Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 87722 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gagah Sri Bintang Nuswantara
"Kegagalan liberalisasi perdagangan internasional di tingkat multilateral di bawah rezim World Trade Organization (WTO) mendorong pesatnya pertumbuhan perjanjian perdagangan bilateral dalam bentuk perjanjian perdagangan bebas (free trade agreements). Pembentukan FTA ini secara eksponensial didominasi oleh negara-negara G-20, yang salah satunya adalah Turki. Memasuki tahun 2010-an, Turki memasuki kawasan Asia Pasifik- secara khusus Asia Tenggara- yang bukan merupakan pasar utama Turki dan membentuk Perjanjian Perdagangan Bebas dengan Malaysia sebagai FTA pertama Turki di antara negara-negara Islam di Asia Pasifik. Oleh karena itu, penulis menangkat pertanyaan penelitian berupa: Mengapa Turki membentuk Perjanjian Perdagangan Bebas dengan Malaysia tahun 2014? Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan alasan Turki memilih Malaysia sebagai negara pertama di kawasan Asia Tenggara yang dijadikan mitra FTA. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan menggunakan konsep ide, persepsi, dan institusi domestik dalam perdagangan internasional dari Aggarwal dan Lee, penulis menemukan beberapa faktor yang mendorong Turki untuk membentuk FTA dengan Malaysia seperti adanya faktor Islam, motivasi untuk melanjutkan transformasi ekonomi, dan pergeseran sektoral dalam kebijakan luar negeri Turki, dorongan kelompok bisnis domestik, serta pengaruh institusi domestik Turki.

The failure of international trade liberalization at the multilateral level under the World Trade Organization (WTO) regime has encouraged the rapid growth of bilateral trade agreements in the form of free trade agreements. The formation of this FTA is exponentially dominated by G-20 countries, one of which is Turkey. Entering the 2010s, Turkey joined the Asia Pacific region - specifically Southeast Asia - which is not the primary market of Turkey and formed a Free Trade Agreement with Malaysia as Turkey's first FTA in the Muslim world in the Asia-Pasific region. This study aims to explain why Turkey chose Malaysia as the first country in Southeast Asia to become an FTA partner. Using the concept of ideas, perceptions, and domestic institutions in international trade from Aggarwal and Lee, the author finds several factors that encourage Turkey to form an FTA with Malaysia, such as Islamic factors, motivation to continue the economic transformation, and sectoral shifts in Turkey's foreign policy, and the lobby by domestic business groups, as well as the influence of Turkish domestic institutions."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adinda Virga Agustiningrum
"Keputusan Turki untuk meratifikasi pembaharuan FTA menimbulkan pertanyaan mengapa ratifikasi tersebut dilakukan padahal setelah ratifikasi FTA pada tahun 2013, terjadi penurunan nilai ekspor Turki terhadap Korea Selatan dan tujuan jangka pendek kedua negara juga tidak tercapai. Pertanyaan tersebut semakin menarik karena perjanjian ini merupakan pertama kalinya Turki memasukkan sektor jasa dalam FTA. Skripsi ini berupaya melihat dinamika domestik dan internasional dalam negosiasi FTA untuk menjelaskan kepentingan atau alasan yang melatarbelakangi Turki meratifikasi Turkey-Korea FTA on Trade in Services. Dengan menggunakan teori two-level games yang dicetuskan oleh Robert D. Putnam sebagai panduan, skripsi ini menunjukkan bahwa keputusan Turki untuk meratifikasi Turkey Korea FTA on Trade in Services dipengaruhi oleh berbagai faktor yang ada dalam dua tingkat negosiasi. Di tingkat negosiasi internasional, terdapat tiga faktor yang mendorong pembentukannya, yaitu (1) kondisi internasional yang tidak menghambat pembentukan FTA dan urgensi Turki untuk membentuk FTA; (2) proses negosiasi yang berjalan cepat dengan hasil yang mengakomodasi kepentingan Turki untuk mengadopsi pendekatan positive list; dan (3) keberhasilan strategi chief negotiator untuk mendorong kepentingan Turki dan menekan resistensi domestik. Sementara, di tingkat domestik, keberhasilan ratifikasi dapat dicapai karena (1) lebih banyak preferensi dan koalisi aktor domestik yang mendukung ratifikasi; (2) regulasi ratifikasi perjanjian internasional Turki yang tidak rumit; dan (3) otonomi pemerintah pusat Turki yang besar. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, skripsi ini menemukan bahwa keberhasilan ratifikasi Turkey-Korea FTA on Trade in Services dipengaruhi oleh besarnya ukuran win-set Turki di negosiasi tingkat internasional dan domestik, kerugian jika tidak meratifikasi akibat EU-Turkey Customs Union, dan kepentingan untuk membentuk strategic partnership di berbagai bidang, khususnya industri pertahanan, penelitan dan pengembangan (R&D), serta teknologi canggih. Akhir kata, skripsi ini diharapkan dapat berkontribusi dalam memperkaya pemahaman mengenai kerja sama perdagangan bebas bilateral sekaligus menjadi rekomendasi praktis terhadap Indonesia dalam membentuk FTA.

