pertanian pada masa tersebut.
Komnonen-komponen tersebut antara lain adalah faktor cuaca /iklim, faktor ekologi, faktor religi (dalam hal ini adalah pemujaan pada tokoh dewi ibu) kemudian faktor pengaruh asing, misalnya adalah dikenalnya teknologi bersawah atau berladang dan kemudian faktor sosial masyarakat petani di pedesaan, yang terakhir adalah faktor distribusi dan distribusi hasil pertanian.
Ketergantungan yang erat antar komponen secara fungsional menyebabkan proses bertani untuk mata pencaharian pokok berlangsung sebagaimana mestinya. Namun perubahan kecil pada suatu unsur di dalam komponen itu dapat menyebabkan terganggunya komponen yang lain. Misalnya, bencana alam yang terjadi di suatu daerah yaitu letusan gunung yang terjadi pada tahun 827 Saka atau 906 Masehi disebutkan telah menghancurkan desa Rukam (terletak ,di kaki gunung Merapi) dan lahar menutupi daerah tersebut sehingga untuk beberapa lama daerah tersebut tidak bisa ditanami. Kemudian muncul prasasti-prasasti sejaman yang berisi tentang permohonan pengurangan pajak dari daerah-daerah di sekitarnya, yaitu desa Rumwiga. Adapula prasasti-prasasti yang berisikan protés warga desa terhadap kecurangan para pemungut pajak yang menarik pajak lebih banyak dari aturan yang ditetapkan. Selain itu ada pula perintah raja pada rakyat desa Rukan agar membangun sebuah bangunan suci untuk nenek moyang raja."
Depok: Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 1996
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Pojoh, Ingrid Harriet Eileen
"ABSTRAK
Belakangan ini masalah gender menjadi bahasan yang tampaknya tidak habis-habis. Persoalannya sekarang adalah, apakah isu gender ini yang menempatkan perempuan subordinat terhadap laki-laki memang sudah ada sejak dahulu, ataukah baru belakangan ini bersamaan dengan berjalannya pembangunan nasional. Dalam pendidikan sejarah Indonesia, umumnya kita dikenalkan dengan raja-raja besar yang berkelamin laki-laki, misalnya Airlangga, Pu Sindok, Daksa, Kertanagara, Hayam Wuruk, dan lain-lain. Padahal, data sejarah masa Jawa Kuna mencatat tentang pernah adanya raja atau penguasa berkelamin perempuan di masa lalu, ataupun perempuan yang menjalankan peran-peran dalam kehidupan sosial, politik, agama, ekonomi, dan hukum. Catatan-catatan seperti ini memang tidak kita temukan dalam buku-buku pelajaran sejarah. Sehubungan dengan hal itu, penelitian ini bertujuan mendeskripsikan kedudukan-kedudukan dan peran-peran apa raja yang pernah dipegang perempuan di masa lalu, khususnya di Jawa.
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa prasasti, karya sastra, dan gambar pahatan yang merupakan tinggalan dari masa Jawa Kuna. Periode Jawa Kuna, yang juga dikenal sebagai masa pengaruh agama Hindu dan Budha di Jawa, mencakup waktu yang sangat panjang, yaitu sekitar 10 abad. Walaupun cukup banyak prasasti yang ditinggalkan dari masa ini, tidak semuanya digunakan melainkan hanya yang memuat keterangan tentang perempuan. Karya sastra yang dipakai dalam penelitian ini sangat terbatas, karena memang karya sastra tertua barn ada pada masa Kadiri. Akan halnya gambar pahatan, yang diambil sebagai sumber data adalah gambar-gambar pahatan yang ada pada bangunan-bangunan suci yang sudah jelas masanya.
