Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 217741 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abigael Jasmine Angelita
"Latar Belakang
Ablasio retina mempengaruhi fungsi pengelihatan yang dapat bersifat permanen. Angka prevalensinya juga meningkat setiap tahunnya, juga dengan miopia yang merupakan salah satu faktor risikonya. Walaupun hubungan antara derajat miopia dengan kejadian ablasio retina sudah banyak dicari, tetapi belum ada penelitian serupa dilakukan di RSCM, rumah sakit rujukan nasional di Indonesia. Maka dari itu, penelitian ini ingin mencari tahu hubungan antara keduanya dan karakteristik klinis yang ditimbulkannya.
Metode
Dengan desain analitik observasional menggunakan metode potong-lintang, data diambil dari rekam medis pasien miopia yang berkunjung pada tahun 2023 kemudian dicatat karakteristik demografis (usia, jenis kelamin, domisili, tingkat pendidikan) dan karakteristik klinisnya (derajat miopia, diagnosis ablasio retina). Pasien miopia yang didiagnosis ablasio retina akan dicatat juga karakteristik klinis ablasio retinanya. Hubungan antara derajat miopia dan kejadian ablasio retina dianalisis statistika uji Chi- Square. Pada mata miopia dengan ablasio retina, perbedaan usia antara kelompok derajat miopia dianalisis statistika uji Mann-Whitney.
Hasil
Dari 348 mata miopia tinggi dan 526 mata miopia ringan-sedang, didapatkan ablasio retina pada 38 mata dengan miopia tinggi dan 32 mata dengan miopia rendah-sedang. Hubungan antara derajat miopia dan diagnosis ablasio retina signifikan (P=0.022) dengan OR 1.795. Tidak terdapat perbedaan usia yang signifikan antara kelompok miopia ringan- sedang dan berat dengan ablasio retina (P=.245), tetapi kelompok miopia ringan-sedang memiliki median lebih tinggi (40.5) dibandingkan miopia tinggi (32).
Kesimpulan
Derajat miopia berat berpeluang lebih besar terhadap kejadian ablasio retina dibandingkan derajat miopia ringan-sedang. Usia pasien miopia derajat ringan-sedang juga lebih tua dibandingkan usia pasien miopia derajat berat, tetapi hasilnya tidak bermakna secara statistika.

Introduction
Retinal detachment might have permanent impact on visual function. The prevalence of retinal detachment is increasing year-by-year, as is myopia, one of its risk factor. Although the relationship between degreee of myopia and retinal detachment incidence has been researched, no similar studies have been conducted in RSCM. Therefore, this research aims to investigate the relationship and the outcome of clinical characteristics between different myopic degrees.
Method
Using observational analytic design and cross-sectional method, data on myopic patients who visited RSCM on 2023 are extracted from medical record. Demographic characteristic (age, gender, domicile, education level) and clinical characteristic (degree of myopia, retinal detachment diagnosis) were documented. The characteristics of myopic patients with retinal detachment were also recorded. Chi-Square test was used to analyze the relationship between myopia degree and retinal detachmen. For myopic eyes diagnosed with retinal detachment, the age difference between two groups based on myopia degree was analyzed using Mann-Whitney test.
Results
Out of 348 severely myopic eyes and 526 mild-moderate myopic eyes, retinal detachment was diagnosed in 38 severely myopic eyes and 32 mild-moderate myopic eyes. The relationship between myopia degree and retinal detachment incidence are significant (P=0.022) with an OR of 1.795. There is no significant difference between mild-moderate myopic group and severe myopic group in terms of retinal detachment (P=.245), however mild-moderate myopic group has a higher median age (40.5) than severely myopic group (32).
