Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 109264 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Salvia Aisha Majdah
"Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan internalisasi maskulinitas hegemonik dalam upaya pencarian makna kebahagiaan pada film Oku Otoko (2018). Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori maskulinitas hegemonik oleh R.W. Connell (2005) dan maskulinitas salaryman oleh Romit Dasgupta (2010). Metode penelitian yang digunakan adalah analisis teks dan sinematografi untuk menganalisis dialog dan aspek visual film. Peneliti memfokuskan analisis kepada tokoh utama laki-laki, Kazuo dan tokoh istrinya, Masako. Analisis meliputi aspek-aspek dialog, konflik, penampilan, ekspresi dan sorotan kamera. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, peneliti menemukan bahwa upaya pencarian makna kebahagiaan bagi Kazuo sangat dipengaruhi oleh pandangan materialistis, yang berakar pada internalisasi maskulinitas hegemonik. Film ini juga menggambarkan adanya tekanan dalam rumah tangga yang timbul akibat harapan-harapan terkait dengan maskulinitas hegemonik.

This study explores the internalization of hegemonic masculinity in the pursuit of happiness as depicted in the film Oku Otoko (2018). It draws on R.W. Connell's theories of hegemonic masculinity (2005) and Romit Dasgupta's concept of salaryman masculinity (2010). Using text analysis and cinematography, the research focuses on the main characters, Kazuo and his wife, Masako. Key aspects analyzed include dialogue, conflict, appearance, expression, and camera shots. Findings reveal that Kazuo's pursuit of happiness is heavily influenced by materialistic values rooted in hegemonic masculinity. The film also highlights the domestic pressures stemming from societal expectations related to this form of masculinity."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2025
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Ajeng Ayu Amala Maharani
"Maskulinitas hegemonis mencerminkan dominasi sosial melalui maskulinitas, seringkali diasosiasikan dengan olahraga sebagai penyalurnya. Hal ini menjadi menarik ketika kita melihat olahraga seperti cheerleading yang didominasi oleh perempuan, bahkan digambarkan sebagai emphasized femininity. Cheerleading hari ini sudah bukan lagi konsep rok pendek dan penyorak di pinggir lapangan, kini cheerleading menjadi sebuah olahraga kompetisi ekstrem yang juga diikuti sebagian laki-laki. Maka dari itu, tulisan ini mengeksplorasi identitas gender melalui bentuk-bentuk maskulinitas hegemonis dalam olahraga cheerleading yang didominasi perempuan, serta performativity dari cheerleader laki-laki. Melalui studi pustaka, ditemukan bahwa bentuk maskulinitas sebagai dominasi sosial terbagi menjadi dua yaitu ortodoks dan inklusif. Terakhir, performativity yang ditemukan adalah dalam bentuk skill tertentu, unggahan media sosial yang dipilah, dan attitude yang dijaga sebagai cheerleader.

Hegemonic masculinity reflects social domination through masculinity, often associated with sport as the channel for it. This becomes interesting when we investigate a female-dominated sport like cheerleading, even described as emphasized femininity. Cheerleading today is not just short skirts cheering on the sideline anymore, now cheerleading is an extreme competitive sport that also participated by some men. Thus, this article explores gender identity through constructions of hegemonic masculinity in cheerleading as a female-dominated sport, and performativity of male cheerleaders, through literature study. Through literature study, it is found that masculinity as a form of social domination is divided into two groups which are orthodox and inclusive. Lastly, the performativity is found in the form of certain skills, sorted social media post, and maintained attitude as cheerleader."
Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sabila Bunga Dariana
"Tokyo Sonata merupakan film karya Kiyoshi Kurosawa yang menceritakan tentang keruntuhan keluarga pekerja di Jepang pasca pecahnya gelembung ekonomi. Depresi ekonomi yang terjadi pada saat itu membuat pergeseran peran oleh laki-laki di Jepang untuk membangun identitas maskulin yang dahulunya sebagai militer, berubah menjadi seorang pencari nafkah. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan maskulinitas hegemonik direpresentasikan dalam film Tokyo Sonata karya Kiyoshi Kurosawa serta pesan yang disampaikan mengenai maskulinitas hegemonik dalam film Tokyo Sonata. Data primer diperoleh dari film Tokyo Sonata dengan mengamati dan menghasilkan kesimpulan yang didasari oleh penemuan dari adegan yang dianggap mengandung representasi maskulinitas. Sumber data sekunder diperoleh melalui metode studi pustaka menggunakan artikel jurnal, buku, dan karya ilmiah lainnya. Data yang terkumpul kemudian dianalisis menggunakan teori semiotika Barthes. Penelitian ini menemukan bahwa pada film Tokyo Sonata, maskulinitas hegemonik direpresentasikan dengan tepat oleh Ryuhei sebagai tokoh utama dan para tokoh sampingan lainnya seperti Megumi dan Takashi. Hal ini terlihat dari penampilan dan perilaku para tokoh yang sesuai dengan konsep maskulinitas hegemonik. Maskulinitas hegemonik tersebut dijabarkan lebih lanjut dengan menampilkan konsep maskulinitas subordinat yang ditampilkan oleh Ryuhei ketika ia kehilangan pekerjaannya.

