Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 140861 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andityo Rahman Winahyu
"Karsinoma nasofaring merupakan keganasan paling tinggi ditemukan di bagian kepala dan leher dengan berbagai faktor risiko. Peran faktor risiko terhadap tingkat keparahan karsinoma nasofaring belum banyak diteliti, terutama di Indonesia sehingga penelitian ini berperan untuk menganalisis hubungan antara keberadaan faktor risiko pada pasien, yaitu jenis kelamin, usia, perokok aktif dan pasif, konsumsi alkohol, dan riwayat keluarga, dengan tingkat stadium karsinoma nasofaring yang dialami pasien. Desain pengambilan data yang digunakan adalah cross-sectional untuk menganalisis hubungan antara masing-masing faktor risiko dengan stadium karsinoma nasofaring dari 216 pasien karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada tahun 2004-2008. Berdasarkan hasil uji fisher’s exact, nilai p akan hubungan antara jenis kelamin, usia, merokok, perokok pasif, konsumsi alkohol, dan riwayat keluarga dengan stadium karsinoma nasofaring berturut-turut sebesar 0,651, 0,355, 0,837, 0,841, 0,844 dan 0,482 sehingga tidak ditemukan hubungan yang signifikan (p > 0,05) pada faktor risiko dengan stadium karsinoma nasofaring. Dengan demikian, faktor risiko karsinoma nasofaring yang diteliti tidak berpengaruh terhadap stadium karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.

Nasopharyngeal carcinoma is the most common malignancy found in the head and neck with various risk factors. The role of risk factors on the severity of nasopharyngeal carcinoma has not been widely studied, especially in Indonesia, so this study plays a role in analyzing the relationship between the presence of risk factors in patients, namely gender, age, active and passive smokers, alcohol consumption, and family history, with the stage of nasopharyngeal carcinoma experienced by patients. The data collection design used was cross-sectional to analyze the relationship between each risk factor and the stage of nasopharyngeal carcinoma from 216 nasopharyngeal carcinoma patients at Cipto Mangunkusumo Hospital in 2004-2008. Based on the results of the fisher's exact test, the p value of the relationship between gender, age, smoking, passive smoking, alcohol consumption, and family history with the stage of nasopharyngeal carcinoma were respectively 0.651, 0.355, 0.837, 0.841, 0.844 and 0.482 so that no significant relationship was found (p > 0.05) in risk factors with the stage of nasopharyngeal carcinoma. In conclusion, the risk factors for nasopharyngeal carcinoma studied did not affect the stage of nasopharyngeal carcinoma at Cipto Mangunkusumo Hospital. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lidya Meidania
"Kanker nasofaring KNF masih menjadi salah satu masalah kesehatan di Indonesia. Kanker nasofaring merupakan salah satu kanker terbanyak di Indonesia, dengan estimasi insidens 6,2/100.000 populasi atau 12.000 kasus baru per tahun. Sayangnya masih banyak kasus yang tidak tercatat karena banyak faktor, salah satunya adalah belum adanya sistem registrasi kanker nasional. Pada kebanyakan negara berkembang, registrasi kanker berawal dari rumah sakit. Sistem registrasi kanker berbasis rumah sakit atau Hospital Based Cancer Registry HBCR merupakan sumber data penting untuk registrasi kanker berbasis populasi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui profil pasien dan tatalaksana pasien KNF di RSUPN Cipto Mangunkusumo RSCM berdasarkan data HBCR. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif terhadap seluruh pasien KNF periode Januari-Desember 2013 yang teregistrasi di HBCR RSCM. Didapatkan 299 pasien KNF, dengan rasio laki-laki dibandingkan wanita 2,4:1. Median usia adalah 47 tahun, dengan mayoritas pasien berusia 41-50 tahun 27,4. Karsinoma nasofaring tidak berdiferensiasi merupakan jenis histopatologi terbanyak 85. Mayoritas pasien terdiagnosa sebagai stadium lokal lanjut, terbanyak stadium IVA 33,9. Kemoradiasi masih menjadi terapi utama untuk stadium lokal lanjut 84,1, dan kemoterapi untuk stadium lanjut 83,9. Secara umum, karakteristik pasien pada penelitian ini selaras dengan penelitian-penelitian KNF terdahulu di Indonesia.