Pembacaan prasasti tidak dilakukan secara langsung, melainkan melalui alih-aksaranya yang sebagian besar sudah dilakukan oleh ahli-ahli epigrafi, yang dihimpun dalam Oud Javaansche Oorkonden (disingkat OJO). Bersamaan dengan pembacaan tersebut, diperhatikan juga koreksi-koreksi yang pernah dilakukan oleh ahli-ahli sejarah kuna. Bagian prasasti yang menjadi pusat penganalisaan adalah sambandha-nya, yaitu bagian inti yang memuat alasan-alasan prasasti dibuat, pejabat-pejabat yang menghadiri, dan pihak-pihak yang menerima pasekpasuk (hadiah dari raja). Dalam bagian yang membicarakan tentang pejabat desa serta penerima pasdk pask itu, pada beberapa prasasti tercantum nama-nama perempuan atau kata sandang jenis feminin, yang dapat dikenal dari penulisan huruf vokal terakhir sebagai vokal panjang [a) atau [1]. Untuk mengetahui kedudukan perempuan yang namanya tercantuin dalam prasasti, selain diketahui dari jabatannya (apabila disebutkan dalam prasasti) juga dengan memperhatikan konteks kalimat lainnya.
Hal yang sama dilakukan terhadap karya sastra. Bedanya dari prasasti adalah bahwa dalam karya sastra jelas disebutkan apakah seseorang berjenis kelamin laki-laki atau perempuan. Dengan demikian, untuk mengenali tokoh perempuan tidak sulit. Sementara itu, untuk mengetahui kedudukannya, sering dalam karya sastra disebutkan apa pekerjaan atau fungsi seseorang, apakah is seorang dayang-dayang, abdi, atau pendeta perempuan. Terhadap gambar pahat, pengenalan penggambaran figur perempuan diketahui dari ciri pinggang yang lebih kecil dibandingkan pinggul, payudara, dan kadang-kadang pakaiannya. Untuk mengetahui aktivitas perempuan yang digambarkan pada gambar pahatan, sesekali digunakan karya sastra yang kisahnya merupakan alur cerita gambar pahat. Baik terhadap isi prasasti, karya sastra, dan gambar pahatan, ketiganya dianggap sebagai wacana sehingga dapat dianalisis dengan menggunakan metode analisis isi (content analysis) dan kritik teks.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di masa pengaruh agama Hindu dan Budha, perempuan mempunyai kedudukan yang baik, yang diperolehnya secara tergariskan (ascribed) maupun dengan upaya (achieved). Di kalangan golongan bangsawan, melalui garis kekerabatan, kesempatan untuk memegang kekuasaan lebih besar dibandingkan dengan golongan bukan bangsawan, karena kedudukan tersebut merupakan kedudukan yang digariskan. Contohnya adalah putri raja dari permaisuri yang bisa menjadi putri mahkota (prasasti Cane, Munggut, Kakurugan, Baru, dan Kamalagyan) dan menjadi ratu (prasasti Pucangan). Seorang cucu perempuan raja yang diperolehnya dari anak selir maupun adik perempuan seorang raja bisa menjadi penguasa daerah (bhre, bhra i) di negara bawahan (punpunan) sebagaimana bisa diketahui dari kitab Nagarakertagama. Kerabat raja lainnya, seperti nenek raja/ratu, ibu, maupun selir mempunyai kedudukan yang penting pula karena mereka sesekali dipercayai oleh raja untuk meresmikan penetapan sima (prasastiprasasti Rukam, Poh, Sukun).
Hasil lainnya menunjukkan bahwa ternyata perempuan Jawa di masa pengaruh agama Hindu dan Budha sudah menjalankan perannya di bidang sosio-ekonomi, hukuxm, dan keagamaan. Perempuan bukan hanya melulu bertanggungjawab atas urusan domestik, melainkan juga menjadi salah satu pihak yang menanggung ekonomi rumahtangga, dibuktikan oleh adanya pedagang, penari dan pesinden, dan petani. Begitu pula ternyata di masa itu, seorang perempuan bisa menjadi salah satu pihak pengambil keputusan pengadilan (prasasti Guntur).
