Ditemukan 178799 dokumen yang sesuai dengan query
Fany Arfiyandita
"Dalam hukum Islam, apabila orangtua angkat ingin memberikan harta peninggalannya maka dapat melalui wasiat atau hibah yang tidak melebihi 1/3 (sepertiga) harta peninggalannya. Meskipun perkawinan Pewaris dengan istri diselenggarakan dengan perjanjian perkawinan namun tidak menghalangi hak istri untuk berhak mewaris harta peninggalan almarhum suaminya. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini diantaranya landasan hukum atas peralihan kepemilikan harta benda terhadap janda dan anak angkat berdasarkan hukum Islam, dan bagaimana analisis pertimbangan hakim terhadap putusan Nomor 1776/PDT.G/2019/PA.JS. yang menyatakan bahwa penyerahan harta berdasarkan kesepakatan yang dibuat antara Pewaris dengan anak angkatnya bertentangan dengan hukum Islam. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan menggunakan data sekunder. Dari penelitian ini yang dapat disimpulkan diantaranya bagian hak janda tanpa anak sebesar 1/4 (seperempat) bagian dari harta peninggalan Pewaris apabila perjanjian perkawinan tidak berlaku, sementara anak angkat Pewaris berhak atas maksimal 1/3 (sepertiga) bagian selama tidak melanggar hak ahli waris lainnya. Dalam pembuatan perjanjian perkawinan harus memenuhi Pasal 1320 KUHPerdata termasuk syarat objektif maupun syarat subyektif sebagaimana perjanjian pada umumnya. Sehingga perjanjian perkawinan yang dibuat tersebut tidak memenuhi syarat obyektif sehingga batal demi hukum. Demikian juga akta kesepakatan yang dibuat oleh Pewaris dengan anak angkatnya mengenai penyerahan harta peninggalan atas harta peninggalan pewaris dengan istri pertamanya kepada anak angkatnya tersebut menyalahi ketentuan hukum islam, yaitu ketentuan Pasal 209 KHI. Sehubungan dengan pembuatan perjanjian perkawinan, kesepakatan, bahkan pembagian harta Notaris perlu memberikan edukasi berlandaskan hukum agar tidak merugikan ahli warisnya maupun pihak ketiga yang terkait.
In Islamic law, if the adoptive parents willing to give their heritage to their adopted children shall not more than 1/3 (one-third) of their wealth. Although the Inheritor and his wife marriage was agreed above pre-nuptials agreement, shall not obstructing the wife’s right as the heirs of the inheritor’s. The main issues in this tesis is legal basis on property transition for widow and adopted child; and another one is the analytics based on Judge consideration on verdict No.1776/PDT.G/2019/PA.JS which mentioned shall the inheritors’s wealth will be given to their adopted child if the Inheritors passed away has against the Islamic Law. Using normative juridicial as research method with secondary data. As for tipology research, using explanatory and evaluative method. Based on Islamic law we can conclude this research that widow shall receive her rights on 1/4 (one-fourth) of the Inheritors wealth if there’s no children, as for adoptive child shall receive not more than 1/3 (one-third) of their adoptive father’s wealth. The prenuptials agreement shall follow Article 1320 of Civil Law Code. In this case, both agreement against the Article 209 of Islamic Law Compilation. Consequently, the prenuptials agreement shall no affected on law (void at law). Additionally, Notary as public official shall advocate their clients about legal basis prior to make an agreement. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Fany Arfiyandita, authot
"Dalam hukum Islam, apabila orangtua angkat ingin memberikan harta peninggalannya maka dapat melalui wasiat atau hibah yang tidak melebihi 1/3 (sepertiga) harta peninggalannya. Meskipun perkawinan Pewaris dengan istri diselenggarakan dengan perjanjian perkawinan namun tidak menghalangi hak istri untuk berhak mewaris harta peninggalan almarhum suaminya. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini diantaranya landasan hukum atas peralihan kepemilikan harta benda terhadap janda dan anak angkat berdasarkan hukum Islam, dan bagaimana analisis pertimbangan hakim terhadap putusan Nomor 1776/PDT.G/2019/PA.JS. yang menyatakan bahwa penyerahan harta berdasarkan kesepakatan yang dibuat antara Pewaris dengan anak angkatnya bertentangan dengan hukum Islam. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan menggunakan data sekunder. Dari penelitian ini yang dapat disimpulkan diantaranya bagian hak janda tanpa anak sebesar 1/4 (seperempat) bagian dari harta peninggalan Pewaris apabila perjanjian perkawinan tidak berlaku, sementara anak angkat Pewaris berhak atas maksimal 1/3 (sepertiga) bagian selama tidak melanggar hak ahli waris lainnya. Dalam pembuatan perjanjian perkawinan harus memenuhi Pasal 1320 KUHPerdata termasuk syarat objektif maupun syarat subyektif sebagaimana perjanjian pada umumnya. Sehingga perjanjian perkawinan yang dibuat tersebut tidak memenuhi syarat obyektif sehingga batal demi hukum. Demikian juga akta kesepakatan yang dibuat oleh Pewaris dengan anak angkatnya mengenai penyerahan harta peninggalan atas harta peninggalan pewaris dengan istri pertamanya kepada anak angkatnya tersebut menyalahi ketentuan hukum islam, yaitu ketentuan Pasal 209 KHI. Sehubungan dengan pembuatan perjanjian perkawinan, kesepakatan, bahkan pembagian harta Notaris perlu memberikan edukasi berlandaskan hukum agar tidak merugikan ahli warisnya maupun pihak ketiga yang terkait.