Nasopharyngeal cancer NPC remains as part of Indonesia health burden. It is one of most common cancers in Indonesia, with an overall incidence estimated at 6,2 100.000 or 12.000 new cases per year. Unfortunately, many of these cases are unregistered due to several factors, such as lack of national cancer registry. In most developing countries, cancer registration often begin in hospitals. Hospital Based Cancer Registry HBCR provides the initial and major source of information on patients that leads to the set up of a population based registry. This study was conducted to determine NPC patient and treatment profile in Cipto Mangunkusumo Hosiptal, based on HBCR data. This was a descriptive retrospective study of all registered NPC patient in HBCR, from January December 2013. In this study, there were 299 NPC patients, with a male to female ratio of 2,4 1. Median age was 47 years old, with majority of age between 40 49 years old 27,4. Most common type of histology was undifferentiated NPC 85. Most patients presented with locally advanced disease, with majority of stage IVA 33,9. Chemoradiation remains as standard treatment for locally advanced NPC 84,1 and chemotherapy for metastatic NPC 83,9. This study showed that overall NPC patients characteristics in Cipto Mangunkusumo were similar with NPC patients profile in prior Indonesia NPC studies. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Feri Ikhwan
"Kanker serviks merupakan jenis kanker terbanyak kedua pada wanita setelah kanker payudara namun menjadi penyebab kematian terbanyak pada wanita yang menderita kanker. Pada penderita kanker serviks gangguan psikiatri dapat terjadi karena berbagai faktor penyebab. Dari gangguan psikiatri yang terjadi pada penderita kanker serviks, depresi merupakan gangguan yang paling sering dijumpai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara stadium klinis dan faktor-faktor sosio-demografi dengan derajat beratnya depresi pada pasien kanker serviks uteri.
Metode: Penelitian ini berbentuk studi potong lintang dengan jumlah subjek 232 orang yang merupakan pasien kanker serviks uteri yang berobat ke Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo) pada bulan November sampai Desember 2012. Seluruh subjek penelitian diminta untuk mengisi lembar kuesioner yang berisi identitas dan data sosio-demografi. Instrumen yang digunakan untuk penilaian depresi menggunakan Mini International Neuropsychiatric Interview ICD-10 (MINI ICD-10) dan untuk menilai derajat beratnya depresi dengan instrumen Hamilton Rating Scale for Depression (HRS-D).
Hasil: Dari hasil analisis bivariat pada penelitian ini didapatkan hubungan yang bermakna antara stadium klinis kanker serviks uteri (p <0,001), umur (p = 0,005), dan lamanya diagnosis kanker serviks uteri ditegakkan (p <0,001) dengan derajat beratnya depresi yang terjadi, dan dari analisis multivariat didapatkan lamanya diagnosis merupakan variabel yang menjadi faktor dominan yang berhubungan secara statistik bermakna terhadap semua tingkatan depresi.
Kesimpulan: Penelitian ini menjawab hipotesis penelitian dimana terdapat hubungan antara stadium klinis dan faktor-faktor sosio-demografi dengan derajat beratnya depresi pada pasien kanker serviks uteri.

Cervical cancer is the second most types of cancer in women after the breast cancer, but it is the most frequent cause of cancer mortality in women. Patients with cervical cancer can occur psychiatric disorders due to various causes. Depression is the most common psychiatric disorder in cervical cancer patients. This study aims to determine the relationship between clinical stage and the factors of socio-demographic with the severity of depression in patients with cervical cancer.