Tampaknya, pembedaan gender yang terjadi sekarang tidak bisa dilepaskan dari latar agama yang dianut masyarakat kita. Dalam masa pengaruh agama Hindu dan Budha, yang mengenal tokoh dewi sebagai pasangan dews, kedudukan perempuan tidak dibedakan dari saki-laki. Masuknya Islam maupun Kristen yang bernuansa patriakhat menyebabkan "pembedaan gender" antara perempuan dan laki-laki, yang pada akhirnya menjadi semacam "norma" dalam tatanan masyarakat kita. Sesungguhnya pembedaan itu tidak perlu karena sejarah telah memberikan bukti kepada kita bahwa perempuan mempunyai kemampuan yang sama dengan lakilaki. Hanya saja, yang terjadi sekarang adalah, bahwa perempuan jarang diberi kesempatan yang sama dengan laki-laki.

ABSTRACT
The Status And Roles Of Women In The Hindu Buddhist PeriodThe issue of gender has become very favourite lately. The problem we face now is whether this issue - which put women subordinative to men - is really a matter of recent problem or not. In schools wherein ancient history was taught under the subject Ancient History of Indonesia, students are acquainted to our (an ecx tecx t kings such as Airlangga, Pu Sindok, Daksa, Krtanagara, Hayam Wuruk whose sex are all male. Actually, in historical data we find female kings or female rulers which unfortunately never been put in the astory of ancient history°. We also find in such data about the roles conducted by women during the old Javanese period. This research is about that, focusing on the identification of the status and roles of women in the old Javanese periode which is also known as the Hindu-Budhist period of Java.
Data used in this research are inscriptions (especially those which contain informations connected to women), literary-text and story-reliefs engraved in chandi or pethirtan from old Javanese period. In reading the inscriptions, we used those that already transcripted (from Old javanese to Latin) and compiled in Oud Javaansche Oorkonden.
Analysing is focused at the part of the inscriptions known as sambandha, in which we can find the names of rulers or persons who received tokens (pasek-pasek) from the king at the ceremony of establishing a lima. The difference between male-ruler and female-ruler written on inscriptions is known from the long vowel [I] or [a] at the end of a name. Differentiating male from male in literary-text is not as difficult as in inscriptions. Since literary-text is a narrative-text, it is clearly written whether a person is a male or female. On the other side, identificating the difference between male figure and female figure in story-reliefs is based on this criteria: waist, chest, and clothes. Female waist is carved smaller than the hips while in men it's almost the same, male chest is flat while female has their breast, underpart-cloths [kain, sarungj are mostly longer at female compared to men. Content analysing and text critiques are used in analysing the content of the three kinds of data: incriptions, literary-text and story-reliefs. This analysing technique is possible to be used since the content of these data is treated as a discourse.
The result of this research shows us that women of the old-Javanese period had a good status and played important roles in socio-political, socio-economical, socio-religuous and law lives. Some of the status they got by gynealogical line (ascribed-status) as shown in the Cane inscription, Munggut inscription, Kamalgyan inscriptions, etc.; but some are achieved.
The problem of gender we are facing now seemingly is caused by the social structure, which is "patriarchy-based". It could be possible that the religious institutions (pranata instead of institusi) had played its role in the making of social structure where we are in now. It seems that during the old-Javanese period, where dewa and dewi were put at the same level, either women or men could have the same status and played the same role except for reproduction role which is only belong to women. This is not the same to the recent condition. Although some women may already have jobs with good pay (that means the may play the public role), but stil we find differences since we still hear the saying about 'because women are powerless than men so not all men's work is appropriate for women". In this case, maybe we should believe what Jungh said about women: " women have the same capability as men"."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1997
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Fitria Nandasari
"Ragam Hias Ornamental disebut sebagai relief, terbagi menjadi relief hias dan relief cerita. Relief-relief yang dipahatkan pada bangunan candi memberikan keindahan pada tempat tersebut. Penelitian ini membahas berbagai bentuk ragam hias ornamental yang dipahatkan pada bagian kaki, tubuh dan atap bangunan candi induk beragama Hindu di Jawa Tengah (Abad ke-8-10 M). Metode yang digunakan dalam penelitian terdiri dari tiga tahap, pertama pengumpulan data yang dilakukan dengan kajian pustaka melalui buku dan artikel yang berisi informasi mengenai ornamen pada bangunan candi dan observasi di lapangan dengan mengamati langsung ornamen yang dipahatkan pada candi induk. Tahap kedua adalah pengolahan data yang dilakukan dengan analisis deskriptif dengan mengelompokkan ornamen berdasarkan keletakannya pada bangunan candi. Terakhir, interpretasi dilakukan dengan mengkaitkan jenis ornamen dengan konsepsi agama Hindu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan terdapat 21 jenis ragam hias ornamental yang terpahatkan di kaki, tubuh dan atap candi-candi induk beragama Hindu di Jawa Tengah (Abad ke-8-10 M). Relief hias/ornamen yang terpahatkan pada bangunan candi memiliki dua fungsi, pertama fungsi praktis yang difungsikan untuk menghiasi bangunan candi dan kedua adalah fungsi religius.

