Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 114659 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Retno Wijayanti
"Latar Belakang: Pembedahan saluran cerna dapat menurunkan kapasitas fungsional, terlihat dari penurunan kekuatan genggam tangan, yang berhubungan dengan malnutrisi dan inflamasi. Albumin adalah parameter nutrisi penting yang dapat memengaruhi kekuatan otot, tetapi hubungan antara perubahan kadar albumin dengan perubahan kekuatan genggam tangan pada pasien pasca bedah saluran cerna belum banyak diteliti.
Metode: Penelitian ini adalah studi kohort prospektif pada 52 pasien dewasa (19–65 tahun) yang menjalani pembedahan saluran cerna di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Kadar albumin serum diukur sebelum dan setelah operasi, sementara kekuatan genggam tangan dinilai menggunakan dinamometer digital. Analisis korelasi Spearman digunakan untuk menilai hubungan antara perubahan kadar albumin dan kekuatan genggam tangan.
Hasil: Mayoritas subjek memiliki kekuatan genggam tangan praoperasi rendah, dengan rata-rata penurunan kekuatan genggam pascaoperasi sebesar 3,5 kg. Mayoritas pasien juga mengalami hipoalbuminemia pascaoperasi, dengan rerata penurunan kadar albumin 0,4 g/dL. Uji korelasi menunjukkan hubungan bermakna antara perubahan kadar albumin dan kekuatan genggam tangan pascaoperasi (r = 0,328; p = 0,018). Kesimpulan: Terdapat korelasi sedang yang signifikan antara perubahan kadar albumin dan perubahan kekuatan genggam tangan pada pasien pasca bedah saluran cerna.

Background: Gastrointestinal surgery can reduce functional capacity, evidenced by a decline in handgrip strength, which is associated with malnutrition and inflammation. Albumin is an essential nutritional parameter that can influence muscle strength, but the relationship between changes in serum albumin levels and handgrip strength in postoperative gastrointestinal surgery patients has not been extensively studied. Methods: This study is a prospective cohort involving 52 adult patients (aged 19–65 years) who underwent gastrointestinal surgery at Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital. Serum albumin levels were measured preoperatively and postoperatively, while handgrip strength was assessed using a digital dynamometer. Spearman correlation analysis was used to evaluate the relationship between changes in serum albumin levels and handgrip strength.
Results: The majority of subjects had low preoperative handgrip strength, with an average decrease in postoperative handgrip strength of 3.5 kg. Most patients also experienced postoperative hypoalbuminemia, with an average albumin level reduction of 0.4 g/dL. Correlation analysis revealed a significant moderate association between changes in serum albumin levels and handgrip strength (r = 0,328; p = 0,018). Conclusion: There is a significant moderate correlation between changes in serum albumin levels and changes in handgrip strength in postoperative gastrointestinal surgery patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Gabriela Widyakarin T.K.
"Latar Belakang: Indeks massa bebas lemak (IMBL) merupakan salah satu marker komposisi tubuh yang mudah dan relatif murah untuk dilakukan serta berhubungan dengan kapasitas fungsional pascaoperasi. Kurangnya asupan, peningkatan inflamasi serta status cairan pada pasien kanker gastrointestinal yang menjalani operasi dapat menyebabkan perubahan IMBL yang mungkin berperan terhadap kapasitas fungsional pascaoperasi. Kekuatan genggam tangan merupakan salah satu marker kapasitas fungsional yang mudah, murah dan cepat dapat dilakukan pada pasien kanker gastrointestinal pascaoperasi. Hingga saat ini belum banyak penelitian yang menilai korelasi antara perubahan indeks massa bebas lemak dengan perubahan kekuatan genggam tangan pada pasien kanker gastrointestinal yang menjalani operasi.