Tokyo Sonata is a film by Kiyoshi Kurosawa that follows the collapse of working families in post-Bubble Economy of Japan. The economic depression that occurred at that time made a role shift by men in Japan to build a masculine identity that used to be military, turning into a breadwinner. Based on this, this research aims to explain the hegemonic masculinity represented in Kiyoshi Kurosawa's Tokyo Sonata and the message conveyed about hegemonic masculinity in Tokyo Sonata. Primary data was obtained from the movie Tokyo Sonata by observing and producing conclusions based on the findings of the scenes considered to contain representations of masculinity. Secondary data sources were obtained through the literature study method using journal articles, books, and other scientific works. The data collected was then analyzed using Barthes' semiotic theory. This study found that in the movie Tokyo Sonata, hegemonic masculinity is appropriately represented by Ryuhei as the main character and other side characters such as Megumi and Takashi. This can be seen from the appearance and behavior of the characters that are in accordance with the concept of hegemonic masculinity. The hegemonic masculinity is further elaborated by displaying the concept of subordinate masculinity displayed by Ryuhei when he loses his job."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Satria Kenvaleriano Syahputra
"Maskulinitas Toksik adalah istilah yang mulai digunakan pada tahun 1980-an untuk menggambarkan sikap dan perilaku yang diharapkan dari pria yang dapat berdampak negatif pada diri mereka sendiri dan masyarakat. Di dunia media sosial saat ini, terdapat banyak pengaruh yang memiliki pandangan yang bervariasi, dengan beberapa yang mempromosikan maskulinitas beracun. Sifat dari pengaruh media sosial adalah ide-ide mereka dapat ditransmisikan kepada audiens yang luas dan mungkin mempengaruhi pandangan dunia dan pengambilan keputusan sejumlah orang dalam audiens tersebut. Salah satunya adalah Andrew Tate, seorang guru bimbingan diri, motivator, dan pengaruh yang mendapatkan ketenaran melalui TikTok dan YouTube. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji pandangan Andrew Tate tentang maskulinitas dan bagaimana ia menyusun pesannya untuk mempengaruhi pengikutnya. Studi kasusnya adalah Andrew Tate, seorang pria yang mendapatkan ketenaran dari TikTok dan kemudian diundang ke sejumlah podcast yang penuh dengan pernyataan yang mengafirmasi maskulinitas beracun. Data yang akan dianalisis diambil dari podcast Standout.TV, PBD Podcast, dan Adin Ross yang mengundang Andrew Tate untuk berpartisipasi dalam segmen mereka. Temuan penelitian menunjukkan pandangan misoginis Andrew Tate tentang maskulinitas dan bagaimana ia menyusun pesannya untuk mendapatkan ketenaran dan keuntungan dari pengikutnya

Toxic masculinity is a phrase that started being used in the 1980’s to describe the attitudes and behaviors that are expected from men that could have a negative impact on men themselves and society. In today’s world of social media, there are a lot of influencers that have varying views, with some that promotes toxic masculinity. It is the nature of social media influencers that their ideas can be transmitted over a large audience and possibly influence the worldview and decision making of a number of people in that audience. One of whom is Andrew Tate, a self-help guru/ motivator/ influencer that reached fame through TikTok and YouTube. This article aims to examine Andrew Tate’s view on masculinity and how he constructs his message to influence his followers. The case study will be Andrew Tate, a man who found fame from TikTok and later was invited to a number of podcasts filled with statements that affirm toxic masculinity. The data that will be analyzed is taken from the podcast from Standout.TV, PBD Podcast, and Adin Ross that invited Andrew Tate to take part in their segment. Research findings show Andrew Tate’s misogynistic views on masculinity and how he constructs his message assertively, rationalizing his rebuttals and gaining fame and profit from his followers."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhlurrahman
"Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimana hegemoni maskulinitas muncul dan mengopresi perempuan dalam seluruh lapisan kehidupan perempuan untuk meneguhkan dominasi laki-laki dengan cara membentuk seksualitas perempuan dan mitos kecantikan. Penulisan ini menggunakan metode penulisan unobtrusive melalui pendekatan analisis wacana. Berdasarkan hasil tinjauan penulis, hegemoni maskulinitas terjadi dalam seluruh lapisan wilayah hubungan sosial perempuan. Baik dari bagian
terkecil yaitu keluarga, hingga bagian paling luas yaitu industri hiburan global.