In Islamic law, if the adoptive parents willing to give their heritage to their adopted children shall not more than 1/3 (one-third) of their wealth. Although the Inheritor and his wife marriage was agreed above pre-nuptials agreement, shall not obstructing the wife’s right as the heirs of the inheritor’s. The main issues in this tesis is legal basis on property transition for widow and adopted child; and another one is the analytics based on Judge consideration on verdict No.1776/PDT.G/2019/PA.JS which mentioned shall the inheritors’s wealth will be given to their adopted child if the Inheritors passed away has against the Islamic Law. Using normative juridicial as research method with secondary data. As for tipology research, using explanatory and evaluative method. Based on Islamic law we can conclude this research that widow shall receive her rights on 1/4 (one-fourth) of the Inheritors wealth if there’s no children, as for adoptive child shall receive not more than 1/3 (one-third) of their adoptive father’s wealth. The prenuptials agreement shall follow Article 1320 of Civil Law Code. In this case, both agreement against the Article 209 of Islamic Law Compilation. Consequently, the prenuptials agreement shall no affected on law (void at law). Additionally, Notary as public official shall advocate their clients about legal basis prior to make an agreement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Zaslyn Annisa
"Kekosongan hukum yang mengatur pembatalan pengangkatan anak mengakibatkan perbedaan pandangan hakim dalam memutus perkara pembatalan pengangkatan anak. Anak angkat dalam kasus ini keluar dari rumah sejak almarhumah Ibu angkat meninggal dunia karena ayah angkat membawa perempuan lain ke rumah dan yang bersangkutan tidak memberikan persetujuan penjualan rumah. Kemudian ayah angkat mengajukan gugatan pembatalan pengangkatan anak karena semenjak keluar dari rumah anak angkat tidak melaksanakan kewajiban untuk memeliharanya. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah pemaknaan dari kewajiban anak angkat kepada orang tua angkat sebagai dasar untuk membatalkan pengangkatan anak dan kedudukan persetujuan anak angkat untuk menjual rumah orang tua angkat. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian yuridis normatif, dengan tipe penelitian eksplanatoris. Hasil analisis penelitian ini adalah majelis hakim Mahkamah Agung mempersempit pemaknaan kewajiban anak angkat dalam Pasal 46 Undang-Undang Perkawinan. Perbuatan tidak mengurus orangtua angkat tidak tergolong sebagai perbuatan yang melanggar kewajiban anak angkat kepada orangtua angkatnya sepanjang tindakan orang tua angkat bertentangan dengan norma agama dan norma sosial, serta orang tua angkat terbukti tidak membutuhkan bantuan. Kondisi tidak memenuhi kewajiban kepada orang tua angkat yang demikian tidak dapat menjadi dasar untuk meminta pembatalan pengangkatan anak kepada pengadilan. Terkait dengan penjualan rumah peninggalan ibu angkat, diperlukan pembuktian tentang status rumah tersebut. Dalam hal rumah tersebut merupakan harta peninggalan almarhumah Ibu angkat maka untuk menjualnya harus mendapat persetujuan anak angkat. Namun, jika rumah tersebut merupakan harta bawaan/harta hibah ayah angkat, penjualan rumah tidak memerlukan persetujuan anak angkat. Saran dari penelitian ini adalah perlu ditetapkan suatu peraturan pemerintah mengenai pembatalan pengangkatan anak untuk memberikan kepastian hukum.