Metode: Studi potong lintang ini melibatkan pasien kanker gastrointestinal dewasa yang akan menjalani pembedahan elektif di salah satu RS tersier di Indonesia. Dilakukan pengukuran IMBL dan kekuatan genggam tangan pascaoperasi pada pascaoperasi hari ke-5 (POD-5) sedangkan data praoperasi diambil dari data rekam medik. Penilaian perubahan IMBL dan kekuatan genggam tangan dilakukan menggunakan excel, dan pengolahan data secara statistik dilakukan menggunakan SPSS 20.
Hasil: Dari total 32 subjek yang direkrut, tidak terdapat drop out. Didapatkan nilai rerata delta IMBL adalah 1,41,9 kg/m2 dengan nilai tengah delta kekuatan genggam tangan adalah –2,1(–7,5)–10) kg. Terdapat peningkatan persentase pasien yang memiliki IMBL normal pada pascaoperasi dari 69% menjadi 84%. Data karakteristik didapatkan rerata peningkatan TBW sebesar 3,1±4,3% pascaoperasi. Hasil analisis statistik korelasi delta IMBL dan delta kekuatan genggam tangan menggunakan Spearman menghasilkan korelasi sedang negatif dengan koefisien korelasi (r) –0,437 dengan nilai p=0,012.
Kesimpulan: IMBL dan kekuatan genggam tangan merupakan marker komposisi tubuh dan kapasitas fungsional yang cukup baik, relatif murah dan mudah dilakukan pada pasien kanker gastrointestinal pascaoperasi. Banyak faktor yang memengaruhi IMBL pascaoperasi antara lain massa otot dan status cairan tubuh, penilaian IMBL pascaoperasi memerlukan pertimbangan marker lainnya yang juga dapat memengaruhi kekuatan genggam tangan pascaoperasi.

Background: Fat-free mass index (FFMI) is an accessible and relatively cost- effective body composition marker that correlates with post-operative functional capacity. Insufficient intake, increased inflammation, and fluid status in gastrointestinal cancer patients undergoing surgery can lead to FFMI changes that may affect post-operative functional capacity. Handgrip strength serves as an accessible, cost-effective, and rapid marker of functional capacity for post- operative gastrointestinal cancer patients. Currently, there is limited research examining the correlation between changes in fat-free mass index and handgrip strength in gastrointestinal cancer patients undergoing surgery.
Methods: This cross-sectional study involved adult gastrointestinal cancer patients scheduled for elective surgery at a tertiary hospital in Indonesia. FFMI and handgrip strength measurements were taken on post-operative day 5 (POD-5), while pre-operative data was collected from medical records. Changes in FFMI and handgrip strength were assessed using Excel, and statistical analysis was performed using SPSS 20.
Results: Of the 32 recruited subjects, there were no dropouts. The mean FFMI delta was 1.4±1.9 kg/m2, with a median handgrip strength delta of –2.1(–7.5)–10) kg. There was an increase in the percentage of patients with normal FFMI post- operation from 69% to 84%. Characteristic data showed a mean total body water (TBW) increase of 3.1±4.3% post-operation. Statistical analysis of the correlation between FFMI delta and handgrip strength delta using Spearman's test showed a moderate negative correlation with a correlation coefficient (r) of –0.437 and p- value=0.012.
Conclusion: FFMI and handgrip strength are reliable, relatively cost-effective, and easily implemented markers of body composition and functional capacity in post-operative gastrointestinal cancer patients. Multiple factors influence post- operative FFMI, including muscle mass and body fluid status. Post-operative FFMI assessment requires consideration of other markers that may also affect post-operative handgrip strength.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Thalya Alissya Rahma
"Latar Belakang: Pembedahan saluran cerna memiliki risiko komplikasi tinggi yang meningkatkan morbiditas, mortalitas, dan biaya kesehatan. Penurunan albumin pascaoperasi terkait inflamasi sistemik menjadi indikator penting komplikasi. Comprehensive Complication Index (CCI) digunakan untuk menilai komplikasi lebih komprehensif dibanding Clavien-Dindo Classification.
