Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 186743 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dian Megawati
"Latar belakang: Infeksi tuberkulosis resistan obat (TB RO) dapat menyebabkan kerusakan paru yang dapat menetap sehingga berdampak pada fungsi paru dan kualitas hidup. Sebanyak 78% pasien TB RO mengalami penurunan kualitas hidup dan 72% mengalami penurunan kapasitas latihan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kapasitas latihan dan kualitas hidup pasien bekas TB RO di RS. Persahabatan Jakarta.
Metode: Penelitian merupakan penelitian deskriptif observasional dengan metode potong lintang menggunakan total 44 subjek pasien bekas TB RO di RSUP Persahabatan. Penilaian kualitas hidup menggunakan kuesioner WHOQOL-BREF, kapasitas latihan menggunakan uji langkah 6 menit (6MWT) dan uji latih jantung paru (ULJP), fungsi paru menggunakan pemeriksaan spirometri serta luas lesi menggunakan foto toraks.
Hasil: Dari total 44 subjek, 68,1% subjek memiliki kualitas hidup baik, 18,3% subjek memiliki kualitas hidup sangat baik, dan 13,6% subjek memiliki kualitas hidup cukup. Hasil 6MWT menunjukan adanya korelasi positif yang bermakna dengan kualitas hidup (r = 0,354; p = 0,018). Hasil pemeriksaan ULJP, spirometri dan luas lesi pada foto toraks tidak menunjukan korelasi yang signifikan dengan kualitas hidup (p > 0,05).
Kesimpulan: Kualitas hidup pasien TB RO memiliki hubungan positif yang bermakna dengan 6MWT, namun tidak memiliki hubungan dengan ULJP, fungsi paru serta luas lesi pada foto toraks.

Background: Drug-resistant tuberculosis (DR-TB) infection can cause persistent lung damage that impacts lung function and quality of life. As many as 78% of DR-TB patients experience a decrease in quality of life, and 72% experience a decrease in exercise capacity. This study aims to determine the relationship between exercise capacity and quality of life of former DR-TB patients at Persahabatan Hospital Jakarta.
Methods: The study was a descriptive observational study with a cross-sectional method using 44 subjects of former DR-TB patients at the Persahabatan Hospital. Quality of life was assessed using the WHOQOL-BREF questionnaire, exercise capacity using the 6-minute step test (6MWT) and the cardiopulmonary exercise test (CPET), lung function using spirometry examination, and lesion area using chest xray.
Results: From 44 subjects, 68.1% had good quality of life, 18.3% had excellent quality, and 13.6% had fair quality of life. The 6MWD showed a significant positive correlation with quality of life (r = 0.354; p = 0.018). The CPET, spirometri, and lesion on chest xray did not significantly correlate with quality of life (p> 0.05).
Conclusion: The quality of life of patients with DR-TB has a significant positive association with 6MWT but has no association with CPET, lung function, and lesion area on the chest xray.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andini Ayu Lestari
"
Tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan di dunia. Diperkirakan pada tahun 2021 terdapat 10,6 juta orang yang terinfeksi tuberkulosis. Indonesia merupakan salah satu negara yang masuk dalam 20 negara dengan beban TB, TB MDR/RR, dan TB HIV tertinggi di dunia berdasarkan estimasi jumlah kasus hasil modelling yang dilakukan WHO. Angka inisiasi pengobatan pasien tuberkulosis resistan obat meningkat dari tahun 2020-2022, namun pasien yang terdiagnosis tuberkulosis resistan obat tidak dapat segera mendapatkan pengobatan di fasilitas kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui durasi keterlambatan pengobatan pasien tuberkulosis resistan obat, serta pengaruh faktor sistem kesehatan dan faktor pasien terhadap keterlambatan pengobatan pasien tuberkulosis resistan obat di Indonesia tahun 2020-2022. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan sampel pasien tuberkulosis resistan obat yang memulai pengobatan tahun 2020-2022 dan dilaporkan ke sistem informasi tuberkulosis. Penelitian ini menggunakan metode regresi logistik multilevel dengan sumber data sekunder dari Sistem Informasi Tuberkulosis dan Profil Kesehatan Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan rerata durasi keterlambatan pengobatan pasien tuberkulosis resistan obat meningkat dari tahun 2020-2022; faktor sistem kesehatan yang mempengaruhi keterlambatan pengobatan pasien tuberkulosis resistan obat antara lain rasio rumah sakit, metode diagnosis baseline, dan wilayah pendampingan komunitas; sedangkan faktor pasien yang mempengaruhi keterlambatan pengobatan pasien tuberkulosis resistan obat yaitu jenis kelamin, domisili pasien, riwayat pengobatan OAT suntik, jenis fasilitas kesehatan pertama yang dikunjungi, dan jumlah kunjungan ke fasilitas kesehatan. Perluasan penggunaan cartridge XDR pada alat TCM diperlukan untuk mengetahui resistansi fluorokuinolon sehingga pasien yang terdiagnosis resistan obat dapat segera diobati dan perlunya penguatan kolaborasi antara fasilitas kesehatan, dinas kesehatan, dan organisasi komunitas dalam mendukung pengobatan pasien tuberkulosis resistan obat.