Ornamental decoration is called relief, divided into decorative reliefs and story reliefs. Reliefs that are placed on religious sacred buildings give beauty to the place. This study discusses various forms of ornamental decoration carved on the legs, body and roof of the Hindu main temple building in Central Java (8-10 century AD). The method used in the study consisted of three stages, first is data collection carried out by literature review through books and articles containing information about ornaments in the temple building and observation in the field by observing the ornaments carved directly on the main temple. The second stage is data processing, carried out by descriptive analysis by grouping ornaments based on their location on the temple building. Finally, interpretation is done by linking the type of ornament to the conception of Hinduism. Based on research conducted there are 21 types of ornamental decoration carved on the legs, body and roof of Hindu main temples in Central Java (8-10 century AD). Ornamental reliefs / ornaments carved on the temple building have two functions, the first is a practical function, namely all kinds of ornamental functions to decorate the temple building and second is the religious function."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1994
S11351
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratnaesih Maulana
"Istilah ikonografi (iconography) berasal dari akar kata ikon (icon) dan graphoo. Istilah ikon berasal dari bahasa Yunani eikoon yang berarti bayangan, potret, gambar. Dalam istilah ikonografi Hindu kata ikon dipakai secara lebih khusus. Kata itu tidak ditujukan kepada materi gambar, tetapi pada tokoh yang digambarkan dan kemiripan tokoh yang dinyatakan dalam gambar dengan tujuan untuk mengadakan hubungan dengan tokoh atau dewa tersebut (Banerjea 1974: 1-2). Menurut Sutjipto Wirjosuparto yang mengutip kitab Pratimamanalaksanam, dalam Sejarah Beni Artja India, di India, tujuan seorang seniman menciptakan sebuah area atau benda seni lainnya adalah untuk mempertinggi martabat dewa dan bukan untuk kepuasan dirinya. Selanjutnya disebutkan bahwa apabila seseorang membuat atau memperbaiki sebuah area maka "jiwanya yang murni mendapat hidup sejahtera di sorga lebih dari seratus ribu yuga". (Wirjosuparto 1956: 6).
Kata graphoo artinya menulis, memerinci. Jadi ikonografi berarti "rincian suatu benda. yang menggambarkan tokoh dewa atau seorang keramat dalam bentuk suatu lukisan, relief, mosaik, arca atau benda lainnya", yang khusus dimaksudkan untuk dipuja atau dalam beberapa hal dihubungkan dengan upacara keagamaanl) yang berkenaan dengan pemujaan dewa-dewa tertentu. (Banerjea 1974: 2-5, Sahai 1975: 1-2).