Metode:Studi kohort prospektif ini dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada Juli-November 2024. Subjek penelitian adalah pasien dewasa yang menjalani pembedahan saluran cerna. Dari 80 subjek awal, 78 memenuhi kriteria dengan 39 pada kelompok albumin dibawah rata-rata atau median dan 39 albumin diatas rata-rata atau median. Komplikasi pascaoperasi diukur menggunakan Comprehensive Complication Index (CCI), yang mencerminkan seluruh komplikasi pada skala kontinu 0-100, di mana skor lebih tinggi menunjukkan beban komplikasi yang lebih berat. Analisis bivariat dilakukan dengan uji Mann-Whitney untuk membandingkan skor CCI antara kedua kelompok albumin.
Hasil: Dari total 78 subjek penelitian, didapatkan nilai tengah albumin 2,85 g/dL. Kelompok dengan albumin <2,85 g/dL memiliki skor CCI lebih tinggi dibandingkan kelompok dengan albumin ≥2,85 g/dL. Analisis menunjukkan hubungan bermakna secara signifikan antara status albumin dan komplikasi pascaoperasi (p<0,05).
Kesimpulan: Status pascaoperasi berhubungan signifikan dengan komplikasi pasca pembedahan saluran cerna. Penilaian albumin dapat digunakan untuk mengidentifikasi pasien berisiko tinggi komplikasi dan merencanakan intervensi nutrisi guna mengurangi komplikasi.

Background: Gastrointestinal surgery carries a high risk of complications, increasing morbidity, mortality, and healthcare costs. Postoperative albumin decline associated with systemic inflammation serves as an important indicator of complications. The Comprehensive Complication Index (CCI) is used to assess complications more comprehensively than the Clavien-Dindo Classification.
Methods: This prospective cohort study was conducted at RSUPN Cipto Mangunkusumo from July to November 2024. The study subjects were adult patients undergoing gastrointestinal surgery. Out of 80 initial subjects, 78 met the inclusion criteria, with 39 in the <2.85 g/dL albumin group and 39 in the >2.85 g/dL albumin group. Postoperative complications were measured using the Comprehensive Complication Index (CCI), which reflects all complications on a continuous scale from 0 to 100, with higher scores indicating greater complication burden. Bivariate analysis was performed using the Mann-Whitney test to compare CCI scores between the two albumin groups.
Results: Among the 78 subjects, the median albumin level was 2.85 g/dL. CCI score in the <2.85 g/dL albumin group significantly higher than the >2.85 g/dL albumin group. These findings indicate a significant association between albumin levels and postoperative complication (p<0.05)..
Conclusion: Postoperative albumin status is significantly associated with gastrointestinal surgery complications. Albumin assessment can be used to identify high-risk patients and plan nutritional interventions to reduce complications.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cut Thalya Alissya Rahma
"Latar Belakang: Pembedahan saluran cerna memiliki risiko komplikasi tinggi yang meningkatkan morbiditas, mortalitas, dan biaya kesehatan. Penurunan albumin pascaoperasi terkait inflamasi sistemik menjadi indikator penting komplikasi. Comprehensive Complication Index (CCI) digunakan untuk menilai komplikasi lebih komprehensif dibanding Clavien-Dindo Classification.
Metode:Studi kohort prospektif ini dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada Juli-November 2024. Subjek penelitian adalah pasien dewasa yang menjalani pembedahan saluran cerna. Dari 80 subjek awal, 78 memenuhi kriteria dengan 39 pada kelompok albumin dibawah rata-rata atau median dan 39 albumin diatas rata-rata atau median. Komplikasi pascaoperasi diukur menggunakan Comprehensive Complication Index (CCI), yang mencerminkan seluruh komplikasi pada skala kontinu 0-100, di mana skor lebih tinggi menunjukkan beban komplikasi yang lebih berat. Analisis bivariat dilakukan dengan uji Mann-Whitney untuk membandingkan skor CCI antara kedua kelompok albumin.