Methods: This study was cross-sectional studies form 232 cervical cancer patients who went to the National Center Public Hospital Dr. Cipto Mangunkusumo (RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo) in November to December 2012. The whole subjects of the study were asked to fill out a questionnaire that contains the identity and socio-demographic data. The instrument used for the assessment of depression using the Mini International Neuropsychiatric Interview ICD-10 (ICD-10 MINI) and to assess the degree of severity of depression by the instrument Hamilton Rating Scale for Depression (HRS-D).
Results: From the results of the bivariate analysis in this study found a significant association between clinical stage of cervical cancer (p <0.001), age (p = 0.005), and duration of cervical cancer diagnosis is established (p <0.001) with the degree of severity of depression that occurs, and from the multivariate analysis found that the length of diagnosis is a dominant factor which is statistically significant related to all levels of depression.
Conclusion: This study answers the research hypothesis that there is a relationship between clinical stage and the factors of socio-demographic with the severity of depression in patients with cervical cancer.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endah Zuraidah
"LATAR BELAKANG: Salah satu penyebab kematian bagi penderita kanker pada wanita adalah kanker serviks. Secara histopatologik kanker leher rahim yang banyak ditemukan adalah jenis karsinoma sel skuamosa. Pada penelitian diteliti beberapa faktor risiko yang berkaitan dengan karsinoma sel skuamosa.
METODE: Desain studi ialah kasus-kontrol dengan subyek penderita kanker leher rahim jenis karsinoma sel skuamosa berdasarkan pemeriksaan histopatologik yang datang ke RSUPNCM Jakarta dan belum mendapatkan pengobatan.
HASIL: Dari 302 wanita penderita kanker leher rahim jenis karsinoma sel skuamosa yang diteliti terdapat 34,4% pada golongan umur 52 tahun sampai 62 tahun yang memiliki risiko tinggi, dengan rasio odd suaian (OR) 24,05 dan 95% interval kepercayaan 6,34 ; 91,24. Umumnya wanita berpendidikan tingkat SD dan wanita tidak sekolah memiliki risiko tinggi dibandingkan dengan wanita yang berpendidikan SMP ke atas, dengan rasio odd suaian berturut-turut 17,97 dan 12,91 dan 95% interval kepercayaan berturut-turut 2,82 ; 114,66 dan 1,96 ; 84,92. Jenis kontrasepsi yang digunakan yang dapat meningkatkan risiko adalah kontrasepsi hormonal jika dibandingkan dengan yang tidak memakai kontrasepsi, dengan rsio odd suaian 2,83 dan 95% interval kepercayaan 1,34 ; 6,00.
KESIMPULAN: Pada penelitian ini terlihat bahwa faktor-faktor risiko dominan yang berhubungan dengan terjadinya kanker leher rahim jenis karsinoma sel skuamosa adalah umur yang lebih tua, tingkat pendidikan rendah dan penggunaan kontrasepsi hormonal.

Risk Factors of Cervical Squamous Cell Carcinoma in Dr. Cipto Mangunkusumo National Central Hospital Jakarta 1997-1998BACKGROUND: Mortality of cervical cancer is highest among cancer in women. The histological type of cervical cancer is mostly squamous cell carcinoma. The purpose of this study is to show the risk factors of cervical squamous cell carcinoma.
METHOD: The design is a case control study carried out in patients from Dr. Cipto Mangunkusumo National Central Hospital Jakarta during 1997-1998 confirmed histologically with cervical squamous cell carcinoma, who has not started any treatment.
RESULT: From 302 women with squamous cell carcinoma of cervix examined, the high risk groups were found to be as follows : 1) 52-62 year age group (34,4%) with adjusted odds ratio (OR) 24,05 and 95% confidence interval (95% CI) 6,34 ; 91,24 2) low education level, elementary 1 no education compare with women with higher education level showed adjusted odds ratio (OR) 17,97 and 12,91, and 95% confidence interval (95% CI) 2,82 ; 114,66 and 1,96 ; 84,92 3) hormonal contraception compared with those who didn't use any contraception showed adjusted odds ratio (OR) 2,83 and 95% confidence interval (95% CI) 1,34 ; 6,00.