Kata Yunani eikon dalam anti seperti di atas sesuai dengan istilah-istilah dalam bahasa Sanskerta arca, beta , vigraha dan pratima yang berarti perwujudan jasmani seorang dewa yang dipuja oleh para bhakta , yaitu orang-orang yang berbakti atau memuja. Untuk lebih mendekati rasa ke-Tuhanan, para bhakta kemudian menggunakan istilah tanu dan rupa, yang berarti badan atau bentuk dewa yang digambarkan. Dengan menggunakan istilah tanu dan ru pa mereka merasa puas, karena merasa lebih dekat dengan Tuhan atau dewa yang dipujanya. Selain istilah tanu dan rupa di India dikenal pula kata vimba yang berarti pencerminan yang sama. Pengertian pencerminan ini terlihat dalam upacara Durgapuja, yaitu suatu upacara untuk meminta keselamatan atau hal-hal yang berkaitan dengan keduniawiaan. Dalam upacara ini dilakukan upacara memandikan arca dewi Durga yang terbuat dari tanah liat."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya niversitas Indonesia, 1992
D209
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratnaesih Maulana
"ABSTRAK
Di Jawa Barat peninggalan-peninggalan keagamaan
yang bersifat monumental, seperti Candi misalnya relatif sedikit, namun oukup banyak sumber tertulis yang menguraikan perihal keagamaan, misalnya kitab Sewaka Darma, Sanghyang Sihsakanda ng karesian, Amanat
Galunggung, dan Serat Dewabuda. Banyak sarjana telah
menulis keagamaan di Jawa Barat, namun yang menulis
secara khusus dapat dihitung dengan jari, di antaranya
J.L. Moens, Hariani Santiko dan Agua Aris Mnnandar.
Moens dan Hariani Santiko menulis tentang agama yang
mungkin dianut raja Poernawarman dari kerajaan Taruma,
dan Agus Arismunandar mengenai keagamaan masa kerajaan
Sunda.
Peneliti yang menulis khusus keagamaan di Jawa
Barat, umumnya di Jawa secara menyeluruh dapat dikatakan belum ada. Atas dasar itulah penelitian ini dilakukan.
Penelitian ini dilakukan dengan metode fenomenolo-
gi dengan data-data berupa sumber-sumber tartulis, yaitu prasasti dan karya susastra Serta berita~berita Cina.
Untuk dapat mengungkapkan suatu pengertian tentang
pemujaan atau keperoayaan yang tersirah dari isi
prasasti, penulis berusaha memperbandingkannya dengan
kitab-kitab keagamaan dan kitab-kitah susastra, serta
berita-berita Cina.
Atas dasar sumber-sumber tertulis tersebut diduga
bahwa kehidupan keagamaan masyarakat Jawa Barat masa
Hindu Buddha, yaitu masa kerajaan Taruma, lebih kurang
abad V sampai dengan abad VII Masehi adalah agama Veda
(Hindu Kuna) yang mengutamakan pamujaan terhadap Visnu
Triwikrama. Adapun keadaan keagamaan sesudah kerajaan
Taruma, masa kerajaan Sunda dan sesudahnya, sejak awal
abad kedelapan Masehi hingga akhir abad keenambelas
Masehi kehidupan keagamaan di Jawa Barat adalah agama
Hindu Buddha yang telah berbaur dengan unsur-unsur agama leluhur, yaitu ajaran patikrama sebagai "agama pribumi"."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1994
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
I Nyoman Wijaya
"Kelompok dengan berbagai indikatornya ternyata memang masih rendah atau kurang efektif, walaupun dalam beberapa indikator tertentu menunjukkan angka yang cukup positif. Demikian halnya terhadap kajian karakteristik kepemimpinan yang efektif belum menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap perubahan perilaku kepemimpinan.
Hal ini diukur dari karakteristik consideration, Initiating Structure, Relasi, Visi serta Kemampuan dan Keahlian. Dalam mengelola organisasi khususnya masalah kepemimpinan dimasa yang akan datang diperlukan kemampuan dan keahlian yang memadai seining dengan kemajuan pesat dibidang teknoiogi informasi. Untuk meningkatkan efektivitas kepemimpinan seseorang, diperlukan kemampuan untuk mengakomodasi saran dan keluhan dari bawahan dan senantiasa melibatkan bawahan dalam proses pengambilan keputusan organisasi. Hanya dalam team work masalah-masalah akan dapat diatasi dengan lebih bijaksana yang memberikan muara terhadap peningkatan efektivitas kepemimpinan."
Depok: Universitas Indonesia, 1999
T16710
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>