Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 217950 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zahra Hanifah Yasmin
"Permasalahan kesehatan mental menjadi topik yang marak dibicarakan akhir-akhir ini, khususnya setelah adanya pandemi COVID-19, di mana penderita gangguan kecemasan menjadi semakin meningkat. Hal ini berdampak pada munculnya berbagai pameran seni imersif yang mengangkat tema kesehatan mental. Agrawal et al. (2019) mendefinisikan immersion sebagai sebuah fenomena yang dialami oleh seseorang ketika ia berada dalam kondisi keterlibatan mental yang mendalam, yang proses kognitifnya (dengan atau tanpa rangsangan sensorik) menyebabkan adanya perubahan atensi sehingga seseorang dapat mengalami disosiasi dari kesadaran dunia fisik. Saat berada di kondisi ini, seseorang dapat melupakan kecemasan yang dirasakannya selama sementara waktu karena munculnya distraksi dari lingkungan baru. Projection mapping merupakan salah satu teknologi yang banyak digunakan untuk menciptakan ruang pamer seni imersif. Dengan menggunakan projection mapping, konten dapat diubah dengan mudah dan cepat serta dapat diproyeksikan di mana saja (selama ruang berada di tingkat kegelapan tertentu) tanpa membutuhkan perubahan pada ruang fisik yang akan digunakan. Oleh karena itu, pembahasan teknologi ini menjadi relevan untuk arsitektur, terutama dalam merancang ruang di masa depan. Skripsi ini menggunakan metode studi literatur dan studi kasus. Studi dilakukan dengan mengadakan sebuah eksperimen yang membandingkan performa ruang pamer seni tradisional dengan ruang pamer seni imersif bertajuk kesehatan mental. Tujuan dari eksperimen tersebut adalah untuk mengetahui bagaimana projection mapping dapat menciptakan immersive experience dan kaitannya dengan penurunan tingkat kecemasan manusia.

Recently, mental health issues have become a frequently discussed topic, especially after the COVID-19 pandemic where people with anxiety disorders have increased. This has resulted in the emergence of various immersive art exhibitions that address mental health as their theme. Agrawal et al. (2019) define immersion as a phenomenon experienced by a person when they are in a state of deep mental involvement, whose cognitive processes (with or without sensory stimulation) cause a change in attention so that a person can experience dissociation from awareness of the physical world. In this state, a person can forget the anxiety they feel for a while because of the emergence of distractions from the new environment. Projection mapping is one of the technologies that is widely used to create immersive art exhibition spaces. By using projection mapping, content can be changed easily and quickly and can be projected anywhere (as long as the room is at a certain level of darkness) without requiring changes to the physical space that will be used. Therefore, the discussion of this technology is relevant to architecture, especially in designing future spaces. This thesis uses literature review and an experiment as methods. The experiment was conducted to compare the performance of a traditional art exhibition space with an immersive art exhibition space (both are mental health-themed). The purpose of the experiment was to find out how projection mapping can create an immersive experience and its relation to reducing anxiety levels in humans."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tiara Hardianti
"Skripsi ini menelaah proses transisi pada pengalaman ruang imersif. Pembahasan transisi dalam pengalaman imersif menjadi relevan karena diskusi pengalaman imersif belum banyak membahas perpindahan antar realitas, dan cenderung fokus pada kedalaman suatu realitas. Konsep transisi dalam pengalaman imersif berpotensi untuk mengurangi gangguan dalam menjamin terjadinya kontinuitas serta keterlibatan partisipan yang lebih dalam terhadap pengalaman. Gagasan transisi dalam perpindahan berperan sebagai momen peralihan dari realitas yang sekarang menuju realitas selanjutnya, baik secara mental maupun spasial. Pemahaman transisi imersif sebagai momen peralihan antar states membuatnya tidak terlepas dari kualitas liminalitas dalam arsitektur, menghadirkan bentuk liminalitas mulai dari proses separation hingga incorporation. Berdasarkan refleksi pengetahuan liminalitas dalam proses transisi pengalaman imersif, skripsi ini mengidentifikasi mekanisme transisi masuk-keluar antar pengalaman imersif yang hadir melalui aspek-aspek seperti dinamika materialitas, dinamika partisipan, dan objek.