CONCLUSION: This study showed that older age group, low education and hormonal contraception were dominant risk factors of cervical squamous cell-carcinoma."
2001
T10520
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamzah Pratama Megantara
"Latar Belakang: Disebutkan pada beberapa literatur bahwa faktor prognostik menentukan laju kejadian rekurensi pada pasien pasca operasi kanker serviks. Faktor- faktor prognostik tersebut diantaranya adalah invasi ruang pembuluh limfa, tipe sel kanker, ukuran tumor primer, kedalaman invasi stroma, bebas/tidak bebasnya tepi vagina hasil reseksi, keterlibatan parametrium, dan status limfonodi. Sampai saat ini belum ada data yang dapat menggambarkan faktor-faktor prognostik pada kanker serviks serta kaitannya dengan kejadian rekurensi di Indonesia. 
Metode: Penelitian ini memiliki desain deskriptif dan analitik yang menampilkan sebaran faktor-faktor prognostik pada pasien kanker serviks pasca operasi beserta tingkat rekurensinya. Peneliti menggunakan data rekam medik sebagai sumber data. 
Hasil: Hasil dari studi deskriptif adalah sebagai berikut: invasi ruang pembuluh limfa (81,4%), tipe sel kanker tipe skuamosa (62,2%), ukuran tumor primer <4cm (66%), invasi stroma >10mm (59,2%), invasi limfonodi positif (57,3%), hasil reseksi vagina tidak bebas sel kanker (79.7%), dan pasien rekurens (9%). Adapun hasil studi analitik yang mempertemukan antara faktor-faktor prognostik kanker serviks menghasilkan bahwa ukuran tumor primer berhubungan secara signifikan terhadap kejadian rekurensi (nilai p 0.05). 
Kesimpulan: Berdasarkan analisis deskriptif, didapatkan bahwa terdapat dominasi pada beberapa sub-komponen pada faktor prognostik seperti yang telah tertera pada bagian Hasil. Pada studi analitik, didapatkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara ukuran tumor primer dengan kejadian rekurensi (nilai p 0.05).

Background: Multiple prognostic factors affect the recurrence rate in post-operative cervical cancer patients. These factors are lymphovascular space invasion (LVSI), types of cancer cells, primary tumor size, the depth of the stromal invasion, cleanliness of vaginal resection, parametrial involvement, and lymph nodular status. Despite the importance of prognostic factors, there are no data available in the Indonesian population yet. Hence, the writer proposed a study depicting the prognostic factors of cervical cancer. 
Method: This research is aimed to acquire a descriptive picture of the prognostic factors in cervical cancer patients, particularly from the Indonesian population data. Moreover, a sub-analytical study of comparative-analytical hypothetical test was added to examine the statistical relation between the prognostic factors and recurrence in post-operative cervical cancer patients. The data is taken from the medical record from Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. 
Results: The descriptive result of the prognostic factors shows LVSI (81.4%), Squamous Cell Carcinoma type of cervical cancer (62.2%), primary tumor size <4cm (66%), stromal invasion with depth >10mm (59.2%), positive lymph node invasion (57.3%), non-clear vaginal resection (79.7%), and recurrent patients (9%). The analytical study shows a statistical significance between the size of the primary tumor and the recurrence in post-operative cervical cancer patients (p-value 0.05). 
Conclusion: From the descriptive study, there are several dominances seen in the prognostic factors of the cervical cancer patient. Also, the analytical study shows a significant statistical relationship between primary tumor size and recurrence.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alexander Herdyanto
"Air mata pada derajat ketiga dan keempat perineum dapat mempengaruhi kualitas hidup wanita. Namun, beberapa penelitian telah dilakukan mengenai insiden tersebut robekan perineum atau OASIS di Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk mencari tahu Apa faktor risiko yang berhubungan dengan derajat robekan perineum tiga dan empat di RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2014. Sampel data diambil dari data sekunder berupa rekam medis. Kemudian, data tersebut dikelompokkan menjadi numerik dan kategorikal, dan diolah menggunakan program SPSS. Hasil data menunjukkan distribusi yang tidak normal, sehingga digunakan metode non parametrik yaitu metode Mann-Whitney. Data bivariat diolah menggunakan metode Chi-Square dan regresi logistik biner untuk menaikkan nilai P dan OR (Odd Ratio). Setelah itu, data dianalisis menggunakan metode multivariasi untuk mengecualikan data yang tidak signifikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persalinan kala II, jenis persalinan, anestesi, induksi persalinan, distosia bahu, berat lahir bayi, usia kehamilan, dan presentasi kepala terbukti menjadi faktor risiko yang signifikan, sedangkan induksi persalinan tidak menunjukkan hubungan dengan air mata perineum.