The purpose of this writing is to explain how hegemonic masculinity occurred and oppressing female in every layers of female’s life to strengthen male’s domination by creating female’s sexuality and beauty myth. This writing used unobtrusive research through discourse analysis approach. Based on results of author’s review, hegemonic masculinity occurred in every female’s life layers. From the smallest area which is family, to the widest area which is global entertainment industry."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tasya Putri Indriyansyah
"Upaya Perlindungan Diri Perempuan dari Pelecehan Seksual Pada Perang Dunia II dalam Film Anonyma: Eine Frau in Berlin Karya Max Färberböck

The issue of sexual harassment against women is an issue that has long been a topic of discussion in the world. Sexual harassment of women is formed from the existence of hegemonic masculinity. According to Gramsci, hegemony is a form of domination and power, in short, hegemonic masculinity can be interpreted as a form of domination and power exercised by men over women. This is common in various social circles, therefore women
fight for their rights and demand gender equality. This research will raise the issue of identity change caused by hegemonic masculinity against the main female character Anonyma in Germany during World War II, through the film Anonyma: Eine Frau in Berlin. This research uses a qualitative approach and literature review through books, journals and scientific articles. The main focus of this research is the actions of the Russian army and the situation in the environment that supports the identity change and struggle of the figures Anonyma. How the surrounding environment can influence the process of forming the identity of Anonyma's character and the struggles he undertakes. This is answered by using the theory place identity and using cinematographic techniques in analyzing scenes in the film. The results of the analysis show that a person's identity can be formed through environmental influences, as well as the struggles that women waged by arranging strategies to protect themselves from sexual violence during World War II.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Destia Nur Arafah
"Sejumlah penelitian telah menemukan bahwa terdapat pergeseran representasi maskulinitas dalam film perang, di mana citra tradisional prajurit “ideal” yang maskulin telah sedikit demi sedikit tergantikan oleh citra tentara yang lebih “feminin.” The Yellow Birds (2017) adalah sebuah film Hollywood kontemporer mengenai perang yang mengangkat isu maskulinitas dalam dunia militer dengan menantang ideologi maskulinitas yang bersifat hegemonik dalam dunia militer. Makalah penelitian ini akan menganalisis konstruksi dan representasi maskulinitas yang diangkat oleh film tersebut dengan meneliti fitur-fitur eksplisit dan implisit, seperti simbol, penggunaan bahasa, dan aksi, yang muncul selama film berlangsung. Analisis dilakukan dengan menerapkan berbagai teori yang berkaitan dengan isu maskulinitas, seperti konsep maskulinitas militer, dan teori yang berhubungan dengan setiap fitur yang dianalisis, seperti simbolisme dan penggunaan bahasa oleh pihak atasan utuk menunjukkan kekuasan terhadap bawahan. Penelitian ini menunjukkan bahwa film The Yellow Birds berusaha menantang ideologi maskulinitas yang bersifat hegemonik dalam dunia militer dengan cara memanusiakan tokoh prajurit, mengkritik institusi militer, dan menampilkan tokoh prajurit sebagai korban dari maskulinitas hegemonik militer.