Hasil: Dari total 78 subjek penelitian, didapatkan nilai tengah albumin 2,85 g/dL. Kelompok dengan albumin <2,85 g/dL memiliki skor CCI lebih tinggi dibandingkan kelompok dengan albumin ≥2,85 g/dL. Analisis menunjukkan hubungan bermakna secara signifikan antara status albumin dan komplikasi pascaoperasi (p<0,05).
Kesimpulan: Status pascaoperasi berhubungan signifikan dengan komplikasi pasca pembedahan saluran cerna. Penilaian albumin dapat digunakan untuk mengidentifikasi pasien berisiko tinggi komplikasi dan merencanakan intervensi nutrisi guna mengurangi komplikasi.

Background: Gastrointestinal surgery carries a high risk of complications, increasing morbidity, mortality, and healthcare costs. Postoperative albumin decline associated with systemic inflammation serves as an important indicator of complications. The Comprehensive Complication Index (CCI) is used to assess complications more comprehensively than the Clavien-Dindo Classification.
Methods: This prospective cohort study was conducted at RSUPN Cipto Mangunkusumo from July to November 2024. The study subjects were adult patients undergoing gastrointestinal surgery. Out of 80 initial subjects, 78 met the inclusion criteria, with 39 in the <2.85 g/dL albumin group and 39 in the >2.85 g/dL albumin group. Postoperative complications were measured using the Comprehensive Complication Index (CCI), which reflects all complications on a continuous scale from 0 to 100, with higher scores indicating greater complication burden. Bivariate analysis was performed using the Mann-Whitney test to compare CCI scores between the two albumin groups.
Results: Among the 78 subjects, the median albumin level was 2.85 g/dL. CCI score in the <2.85 g/dL albumin group significantly higher than the >2.85 g/dL albumin group. These findings indicate a significant association between albumin levels and postoperative complication (p<0.05)..
Conclusion: Postoperative albumin status is significantly associated with gastrointestinal surgery complications. Albumin assessment can be used to identify high-risk patients and plan nutritional interventions to reduce complications.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Marsella Dervina Amisi
"Albumin serum, berat badan dan kekuatan genggaman merupakan parameter penilaian status gizi yang berhubungan dengan kadar protein tubuh. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui korelasi antara kadar albumin serum terhadap persentase penurunan berat badan dan kekuatan genggaman. Penelitian dengan desain potong lintang pada pasien kanker kepala leher dengan usia ≥18–65 tahun yang telah menjalani radiasi ≥25 kali di Departemen Radioterapi RSUPNCM. Hasil penelitian menunjukkan sekitar 55,76% subjek memiliki kadar albumin <3,4 g/dL. Rerata penurunan berat badan selama radiasi – 9,42 ± 7,76%, dengan 79,6% subyek mengalami penurunan berat badan ≥5%. Rerata kekuatan genggaman tangan dominan 39,48 ± 9,15 kg. Tidak terdapat korelasi antara kadar albumin serum dengan persentase penurunan berat badan (r = - 0,129; p = 0,364) dan kekuatan genggaman tangan (r = 0,048; p = 0,733). Kesimpulan, kadar albumin serum tidak memengaruhi penurunan berat badan dan kekuatan genggaman selama radiasi. Sangat penting untuk mempertahankan status gizi selama menjalani radioterapi salah satunya dengan pemakaian NGT di awal radiasi. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan desain kohort prospektif untuk mendapatkan data yang lebih konklusif.