This study explores the transition process of immersive spatial experience. The discussion of transitions in immersive experiences is important because the understanding of immersivity have yet to discuss the process of transportation between realities, and largely focuses on the depth and seamlessness of immersion itself. Investigating the notion of transition in immersive experiences has the potential to reduce interruptions in securing continuity and deeper involvement of participants in the overall immersive experience. The notion of transition in between immersive realities acts as intermediate moment from the present reality to the next reality, both mentally and spatially. The understanding of immersive transitions as intermediate states makes it inseparable from the quality of liminality in architecture, demonstrating liminal process existing in the process of separation and incorporation. Based on the reflection of liminal knowledge this study identify the in-out transitions mechanisms between immersive experiences that are presented through aspects such as materiality, subject users, and objects dynamics."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Drasthya Ayhodha Nareshwari
"Museum masa kini harus mampu menarik perhatian masyarakat untuk datang berkunjung, sayangnya museum di Indonesia diidentikan dengan kesan tua dan tidak menarik. Maka untuk mengatasinya diperlukan desain display yang diharapkan dapat mengundang pengunjung. Namun bagaimana jika bangunan yang digunakan sebagai museum bukanlah bangunan yang didesain untuk museum, melainkan bangunan lama cagar budaya. Memasukan fungsi museum seni sebagai identitas baru sebuah bangunan lama merupakan proses yang tidak mudah. Perlu adanya kesesuaian antara fungsi baru museum dan elemen bangunan lama yang dijaga. Melalui kajian teori dan studi kasus terhadap Museum Seni Rupa dan Keramik ditemukan bahwa display dalam ruang pamer dapat menghubungkan kedua kebutuhan lama dan baru, sehingga aspek dalam merancang alat bantu display tidak lagi terbatas pada segi informatif dan persepsi manusia, tetapi keadaan objek yang dipamerkan dan bangunannya.

Museum nowadays, must be able to attract visitors to come to visit. Sadly, museums in Indonesia are identified with old and unattractive impressions. Hence, to overcome it, it is necessary for displays are designed so they can draw in visitors. However, instead of using building that originally designed as a museum, what if it is an old building of cultural heritage re-functioned to become a museum. To incorporate art museum as the new identity of an old building is not an easy process. Adjustment between the new function and the elements of the preserved heritage building are needed. Through relevant theories and case studies on Museum Seni Rupa dan Keramik, the researcher found that the display in the exhibition space could act as a tool to connect both the needs of old and new. This makes designing exhibition displays are no longer limited in terms of informative and human perception aspects, but also the collection and the heritage building needs.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2016
S64151
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutia Hanan
"Akses karya seni dalam produksi dan distribusinya sangat mudah di era teknologi massa sekarang ini dengan bantuan komputer, smartphone, dan internet. Mudahnya aksesibilitas terhadap karya seni semakin didukung dengan keberadaan aplikasi seperti Instagram, Twitter, Tiktok, Youtube, dan lain-lain yang berperan sebagai media platform publik bagi masyarakat. Kondisi di mana seni menjadi produk massal dianggap sudah kehilangan aura oleh Walter Benjamin karena keberadaan teknologi massa yang menghilangkan originalitas karya seni. Maka apakah masih ada aura pada karya seni di era kontemporer? Dengan menggunakan metode analisis kritis penulis hendak memaparkan bahwa aura dalam karya seni, penulis menemukan pandangan Benjamin ini condong pada persoalan eksklusivitas, masih dapat hadir pada karya seni era kontemporer. Dalam memaparkannya, penulis akan menggunakan salah satu fenomena karya seni media sebagai konteks seni kontemporer dan menjelaskan konsep aura sebagai aspek nilai yang lahir dari pengalaman estetis subjek. Dilanjutkan dengan penjelasan bagaimana hadirnya pengalaman estetis ketika subjek ‘bertemu’ dengan karya seni media, yang akan dicontohkan dengan fanart sebagai salah satu bentuk seni media. Kemudian penulis akan menggunakan teori filsafat persepsi Bence Nanay untuk membangun argumen dalam menjawab pertanyaan tersebut, di mana ia menekankan pentingnya fokus perhatian subjek ketika bertemu dengan karya seni sehingga dapat menghadirkan pengalaman estetis sebagai aura.

The access to artwork in its production and distribution is very easy in today's era of mass technology with the help of computers, smartphones and the internet. The easy accessibility to artworks is increasingly supported by the existence of applications such as Instagram, Twitter, Tiktok, Youtube, and others that act as a media platform for public. Today’s artworks, when artworks become mass products, is considered to have lost its aura by Walter Benjamin. It is because of the existence of mass technology which eliminates the originality of works of art. Therefore, is there still aura in contemporary artworks? By using a critical analysis method, the author wants to explain that the aura of artwork, the author found that Benjamin's view was leaning towards the issue of exclusivity, can still be present in contemporary artworks. In delivering it, the writer will use media art phenomenon as the context of contemporary art and explain the concept of aura as an aspect of value that is present from the subject’s aesthetic experience. Then proceed with an explanation of how the presence of aesthetic experience when the subject 'meets' with media art, which will be exemplified by fanart as a form of media art. Afterwards, the author will use the theory philosophy of perception by Bence Nanay to build the arguments in answering these questions, where he stresses the importance of focusing the subject's attention when meeting artworks so that it can bring out aesthetic experiences as aura. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Kesenian Singo Ulung merupakan kesenian yang hidup dan berkembang di wilayah kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, tepatnya di Desa Blimbing, Kecamatan Klabang...."
PATRA 10(1-2) 2009
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rayhan Kusuma Wardhana
"Apapun bentuknya, seni adalah sesuatu yang disukai banyak orang, bisa berupa lukisan, musik, menari, dll. Alasan mengapa seni dicintai oleh banyak orang adalah karena seni dapat diekspresikan dalam bentuk apa saja suasana, mulai dari ceria, sedih, dan marah, tidak ada suasana khusus yang tercipta seni, salah satunya adalah seni lukis yang dapat mengungkapkan semua perasaan dan emosi kita. Lembur, Perkembangan teknologi juga berdampak positif bagi perkembangan seni lukis. Ray & Art adalah merek global yang menjual dua jenis lukisan, yaitu lukisan buatan tangan dibuat di atas kanvas dan lukisan digital yang dibuat dengan aplikasi komputer seperti Photoshop atau Corel. Selain menjual lukisan, Ray & Art juga menyediakan masterclass untuk umum tentang cara melukis membuat lukisan bagus di atas kanvas atau secara digital menggunakan aplikasi komputer. Alasan mengapa Ray & Art juga menjual lukisan dalam bentuk digital dikarenakan maraknya perkembangan teknologi, terutama teknologi layar yang membuat gambar terlihat sangat nyata dan tajam. Munculnya perkembangan aset digital seperti NFT juga membuat seni digital bisa dijual dengan harga fantastis harga.