Tuberculosis is still a health problem in the world. It is estimated that in 2021 there will be 10.6 million people infected with tuberculosis. Indonesia is one of the 20 countries with the highest burden of TB, MDR/RR TB and HIV TB in the world based on the estimated number of cases resulting from modeling conducted by WHO. The rate of initiation of treatment for drug-resistant tuberculosis patients increased from 2020-2022, however, patients diagnosed with drug-resistant tuberculosis cannot immediately receive treatment at health facilities. This study aims to determine the duration of delays in treatment of drug-resistant tuberculosis patients, as well as the influence of health system factors and patient factors on delays in treatment of drug-resistant tuberculosis patients in Indonesia in 2020-2022. This study used a cross-sectional design with a sample of drug- resistant tuberculosis patients who started treatment in 2020-2022 and reported to the tuberculosis information system. This research uses a multilevel logistic regression method with secondary data sources from the Tuberculosis Information System and the Indonesian Health Profile. The results of the study show that the average duration of delay in treatment for drug-resistant tuberculosis patients increased from 2020-2022; health system factors that influence delays in treatment of drug-resistant tuberculosis include hospital ratios, baseline diagnosis methods, and community assistance areas; Meanwhile, patient factors that influence delays in treatment for drug-resistant tuberculosis patients are gender, patient domicile, history of injectable drugs, type of first health facility visited, and number of visits to health facilities. Expanding the use of XDR cartridges in GenExpert is needed to determine fluoroquinolone resistance so that patients diagnosed with drug resistance can be treated immediately and there is a need to strengthen collaboration between health facilities, health services and community organizations in supporting the treatment of drug-resistant tuberculosis patients."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Orri Baskoro
"Latar Belakang: Bedaquiline merupakan salah satu regimen pengobatan baru tuberkulosis resisten obat yang dianggap lebih efektif namun dengan tingkat mortalitas yang masih kontroversial. Hingga saat ini masih belum ada data mengenai efektivitas maupun keamanan bedaquiline pada pasien TB resisten obat dengan komorbid DM. Penelitian ini dilaksanakan untuk melihat pengaruh status DM pasien tuberkulosis resisten obat terhadap hasil pengobatan regimen yang mengandung bedaquiline.
Tujuan: Mengetahui pengaruh status DM terhadap hasil pengobatan bedaquiline selama 6 bulan pada pasien TB resisten obat.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif dari rekam medis pasien Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan sejak tahun 2016 hingga tahun 2019. Didapatkan sebanyak 76 pasien yang menyelesaikan pengobatan regimen bedaquiline selama 24 minggu. Data kemudian dievaluasi menggunakan uji chi-square dan regresi logistik dengan pernyesuaian terhadap faktor perancu usia dan jenis kelamin menggunakan SPSS.
Hasil: Uji chi-square menunjukkan kelompok DM berisiko mengalami kematian 4 kali lipat lebih tinggi dibandingkan kelompok non-DM secara bermakna (p=0,044). Pada uji multivariat, tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara status DM dengan keberhasilan pengobatan maupun kematian pasien dengan regimen bedaquiline. Namun, didapatkan jenis kelamin pria menurunkan keberhasilan pengobatan bedaquiline hingga 5 kali lipat.
Kesimpulan: Tidak ditemukan hubungan yang bermakna secara statistik antara kondisi DM pada pasien TB resisten obat terhadap keberhasilan dan kematian pengobatan dengan regimen bedaquiline.
Background: Bedaquiline is a new drug-resistant tuberculosis treatment regimen that is said to be more effective but still with a controversial mortality rate. Currently, there are no clinical data regarding the effectiveness and safety of bedaquiline in patients with diabetes melitus. This study was carried out to see the effect of DM on bedaquiline treatment outcome in drug-resistant tuberculosis patient.
Objective: To determine the impact of DM status on the outcome of 6-month bedaquiline treatment in drug-resistant tuberculosis patient.
Methods: This study is a retrospective cohort study from the medical records of patients at the Persahabatan General Hospital from 2016 to 2019. There were 76 patients who had finished a 24 week bedaquiline regimen treatment. The data were then evaluated using the chi-square test and logistic regression with adjustment for age and gender using SPSS.
Results: The chi-square test showed a statistically significant 4 times risk of death in the DM group compared to non-DM group (P = 0.044). In the multivariate analysis, there was no statistically significant association between DM status and treatment success or death of patients with the bedaquiline regimen. However, it is found that the male gender has a risk of reduced treatment succes up to 5 times.