Serum albumin, body weight and hand grip strength is a parameter of assessment of nutritional status related to body protein. This study was conducted to determine the correlation between serum albumin levels with the percentage of weight loss and hand grip strength. A cross sectional study design in the head neck cancer patients with ge 18 65 years of age who have undergone radiation at least 25 times in the Department of Radiotherapy RSUPNCM. The results showed approximately 55,76 of the subjects had levels of albumin below 3,4 g dL. Mean weight loss during radiation ndash 9,42 7,76 , with 79,6 of subjects experienced weight loss ge 5 . Mean dominant hand grip strength 39,48 9,15 kg. There is no correlation between serum albumin levels with percentage of body weight loss r 0,129 p 0,364 and hand grip strength r 0,048 p 0,733 . Conclussion, serum albumin levels did not affect body weight loss and handgrip strength during radiation. It is essential for head and neck cancer patients undergoing radiotherapy to maintain nutritional status with NGT in the initial radiation. Further research with prospective cohort design is needed to obtain more conclusive data. Keywords Serum albumin, weight loss percentage, handgrip strength, head and neck cancer, radiotherapy "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T55687
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tobing, Rachel Abigail
"Hipoalbuminemia pada pasien kanker menyebabkan survival rate pasien menurun sehingga perlu dikoreksi dengan terapi infus human albumin. Perbedaan penggunaan konsentrasi albumin di Formularium Nasional dan oleh dokter di rumah sakit menimbulkan peningkatan beban biaya rumah sakit. Tujuan penelitian adalah menganalisis perbedaan efektivitas produk human albumin 20% dan 25% terhadap peningkatan kadar albumin pada pasien kanker BPJS yang mengalami hipoalbuminemia di Rumah Sakit Kanker Dharmais tahun 2019. Penelitian dilakukan dengan metode kohort retrospektif terhadap data sekunder pasien yang dirawat pada periode Januari hingga Desember 2019 di Rumah Sakit Kanker Dharmais. Teknik pengambilan sampel adalah consecutive sampling. Data diperoleh sebanyak 139 sampel. Kadar albumin diamati sebelum dan sesudah pemberian terapi infus albumin. Hasil uji beda proporsi karakteristik subyek penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan proporsi karakteristik pasien antar kelompok human albumin 20% (n=32) dan kelompok human albumin 25% (n=107) (p > 0,05). Hasil uji beda rata-rata menunjukkan terdapat perbedaan signifikan kadar albumin sebelum dan sesudah pemberian terapi infus albumin pada masing-masing kelompok (p < 0,05). Rata-rata peningkatan kadar albumin produk human albumin 20% adalah 0,3063 g/dL dan produk human albumin 25% adalah 0,5346 g/dL. Hasil uji beda rata-rata menunjukkan terdapat perbedaan rata-rata peningkatan kadar albumin yang signifikan antara kelompok penelitian (p < 0,05) di mana produk human albumin 25% menghasilkan rata-rata peningkatan kadar albumin lebih besar. Perbedaan harga human albumin 20% dan 25% besar, sehingga dapat dilakukan sosialisasi kepada dokter untuk menggunakan human albumin 20% untuk terapi hipoalbuminemia.