The absence of a law that regulates the annulment of adoption resulted in differences between the judges in deciding the case. The adopted child in this case has left the house since the deceased adoptive mother died because the adoptive father brought another woman to live in the house and the child also is not willing to be asked for approval to sell their residential house. Then the adoptive father filed a lawsuit to annul the adoption of the child because since leaving the house the adopted child did not carry out the obligation to care for him. The problems raised in this research are the interpretation of the obligations of adopted children towards adoptive parents as the basis for adoption annulment and the legal standing of the adopted child's consent to sell the adoptive parents' house. To answer this problem, a normative juridical research method is used, with an explanatory research typology. The result of the analysis of this research is that the panel of judges at the Supreme Court narrows the meaning of adopted child obligations in Article 46 of the Marriage Law. If the adopted child does not perform the obligations due to the adoptive parents' behavior that is against religious and community values and the adoptive parent is not proven to be in need of help, then the adopted child does not violate the obligations, hence the annulment of adoption can not be conducted. Regarding the standing of the adopted child's consent, if the house is a part of the deceased adoptive mother’s inheritance, then to sell it must have the approval of the adopted child. However, if the house is the property of the adoptive father, it does not require the adoptive child's consent to sell. The suggestion from this research is that it is necessary to stipulate a government regulation regarding the cancellation of adoption to provide legal certainty. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Hans Raynadhi
"Tesis ini meneliti kedudukan anak angkat pada golongan Tionghoa dalam pewarisan orang tua angkat khususnya pada Keterangan Hak Mewaris, mengingat belum ada pengaturan yang jelas terkait kedudukan anak angkat dalam pewarisan kerap kali menjadi pemicu timbulnya konflik di antara ahli waris. Rumusan permasalahan yang diangkat adalah pengaturan hak dan kewajiban anak angkat pada golongan Tionghoa di Indonesia dalam kaitannya dengan pewarisan dan kesesuaian pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor 171/Pdt.G/2023/PN.Srg dengan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia terkait kedudukan anak angkat dalam Keterangan Hak Mewaris. Penelitian ini menggunakan metode penelitian doktrinal dengan tipologi penelitian eksplanatoris. Hasil dari penelitian adalah hak dan kewajiban anak angkat dengan orang tua angkat mendapat pengaturan yang sama seperti antara anak sah dengan orang tua kandungnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan dalam kaitannya dengan pewarisan, anak angkat berhak menjadi ahli waris orang tua angkatnya, sebab pengangkatan anak yang dilakukan secara sah berdasarkan Pasal 12 Staatsblad 1917 Nomor 129 membawa akibat hukum anak angkat dianggap seolah-olah dilahirkan dari perkawinan orang tua angkatnya. Kemudian, pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor 171/Pdt.G/2023/PN.Srg yang menyatakan ahli waris dari OGH alias K adalah saudara kandungnya, sedangkan SS sebagai anak angkat bukan merupakan ahli waris tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sebab berdasarkan Pasal 12 Staatsblad 1917 Nomor 129 dihubungkan dengan Pasal 832 jo. Pasal 852 KUHPerdata, anak angkat berkedudukan sama seperti anak sah, sehingga SS berhak menjadi satu-satunya ahli waris golongan I dari OGH alias K dan menutup hak waris dari saudara kandung pewaris. Adapun terkait Akta Keterangan Hak Mewaris kedua yang dibuat Notaris RD tidak boleh dibuat bahkan tidak boleh terjadi karena apabila ahli waris lain keberatan atas suatu keterangan hak mewaris seharusnya diselesaikan di Pengadilan, bukan malah membuat akta keterangan hak mewaris yang berbeda ahli warisnya atas pewaris yang sama.