Conclusion: There was no statistically significant relationship between DM status and the bedaquiline regimen treatment success and mortality
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Farhan Dwi Yulianto
"Proporsi keberhasilan pengobatan pada pasien TBC yang diobati di Jakarta Barat trend-nya mengalami penurunan sebesar 83,40% (tahun 2020), 79,36% (2021), dan 77,18% (tahun 2022) (ketidakberhasilannya 22,82%). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kepatuhan pengobatan, co-infeksi HIV, dan riwayat pengobatan sebelumnya dengan dengan kesintasan pasien TBC SO terhadap ketidakberhasilan pengobatan di Kota Jakarta Barat tahun 2022. Desain studi penelitian ini yaitu kohort retrospektif dengan data bersumber dari laporan TB03.SO Sistem Informasi Tuberkulosis (TBC SO) Kota Jakarta Barat periode Januari-Desember 2022. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis deskriptif, survival dengan menggunakan Kaplan Meier, dan multivariat dengan menggunakan cox regression. Dari 2116 pasien yang eligible pada penelitian ini terdapat 1846 pasien yang menjadi sampel penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa insiden rate kumulatif sebesar 4,9/1000 orang-minggu dengan probabilitas survival kumulatif 70,5%. pada kelompok negatif DM, pada saat pasien TBC SO tidak patuh minum obat HR: 47,78 kali (95% CI: 32,59-70,03; p-value: <0,001) setelah dikontrol variabel jenis kelamin. Hasil analisis multivariat menunjukkan pada kelompok tidak ada riwayat pengobatan, pada saat pasien TBC SO tidak patuh minum obat memiliki HR: 65,65 kali (95% CI: 43,09-100,03; p-value: <0,001) setelah dikontrol variabel jenis kelamin. Pada kelompok ada riwayat pengobatan, pada saat pasien TBC SO tidak patuh minum obat memiliki HR: 26,28 kali (95% CI: 12,54-55,03; p-value: <0,001) setelah dikontrol variabel jenis kelamin. pada kelompok patuh pengobatan, pada saat pasien TBC SO memiliki riwayat pengobatan sebelumnya memiliki HR: 2,3 kali (95% CI: 1,06-5,01; p-value: 0,035). Diharapkan menguatkan koordinasi dengan poli lainnya (Poli HIV/PDP atau Poli Penyakit Dalam) untuk memantau keteraturan minum OAT dan juga obat untuk penyakit penyerta lainnya untuk kasus TBC dengan komorbid misalnya ARV pada pasien HIV dan terapi DM bagi pasien DM. Perlu dilakukan pemantauan efek samping, konsultasi, tatalaksana efek samping sesuai standar, dan juga follow up pengobatan pasien sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pengobatan dan mengurangi angka ketidakberhasilan pengobatan.

The proportion of successful treatment for TB patients treated in West Jakarta has decreased by 83.40% (2020), 79.36% (2021), and 77.18% (2022) (22.82% failure) . This study aims to determine the relationship between treatment adherence, HIV co-infection, and previous treatment history with TB SO patient survival and treatment failure in West Jakarta City in 2022. The study design of this research is a retrospective cohort with data sourced from the TB03.SO System report. Information on Tuberculosis (TBC SO) for West Jakarta City for the period January-December 2022. The analysis used in this research is descriptive analysis, survival using Kaplan Meier, and multivariate using cox regression. Of the 2116 eligible patients in this study, 1846 patients were included in the research sample. The results showed that the cumulative incidence rate was 4.9/1000 person-weeks with a cumulative survival probability of 70.5%. in the DM negative group, when TB SO patients were non-compliant with taking medication HR: 47.78 times (95% CI: 32.59-70.03; p-value: <0.001) after controlling for the gender variable. The results of the multivariate analysis showed that in the group with no history of treatment, when TB patients did not adhere to taking medication, the HR was: 65.65 times (95% CI: 43.09- 100.03; p-value: <0.001) after controlling for variables gender. In the group with a history of treatment, when TB patients did not comply with taking medication, the HR was 26.28 times (95% CI: 12.54-55.03; p-value: <0.001) after controlling for the gender variable. in the treatment adherent group, when TB SO patients had a history of previous treatment, the HR was: 2.3 times (95% CI: 1.06-5.01; p-value: 0.035). It is hoped that coordination with other polyclinics (HIV/PDP Polyclinic or Internal Medicine Polyclinic) will be strengthened to monitor the regularity of taking OAT and also medication for other comorbidities for TB cases with comorbidities, for example ARVs for HIV patients and DM therapy for DM patients. It is necessary to monitor side effects, consult, manage side effects according to standards, and also follow up on patient treatment so as to increase treatment compliance and reduce the rate of treatment failure."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rineta Apgarani
"ABSTRAK