Hypoalbuminemia on cancer patients causes patients’ survival rate to decrease, therefore needs to be corrected with human albumin infusion therapy. Differences in albumin concentration usage in National Formulary and by doctors in hospital raises the hospital cost burden. This study aimed to compare the effectiveness of human albumin 20% and 25% based on albumin level increase in BPJS cancer patients with hypoalbuminemia at Dharmais Cancer Hospital in 2019. This study used a retrospective cohort method towards secondary data of patients treated from January to December 2019 at Dharmais Cancer Hospital. Samples were collected using consecutive sampling technique. A total of 139 samples were collected. Albumin levels were observed before and after human albumin infusion therapy. Proportion difference test on subject characteristics showed no significant difference between human albumin 20% group (n=32) and human albumin 25% group (n=107) (p > 0,05). Mean difference test on albumin levels before and after human albumin infusion therapy showed significant difference between groups (p < 0,05). Average of albumin levels increase in human albumin 20% and 25% groups respectively are 0,3063 g/dL and 0,5346 g/dL. Mean differences test showed a significant difference on albumin levels increase between observed groups (p < 0,05), with human albumin 25% resulted in a greater average of albumin level increase. Human albumin 20% and 25% have a great difference in price, therefore doctors should be socialized in the usage of human albumin 20% for hypoalbuminemia therapy."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S70520
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Beta Novianti Kusuma Ningrum
"Latar Belakang: Disfungsi saluran cerna berhubungan dengan luaran klinis yang lebih buruk pada pasien sakit kritis. Kadar albumin serum yang rendah merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan risiko disfungsi saluran cerna. Hubungan kadar albumin dengan disfungsi saluran cerna masih inkonklusif karena pendekatan diagnostik disfungsi saluran cerna yang belum terstandarisasi dengan baik. Gastrointestinal dysfunction score (GIDS) instrumen dengan subjektivitas minimal dan reproduktifitas maksimal, diharapkan dapat menegakkan diagnosis disfungsi saluran cerna dengan objektivitas yang lebih baik. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kadar albumin saat admisi dengan terjadinya disfungsi saluran cerna yang dinilai menggunakan GIDS. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort prospektif pada subjek berusia ≥18 tahun yang dirawat di ruang rawat intensif Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) dr. Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI). Karakteristik subjek penelitian berupa usia, jenis kelamin, status gizi, penyakit komorbid, diagnosis admisi intensive care unit (ICU), waktu inisiasi pemberian nutrisi oral atau enteral, kebiasaan mengonsumsi alkohol, dan skor sequential organ failure assessment (SOFA). Dilakukan analisis bivariat untuk menilai hubungan kadar albumin saat admisi dengan disfungsi saluran cerna. Hasil: Diperoleh 64 subjek, kelompok kadar albumin rendah 32 subjek dan kelompok kadar albumin normal 32 subjek. Rerata usia subjek 50,2±15,7, laki-laki 64,1%, 26,6% subjek dengan status gizi berat badan normal berdasarkan indeks massa tubuh (IMT), 50% subjek dengan malnutrisi secara klinis,  21,9% subjek dengan diagnosis komorbid diabetes melitus dan 3,1% subjek dengan parkinson, 34,4 % subjek dengan diagnosis admisi bedah, 95,3% subjek mendapatkan nutrisi oral atau enteral ≤ 48 jam, median skor SOFA 3 (0-12). Rerata kadar albumin  subjek dengan disfungsi saluran cerna 2,7±0,6 g/dL, rerata kadar albumin  subjek tidak disfungsi saluran cerna 3,7±0,7 g/dL. 31,3% subjek mengalami disfungsi saluran cerna. Terdapat hubungan signifikan secara statistik antara kadar albumin saat admisi dengan disfungsi saluran cerna RR 9 (95%CI 2,3-35,6; p <0,001) dan skor GIDS, p<0,001. Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara kadar albumin saat admisi dengan disfungsi saluran cerna. Pemeriksaan kadar albumin saat admisi ICU idealnya dilakukan secara rutin dan diikuti dengan koreksi kadar albumin apabila ditemukan kondisi hipoalbuminemia.