This thesis examines the position of adopted children in the Chinese group in the inheritance of adoptive parents, especially in the Statement of Inheritance Rights, considering that there are no clear regulations regarding the position of adopted children in inheritance which often triggers conflicts between heirs. The formulation of the problem raised is the regulation of the rights and obligations of adopted children in the Chinese group in Indonesia in relation to inheritance and the conformity of the judge's considerations in Decision Number 171/Pdt.G/2023/PN.Srg with the Laws and Regulations in Indonesia regarding the position of adopted children in the Statement of Inheritance Rights. This study uses a doctrinal research method. The results of the study are that the rights and obligations of adopted children with adoptive parents are regulated the same as between legitimate children and their biological parents based on Law Number 23 of 2002 concerning Child Protection and in relation to inheritance, adopted children have the right to become heirs of their adoptive parents, because the adoption of a child carried out legally based on Article 12 of Staatsblad 1917 Number 129 has the legal consequence that adopted children are considered as if they were born from the marriage of their adoptive parents. Then, the judge's consideration in Decision Number 171/Pdt.G/2023/PN.Srg which stated that the heirs of OGH alias K are his siblings, while SS as an adopted child is not an heir is not in accordance with the laws and regulations in Indonesia. Because based on Article 12 of Staatsblad 1917 Number 129 connected with Article 832 in conjunction with Article 852 of the Civil Code, adopted children have the same status as legitimate children, so that SS has the right to be the only heir class I of OGH alias K and closes the inheritance rights of the testator's siblings. Regarding the second Deed of Inheritance Rights made by Notary RD, it may not be made and may not even occur because if other heirs object to a statement of inheritance rights, it should be resolved in Court, not making a deed of inheritance rights with different heirs for the same heir."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Trie Zaskia Cholita Putri
"Anak angkat dan anak tiri dalam hukum Islam bukanlah ahli waris karena tidak memiliki hubungan nasab dengan orang tua angkat maupun orang tua tirinya sehingga menyebabkan tidak adanya hubungan kewarisan. Dalam hal ini Penulis menganalisis Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 23 Desember 2011 No. 489 K/AG/2011 terkait pembagian harta warisan. Maka perlu diteliti bagaimana pengaturan dan besarnya bagian bagi anak angkat dan anak tiri dalam Kompilasi Hukum Islam. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, dengan tipologi penelitiannya adalah deskriptif analitis dengan menggunakan data
sekunder.
Hasil analisis penulis adalah pengaturan bagian harta bagi anak angkat telah diatur dalam Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam dengan cara diberikannya wasiat wajibah dari harta warisan orang tua angkatnya sedangkan anak tiri dapat diberikan hibah semasa hidup atau wasiat dari orang tua tirinya. Mengenai bagian harta bagi anak angkat dengan cara wasiat wajibah maksimal sebesar 1/3 bagian dari harta warisan atau tidak melanggar bagian warisan dari ahli waris, sedangkan anak tiri yang mendapatkan bagian dari harta warisan orang tua tirinya seharusnya tidak mendapatkannya karena mereka bukanlah ahli waris.
Adopted child and stepson in islamic law is not heirs because having no relation nasab with the adoptive parents or the stepparents that led to the relationship of inheritance. In this case the author analyzes the decisions of the Indonesian Supreme Court Number 489 K/AG/2011 related to the division of estate of inheritance. Needs to be examined research methodology used in this research is normative juridical and research typology is descriptive analysis using secondary data. how regulations and the amount of inheritance for adopted children and stepchildren in the Compilation of Islamic Law. The results of the analysis of the authors is setting inheritance for adopted children has been set out in Article 209 Compilation of Islamic Law by means of he gave a wajibah of inheritance adoptive parents while step child can be given grant during life or testament of the step parents. Regarding inheritance for adopted children by means of a wajibah máximum of 1/3 part from an inheritance or does not violate te inheritnce of the heirs. While step child receiving the inheritance of the step parent should not get it because they are not heirs."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T46504
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Fadilla
"Skripsi ini membahas mengenai hibah yang diberikan oleh orang tua kepada anak angkatnya. Menurut Hukum Islam, anak angkat tidak dapat menerima warisan karena kewarisan Islam baru dapat timbul dengan adanya hubungan darah dan hubungan semenda. Sehingga apabila orang tua ingin memberikan sesuatu kepada anak angkatnya sewaktu hidup pemberian tersebut dinamakan hibah dan pemberian ketika orang tua angkatnya telah meninggal dinamakan wasiat. Menurut para Fuqaha, hibah dibatasi 1/3 dari harta si pemberi hibah berdasarkan analogi ketentuan dalam wasiat. Akan tetapi dalam kasus yang penulis temukan, orang tua memberikan seluruh harta kepada anak angkatnya. Permasalahan yang timbul dalam kasus ini adalah bagaimanakah ketentuan pemberian hibah dalam hukum Islam serta analisis Putusan Mahkamah Syar?iyah Banda Aceh Nomor 117/Pdt.G/2011/MS-Bna dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 244 K/AG/2012. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif yang bersifat deskriptif analitis. Dari hasil penelitian yang penulis lakukan, ditemukan bahwa dalam syari?at Islam tidak mengatur mengenai hibah. Akan tetapi, menurut para Fuqaha dan Pasal 210 ayat (2) KHI, pemberian hibah tersebut dibatasi 1/3 dari harta si pemberi hibah. Maka 2/3 dari hibah tersebut harus dikembalikan kepada ahli waris yang berhak mendapatkannya demi melindungi kepentingan ahli waris si pemberi hibah tersebut. Putusan Mahkamah Syar?iyah Banda Aceh Nomor 117/Pdt.G/2011/Ms-Bna telah tepat. Akan tetapi, Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia 244 K/AG/2012 kurang tepat karena tidak sesuai dengan ketentuan dari para Fuqaha dan KHI.