Latar belakang: Semakin tingginya angka kejadian Tuberkulosis Multi Drug Regimen TB MDR pada pasien TB dengan riwayat OAT kategori II dan hasil pengobatan yang tidak memuaskan menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas dan faktor yang mempengaruhi efektivitas regimen ini. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menilai efektivitas OAT kategori II dan faktor-faktor yang mempengaruhinya karakteristik demografi, komorbiditas, pola resistensi, bacterial load, konversi dan TB ekstra paru pada pasien TB paru dengan riwayat pengobatan sebelumnya di RSUP Persahabatan. Metode: Penelitian dengan metode consecutive sampling dilakukan pada pasien yang diberikan pengobatan kategori II di Poli Paru RS Persahabatan tahun 2014.Hasil: Sebanyak 68 subjek yang mendapat pengobatan OAT kategori II diikutsertakan dalam penelitian ini. Karakteristik terbanyak yaitu subjek berusia 21-40 tahun 50,7 , laki-laki 64,8 , kasus kambuh 67,6 , komorbid DM 15,5 , pleuritis 8,5 , resistensi RHES 5,6 , kemasan KDT 94,4 , konversi 69,6 , dan bacterial load negatif 35,2 . Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya didapatkan frekuensi pengobatan kategori II 1 kali sebanyak 73,2 dengan lama pengobatan 8-12 bulan sebesar64,8 . Hasil pengobatan kategori II sembuh sebanyak 54,4 . Faktor yang memiliki hubungan bermakna dengan keberhasilan pengobatan yaitu lama pengobatan p=0,000 .Kesimpulan: Efektivitas rejimen pengobatan kategori II pada penelitian ini cukup baik. Faktor yang memiliki hubungan bermakna dengan keberhasilan pengobatan adalah lama pengobatan dan TB ekstraparu.

ABSTRACT
Background The high incidence of MDR TB patients with history of category II anti tuberculosis treatment and the unsatisfactory results of the outcome raise questions on the effectiveness and the influencing factors of this regimen.Objective This study aimed to asses the effectivity of category II anti tuberculosis and the influencing factors demographic characteristics, comorbidities, resistance patterns, bacterial load, sputum conversion and extra pulmonary TB in pulmonary TB patients with a history of previous treatment at RSUP Persahabatan.Methods Study was conducted with consecutive sampling in patients given treatment of category II in RSUP Persahabatan Lung Clinics in 2014.Results The study sample was 68 subjects who received category II anti tuberculosis. The most characteristic found was the age of 21 40 year 50.7 , male 64.8 , relapse cases 67.6 , DM comorbid 15.5 , TB pleurisy 8.5 , RHES resistance 5.6 , FDC drug packaging 94.4 , sputum conversion 69.6 and negative bacterial load 35.2 . History of the category II anti tuberculosis treatment 1 times was 73.2 with a duration of 8 12 months 64.8 . Most of the treatment outcomes were cured 54.4 . Factors which had significant correlation were the length of treatment p 0.00 .Conclusion Effectiveness of category II treatment regimens is quite satisfactory. Factors which have a significant correlation are the duration of treatment. "
2016
T55578
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diliana
"Latar belakang: Tuberkulosis (TB) adalah penyebab kematian kesembilan paling banyak di dunia. Indonesia merupakan negara kedua dengan jumlah penderita TB paling banyak di dunia dengan persentase penderita sebanyak 8%. Kasus TB kambuh merupakan kasus dengan morbiditas yang tinggi dengan pengobatan yang lebih sulit. Karakteristik pasien TB kambuh belum banyak diteliti di Indonesia, padahal kasus TB kambuh sangat memperberat beban biaya penatalaksanaan TB di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah meneliti faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya TB kambuh di Indonesia.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang dilakukan di Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso, 1 Januari 2014 hingga 31 Desember 2018. Seluruh pasien TB kambuh dimasukkan dalam penelitian, dan pasien TB tidak kambuh dengan jumlah sama pada periode yang sama dengan cara consecutive sampling. Kemudian dilakukan analisis terhadap karakteristik klinik kedua kelompok tersebut.
Hasil: Didapatkan hasil bahwa ada 2.322 pasien TB selama periode penelitian, dengan persentase keberhasilan terapi sebesar 78,1%, tidak sembuh 21,9% dan pindah 5%. Diambil 94 kasus TB kambuh (sesuai perhitungan jumlah sampel) yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Didapatkan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap kejadian TB kambuh pada pasien adalah status kepatuhan mengambil obat pasien (p = 0,007, odds ratio 0,38 (IK 95% = 0,19-0,76)) dan gambaran lesi kavitas pada foto thorax awal (p < 0,001, odds ratio 0,08 (IK 95% = 0,03-0,20)).
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara dengan kejadian TB kambuh dengan status kepatuhan mengambil obat pasien, dan gambaran lesi kavitas pada foto torak awal.

Background: Tuberculosis (TB) infection is the most prevalent cause of deaths in the world. Indonesia is the second country in the world with the highest number of tuberculosis patients with a prevalence of 8%. Recurrent tuberculosis is a case with a high morbidity with more complicated medication. Recurrent tuberculosis patients characteristics are rarely studied in Indonesia, despite ubiquitous recurrent tuberculosis cases in Indonesia further worsening the burden of disease. The aim of this study is to study factors affecting recurrence of tuberculosis in Indonesia.