Background: Gastrointestinal dysfunction is associated with worse clinical outcomes in critically ill patients. Low serum albumin levels are one factor that can increase the risk of gastrointestinal dysfunction. The relationship between albumin levels and gastrointestinal dysfunction is still inconclusive because the diagnostic approach to gastrointestinal dysfunction is not yet well standardized. Gastrointestinal dysfunction score (GIDS) is an instrument with minimal subjectivity and maximum reproducibility, which is expected to provide a diagnosis of gastrointestinal dysfunction with better objectivity. This research was conducted to determine the relationship between albumin levels at admission and the occurrence of gastrointestinal dysfunction as assessed using GIDS. Methods: This study is a prospective cohort study of subjects aged ≥18 years who were treated in the intensive care unit at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo and RSUI. Characteristics of research subjects included age, gender, nutritional status, comorbid diseases, ICU admission diagnosis, time of initiation of oral or enteral nutrition, alcohol consumption habits, and SOFA score. Bivariate analysis was carried out to assess the relationship between albumin levels at admission and gastrointestinal dysfunction. Results: There were 64 subjects, 32 subjects in the low albumin level group and 32 subjects in the normal albumin level group. Mean age of subjects 50.2 ± 15.7, 64.1% male, 26.6% subjects with normal weight nutritional status based on BMI, 50% subjects with clinical malnutrition, 21.9% subjects with comorbid diagnosis of diabetes mellitus and 3.1%  subjects with Parkinson's, 34.4%  subjects with surgical admission diagnosis, 95.3% subjects received oral or enteral nutrition ≤ 48 hours, median SOFA score 3 ( 0-12). The mean albumin level of subjects with gastrointestinal dysfunction was 2.7 ± 0.6 g/dL, the mean albumin level of subjects without gastrointestinal dysfunction was 3.7 ± 0.7 g/dL. 31.3% of subjects experienced gastrointestinal dysfunction. There was a statistically significant relationship between albumin levels at admission and gastrointestinal dysfunction RR 9 (95%CI 2.3-35.6; p <0.001) and GIDS score, p<0.001. Conclusion: There is a significant relationship between albumin levels at admission and gastrointestinal dysfunction. Albumin levels examination during ICU admission should ideally be carried out routinely and followed by correction of albumin levels if hypoalbuminemia is found."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Marcella Widjaja
"Latar Belakang: Postoperative gastrointestinal tract dysfunction (POGD) merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien pascaoperasi yang menyebabkan peningkatan morbiditas dan lama rawat inap. Malnutrisi sering terjadi pada periode perioperasi. Indeks massa bebas lemak menjadi salah satu penilaian untuk identifikasi pasien dengan malnutrisi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan indeks massa bebas lemak praoperasi dengan POGD menggunakan skor Intake-Feeling Nauseated, Emesis, Exam, Duration (I-FEED) dan lama rawat inap pasien pascalaparotomi elektif. Metode: Studi potong lintang dilakukan pada 92 subjek berusia 18-64 tahun yang menjalani laparotomi elektif di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo selama bulan Maret-Mei 2023. Pengukuran indeks massa bebas lemak praoperasi menggunakan bioelectrical impedance analysis (BIA) SECA mBCA-525. Penilaian POGD berdasarkan American Society for Enchanced Recovery and Perioperative Quality Initiative Joint Consensus Statement menggunakan skor I-FEED. Penilaian rawat inap dengan data rekam medis dan perhitungan lama rawat pascaoperasi. Dilakukan analisis univariat, bivariat dan analisis multivariat pada studi ini. Hasil: Rerata indeks massa bebas lemak pasien 16,5  2,3 kg/m2 dengan kategori rendah sebanyak 29,3%. POGD terjadi pada 41,3% subjek dan median lama rawat pascaoperasi 4 (2-17) hari. Tidak ditemukan korelasi yang bermakna secara statistik pada indeks massa bebas lemak praoperasi dengan POGD menggunakan skor I-FEED dan lama rawat inap pascaoperasi. Analisis klasifikasi indeks massa bebas lemak praoperasi yang rendah meningkatkan risiko kejadian POGD (OR 2,84; 95% CI 1,13-7,16). Analisis lanjutan dengan regresi linier menunjukkan serum albumin praoperasi dan durasi operasi menjadi faktor yang paling berkorelasi dengan skor I-FEED serta asupan protein dan karbohidrat berkorelasi dengan lama rawat pascaoperasi. Kesimpulan: Tidak ditemukan korelasi bermakna antara indeks massa bebas lemak praoperasi dengan POGD menggunakan skor I-FEED dan lama rawat inap pasien pascalaparotomi elektif.