Tears of the third and fourth degrees of the perineum can affect the quality of life woman. However, few studies have been conducted regarding incidence perineal tear or OASIS in Indonesia. This research was made to find out What are the risk factors that have an association with a degree of perineal tear three and four at RSCM (Cipto Mangunkusumo Hospital) from 2011 until 2014. Data samples were taken from secondary data in the form of medical records. Then, the data are grouped into numerical and categorical, and processed using the SPSS program. The results of the data show a distribution that is not normal, so a non-parametric method is used, namely the Mann-Whitney method. Data bivariates were processed using the Chi-Square method and binary logistic regression for raises the P value and OR (Odd Ratio). After that, the data were analyzed using the multivariate method to exclude insignificant data. The results show that the second stage of labor, type of delivery, anesthesia, induction labor, shoulder dystocia, birth weight of the baby, gestational age, and head presentation proved to be a significant risk factor, whereas labor induction was not showed an association with perineal tears.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Josuadi
"Latar belakang: Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang jarang terjadi pada anak-anak. KNF pada anak prevalensinya kurang dari 1%, tetapi mewakili 20-50% tumor ganas pada anak yang berasal dari nasofaring. Pada orang dewasa Penelitian telah menemukan bahwa latent membrane protein -1  (LMP1) yang diekspresikan oleh virus Epstein-Barr (EBV) mendorong terjadinya perkembangan dan metastasis karsinoma nasofaring (KNF) dan berhubungan dengan sifat agresif dan invasive, namun pada anak belum ada penelitian yang meneliti bagaiamana ekspresi dan peranan LMP-1 tersebut. Metode penelitian: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang pada 30 blok paraffin dari subjek KNF anak di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Blok Parafin kemudian dilakukan ekstraksi dan pemeriksaan PCR LMP-1, kemudian dibandingkan dengan respons terapi. Hasil penelitian: Hasil LMP-1 positif sebanyak 28 subjek dan negatif sebanyak 2 subjek, dari 30 subjek hanya 27 subjek yang dapat dianalisis karena 2 subjek meninggal saat sebelum menyelesaikan terapi dan 1 subjek belum melakukan evaluasi pasca terapi. LMP-1 positif  sebanyak 17 subjek menunjukkan respons (16 respons komplit dan 1 respons parsial), sedangkan 8 subjek menunjukkan tidak ada respons (2 respons stabil 6 respons progresif). Terdapat 2 subjek dengan hasil LMP-1 negatif, seluruhnya memiliki respons terapi (p=1,000). Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan antara ekspresi LMP-1 dan respons terapi.