The decision of Turkey to ratify the renewal of the Free Trade Agreement (FTA) raises questions about why this ratification was done despite a decrease in Turkey's exports to South Korea after the initial FTA ratification in 2013, and the short-term goals of both countries were not achieved. The question becomes even more intriguing because this agreement marks the first time Turkey includes the service sector in an FTA. This thesis aims to examine the domestic and international dynamics in FTA negotiations to explain the interests or reasons behind Turkey's ratification of the Turkey-Korea FTA on Trade in Services. Using Robert D. Putnam's two-level games theory as a guide, this thesis demonstrates that Turkey's decision to ratify the Turkey-Korea FTA on Trade in Services is influenced by various factors present in the two levels of negotiations. At the international negotiation level, three factors drove the formation of the FTA: (1) the international conditions did not hinder the FTA formation, and Turkey's urgency to form the FTA; (2) the negotiation process moved swiftly, producing results that accommodated Turkey's interests in adopting a positive list approach; and (3) the success of the chief negotiator's strategy in promoting Turkey's interests and suppressing domestic resistance. On the other hand, at the domestic level, the successful ratification was achieved because (1) there were more preferences and coalitions of domestic actors supporting the ratification; (2) the regulation of international agreement ratification in Turkey was not complicated; and (3) Turkey's central government had significant autonomy. Based on the research conducted, this thesis finds that the success of the Turkey-Korea FTA on Trade in Services ratification is influenced by the size of Turkey's win-set in international and domestic negotiations, the potential losses if Turkey did not ratify due to the EU-Turkey Customs Union, and the interest in forming a strategic partnership in various fields, especially defense industry, research and development (R&D), and advanced technology. In conclusion, this thesis is expected to contribute to enriching the understanding of bilateral free trade cooperation and provide practical recommendations for Indonesia in forming FTAs."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ariawan
"Seiring dengan berjalannya waktu, perkembangan ekonomi dunia saat ini khususnya perdagangan internasional telah memasuki rezim perdagangan bebas (free trade) dimana sebagian negara dan kalangan menganggap perdagangan bebas sebagai bentuk penjajahan model baru. Dalam perdagangan internasional, perdagangan negara yang tanpa hambatan berpeluang memberi manfaat bagi masing-masing negara melalui spesialisasi produk komoditas yang diunggulkan oleh masing-masing negara, namun dalam kenyataan dengan semakin terbukanya suatu perekonomian hal tersebut tidak serta merta menciptakan kemakmuran bagi semua negara-negara yang terlibat di dalamnya.
Perjanjian internasional seperti perjanjian perdagangan bebas kerap digunakan oleh negara-negara sebagai instrumen politik untuk kepentingan nasional. Belum lagi perjanjian internasional kerap dimanfaatkan untuk mengintervensi kedaulatan hukum suatu negara sesudah era kolonialisme berakhir. Melalui perjanjian internasional dapat dipastikan bahwa hukum suatu negara seragam dalam derajat tertentu dengan hukum negara lain. Perjanjian internasional di bidang perdagangan pada dasarnya dimanfaatkan oleh negara yang memiliki produsen untuk menghilangkan atau mengecilkan hambatan yang terdapat dalam negara yang memiliki konsumen dan pasar.