Conclusion
Severly myopic eyes have higher probaility of retinal detachment compared to mild- moderate myopic eye. The age of mild-moderate myopic group with retinal detachment is higher than that of the severely myopic group, although statistically not significance.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tsania Rachmah Rahayu
"Koroid memiliki peran dalam mengatur metabolisme fotoreseptor dan epitel pigmen retina (EPR) serta sumber perdarahan ke lapisan luar retina. Pada miopia terjadi elongasi aksial yang berdampak pada penipisan ketebalan koroid dan memengaruhi prognosis visual. Studi ini bertujuan mengetahui hubungan antara ketebalan koroid dengan derajat miopia dan ketebalan fotoreseptor-EPR. Studi ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan pada 102 mata. Setiap subjek dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu emetropia, miopia ringan, sedang, dan berat. Setiap subjek dilakukan pemeriksaan mata menyeluruh dan pemindaian makula menggunakan spectral domain optical coherence tomography (SD-OCT), dengan pengaturan HD-1-Line100x dan enhanced depth imaging (EDI). Gambar pemindaian dinilai secara manual dan dikelompokkan berdasarkan Early Treatment of Diabetic Retinopathy Study (ETDRS) grid. Hasil studi menunjukkan ketebalan koroid terbesar ditemukan di subfovea atau lingkar superior bergantung pada kelompok, dan ketebalan terendah ditemukan pada regio nasal setiap kelompok. Terdapat perbedaan signifikan ketebalan koroid dengan derajat miopia pada setiap kelompok. Korelasi signifikan ketebalan koroid dan ketebalan lapisan fotoreseptor-EPR hanya ditemukan pada lingkar inferior dalam (r=0,34; p<0,001). Penelitian ini menunjukkan ketebalan koroid yang beragam dan signifikan tiap derajat miopia, serta korelasi negatif lemah antara ketebalan koroid dan ketebalan lapisan fotoreseptor-EPR pada di regio inferior.

The choroid is crucial for regulating the metabolism of photoreceptors and the retinal pigment epithelium (RPE) while supplying blood to the outer retinal layer. Myopia, characterized by axial elongation, is linked to choroidal thinning, impacting visual prognosis. This study investigates the relationship between choroidal thickness (CT), different myopia degrees, and photoreceptor-RPE thickness. In a cross-sectional study of 102 eyes, categorized into emmetropia, mild, moderate, and high myopia groups, comprehensive eye exams and macular scans using spectral domain optical coherence tomography (SD-OCT) with HD-1-Line100x settings and enhanced depth imaging (EDI) were conducted. Manual evaluations of scan images based on the Early Treatment of Diabetic Retinopathy Study (ETDRS) grid revealed varied and significant CT across myopia degrees. The thickest CT found either in the subfovea or superior ring depending on the group, and the thinnest consistently in the nasal region for all groups. A significant correlation between choroidal thickness and photoreceptor-RPE layer thickness was noted in the inner inferior circle (r=0.34; p<0.001). In summary, this study unveils varying and significant CT across myopia degrees, emphasizing weak negative correlations between choroidal thickness and photoreceptor-RPE layer thickness, specifically in the inferior region."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dea Alifia Maharani
"Retinal detachment (RD), atau ablasi retina, adalah kondisi ketika retina neurosensori terlepas dari lapisan dasarnya, yaitu epitel pigmen retina (EPR), karena kehilangan kerekatan. RD bisa menjadi kondisi yang serius jika tidak segera ditangani, seperti gangguan penglihatan hingga kebutaan permanen. Di Indonesia, diperkirakan terdapat 17.500—25.000 kasus baru setiap tahunnya. Namun, dengan jumlah dokter yang terbatas, pendeteksian RD secara konvensional mungkin tidak dapat dilakukan dengan cepat. Dengan memanfaatkan metode machine learning, khususnya deep learning, yang kini berkembangan pesat, dapat dilakukan pendeteksian RD melalui citra fundus mata menggunakan Convolutional Neural Network (CNN) dengan arsitektur ResNeSt. Terdapat masalah keterbatasan jumlah data pada kelas RD sehubungan dengan perlindungan privasi pasien yang membatasi akses terhadap data