Background: Nasopharyngeal carcinoma (NPC) is a rare malignant tumor in children. KNF in children has a prevalence of less than 1%, but represents 20-50% of malignant tumors in children originating from the nasopharynx. In adults, studies have found that latent membrane protein -1 (LMP1) expressed by Epstein-Barr virus (EBV) promotes the occurrence, progression, and metastasis of nasopharyngeal carcinoma (NPC) and is associated with aggressive and invasive properties, but in children, no studies have examined the expression and role of LMP-1. Method: This study used a cross-sectional design on 30 paraffin blocks from pediatric NPC subjects at Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta. Paraffin blocks were then DNA extracted and PCR examination of LMP-1 was performed, then compared with the response to therapy. Result: LMP-1 positive was 28 subjects and negative was 2 subjects, and from 30 subjects, only 27 subjects can be analyzed because 2 subjects died before completing therapy and 1 subject has not conducted a post-therapy evaluation. LMP-1 positive as many as 17 subjects showed a response (16 complete responses and 1 partial response), while 8 subjects showed no response (2 stable responses 6 progressive responses). There were 2 subjects with negative LMP-1 results, all of whom responsded to therapy (p = 1.000). Conclusion: There was no association between LMP-1 expression and therapeutic response."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sony Gunawan Victoria
"Komplikasi dan mortalitas pada pasien karsinoma rektum yang menjalani operasi masih cukup tinggi. Analisa faktor-faktor risiko dan klasifikasi komplikasi paska operasi yang terjadi diharapkan dapat menurunkan angka komplikasi yang dapat terjadi. Pada penelitian ini kami menggunakan suatu sistem klasifikasi komplikasi Clavien-Dindo, menstrafikasi komplikasi menjadi lima grade dan melakukan analisa faktor-faktor resiko yang mempengaruhi timbulnya komplikasi paska operasi secara signifikan. Penelitian ini merupakan suatu studi kohort retrospektif yang melibatkan 65 pasien yang menjalani operasi karsinoma rektum di RSCM selama periode Januari 2012 dan Desember 2015. Review rekam medis pasien karsinoma rektum pada semua stadium yang menjalani pembedahan dan variabel lainnya termasuk jenis kelamin, body mass index BMI , riwayat tranfusi preoperatif, jenis pembedahan, setting operasi dan tujuan operasi. Hasil penelitian menunjukkan 55,4 grade I, 15.4 grade II, 3,1 grade IIIA, 6,2 grade IIIB, 13,8 grade IV, dan grade V sebesar 6,2 . Transfusi darah preoperatif menunjukkan adanya hubungan yang bermakna terhadap risiko komplikasi pascabedah karsinoma rektum P = 0,04 . Studi ini menunjukkan bahwa faktor risiko yang berpengaruh pada komplikasi pascaoperasi kanker rektum adalah transfusi preoperasi.

Postoperative morbidity and mortality is a burden in patients with rectal cancer. Analyzing as well as classifying postoperative complication into a universal and standardized method could minimize this burden. Using Clavien Dindo postoperative complication grading system, we stratify complications into five grades and analyze the contributed risk factors in order to identify significant risk factors in reducing patient morbidity and mortality. This retrospective cohort study involved 65 patients which surgery was done between January 2012 and December 2015. It reviewed the medical records of patients diagnosed with rectal carcinoma at any stage and obtain another variable including sex, age, body mass index BMI , preoperative transfusion history, procedure, intention, and approach of the surgery. The result shows 55,4 of the patient was grade I, 15.4 grade II, 3,1 grade IIIA, 6,2 grade IIIB, 13,8 grade IV, and grade V was 6,2 of all patients. Among all of the risks, preoperative transfusion history was the only one statistically significant risk that affect severity of grade P 0,04 ."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58932
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferdinand Inno Luminta
"Latar Belakang: Karsinoma sel sebasea adalah keganasan yang cukup sering ditemukan pada populasi Asia dan bersifat agresif dengan tingkat rekurensi lokal dan metastasis jauh yang tinggi. Peningkatan ekspresi pulasan imunohistokimia (IHK) tumor suppressor gene p53 dan Ki-67 sebagai penanda aktifitas proliferasi pada tumor kepala dan leher menunjukkan adanya korelasi antara aktivitas proliferasi dengan buruknya prognosis.
Tujuan: Menilai ekspresi p53 dan Ki-67 pada karsinoma sel sebasea yang dihubungkan dengan faktor prognostik klinis dan histopatologi pada karsinoma sel sebasea yaitu ukuran tumor, keterlibatan kelenjar getah bening (KGB), metastasis jauh, diferensiasi, penyebaran pagetoid, dan invasi perineural.