Dalam kecenderungan ini pun peran perjanjian internasional menjadi semakin penting, contohnya adalah Perjanjian Perdagangan Bebas atau Free Trade Agreement (FTA). Hingga saat ini sangat banyak jumlah FTA yang telah ditandatangani dan berlaku serta telah dinotifikasi dengan subyek baik regional, bilateral dan multilateral. Salah satu perjanjian perdagangan bebas yang penting dan melibatkan Indonesia yang tergabung dalam ASEAN sebagai pihak, yaitu Asean-China Free Trade Agreement (ACFTA). ACFTA dalam perkembangannya banyak memberikan dampak yang cukup berarti bagi sektor-sektor strategis di Indonesia Sebagai contoh, harga tekstil dan produk tekstik (TPT) Cina lebih murah antara 15% hingga 25%, bahkan produk seperti jarum harus diimpor.
Jika banyak sektor ekonomi bergantung pada impor, sedangkan sektor-sektor vital ekonomi dalam negeri juga sudah dirambah dan dikuasai asing, maka akan berat kekuatan ekonomi Indonesia sehingga butuh kesiapan dan persiapan yang sangat matang. Untuk itu kajian ini membahas mengenai ACFTA baik perkembangan, peranan dan implikasi serta rekomendasi untuk mengoptimalkan perjanjian ini sebelum tahun 2018 dengan berlakunya highly sensitive list ACFTA. Selain itu penting bagi Indonesia untuk menyiapkan segala sesuatu sebelum mengikuti Perjanjian Perdagangan Bebas ke depan. Pemerintah perlu menyiapkan peran dan langkah kebijakan untuk ke depannya berkaitan dengan perdagangan bebas. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
D1352
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Zainab Assegaff
"Tesis ini bertujuan untuk menganalisis kedudukan Indonesia dalam negosiasi perdagangan bebas Uni Eropa (UE) dengan negara-negara Asia Tenggara, yang dilihat dari perspektif UE. Pertanyaan pendahuluan dari penelitian ini adalah mengapa UE menegosiasikan perjanjian perdagangan bebas dengan negara-negara Asia Tenggara. Sementara itu, pertanyaan penelitian utama dari tesis ini adalah mengapa Indonesia hanya menjadi negara keenam di Asia Tenggara yang melakukan negosiasi perdagangan bebas dengan UE dan bukan yang pertama. Metode penelitian tesis ini adalah metode analisis kualitatif dengan menggunakan studi kasus, dalam hal ini negosiasi perdagangan bebas UE-Asia Tenggara. Metode pengumpulan data utama menggunakan teknik studi pustaka yang dikumpulkan dari buku, artikel, laman berita, dan laman resmi dari organisasi-organisasi terkait. Untuk menjawab pertanyaan penelitian, peneliti menggunakan teori Cross-Regionalism yang dikemukakan oleh Mireya Solís dan Saori N. Katada (2007). Faktor regional yang membuat UE melakukan perjanjian perdagangan bebas (FTA) lintas kawasan antara lain kondisi ekonomi internal yang terpuruk; kemunculan kekuatan-kekuatan ekonomi baru, terutama Tiongkok, yang menyaingi UE; kemajuan ekonomi dari keenam negara Asia Tenggara yang jauh lebih baik dari UE; kondisi perdagangan barang yang tidak menguntungkan dengan ASEAN; dan kebijakan politik UE. FTA lintas kawasan merupakan upaya UE untuk memperbaiki kondisi perekonomiannya, mencegah terjadinya pengalihan perdagangan (trade diversion), dan menjadi kekuatan normatif. Faktor regional yang menyebabkan Indonesia tidak menjadi prioritas bagi UE adalah kondisi ekonomi Indonesia yang tidak lebih baik dari Singapura, Malaysia, Vietnam, Thailand, dan Filipina; hubungan ekonomi UE-Indonesia yang menurun; isu-isu keberlanjutan (sustainability); dan minimnya hubungan UE-Indonesia. Kemudian, motif yang memengaruhi UE untuk melakukan FTA lintas kawasan adalah motif pengaruh (leverage), yaitu untuk mempromosikan nilai-nilai UE, sehingga terbentuk like-minded countries. Motif ekonomi dan motif pengaruh (leverage) merupakan alasan yang menyebabkan Indonesia tidak menjadi mitra negosiasi FTA bilateral pertama dan hanya yang keenam. Tampaknya kedua alasan ini memengaruhi UE dalam penentuan mitra FTA, sedangkan motif keamanan dan diplomasi tidak memengaruhinya. Hal ini menunjukkan bahwa motif keamanan dan diplomasi (politik) diabaikan oleh UE. Dalam memilih mitra FTA, nilai-nilai yang diusung UE kalah ketika berhadapan dengan kepentingan ekonominya.