medis. Untuk meningkatkan jumlah data, dilakukan augmentasi data dengan GAN untuk menghasilkan data baru berupa citra sintetis untuk kelas RD. Dilakukan pula percobaan dengan menerapkan Contrast Limited Adaptive Histogram Equalization (CLAHE) sebagai tahap preprocessing sebelum augmentasi dengan GAN dengan tujuan meningkatkan kualitas citra yang masuk sebagai input dari GAN. Lebih lanjut, penelitian ini menguji tiga skenario dengan dua rasio splitting data, yaitu 6:2:2 dan 6:1:3. Skenario 1 menjalankan model ResNeSt tanpa preprocessing CLAHE dan augmentasi GAN pada data input. Skenario 2 menjalankan model ResNeSt dengan augmentasi GAN pada data input. Sementara itu, skenario 3 menjalankan model ResNeSt dengan menerapkan preprocessing CLAHE dan augmentasi GAN pada data input. Untuk splitting data dengan rasio 6:2:2, skenario 1 menghasilkan nilai rata-rata accuracy 89,9%, sensitivity 76,3%, specificity 94,3%, dan loss 52,4%, skenario 2 menghasilkan nilai rata-rata accuracy 92,3%, sensitivity 88,2%, specificity 94,8%, dan loss 18,6%, sedangkan skenario 3 menghasilkan nilai rata-rata accuracy 95,9%, sensitivity 94,4%, specificity 96,8%, dan loss 9,8%. Sementara itu, untuk splitting data dengan rasio 6:1:3, skenario 1 menghasilkan nilai rata-rata accuracy 91,3%, sensitivity 78,6%, specificity 94,9%, dan loss 27,9%, skenario 2 menghasilkan nilai rata-rata accuracy 94%, sensitivity 90,2%, specificity 96,3%, dan loss 17,9%, sedangkan skenario 3 menghasilkan nilai rata-rata accuracy 97,9%, sensitivity 97%, specificity 98,4%, dan loss 5,4%. Didapatkan bahwa performa model terbaik adalah ketika menggunakan skenario 3 dengan rasio splitting data 6:1:3.

Retinal detachment (RD), also known as retinal ablation, is a condition where the neurosensory retina separates from its underlying layer, the retinal pigment epithelium (RPE), due to the loss of adhesion. RD can become a serious condition if not promptly treated, potentially leading to vision impairment, even permanent blindness. In Indonesia, an estimated 17,500–25,000 new cases of RD occur annually. However, with a limited number of doctors, conventional detection methods for RD may not be performed swiftly enough. Leveraging machine learning, particularly deep learning, which has rapidly advanced, RD detection can be facilitated through fundus imaging using Convolutional Neural Network (CNN) with ResNeSt architecture. A significant challenge arises due to the limited amount of data available for the RD class, as patient privacy regulations restrict access to medical data. To address this, data augmentation is applied using Generative Adversarial Networks (GAN) to generate synthetic images for the RD class. Additionally, experiments were conducted by applying Contrast Limited Adaptive Histogram Equalization (CLAHE) as a preprocessing step before GAN augmentation, aiming to enhance the quality of the images inputted into the GAN. This study further evaluates three scenarios with two data splitting ratios, 6:2:2 and 6:1:3. Scenario 1 involved training the ResNeSt model without CLAHE preprocessing or GAN augmentation. Scenario 2 involved training the ResNeSt model with GAN augmentation. Scenario 3 involved training the ResNeSt model with both CLAHE preprocessing and GAN augmentation. For the 6:2:2 data splitting ratio, Scenario 1 achieved an average accuracy of 89.9%, sensitivity of 76.3%, specificity of 94.3%, and loss of 52.4%. Scenario 2 achieved an average accuracy of 92.3%, sensitivity of 88.2%, specificity of 94.8%, and loss of 18.6%. Meanwhile, Scenario 3 achieved an average accuracy of 95.9%, sensitivity of 94.4%, specificity of 96.8%, and loss of 9.8%. For the 6:1:3 data splitting ratio, Scenario 1 achieved an average accuracy of 91.3%, sensitivity of 78.6%, specificity of 94.9%, and loss of 27.9%. Scenario 2 achieved an average accuracy of 94%, sensitivity of 90.2%, specificity of 96.3%, and loss of 17.9%. Meanwhile, Scenario 3 achieved an average accuracy of 97.9%, sensitivity of 97%, specificity of 98.4%, and loss of 5.4%. The best model performance was observed in Scenario 3 with a 6:1:3 data splitting ratio."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Gilbert W.S.