Whatever its form, art is something that many people like, can be painting, music, dance, etc. The reason why art is loved by many people is that art can be expressed in any atmosphere, ranging from cheerful, sad, and angry, there is no special atmosphere in creating art, one of which is painting that can express all of our feelings and emotions. Over time, technological developments also have a positive impact on the development of painting. Ray & Art is a global brand that sells two kinds of painting, handmade painting that?s made on canvas and digital painting that?s created with computer apps like Photoshop or Corel. In addition to selling paintings, Ray & Art also provide a masterclass for public on how to make great paintings on canvas or digitally using computer apps. The reason why Ray & Art also sells painting in digital form is due to the proliferation of technological developments, especially screen technology that makes images look very real and sharp. The emergence of the development of digital assets such as NFT also makes digital arts able to be sold at fantastic prices."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Yadi Purwanto
"The Qur'an is a holly book (kitabullah) revealed to Prpphet Muhammad. One of all qur'an functions is as a guide or guidance for makind, which details God's other holly books. (Qur'an: 2:185). One form of al - qur'an guidance is about art. Al-Qur'an globally discusses art, whether painting art, painting and other art. One of allah's natures is Al-Jamil (the most bautiful) and He loves beauty. Islam as Din (religion) which the Qur'an generatedhighly appreciate the art, gave a stimulus for art work in accordance with the laws of Allah and the guidance of the Prophet SAW."
Bandung: ITB (Institut Teknologi Bandung), 2010
495 JUSOS 9:19 (2010)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Th.Esti Wuryansari
Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya, 2017
700 EST k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Vanessa Nathalia Iskandar
"Teknologi dan industri di Negara Cina mengalami perkembangan pada industri permainan digital hingga mencapai tahap dewasa dalam dunia internasional. Hoyoverse menjadi salah satu pengembang industri tersebut yang terkenal dengan mempersembahkan pengalaman immersive dalam permainan Genshin Impact. Genshin Impact merupakan ruang virtual yang diciptakan oleh Hoyoverse dengan menekankan pengalaman immersive. Pengalaman immersive merupakan pengalaman spasial yang dihadirkan melalui representasi. Pada ruang virtual, representasi dan arsitektur saling berkaitan dengan berfokus pada pengalaman spasial sehingga pengalaman immersive menjadi urgensi. Berdasarkan hasil analisis, Penulis menganalisis peran dari pengalaman immersive yaitu dengan tujuan pemain dapat merasakan ikatan secara emosional. Selain itu, penulis mempelajari bahwa representasi dalam ruang spasial pada ruang virtual perlu menyajikan elemen spasial dan kualitas spasial yang realistis, pengetahuan akan konteks atau pengetahuan historis, dan alur cerita yang ditampilkan dalam skenario virtual dan dialog. Terakhir, mempelajari bahwa dalam menerjemahkan persepsi identitas dari dunia nyata ke dunia virtual yaitu dengan merepresentasikan identitas baik secara tangible maupun intangible. Analisis dilakukan dengan dasar literatur yang dipaparkan sebagai studi literatur disandingkan dengan bagaimana Genshin Impact mempersembahkan ruang virtual, khususnya Liyue.

China's technology and business industries have undergone developments related to the expansion of the global digital gaming market. Genshin Impact by Hoyoverse, one of the most appreciated game producers in the sector, promises an immersive gaming experience. Hoyoverse designed the virtual environment Genshin Impact with a focus on immersive encounters. A spatial experience that is represented as immersive experience. By concentrating on spatial experiences, representation and architecture in virtual space are connected, making immersive experiences essential. Based on the findings of the study, the author analyses the purpose of immersive experience, specifically with the aim of fostering an emotional connection among participants. The authors also discover that proper spatial representation in virtual space demands an understanding of real spatial features and spatial qualities, contextual or historical knowledge, and narratives presented in virtual situations and dialogues. Finally, discover how to translate the perception of identity from the real world to the virtual world, particularly by depicting identity as both tangible and intangible."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Seitz, William C.
New York: Doubleday, 1961
709.04 SEI a
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>