This thesis aims to analyze Indonesia's position in the Free Trade Agreement (FTA) negotiations between the European Union (EU) and Southeast Asian countries as seen from the EU's perspective. The preliminary question of this thesis is why the EU negotiated FTAs with Southeast Asian countries. Meanwhile, the primary research question is why Indonesia became the sixth country in Southeast Asia to negotiate a bilateral FTA with the EU instead of the first. The research method of this thesis is a qualitative analysis using a case study, which is the EU-Southeast Asia FTA negotiations. The majority of the data collected in this thesis is collected from books, articles, news pages, and official pages from related organizations. To answer the research question, the researcher uses Cross-Regionalism theory put forward by Mireya Solís and Saori N. Katada (2007). Regional factors that have led the EU to conduct cross-regional FTA ​​are internal economic slump; the emergence of new economic powers, notably China, that rival the EU; economic improvement of the six Southeast Asian countries which is much better than the EU; unfavorable trade in goods with ASEAN; and EU political policy. Cross-regional FTA is EU's effort to improve its economic condition, prevent trade diversion, and become a normative power. Regional factors that have caused Indonesia not to become a priority for the EU are Indonesia's economic condition that was no better than Singapore, Malaysia, Vietnam, Thailand, and the Philippines; the decline of EU-Indonesia economic relation; sustainability issues; and the lack of EU-Indonesia relation. Furthermore, the motive that influences the EU to conduct cross-regional FTA ​​is leverage motive, namely to promote EU values, so that like-minded countries are formed. Economic motive and leverage motive were the reasons why Indonesia was not the first and only the sixth bilateral FTA negotiating partner. It seems that both of these reasons influenced the EU in determining its FTA partners, while security and diplomacy motives did not influence the EU. This shows that security and diplomacy (politics) motives were disregarded by the EU. In choosing FTA partners, the values promoted by the EU lose out when it comes to its economic interests."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Ayu Rarasmitha
"[ABSTRAK
Skripsi ini membahas kedudukan klausa performance requirements dalam free
trade agreement serta risikonya bagi Indonesia apabila melanggar klausa tersebut.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif karena membahas obyek
penelitian dari sudut pandang hukum dan ketentuan perundang-undangan.
Sedangkan apabila dilihat dari sifatnya menggunakan tipologi deskriptif. Hasil
penelitian ini adalah bahwa Indonesia memiliki risiko untuk ditarik menjadi pihak
dalam sengketa pelanggaran klausa performance requirements dalam free trade
agreement di mana Indonesia terikat dengan ketentuannya. Indonesia harus
mengkaji kembali peraturan perundang-undangan di Indonesia agar konsisten
dengan klausa performance requirements dalam free trade agreement yang
mengikat Indonesia
ABSTRACT
This thesis discusses about the standing of performance requirements clauses in
free trade agreement and the risks involved when Indonesia breach the clauses.
This research fundamentally used normative juridical method, while in this
research discusses about an object from a legal standpoint and legislation. This
research also use descriptive type of typology. The results of this study is that
Indonesia has a risks to be claimed violate the performance requiements clauses of
free trade agreement that Indonesia involved. Indonesia should review their law so
it can be consistent with the performance requirements clauses on free trade
agreement that Indonesia involved;This thesis discusses about the standing of performance requirements clauses in
free trade agreement and the risks involved when Indonesia breach the clauses.
This research fundamentally used normative juridical method, while in this
research discusses about an object from a legal standpoint and legislation. This
research also use descriptive type of typology. The results of this study is that
Indonesia has a risks to be claimed violate the performance requiements clauses of
free trade agreement that Indonesia involved. Indonesia should review their law so
it can be consistent with the performance requirements clauses on free trade
agreement that Indonesia involved;This thesis discusses about the standing of performance requirements clauses in
free trade agreement and the risks involved when Indonesia breach the clauses.