Metode: Pulasan IHK menggunakan antibodi p53 dan Ki-67 dilakukan pada jaringan karsinoma sel sebasea di blok parafin yang berasal dari data rekam medis sejak Juni 2017 – Juni 2022 di RSCM. Penilaian ekspresi dilakukan pada nukleus dengan metode manual dan semi-kuantitatif pada 1 lapang pandang dengan minimal jumlah sel sebanyak 500 sel dari hasil foto dan diproses ke dalam peranti lunak Qupath. Hasil penilaian selanjutnya di cek silang dengan data klinis pasien yang sudah dicatat di tabel induk dan kemudian dianalisa secara statistik untuk mengetahui hubungan keduanya.
Hasil: Total 34 pasien dengan ketersediaan blok parafin dianalisa berdasarkan data klinis dan ekspresi p53 dan Ki-67. Tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara kategori ekspresi p53 dengan faktor prognosis klinis dan histopatologi (p>0.05). Ekspresi p53 pada hasil penelitian menunjukkan proporsi faktor prognosis buruk lebih banyak ditemukan pada ekspresi tinggi yaitu adanya metastasis, invasi perineural, dan penyebaran pagetoid. Tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara kategori ekspresi Ki-67 dengan faktor prognosis klinis dan histopatologi (p>0.05). Ekspresi Ki-67 pada penelitian ini menunjukkan proporsi faktor prognosis buruk lebih banyak ditemukan pada ekspresi tinggi yaitu ukuran tumor yang lebih besar, metastasis, diferensiasi buruk, dan invasi perineural.
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara ekspresi Ki-67 dan p53 dengan faktor prognosis klinis dan histopatologi buruk pada karsinoma sel sebasea. Terdapat proporsi sampel dengan ekspresi Ki-67 tinggi yang lebih banyak dan nilai tengah yang lebih tinggi pada faktor prognosis ukuran tumor, metastasis, berdiferensiasi buruk, serta invasi perineural, meskipun hasil yang didapatkan tidak jauh berbeda dan secara statistik tidak bermakna. Pada pulasan p53 terdapat perbedaan yang cukup besar dalam hal proporsi pulasan dengan ekspresi tinggi serta nilai tengah yang lebih tinggi pada faktor prognosis ukuran tumor.

Sebaceous cell carcinoma is a relatively common malignancy in the Asian population, characterized by aggressive behavior with high rates of local recurrence and distant metastasis. Increased expression of immunohistochemical marker such as tumor suppressor gene p53 and Ki-67, a proliferation marker, in head and neck tumors suggests a correlation between proliferation activity and poor prognosis.
Objective: This study aims to evaluate the expression of p53 and Ki-67 in sebaceous cell carcinoma and its association with clinical and histopathological prognostic factors, including tumor size, lymph node involvement, distant metastasis, cell differentiation, pagetoid spread, and perineural invasion.
Methods: Immunohistochemical staining using p53 and Ki-67 antibodies was performed on paraffin-embedded sebaceous cell carcinoma tissues obtained from medical records between June 2017 and June 2022 at RSCM. Expression assessment was conducted on nuclei using manual and semi-quantitative methods on 500 cells per field processed with Qupath software. The results were cross-checked with patients' clinical data recorded in a master table and statistically analyzed to determine their relationship.
Results: A total of 34 patients were analyzed based on clinical data and p53 and Ki-67 expression. There was no statistically significant association between p53 expression and clinical and histopathological prognostic factors (p>0.05). However, high p53 expression was associated with a higher proportion of poor prognostic factors, such as metastasis, perineural invasion, and pagetoid spread. Similarly, there was no statistically significant association between Ki-67 expression categories and clinical and histopathological prognostic factors (p>0.05). High Ki-67 expression was more frequently observed in cases with larger tumor size, metastasis, poor differentiation, and perineural invasion.