"Terdapat banyak laporan mengenai biaya-efektifitas di bidang ilmu penyakit mata, tetapi laporan biaya-efektifitas vitrektomi antara bius lokal dibandingkan bius umum belum ditemukan di literatur nasional/internasional. Penelitian ini bermanfaat untuk pengambil kebijakan, penyedia jasa kesehatan dan asuransi. Untuk menjawab hal ini, peneliti melakukan penelitian kohort retrospektif di dua rumah sakit dengan jumlah 100 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Efektifitas dihitung sebagai perbaikan tajam 2 skala logMAR atau lebih, dan biaya dihitung berdasarkan data yang diperoleh dari wawancara dan dikonfirmasi dengan surat keterangan yang berwenang. Hasil yang diperoleh adalah dibutuhkan biaya sebesar Rp. 23.959.000,- untuk mencapai efektifitas operasi (Perbaikan) sebesar 32% dengan bius umum. Sebesar Rp. 15.950.200,- diperlukan untuk mencapai efektifitas operasi (Perbaikan) sebesar 80 % dengan bius lokal. Interpretasi data ini butuh kehatian-hatian, juga untuk diterapkan secara umum (extrapolation). Penghematan biaya yang terjadi adalah sebesar 50,21% dengan bius lokal dibandingkan bius umum. Faktor yang berpengaruh secara multivariat terhadap perbaikan setelah operasi dan biaya adalah lamanya retina lepas (RR 1.85) bila lepas < 4 minggu, dan bius lokal (RR 2.58). Waktu tunggu (antara pertama kali berobat hingga dioperasi) lebih singkat di bius lokal (p 0.00) dan tindakan membrane peeling lebih banyak di bius lokal (p 0.00) merupakan dua hal yang berbeda bermakna. Dapat disimpulkan bahwa operasi vitrektomi untuk retina lepas dapat dilakukan dengan bius lokal dengan efektifitas lebih baik dan biaya lebih sedikit.

There were reports on cost-effectiveness in ophthalmology, but so far none of report on cost-effectiveness of vitrectomy between local and general anesthesia for rhegmatogenous retinal detachment, either in national or international journal. Meanwhile, this report is beneficial for health policy decision maker, health provider and insurance. To answer this limitation, we conduct retrospective cohort study in two hospitals with 100 subjects that fulfill inclusion and exclusion criteria. Effectiveness was visual acuity improvement in two or more logMAR scale after vitrectomy, and units cost data were given by both hospitals. The amount of Rp. 23.959.000,- was needed to achieve effectiveness 32% in general anesthesia. The amount of Rp. 15.950.200,- was needed to achieve effectiveness 80% in local anesthesia. These data interpretation and extrapolation should be done cautiously. There is cost-minimization 50,12% when doing vitrectomy under local versus general anesthesia. Multivariate analysis of effectiveness and cost showed that variables of detachment duration if less than 4 weeks (RR 1.85) and of local anesthesia (RR 2.58) were contributing for better surgical outcome. Shorter waiting time (time needed for surgery after diagnosed), and more membrane peeling done in local anesthesia group were different variabels (p 0.00) between two groups significantly. As conclusion, vitrectomy for rhegmatogenous retinal detachment can be done under local anesthesia with higher effectiveness and lower cost."