This research fundamentally used normative juridical method, while in this
research discusses about an object from a legal standpoint and legislation. This
research also use descriptive type of typology. The results of this study is that
Indonesia has a risks to be claimed violate the performance requiements clauses of
free trade agreement that Indonesia involved. Indonesia should review their law so
it can be consistent with the performance requirements clauses on free trade
agreement that Indonesia involved, This thesis discusses about the standing of performance requirements clauses in
free trade agreement and the risks involved when Indonesia breach the clauses.
This research fundamentally used normative juridical method, while in this
research discusses about an object from a legal standpoint and legislation. This
research also use descriptive type of typology. The results of this study is that
Indonesia has a risks to be claimed violate the performance requiements clauses of
free trade agreement that Indonesia involved. Indonesia should review their law so
it can be consistent with the performance requirements clauses on free trade
agreement that Indonesia involved]"
Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Honolulu: EAst-West Center, 1993
341.754 AFT
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Afriansyah Darwin
"Analisis kami mencoba untuk menggambarkan posisi Indonesia dalam berbagai persetujuan kerjasama/integrasi ekonomi, baik secara bilateral maupun regional, yaitu ASEAN Free Trade Area (ASEAN Trade in Goods Agreement), ASEAN-China Free Trade Area, ASEAN-India
Free Trade Area, ASEAN-Korea Free Trade Area, Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement, ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area, dan Indonesia-Pakistan Preferential Trade Agreement, pengaturan tentang perdagangan barang pada masing-masing
persetujuan FTA, dan lebih lanjut membuat analisis atas pemberian tarif preferensial berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. Penelitian dilakukan dengan metode studi literatur. Analisis kami menyimpulkan, pertama, Indonesia telah melaksanakan penurunan dan penghapusan tarif sesuai dengan modalitas yang disepakati di dalam setiap kesepakatan integrasi. Perlu dikaji lebih lanjut apakah komitmen yang sama juga diberikan oleh negara mitra. Kedua, terkait prosedur operasional sertifikasi barang, kajian merekomendasikan pengaturannya secara mandiri dalam suatu Peraturan Menteri Keuangan, untuk memperkuat dasar hukum penelitian Surat Keterangan Asaloleh Pejabat Bea dan Cukai."
Kementerian Keuangan Republik Indonesia, 2015
336 JBPPK 8:1 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Natalia Gunawan
"Tugas karya akhir ini membahas mengenai bagaimana perspektif realis, liberalis, dan strukturalis menganalisis perjanjian perdagangan bebas Amerika Utara (NAFTA). Terdapat tiga teori yang merepresentasikan pandangan ketiga perspektif ini terhadap NAFTA. Realis melihat NAFTA melalui teori stabilitas hegemoni yang menekankan kepada peran negara dan kepentingannya di dalam suatu perjanjian perdagangan bebas. Berbeda dengan realis, liberalis melihat NAFTA melalui teori regionalisme baru yang melihat peran NAFTA yang memiliki kekuatan pasar dan meningkatkan penawaran para anggotanya. Sedangkan strukturalis melihat NAFTA melalui teori sistem dunia yang menekankan kepada keberadaan negara inti, semi-periferi, dan periferi serta ketidakseimbangan kawasan di dalam NAFTA.