Method: This is a cross sectional study which done in Prof. Dr. Sulianti Saroso Infection Disease Hospital, January 2014-December 2018. All samples with recurrent tuberculosis were included in the study, while samples with successful treatment in the same period were chosen by consecutive sampling. Statistical analysis of clinical characteristics was done to both study groups.
Result: There were 2.322 tuberculosis patients obtained during the course of study with 78,1% successful treatment rate, 21,9% was not cured, and 5% switched to another health center. Ninety four cases of recurrent TB meeting inclusion and exclusion criteria were obtained. It was known that factors affecting recurrence of TB were medication compliance (p = 0.007, odds ratio 0.38 (IC 95% = 0.19-0.76)) and appearance of cavity lesion in the first thorax x-ray examination (p < 0.001, odds ratio 0.08 (IC 95% = 0.03-0.20)).
Conclusion: There was a relationship between recurrent TB and medication compliance and appearance of cavity lesion in the first thorax x-ray examination.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Riza El Anshori
"Pendahuluan: Adekuasi pengobatan TB praoperasi merupakan sebuah dilema dikalangan Spesialis bedah yang mengharapkan morbiditas dan mortalitas pascaoperasi yang rendah. Belum adanya data tentang morbiditas dan mortalitas pascaoperasi abdeomen penderita TB di RSCM dan RS Persahabatan menunjukkan perlunya dilakukan penelitian untuk mengetahui adekuasi pemberian OAT praoperasi pada penderita TB berhubungan denngan morbiditas berupa fistel enterokutan, obstruksi usus, infeksi daerah operasi (IDO) dan mortalitas pascaoperasi abdomen.
Metode: Desain studi ini adalah cross sectional yang bersifat deskriptif analitik yang dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Umum Pusat Persahabtan (RSP) dari September-Desmber 2107. Dengan metode total sampling , Jumlah sampel didapatkan 59 subjek penderita TB yang menjalani operasi abdomen dan dirawat di RSCM dan RSP yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Analisa Bivariate dengan SPSS dilakukan untuk menentukan hubungan antara adekuasi OAT dengan mortalitas dan mobiditas pascaoperasi.
Hasil :Terdapat 46 subjek (78%) tidak mendapat terapi OAT praoperasi secara adekuat. Morbiditas pada studi ini adalah 29 subjek (49.25%) yang didapatkan hubungan signifikan dengan adekuasi OAT (p=0.030). Dari tiga morbiditas (IDO, Fistel enterokutan, dan obstruksi usus) , hanya IDO yang berhubungan signifikan dengan Adekuasi OAT (p=0.048) . Hubungan yang tidak signifikan didapatkan terhadap mortalitas (p=0.564). Pada Operasi emergensi didapatkan insidensi Morbiditas (OR = 1.62; 95% CI 0.58 - 4.53) dan IDO (OR = 2.02; 95% CI 0.63 - 6.46) yang lebih tinggi dibandingkan dengan operasi elektif. Pada jenis operasi kotor dibandingkan operasi bersih didapatkan IDO yang signifikan (p=0.030). Pada analisa multivariate menunjukkan adekuasi OAT dan tipe operasi merupakan faktor risiko terjadinya morbiditas pascaoperasi (p=0,025).
Kesimpulan: Pemberian OAT yang adekuat praoperasi penderita tuberkulosis yang menjalani operasi abdomen menurunkan morbiditas pascaoperasi yang berupa infeksi daerah operasi, namun pemberian obat anti tuberkulosis yang adekuat pada penderita tuberkulosis yang menjalani operasi abdomen tidak berpengaruh terhadap morbiditas berupa fistel enterokutan, obstruksi usus serta tidak berpengaruh terhadap mortalitas pascaoperasi.

Background: The adequacy of tuberculosis treatment before abdominal surgery is a dilemma faced by surgeons who aims for low risk of morbidity and mortality. In addition, there is no data on morbidity and mortality post abdominal operation on TB patients in RSCM and RS Persahabatan. Therefore, this research aims to show the correlation between the adequacy of preoperative TB treatment and postoperative morbidity (fistula enterocutaneous, obstruction, and surgical site infection) and mortality.
Method: This study is a descriptive-analytic cross-sectional study done in Cipto Mangunkusumo Hospital dan Persahabatan Hospital using total sampling method, a total of 59 subjects with TB and had undergone abdominal operation and was admitted from January 2011 to August 2017,that fulfilled the criteria of this study. Bivariate and multivariate analysis using SPSS was done to analyse the correlation between TB treatment adequacy and postoperative morbidity and mortality.