Jakarta: Universitas Indonesia, 2013
D1412
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ghina Fedora
"Latar Belakang: Silicone oil (SO) merupakan salah satu substitusi vitreus yang digunakan pasca vitrektomi pars plana (VPP) dalam manajemen ablasio retina rhegmatogen. Beberapa komplikasi penggunaan SO meliputi katarak, peningkatan tekanan bola mata, emulsifikasi, keratopati hingga menurunnya ketebalan dan densitas vaskular makula. Tujuan: Mengetahui perubahan ketebalan makula sentral serta densitas vaskular pleksus superfisial pada pasien ablasio retina rhegmatogen pasca VPP dengan tamponade SO. Metode: 41 pasien ablasio dianalisis dalam studi ini yang menggunakan dua desain: observasional prospektif tanpa pembanding untuk membandingkan efek tamponade SO minggu-1 dengan minggu-4 dan potong lintang untuk membandingkan mata kontralateral dengan minggu-1 pasca tamponade SO. Hasil: Central subfield thickness (CST), superficial vascular density (SVD) serta superficial perfusion density (SPD) pada minggu-1 lebih rendah dibandingkan mata kontralateral (p<0,001). Pada minggu-4 pasca tamponade SO ditemukan peningkatan CST, SVD, SPD dibandingkan minggu-1 meskipun tidak signifikan secara statistik. Pada analisis tambahan, didapatkan usia diatas 50 tahun mengalami kecenderungan penurunan SVD (p 0,033) dan SPD (0,011) dibandingkan kelompok usia muda. Kesimpulan: Tidak didapatkan penurunan ketebalan makula sentral dan densitas vaskular pleksus kapiler superfisial makula di minggu-4 pasca PPV dengan SO. Didapatkan ketebalan makula sentral dan densitas vaskular pleksus kapiler superfisial makula yang lebih rendah di minggu-1 pasca tamponade SO dibandingkan mata kontralateral

Background: Silicone oil (SO) is one of the vitreous substitutes used after pars plana vitrectomy (PPV) for rhegmatogenous retinal detachment (RRD) management. Complications arising from SO include cataracts, increased ocular pressure, emulsification, keratopathy, and decreased macular thickness and vascular density. Objective: To determine changes in central macular thickness and superficial vascular density in RRD patients after PPV with SO. Method: 41 patients were included in this study, which comprises two designs: a prospective observational without comparison to compare the effect of SO tamponade week-1 with week-4 and a cross-sectional design to compare the contralateral eye with week-1 after SO tamponade. Results: Central subfield thickness (CST), superficial vascular density (SVD), and superficial perfusion density (SPD) were lower at week 1 after PPV with SO compared to the contralateral eye (p<0.001). At week 4 after PPV with SO, there was an increase in CST, SVD, and SPD compared to week 1, although not statistically significant. In additional analysis, we found that those aged over 50 had tendencies toward decreased SVD (p 0.033) and SPD (0.011) compared to the younger age group. Conclusion: There was no reduction in central macular thickness or superficial vascular density at week 4 after PPV with SO in RRD patients. Central macular thickness and superficial vascular density were lower on week 1 after SO tamponade compared to the contralateral eye."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Novie Nurbeti
"Latar Belakang: Pemeriksaan MRI orbita sebagai modalitas pencitraan diagnostik bukan merupakan pilihan utama dalam mengevaluasi miopia dengan komplikasi secara kualitatif maupun kuantitatif, namun sekarang ini peranan MRI Orbita mulai dimanfaatkan untuk diagnostik, evaluasi, penilaian morfologi dan kuantitatif pada miopia dengan komplikasi sehingga mendapatkan mendapatkan penanganan yang tepat. Perkembangan miopia di Indonesia secara prevalensi mengalami peningkatan sejak anak-anak dan usia muda sehingga komplikasi akibat miopia pada usia dewasa salah satunya adalah perubahan kedudukan bola mata (esotropia) juga diprediksi mengalami peningkatan. Selain itu volume orbita pada ras di Indonesia dengan struktur anatomi kepala dan wajah yang kecil kemungkinan meningkatkan prevalensi pergeseran sudut otot-otot rektus ekstraokular pada miopia sehingga menyebabkan perubahan kedudukan bola mata. Belum banyak data mengenai sudut otot-otot rektus ekstraokular superior-lateral dan panjang aksial bola mata pada pengukuran PACS INFINITT dengan metode Yokoyama serta data volume orbita menggunakan perangkat lunak pengukuran 3D Slicer dalam karakteristik populasi miopia di Indonesia terutama pasien RSCM. Tujuan:Mengetahui hubungan sudut otot-otot rektus ekstraokular superior-lateral, panjang aksial bola mata dan/ atau volume orbita pasien miopia berdasarkan MRI 1,5T di RSCM. Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan uji korelasi menggunakan data sekunder dan ditambah data primer karena belum mencukupi. Dilakukan analisis menggunakan PACS INFINITT untuk sudut otot rektus superior-lateral dan panjang aksial bola mata, sedangkan analisis volume orbita mneggunakan 3D Slicer Data yang didapatkan dimasukkan dalam diagram baur (scatter plot) untuk melihat adanya hubungan probabilitas. Kemudian dianalisis ada tidaknya hubungan probabilitas menggunakan analisis multivariat dengan multiregresi. Hasil:. Hubungan besar Dioptri terhadap sudut otot rektus superior-lateral dengan nilai p=0,005,r=0,27 (nilai p<0,05). Hubungan panjang aksial bola mata terhadap sudut otot rektus superior-lateral dengan nilai p=0,379,r=0,09. Hubungan volume orbita terhadap sudut otot rektus superior-lateral dengan nilai p=0,057,r=-0,19. Simpulan: Terdapat hubungan antara besar Dioptri sferis negatif terhadap besar sudut otot rektus superior-lateral, peningkatan ukuran dioptri diikuti dengan peningkatan besar sudut otot rektus superior-lateral. Tidak ada hubungan antara panjang aksial bola mata dengan besar sudut otot rektus superior-lateral. Terdapat kecenderungan hubungan negatif antara volume orbita terhadap besar sudut otot rektus superior-lateral, di mana semakin kecil voume orbita, semakin besar sudut otot rektus superior-lateral. Meskipun belum terdapat hubungan yang kuat secara statistic.

Background: Orbital MRI examination as a diagnostic imaging modality is not the main choice in evaluating myopia with complications qualitatively or quantitatively, however, currently the role of orbital MRI has begun to be utilized for diagnostics, evaluation, morphological and quantitative assessment of myopia with complications so that it gets better treatment. right. The prevalence of myopia development in Indonesia has increased since childhood and young age so that complications due to myopia in adulthood, one of which is a change in the position of the eyeball (esotropia), is also predicted to increase. In addition, the orbital volume in Indonesian races with low head and face anatomical structures is likely to increase the prevalence of shifting the angle of the extraocular rectus muscles in myopia, causing changes in the position of the eyeball. There are not many data regarding the angle of the superior-lateral extraocular rectus muscles and the axial length of the eyeball on the PACS INFINITT measurement using the Yokoyama method and orbital volume data using 3D Slicer measurement software in the characteristics of the myopia population in Indonesia, especially RSCM patients. Purpose: To determine the relationship between the angle of the superior-lateral extraocular rectus muscles, the axial length of the eyeball and / or the orbital volume of myopia patients based on MRI 1.5T at RSCM. Methods: This study used a cross-sectional design with correlation test using secondary data and added with primary data because it was insufficient. Analysis was carried out using PACS INFINITT for the superior-lateral rectus muscle angle and the axial length of the eyeball, while the orbital volume analysis used 3D Slicer. The data obtained were included in a scatter plot to see a probability relationship. Then analyzed whether there is a probability relationship using multivariate analysis with multiregression. Results: Correlation the size of the diopters and the angle of the superior-lateral rectus muscle with a value of p=0.005,r=0.27 (p value <0.05). Correlation the axial length of the eyeball and the angle of the superior-lateral rectus muscle with a value of p=0.379,r=0.09. Correlation orbital volume and the angle of the superior-lateral rectus muscle with a value of p=0.057,r=-0.19. Conclusions: There is a relationship between the size of the negative spherical diopters with the angle of the superior-lateral rectus muscle, the increase in the size of the diopters is followed by an increase in the angle of the superior-lateral rectus muscle. There is no relationship between the axial length of the eyeball and the angle of the superior-lateral rectus muscle. There is a tendency for a negative relationship between the volume of the orbit and the angle of the superior-lateral rectus muscle, where the smaller the orbital volume, the greater the angle of the superior-lateral rectus muscle. Although there is no statistically strong correlation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sony Agung Santoso
"Tujuan :
Untuk mengetahui apakah ada perbedaan hasil pengukuran tekanan intraokular sebelum dan sesudah lindakan laser-assisted in situ keratomileusis (LASIK).