Background: Postoperative gastrointestinal tract dysfunction (POGD) is a complication that increases morbidity and length of stay. Malnutrition often occurs in the perioperative period. Fat-free mass index is one of the assessments for identifying patients with malnutrition that caused complication. This study aims to assess the association between preoperative fat-free mass index and POGD using the Intake-Feeling Nauseated, Emesis, Exam, Duration (I-FEED) score and postoperative length of stay in elective laparotomy patients. Methods: This cross-sectional study was conducted on 92 subjects aged 18-64 years at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital who underwent elective laparotomy from March to May 2023. The fat-free mass index was measured using a multi-frequency bioelectrical impedance analysis (BIA) SECA mBCA-525. The POGD assessment was based on the American Society for Enchanced Recovery and Perioperative Quality Initiative Joint Consensus Statement using the I-FEED score. The length of stay assessment calculated with postoperative length of hospitalization and medical record. Univariate, bivariate, and multivariate analyses were performed in this study. Results: The average of patient’s fat-free mass index was 16.5  2,3 kg/m2 and found 29.3% of subjects in low category. 41.3% of subjects developed POGD, and median length of postoperative hospital stay was 4 (2-17) days. There was no statistically significant correlation between preoperative fat-free mass index and POGD using I-FEED score and postoperative length of hospital stay. Classification analysis of low preoperative fat-free mass index increased the risk of POGD (OR 2.84; 95% CI 1.13-7.16). Further analysis using linear logistic for other confounding factors revealed that preoperative serum albumin and duration of surgery were the most correlated factors in I-FEED score. Protein and carbohydrate intake were correlated with postoperative length of hospital stay. Conclusion: There is no correlation between preoperative fat-free mass index and POGD using I-FFEED score and length of stay after elective laparotomy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Syarif Hidayat
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T58797
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faroland Dedy Koswara Debataradja
"ABSTRAK
Pasien rawat inap dengan malnutrisi dapat mengalami kehilangan albumin melalui saluran cerna yang ditandai dengan penurunan albumin serum dan peningkatan kadar AAT tinja. Tujuan penelitian ini untuk menilai kehilangan protein melalui saluran cerna pada pasien di ruang rawat inap RSCM. Penelitian menggunakan rancangan potong lintang dengan uji deskriptif analitik, dengan menilai kadar AAT tinja dan albumin serum penderita rawat inap. Hasil penelitian pada 41 subjek malnutrisi dan 33 subjek tidak malnutrisi mendapatkan nilai median AAT tinja pada kelompok malnutrisi sebesar 86,9 mg/dL dengan rentang 26,3 - 310,3 mg/dL. Pada kelompok tidak malnutrisi didapat median nilai AAT tinja 12,2 mg/dL dengan rentang 1,4 - 25,6 mg/dL. Rerata albumin serum pada kelompok malnutrisi adalah 2,6 ± 0,4 g/dL sedangkan pada kelompok tidak malnutrisi 4,0 ± 0,4 g/dL. Terdapat korelasi kuat yang berlawanan arah antara kadar AAT tinja dan kadar albumin serum yang berarti terjadi kebocoran albumin serum melalui saluran cerna akibat gangguan integritas usus terutama pada pasien yang mengalami malnutrisi.

ABSTRACT
Hospitalized patients with malnutrition can have albumin loss through gastrointestinal tract characterized by the decreased of serum albumin and the increased levels of fecal AAT. The purpose of this study was to assess the loss of protein through the gastrointestinal tract in hospitalized patients at RSCM hospital. The study was a cross-sectional study with descriptive analytic approach, assessing the levels of fecal AAT and serum albumin from 41 malnourish and 33 non malnourish subject. Fecal AAT median scores among the malnourished group was 86.9 mg/dL with a range from 26.3 to 310.3 mg/dL. In the non malnourished group fecal AAT median value was 12.2 mg / dL with a range from 1.4 to 25.6 mg/dL. The mean serum albumin in malnourished group was 2.6 ± 0.4 g/dL, while in the non malnourished group was 4.0 ± 0.4 g/dL. There is a strong negative correlation between fecal AAT levels and serum albumin, which indicates that serum albumin leakage through the gastrointestinal tract was due to impaired intestinal integrity especially in malnourished patients."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>