Results: 46 subjects (78%) did not receive adequate preoperative TB treatment. The morbidity rate in this study is 29 subjects 49.25% with significant correlation with the adequacy of preoperative TB treatment (p=0.030). From the three morbidities in this study (fistula enterocutaneous, obstruction, surgical site infection), only surgical site infection (SSI) has significant correlation with TB treatment adequacy (p=0.048). There is no significant correlation with postoperative mortality (p=0.564). Compared to elective surgery, emergency surgery has higher morbidity (OR = 1.62; 95% CI 0.58 - 4.53) and SSI (OR = 2.02; 95% CI 0.63 - 6.46) incidence. A significant difference in the incidence of SSI between clean and dirty surgery wound was found (p=0.030). Multivariate analysis showed that both adequacy of antituberculosis treatment and surgery type are independent risk factors for morbidity (p=0,025).
Conclusion: Adequate preoperative TB treatment lowers the postoperative morbidity such as surgical site infection. There is no significant correlation between adequate preoperative TB treatment and mortality, and other morbidities such as fistula enterocutaneous and obstruction. Morbidity and SSI are more likely to happen in emergency surgery than elective surgery. Both adequacy of antituberculosis treatment and surgery type are independent risk factors for morbidity
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55530
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Deryl Ivansyah
"ABSTRAK
Introduksi Spondilitis tuberculosis (TB) merupakan kasus infeksi tulang belakang tersering terutama di negara berkembang. Tiga hingga 5% kasus Spondilitis TB berkembang menjadi deformitas kifosis >60 derajat. Deformitas kifosis dapat mengakibatkan paraplegia dan gangguan fungsi lainnya, sehingga harus ditatalaksana dan dicegah dengan koreksi operatif. Studi ini bertujuan untuk mengetahui luaran klinis dan radiologis pada deformitas kifosis pasca koreksi operatif dan hubungannya dengan faktor-faktor yang memengaruhi deformitas kifosis.
Metode Penelitian ini menggunakan desain potong lintang terhadap pasien Spondilitis TB dengan deformitas kifosis yang dilakukan tindakan koreksi operatif selama tahun 2014-2018 di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Dilakukan penilaian luaran klinis ODI (Oswestry Disability Index) dan ASIA Impairment Scale, serta penilaian radiologis berupa persentase derajat koreksi dan loss of correction. Penilaian tersebut dilakukan pada saat pra-operasi, pasca-operasi, 6 dan 12 bulan pasca operasi, serta saat kontrol terakhir.
Hasil Dari 78 pasien yang diikut sertakan dalam penelitian ini, rata-rata berusia 31,4 tahun dan mayoritas perempuan. Gejala awal tersering adalah backpain. Median jumlah keterlibatan vertebra adalah 2 dengan lokasi tersering pada level torakal. Durasi kontrol adalah 6 hingga 54 bulan. Pemilihan teknik operasi posterior lebih sering digunakan dibanding kombinasi dan tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada pemilihan teknik operasi dengan luaran klinis maupun radiologis (p>0,05). Terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik pada perbandingan nilai klinis, dan radiologis pre dengan pasca operasi (p<0,001). Perbaikan neurologis ASIA scale tampak mulai signifikan sejak 6 bulan pasca operasi (p<0,001). Sudut kifosis awal memberikan pengaruh yang signifikan terhadap semua kategori luaran (p<0,001). Terdapat komplikasi berupa pseudoarthrosis pada 2 pasien dan defisit neurologis yang menetap pada 1 pasien.
Kesimpulan Tatalaksana operasi korektif pada pasien spondilitis TB dengan deformitas kifosis menunjukkan perbaikan luaran klinis, laboratorium dan radiologis. Sudut awal kifosis mempengaruhi luaran klinis dan radiologis.

ABSTRACT
Introduction Spondylitis tuberculosis (TB) is the most common case of spinal infection, especially in developing countries. Three to 5 % of Spondylitis TB cases will develop into more than 60o of kyphotic deformity. Kyphotic deformity can cause late paraplegia and other functional disturbances, therefore a kyphotic correction should be performed to prevent and treat the complications. The purpose of the study is to analyze the clinical and radiological outcome of kyphotic deformity in Spondylitis TB patients post kyphotic correction and to analyze the factors influencing the kyphotic deformity
Method This study used cross-sectional design on Spondylitis TB patients who underwent corrective surgery as one of the treatment during 2014-2018 at Cipto Mangunkusumo Hospital. Evaluation of delta ODI (Oswestry Disability Index) and ASIA impairment scale were used to assess the clinical outcome. For radiological outcome, we assessed the percentage of correction and loss of correction. The data was collected from the medical record and also the patient; pre-surgery, post-surgery, 6 and 12 months post-surgery, also the current condition
Result Out of the 78 patients included in this study, the average age was 31.4 years and for the majority of women. The majority of initial symptoms was complaint of backpain. The median number of vertebral involvement was 2, the majority of the location of the vertebrae involved were at the thoracic level. The choice of posterior surgery techniques is more often used than combination (posterior-anterior), however no significant differences was found when we compared the technique used with the clinical and radiological outcome (p>0,005) There were significant differences between pre and post-operative clinical and radiological value (p<0,001). Neurological improvement (ASIA scale) appears to be significant since 6 months postoperatively (p <0.001). Pre-operative kyphotic angle was found to be an influential factor in all outcome categories (p<0,001). There was pseudoarthrosis in 2 patients and refracter neurological deficit in 1 patient."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hera Afidjati
"Latar belakang: Kompleksitas pengobatan TB RO berupa durasi pengobatan yang panjang, penggunaan beberapa obat lini kedua, toksisitas obat, dan interaksi obat akibat multidrug use dapat menyebabkan efek samping pengobatan pada pasien. Hal ini dapat mengurangi efektivitas pengobatan dan memengaruhi luaran pengobatan TB RO. Tujuan: Untuk melihat efek samping obat/kejadian tidak diinginkan terhadap luaran pengobatan TB RO.