A number of research has found that there has been a shift in the representation of masculinity in war movies, in which the image of traditional masculine “ideal” soldier has gradually been replaced by the image of a more “feminine” soldier. The Yellow Birds (2017) is a contemporary Hollywood war movie which grapples with the issue of masculinity by challenging the notion of hegemonic military masculinity. This research paper will analyze the movie’s construction and representation of masculinity by examining the explicit and implicit elements, such as symbols, language use, and actions, which appear throughout the movie. To do so, it employs various theories and concepts related to the issue, such as the concept of military masculinity, and those related to each of the features of the movie, such as symbolism and the use of language as a means by the superior to demonstrate power over the subordinates. This research demonstrates that the movie attempts to contest hegemonic military masculinity by means of humanizing the characters, criticizing the military institution, and presenting characters as victims of hegemonic military masculinity."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Resti Nurfaidah
"Tesis ini membahas representasi maskulinitas yang terdapat dalam korpus berupa film yang berjudul Malaikat Bayangan dan Malaikat Tanpa Sayap. Penelitian ini dilakukan sebagai penelitian kualitatif melalui pendekatan cultural studies. Penelitian ini menggunakan beberapa teori berikut, yaitu maskulinitas Reeser dan Beynon, metafora konseptual dari Lakoff dan Johnson, metafora multimodal Forceville, dan struktur film dari Boggs dan Petrie, serta Nathan Abrams, et.al. Reeser dan Beynon memandang maskulinitas sebagai satu konsep yang dinamis, cair, dan kompleks. Kedua korpus penelitian tersebut memiliki perbedaan, antara lain, dalam latar tahun produksi, genre, atau setting. Film Malaikat Bayangan mengangkat tema maskulinitas imperial dengan latar era kolonial. Sosok maskulin imperial, Thomas, mengabdikan diri sepenuhnya pada kepentingan negara tanpa mengaharapkan imbalan materi. Untuk itu maskulin imperial dituntut untuk tidak menjalin hubungan yang terlalu intim dengan lawan jenis serta memiliki kemampuan untuk menguasai diri seutuhnya. Jika dikaitkan dengan teori Reeser, sosok maskulin imperial dalam film Malaikat Bayangan tidak berkonstitusi dengan jenis maskulinitas lain. Namun, dalam sebuah penyamaran, Thomas tidak dapat menghindari untuk mengadopsi unsur-unsur dari kluster lain, seperti metroseksual dan narcissist. Sementara itu, Film Malaikat Tanpa Sayap mengangkat konsep maskulinitas breadwinner yang dapat berkonstitusi dengan jenis maskulinitas lain, yaitu new man as a nurturer dan maskulinitas imperial. Sosok maskulin yang diangkat di dalam tesis ini merupakan sosok yang dianggap sebagai malaikat (malaikat metaforis). Metafora konseptual yang muncul sebagai penguat tokoh malaikat metaforis cenderung untuk mengarah pada sikap, sifat, serta peristiwa yang dialami oleh para tokoh. Dalam film Malaikat Bayangan, sosok Thomas memenuhi kriteria sebagai malaikat karena ia mengabdi dengan sepenuh hati tanpa pernah memikirkan imbalan materi; memiliki kekuatan fisik dan batin yang prima; patuh pada aturan, dan cernat. Sementara itu, film Malaikat Tanpa Sayap menampilkan tokoh Amir sebagai sosok yang dianggap sebagai malaikat. Tokoh Amir tanpa menunjukkan kontak fisik mampu memberikan kontribusi besar bagi anaknya sendiri dan orang lain. Konsep maskulinitas tersebut didukun unsur sinematografis (teknik pengambilan gambar, penentuan ukuran gambar, teknik pencahayaan) dan unsur naratif (tema, alur, latar, dan penokohan).

This thesis discusses the representation of masculinity in Malaikat Bayangan (1987) and Malaikat Tanpa Sayap (2012). This is a qualitative research with cultural studies approaches. There are several theories used in this study: Reeser (2010) and Beynon (2002) masculinities, Lakoff and Johnson's (2003) conceptual metaphor, Forceville's (1996) multimodal metaphor, and film structures from Boggs & Petrie (2008) and Nathan Abrams, et al (2001). Both movies have differences, especially in these points: year of production, genre, or setting. However, they were assumed to share common concepts of masculinity. Malaikat Bayangan provided representation of imperial masculinity. The imperial masculine gave his life serving the state totally without material orientation. He was not allowed to have an overly intimate relationship with women and ought to have a perfect stamina. Based on Reeser's view, the imperial masculine figure in Malaikat Bayangan can not be substituted with another type of masculinity. However, on certain occasions, the main character must be adaptive to elements of other clusters, such as metrosexual and narcissist. On the other hand, Malaikat Tanpa Sayap provided a fluid masculinity concept. The breadwinner can be subsituted with other types of masculinity, such as nurturer or imperial masculinity. The thesis focuses on masculine figures that are metaphorically regarded as angels. Conceptual metaphor application is related to their attitudes, characteristics, and experiences. In Malaikat Bayangan, Thomas gives his total commitment for the state without material reward. He has the most powerfull energy, obedient, and has good precision. Meanwhile, Malaikat Tanpa Sayap is featuring Amir as a metaforic angel in a different way. Through his own fight, without physical contact as Thomas, which is associated to the contemporary period, Amir fulfills his angelic criteria. The concept of masculinity that emerges in both movies is supported by the cinematographic elements (shooting technique, size of the image, or lighting techniques) and narrative elements (theme, plot, setting, and characterization)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2014
T42489
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Quinta Binar Resista
"Skripsi ini membahas tokoh Bean dalam serial televisi Mr. Bean (1990) sebagai contoh parodi terhadap ide maskulinitas Britishman. Parodi terhadap maskulinitas Britishman akan dianalisis melalui cara tokoh Mr. Bean memperlakukan tubuh tanpa memandang konsep heteronormativitas yang hidup di lingkungan sekitarnya, berdasarkan beberapa adegan yang terdapat dalam episode Mr. Bean, The Return of Mr. Bean, dan The Curse of Mr. Bean. Selain itu, parodi terhadap ide maskulinitas karakter Britishman pada teks penelitian akan ditinjau dengan kebiasaan para mahasiswa Oxford dan Cambridge University (Oxbridge Men) di awal abad 19, yang diketahui sebagai cikal bakal konsep Britishman di Inggris. Melalui penelitian ini, penulis menemukan bahwa Mr. Bean adalah seorang dengan identitas jender yang tidak dapat didefinisikan, namun ia telah menjadi subjek atas tubuhnya sendiri.