This research discusses about how realist, liberalist, and structuralist analyze North American Free Trade Agreement (NAFTA). There will be three theories which represent the thoughts of these three perspectives. Realist sees NAFTA through hegemony stability theory which emphasizes on the role of state and its interests in a free trade agreement. Liberalist sees NAFTA through new regionalism theory which analyzes NAFTA as an agreement having the market power and able to increase the competitiveness of the members. Stucturalist sees NAFTA through world system theory which emphasizes on the existence of core, semi-periphery, and periphery as well as imparity in NAFTA.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rauli Silviana
"ABSTRAK
Tesis ini menjabarkan mengenai motif ekonomi India dalam pembentukan
SAFTA. SAFTA merupakan kerjasama ekonomi internal di kawasan Asia Selatan
semenjak tahun 2004. SAFTA berasal dari South Asian Association for Regional
Cooperation (SAARC) yang secara resmi terinstitusionalisasi pada 8 Desember
1985 di Dhaka, Bangladesh. Pendirian SAARC sebagai institusi regional
ditandatangani oleh tujuh negara, yaitu India, Pakistan, Bangladesh, Bhutan,
Maladewa, Sri Lanka, dan Nepal. Tesis ini menggunakan teori motif FTA
menurut Mireya Solis dan Saori N. Katada untuk menganalisis motif ekonomi
India dalam SAFTA. Menurut Mireya Solis dan Saori N. Katada, motif ekonomi
negara dalam mengimplementasikan FTA adalah memperluas akses pasar baru
melalui liberalisasi perdagangan dan investasi sehingga volume perdagangan dan
investasi regional meningkat. Hasil dari penelitian ini adalah India berhasil
mengekspansi pasar di kawasan Asia Selatan. Data menunjukkan bahwa India
eksportir dan importir terbesar di kawasan Asia Selatan. Selain itu, terdapat
peningkatan volume perdagangan di kawasan Asia Selatan selama tahun 2004-
2012. Meskipun volume perdagangan Asia Selatan meningkat, volume investasi
Asia Selatan termasuk dalam kategori rendah sehingga dapat diabaikan.

ABSTRACT
This thesis explores the economic motives of India in SAFTA. SAFTA is
economic cooperation between South Asia countries. SAFTA comes from South
Asian Association for Regional Cooperation (SAARC) which established on 8
December 1985 in Dhaka, Bangladesh by seven countries. They are India,
Pakistan, Bhutan Maldives, Sri Lanka, and Nepal. This thesis uses FTA motives
theory by Mireya Solis and Saori N. Katada in order to analyze India?s economic
motives in SAFTA. Based on Mireya Solis and Saori N. Katada, state?s economic
motives to implement FTA are making larger access for new market by trade and
investment liberalization in order to maximize the trade and investment volume.
The result of this research consists of India successfully expand its market in
South Asia. Data shows that India is the largest importir and exportir in South
Asia. Besides that, the trade volume of South Asia is increasing in 2004-2012.
Even though, the trade volume of South Asia is increasing, the volume of
investment in South Asia can be ignored because it is too low;"
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Hanif
"Tugas Karya Akhir (TKA) ini merupakan kajian literatur yang meninjau pandangan pakar dalam ekonomi politik internasional tentang gagasan proteksionisme dan penerapan kebijakannya di tengah liberalisasi perdagangan dunia. Secara teoritis terdapat perdebatan yang mengkritisi pandangan ekonomi neo-klasik sebagai landasan dari perkembangan liberalisasi perdagangan dunia saat ini. Pandangan teoritis ekonomi neo-klasik yang bersifat statis dalam memandang nilai-nilai perdagangan yang liberal, multilateral, bebas hambatan, dan non-diskriminatif sulit berhadapan dengan perubahan ekonomi politik dunia yang sangat dinamis. Temuan secara teoritis konsiten dengan tinjauan empiris dari penerapan kebijakan perdagangan di negara maju dan negara berkembang. Dinamisnya faktor ekonomi politik, membuat negara tidak bisa menerapkan konsep perdagangan bebas secara utuh untuk memenangkan persaingan dalam perdagangan dunia. Proteksionisme akan selalu hadir dengan berbagai instrumen kebijakannya ditengah liberalisasi perdagangan dunia.

This thesis is a literature review that looked at the views of experts in international political economy about the idea of protectionism and its policy implementation in world trade liberalization. Theoretically there is a debate in criticizing the classical economics liberal thought as the basic idea of the development of today's world trade liberalization. Theoretical view of neo-classical economics which are static in looking at the liberal, multilateral, barrier-free, and nondiscriminatory values of world trade having some difficulty in dealing with dynamic changes in the world political economy. Consistently, theoretical findings have been approved by empirical review of the implementation of trade policies in the developed and developing countries. The dynamic of political economy factors makes the country can not apply the concept of free trade as a whole to win the competition in world trade. Protectionism will always be present, with its variety of policy instruments, in the liberalization of world trade.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>