Metode: Penelitian observasional dengan desain kohort retrospektif ini dilakukan di RSUP Persahabatan, Jakarta. Sumber data adalah data sekunder dari sistem informasi tuberkulosis (SITB) yang melibatkan pasien TB RO yang menjalani pengobatan di tahun 2021 – 2023. Metode sampling berupa total sampling. Analisis data bivariat antara KTD dengan luaran pengobatan TB RO berupa Cox regresi dan uji Log-Rank, yang kemudian dilanjutkan dengan analisis multivariat menggunakan Extended Cox Regresi.
Hasil: Dari 583 subjek yang diikutsertakan dalam penelitian ini, insidens luaran pengobatan tidak berhasil sebanyak 40,65%. Sebanyak 12,69% pasien mengalami efek samping berat. Sebagian besar efek samping terjadi pada fase intensif pengobatan TB RO (43,57%). Jenis efek samping yang paling sering dialami pada pasien adalah gangguan gastrointestinal (79,25%), gangguan muskuloskeletal (58,32%), dan gangguan saraf (49,40%). Efek samping berupa KTD berat/serius tidak memiliki asosiasi yang signifikan terhadap terjadinya pengobatan tidak berhasil berdasarkan hasil analisis Cox regresi bivariat (HR=0,823; 95% CI: 0,558-1,216; p=0,329) dan analisis multivariat Extended Cox regresi (setelah dikontrol oleh variabel kovariat). Probabilitas survival antara kelompok dengan KTD berat dan kelompok non-KTD berat tidak berbeda bermakna. Kesimpulan: pemantauan efek samping selama pengobatan TB RO berlangsung merupakan hal yang penting untuk menunjang keberhasilan pengobatan.

Background: The complexity of treating drug-resistant tuberculosis (DR TB) involves prolonged treatment duration, the use of several second-line drugs, drug toxicity, and drug interactions due to multidrug use, which can lead to adverse drug reactions in patients. These issues can reduce treatment effectiveness and affect treatment outcomes for DR TB.
Objective: To investigate the impact of adverse drug reactions/adverse events on DR TB treatment outcomes.
Methods: This observational study utilized a retrospective cohort design conducted at RSUP Persahabatan, Jakarta. The data source was secondary data from the tuberculosis information system (SITB) involving DR TB patients who underwent treatment between 2021 and 2023. The sampling method was total sampling. Bivariate data analysis between adverse events and TB RO treatment outcomes involved Cox regression and Log Rank tests, followed by multivariate analysis using Extended Cox Regression.
Results: Among the 583 subjects included in this study, the incidence of unsuccessful treatment outcomes was 40.65%. Severe adverse drug reactions were experienced by 12.69% of patients. Most adverse reactions occurred during the intensive phase of TB RO treatment (43.57%). The most common types of adverse reactions experienced by patients were gastrointestinal disorders (79.25%), musculoskeletal disorders (58.32%), and neurological disorders (49.40%). Severe/serious adverse reactions did not have a significant association with unsuccessful treatment outcomes based on the results of the bivariate Cox regression analysis (HR=0.823; 95% CI: 0.558-1.216; p=0.329) and the multivariate Extended Cox regression analysis (after adjusting for covariate variables). The survival probability between the group with severe adverse reactions and the non- severe adverse reactions group did not differ significantly.
Conclusion: Monitoring adverse drug reactions during DR TB treatment is crucial to support the success of the treatment.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silitonga, Marlinggom
"ABSTRAK
Penyakit tuberkulosis di Indonesia masih menjadi masalah kesehatan masyarakat, dimana WHO memperkirakan insiden kasus baru = 285/100.000, BTA+ = 128/100.000 dan prevalensi = 786/100.000. Penyakit tuberkulosis juga merupakan penyebab kematian nomor 1 diantara penyakit infeksi.