Subyek dan metode :
Penelitian ini merupakan uji klinis analitik dengan desain pre post .study. Penderita yang memenuhi kriteria inklusi dan menjalani bedah LASIK dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok dengan nilai spherical equivalent (SE) < 6 dioptri (D) dan kelompok SE 6 D. Parameter yang dinilai adalah tekanan intraokular (T1O) yang diperiksa dengan alat Tonopen dan ketebalan komea sebelum dan minimal 4 minggu sesudah bedah LASIK.
Hasil :
Hasil pengukuran tekanan intraokular sebelum LASIK pada kelompok SE < 6 D adalah 13.10 ± 2.05 mmHg, dan pada kelompok SE ? 6 D adalah 13,05 } 2,69 rrunHg. Hasil pengukuran tekanan intraokular sesudah LASIK pada kelompok SE < 6 D adalah 11.70 f 1,49 mmHg. dan pada kelompok SE 6 D adalah 10,50 ± 1,00 mmHg. Hasil pengukuran TIO sesudah LASIK lebih rendah dibandingkan sebelum LASIK dan secara statistik bermakna. Selisih basil pengukuran tekanan intraokular sebelum - sesudah LASIK kelompok SE 6 D (2,55 ± 2,32 mmHg) lebih besar dibandingkan kelompok SE < 6 D (1,40 = 1,30 mmHg) dengan p=0,06.
Kesimpulan :
Tindakan bedah refraktif LASIK akan mengurangi ketebalan kornea dan merubah rigiditas kornea sehingga mempengaruhi hasil pengukuran tekanan intraokular.

Purpose :
To evaluate the intraocular pressure (IOP) measurement with Tonopen before and after laser-assisted in situ keratommileusis (LASIK).
Patients and Methods :
In a prospective study of clinic-based population undergoing elective LASIK surgery for myopia correction, lOP measurements were obtained preoperatively and postoperatively with Tonopen. Central corneal thickness was also obtained before and after surgery. Subject were assigned into two groups, spherical equivalent (SE) less than 6 dioptri (D) and 6 D above.
-Results
Four weeks after LASIK, mean IOP in two groups were lower than before surgery (P=0,00), as measured by Tonopen were 11,70 * 1,49 mmHg (SE < D) and 10,50 ± 1,00 mmHg (SE > 6 D). The mean 1OP reduction in SE a 6 D was higher than in SE < 6 D (2,55 ± 2,32 mmHg, 1,40 ± 1,30 mmHg, respectively, p=0.06).
Conclusion :
After LASIK, corneal thickness and corneal rigidity were reduced, causing it to undervalue IOP.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pritha Maya Savitri
"Latar belakang: Orientasi ruang (spatial orientation) merupakan masalah utama untuk penerbang yang ditentukan dengan menggunakan persepsi penglihatan, vestibuler, dan propioseptif. Miopia merupakan kelainan refraksi yang paling sering terjadi. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi faktor risiko yang mempengaruhi timbulnya miopia ringan pada penerbang sipil di Indonesia.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang dengan pengambilan sampel secara purposif. Responden mengisi kuesioner sedangkan data tajam penglihatan dan kadar gula darah didapatkan dari rekam medis. Analisis data dengan regresi cox menggunakan Stata 10. Batasan miopia ringan pada penelitian ini adalah subyek yang mengalami penurunan tajam penglihatan dan menggunakan lensa koreksi -0,25 s/d -0,30.
Hasil : Subyek penelitian adalah penerbang pria dengan usia 21-45 tahun yang sedang melaksanakan pemeriksaan kesehatan berkala di Balai Kesehatan Penerbangan Kementerian Perhubungan. Persentase miopia ringan dalam penelitian ini sebesar 36,1%. Faktor risiko dominan terhadap miopia ringan jam terbang [risiko relatif (RRa) = 1,23; 95% interval kepercayaan (CI) = 0,96-1,58; P = 0,108], riwayat orang tua miopia (RRa = 5,29; P = 0,000), gejala kelelahan visual kesulitan fokus (RRa = 1,30; 95% CI = 1,01-1,65; P = 0,039), dan gejala kelelahan visual huruf berkabut (RRa = 1,16 ; 95% CI = 0,89-1,48; P = 0,259).