The purpose of this final thesis is to analyze the character of Bean in the Mr. Bean tv shows (1990) as a form of parody toward the concept of Britishman masculinity. The analysis is conducted by examining how Mr. Bean treats his own body without a regard to the concept of heteronomativity around him, based on several scenes from the episodes of Mr. Bean, The Return of Mr. Bean, and The Curse of Mr. Bean. Furthermore, the parody toward the concept of Britishman masculinity in this paper will be examined in its connection with the habit of students from Oxford and Cambridge University (Oxbridge Men) in the beginning of 19th century, which has been known as the role model of an ideal Britishman in England. Through this study, the writer found that Mr. Bean is a gender entity who can't be easily defined, and instead mould his own identity as a subject based on his body."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S43429
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Shebby Kharisma Dewi
"Film merupakan salah satu temuan budaya inovatif yang merupakan bagian dari seni. Film dapat menggarap rangkaian subjek yang hampir tak terbatas. Éléonore Pourriat mengembangkan film dengan ide fiksi menggunakan inversi dalam dunia paralel melalui film Je ne suis pas un homme facile. Adaptasi dari film pendek Majorité Opprimée membawa tema di mana tokoh Damien, seorang seksis, membanggakan superioritasnya dengan menunjukkan seksismenya kepada kaum perempuan. Keberadaan Damien di dunia inversi menunjukkan adanya pergeseran karakter terhadap stigma gender yang berlaku di masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk memperlihatkan bahwa gender tidak hanya didominasi oleh kaum laki-laki dengan karakteristik maskulinitasnya, namun karakteristik ini dapat diperankan baik oleh tokoh laki-laki maupun perempuan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang didukung menggunakan analisis film dengan struktur naratif dan sinematografi Boggs dan Petrie, teori gender oleh Giddens untuk menganalisis konsep identifikasi gender, dan teori stereotip gender oleh Hentschel, Heilman dan Peus untuk menganalisis konsep asosiasi maskulinitas dalam film. Hasil analisis menunjukan bahwa Pourriat membawa dunia inversi untuk menimbulkan kesadaran bahwa terdapat suatu keganjilan dalam sistem masyarakat yang meninggikan posisi kaum laki-laki sebagai kaum dominan, serta menunjukkan bahwa maskulinitas tidak bergantung pada jenis kelamin seseorang, tetapi peran sosial dalam masyarakat.

Film is an innovative culture that falls under the umbrella of art. Films work on a collection of almost infinite subjects. Éléonore Pourriat develops the film Je ne suis pas un homme facile with a fictional idea using inversion as a parallel world. The adaptation of the short film Majorité Opprimée brings up a theme in which Damien, a sexist, boasts his superiority by exhibiting sexism toward women. Damien’s existence in an inverted world shows a character shift regarding the stigma of gender that exists in society. This research aims to show that gender is not only dominated by men with their masculine characteristics, as these characteristics can be embodied by both male and female characters. This research uses a qualitative method supported by film analysis using Boggs and Petrie’s narrative and cinematographic structures, Giddens’ gender theory to analyse the concept of gender identification, and gender stereotype theory by Hentschel, Heilman, and Peus to analyse the concept of the association of masculinity in film. The analysis shows that the inverted world is used to raise awareness of an oddity in the system of society that uplifts the position of men as the dominating group. The analysis also shows that masculinity does not depend on one’s sex, but rather on the roles within society."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>