Conclusion: This study found no significant statistical association between Ki-67 and p53 expression with poor prognostic factors in sebaceous cell carcinoma. Nonetheless, a higher proportion of samples with high Ki-67 expression and higher median values were observed in cases with bigger tumor size, metastasis, poor differentiation, and perineural invasion, although these differences were not statistically significant. For p53 expression, significant differences were found in terms of proportion and median values concerning tumor size prognostic factors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahardi Mokhtar
"Latar belakang: Pneumotoraks merupakan kondisi terjadinya akumulasi udara di pleura yang dapat menyebabkan kolaps pada paru, dan paling lebih sering terjadi pada periode neonatus dibandingkan dengan periode kehidupan lainnya. Angka insidens pneumotoraks meningkat menjadi 6-7% pada kelahiran bayi berat lahir rendah (BBLR). Saat ini sudah banyak kemajuan dalam perawatan intensif neonatus, tetapi pneumotoraks tetap menjadi komplikasi pernapasan utama yang menyebabkan kematian. Identifikasi faktor risiko yang berhubungan dengan pneumotoraks pada neonatus penting agar dapat dilakukan tatalaksana yang tepat dan sebagai evaluasi pencegahan dan tata laksana yang saat ini sudah diterapkan.
Metode: Penelitian kasus kontrol ini melibatkan neonatus usia <28 hari yang lahir cukup bulan di RSCM yang diambil retrospektif secara consecutive sampling mulai perawatan 1 Januari 2021 hingga 31 Desember 2022. Subjek dibagi menjadi kelompok kasus (dengan pneumotoraks) dan kontrol (tanpa pneumotoraks) berdasarkan klinis dan radiologis selama perawatan. Faktor risiko yang ada pada masing-masing kelompok diidentifikasi dari rekam medis. Data kemudian dianalisis menggunakan program SPSS.
Hasil: Total 116 subjek yang diteliti terdiri atas 58 subjek pada kelompok kasus dan 58 subjek pada kelompok kontrol. Angka kejadian pneumotoraks pada bayi di RSCM yaitu 2%. Faktor yang terbukti menjadi risiko terhadap insidens pneumotoraks adalah ventilasi mekanik invasif (OR 3,19; IK 1,01-10,11; p=0,048). Faktor yang tidak terbukti berhubungan dengan pneumotoraks adalah ventilasi tekanan positif saat resusitasi, sindrom distres napas, dan sepsis neonatorum. Angka kematian bayi dengan pneumotoraks adalah 72,4%.
Kesimpulan: Faktor risiko yang mempunyai hubungan bermakna dengan pneumotoraks pada bayi usia <28 hari yang lahir cukup bulan adalah penggunaan ventilasi mekanik invasif.

Background: Pneumothorax is a condition where air accumulation in the pleura can lead to lung collapse, and is more common in the neonatal period compared to other periods of life. The incidence of pneumothorax increases to 6-7% in low birth weight (LBW) neonates. There have been many advances in the intensive care of neonates, but pneumothorax remains a major respiratory complication leading to death. Identification of risk factors associated with pneumothorax in neonates is important for appropriate management and to evaluate current prevention and management.
Method: This case-control study involved neonates aged <28 days who were born at full term at RSCM who were taken retrospectively by consecutive sampling from January 1st 2021 to December 31st 2022. Subjects were divided into case groups (with pneumothorax) and controls (without pneumothorax) based on the clinical and radiology during treatment. The risk factors in each group were identified from medical records. The data were then analysed using the SPSS program.
Result: A total of 116 subjects were studied, consisting of 58 subjects in the case group and 58 subjects in the control group. The incidence rate of pneumothorax in neonates at RSCM was 2%. The factor that proved to be a risk factor for the incidence of pneumothorax in neonates was invasive mechanical ventilation (OR 3.19; IK 1.01-10.11; p=0.048). Factors not associated with pneumothorax were positive pressure ventilation during resuscitation, respiratory distress syndrome, and neonatal sepsis. The mortality rate of neonates with pneumothorax was 72.4%.
Conclusion: Risk factor that significantly associated with pneumothorax in neonates aged <28 days who were born at full term is invasive mechanical ventilation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>