Dalam upaya memutus rantai penularan penyakit diperlukan waktu pengobatan minimal 6 bulan. Oleh karena itu keberhasilan pengobatan sangat tergantung pada perilaku penderita dalam menjamin ketaatan minum obat, disamping ketersediaan obat anti tuberkulosis di tempat pelayanan pengobatan.
Dari berbagai penelitian diketahui bahwa proporsi penderita yang tidak taat atau yang putus berobat sebelum waktunya masih cukup tinggi, berkisar antara 5,7% - 42,7%. Berbagai faktor diduga berhubungan dengan terjadinya putus berobat pada penderita tuberkulosis, antara lain adalah kegagalan penyampaian informasi. Kegagalan penyampaian informasi dapat berasal dari kesalahan dalam menentukan sasaran penyuluhan, frekuensi penyuluhan, materi penyuluhan dan menentukan penggunaan media / alat bantu dalam penyuluhan.
Untuk mengetahui apakah faktor-faktor tersebut berhubungan dengan putus berobat maka dilakukan penelitian hubungan faktor komponen penyuluhan dengan putus berobat pada penderita tuberkulosis yang dilakukan di Jakarta Selatan.
Penelitian menggunakan desain kasus kontrol dengan besar sampel minimal 152 untuk masing-masing kelompok kasus dan kontrol. Sampel untuk kelompok kasus, berasal dari jumlah seluruh kasus yang ditemui di Jakarta Selatan, sedangkan untuk kelompok kontrol diperoleh dengan cara melakukan pemilihan secara acak sederhana (simple random sampling).
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa secara statistik faktor sasaran penyuluhan berhubungan dengan putus berobat OR = 2,04 pada 95% C.I : 1,02 - 4,10 dan p = 0,04. Demikian pula dengan faktor penggunaan media dalam penyuluhan, secara statistik menunjukkan hubungan yang bermakna dengan putus berobat di Jakarta Selatan dengan OR = 3,69 pada 95% C.I : 1,62 - 8,42 dan p=0,002.
Faktor banyaknya materi penyuluhan yang diberikan dan faktor frekuensi penyuluhan tidak memberikan hubungan yang bermakna dengan putus berobat di Jakarta Selatan.
Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa risiko putus berobat seorang penderita tuberkulosis, 2 kali lebih besar bila penyuluhan diberikan hanya pada penderita dibanding bila penyuluhan diberikan juga pada anggota keluarga. Dan 3,7 kali lebih besar bila penyuluhan dilakukan tanpa menggunakan media dibanding bila penyuluhan menggunakan media.
Dari kenyataan tersebut maka disarankan kepada pengelola program untuk selalu mengikutkan anggota keluarga sebagai sasaran dalam penyuluhan dan selalu menggunakan media dalam melakukan penyuluhan.

ABSTRACT
Relationship between Health Education Substances Factor and Defaulted Tuberculosis Patient in South Jakarta 1999Tuberculosis diseases remain a major public health problem in Indonesia. WHO estimated for new cases incidence 285/100.000 with smears positive incidence 128/100.000 and prevalence cases 786/100.000. Tuberculosis disease also was the commonest cause of death in Indonesia due to infectious diseases.
Treatment for tuberculosis diseases needed at least 6 months to interrupt the chain of transmission. Despite the available of drug regimens at the treatment service, success in controlling the tuberculosis disease especially treatment effort depend on patient behavior to ensure patient compliance.
From such studies that were undertaken, it shows that defaulted proportion was remaining high, account from 5.7% - 42.7%. Some factor, were assumed that caused defaulted tuberculosis patient. Failure of adequate explanation to the patient is ones of the factors that could be caused defaulted treatment. Failure to give adequate explanation especially about treatment information that patient must be taken, came from a failure to decide who is the target of health education, how many frequent health education should be taken, failure to decide health education material should be given and failure of media used in health education.
To know which factor was associated with defaulted patient, a study of Relationship between Health Education Component Factors and Defaulted Tuberculosis patient were conducted. A study was done in South Jakarta considering data from tuberculosis patient during 1999.
Study was conducted with case control design in which sample sizes were 152 samples in each group cases and controls. Cases were taken from all defaulted cases in South Jakarta during 1999, and controls were taken by selected from control sampling frame by simple random sampling.
Study result, shows that association between health education target and defaulted patient statistically significant, account for OR 2.04 (95 C.I: 1.02 - 4.10) and p value 0.04. Similarly, association between media using factor and defaulted patient significantly also, with OR 3.69 (95 C.I: 1.62 - 8.42) and p value 0.002. Association between both frequency and material of health education, were statistically not significant.
From that study result, defaulted risk is 2 times larger on tuberculosis patient which explanation just given to the patient than if explanation given to the family member also. And patients who receive explanation without media used had defaulted risk 3.7 times larger than patients who received explanation with media used.
Study recommends to the tuberculosis program officer, that member of the family should be involved as the target on health education, and should be using media when giving some explanation.

"
2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>