Kesimpulan: Jam terbang total, riwayat orang tua miopia, adanya gejala kelelahan visual kesulitan fokus dan huruf berkabut merupakan faktor risiko yang berpengaruh terhadap miopia ringan pada penerbang sipil di Indonesia. Diperlukan koordinasi antara spesialis mata, spesialis kedokteran penerbangan dan balai kesehatan penerbangan dalam pencegahan miopia dan pengawasan kesehatan mata bagi penerbang sipil inisial dan reguler.

Background: Spatial orientation is the main problem to pilot that determined by visual, vestibuler and propioseptif. Myopia is more prevalent refraction error in civilian aviator and other populatian. This study aims to identify risk factors that affect the incidence of mild myopia in civilian pilot in Indonesia.
Method: This study using cross-sectional method with purposive sampling. Subjects answered the questionaire. The researcher using the medical record to get data about visual acuity and fasting blood glucose. Cox regression analyses using Stata 10. Mild myopia in this study is defect distant visual acuity with corrected lens power -0.25 s/d -0.30.
Result : Subject of this study are 21-45 years old male civilian aviators which performs scheduled medical check up at Civil Aviatian Medical Centre. Mild myopia percentage in this study is 36.1%. Dominant risk factor for mild myopia is total flight time (RRa 1.23; 95% CI 0.96-1.58; P 0.108), parental myopia (RRa 5.29; P 0,000), visual fatigue; difficulty in focusing (RRa 1.30; 95% CI 1.01-1.65; P 0.039), and visual fatigue foggy letters (RRa 1.16 ; CI 0.89-1.48 P 0,259).
Conclusion: Total flight time, parental myopia, visual fatigue; difficulty in focusing and foggy letters are influenced risk factors for mild myopia in civilian aviator in Indonesia. Suggested to have coordination among ophthalmologist, aviation medicine specialist, airline and Civil Aviation Medical Centre to preventing myopia and eye health surveillance for initial and reguler civilian pilot.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Sari Sugiyanto
"Salah satu populasi yang terbanyak penderita miopia ialah usia remaja. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan miopia pada siswa SMAN I Depok tahun 2009 dengan desain cross sectional. Jumlah responden pada penelitian ini adalah 52 siswa kelas X-XII. Teknik pengambilan responden ialah total populasi yaitu semua siswa miopia tanpa slindris. Sebanyak 28 siswa (53,85%) memiliki derajat miopia ringan sedangkan 24 siswa (46,25%) memiliki miopia berat. Dari penclitian disimpulkan tidak ada hubungan antara pola kebiasaan menggunakan komputer (p=0,448),jenis kelamin (p=0,945) (p=0,57 1 ), dan faktor genetik (p=0,723) dengan prevalensi miopia pada namun ada hubungan antara miopia dengan pola kebiasaan membaca (p=0,023). Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memotivnsi siswa meminimalisir pajanan terhadap faktor risiko miopia. Saran bagi penelit selunjutnya adalah memperluas area penelitian.

Teenager is one of populution that has high prevalence of myopia. This was descriptive research and used cross sectional design which has a purpose to identify factors that related to rnyopia in SMAN 1 Depok students at 2009. Respondents in this research were 52 students from 1st-3rd grade. Sampling technique which is used in this rcseanch was purposive sampling with population total. twenty eight students (53,85%) have non severe myopia whereas twenty four students (46,25%} have severe myopia. The conclusion from this research, there was no relation between computer using habit pattem (p=0.448), sexes (p=0,945), age (p=0,571), and genetic factors (p=0,723) with but there was at relation between reading hubit pattem with myopia (p=0,023). The result fiom this research can be used to motivate students to minimize activity that has high risk of myopia. Recommend for next researcher research area become wider."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2009
TA5815
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>