This thesis discusses the grants given by the adoptive parents to children. According to Islamic law, an adopted child can?t inherit the new Islamic inheritance arises because the presence of blood relations and relations by marriage. So if parents want to give something to adopted child during the administration of life and the provision is called grant and when the adoptive parents have died is called probate. According to the Fuqaha, grant limited third of the estate of the grantor on the analogy of the provisions in the will. However, in the case that the writer found, the parents give the entire property to their adopted child. The problems that arise in this case is how the terms of the grants in Islamic law as well as the analysis of The Decision Banda Aceh Shariah Court Number 117/Pdt.G/2011/MS-Bna and The Decision of Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 244 K/AG/2012. This study uses a normative analytical descriptive. From the research that author did, it was found that in Islamic law doesn?t regulate the grant. However, according to the Fuqaha and Article 210 paragraph (2) KHI, the grant of the restricted third of the estate of the grantor. Then two thirds of the grant must be returned to the heirs who deserve it in order to protect the interests of the heirs of the grantor. The Decision of Banda Aceh Shariah Number 117/Pdt.G/2011/MS-Bna was right. However, The Decision of Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 244 K/AG/2012 less accurate because it doesn?t suitable with Fuqaha?s rule and KHI."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S54480
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Annisa Summayah Rahmadani
"Pengangkatan anak merupakan suatu perbuatan hukum yang menimbulkan akibat hukum, salah satunya berupa waris. Di Indonesia, pengangkatan anak diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, diantaranya UU Perlindungan Anak, PP No. 54/2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, serta Staatsblad 1917 Nomor 129 yang belum dicabut. Pasal 39 ayat (2) UU Perlindungan Anak dan Pasal 4 PP No. 54/2007 mengatur bahwa pengangkatan anak tidak memutus hubungan darah antara anak angkat dengan orang tua kandungnya. Hal ini merupakan cerminan dari hukum Islam, yakni anak angkat tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya. Sementara itu dalam hukum perdata, terdapat perbedaan dengan ketentuan Staatsblad 1917 Nomor 129 yang menyatakan bahwa pengangkatan anak memutus segala hubungan anak angkat dengan orang tua kandungnya, sehingga anak angkat menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya. Perbedaan ini berdampak pada ketidakpastian hukum pada pertimbangan hakim dalam menetapkan waris terhadap anak angkat. Untuk menjawab permasalahan tersebut, dilakukan penelitian dengan menggunakan metode yuridis normatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa ketentuan pengangkatan anak dalam Staatsblad 1917 Nomor 129 sudah tidak sesuai dengan kondisi masyarakat, sehingga seharusnya ketentuan tersebut dicabut dengan tegas, Lebih lanjut, permohonan pengangkatan anak oleh orang Islam seharusnya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri, tetapi diajukan ke Pengadilan Agama. Diharapkan penelitian ini dapat menghapus ketidakpastian hukum mengenai hak waris anak angkat terhadap harta warisan orang tua kandung menurut hukum perdata serta menyelesaikan kebingungan mengenai kewenangan absolut pengadilan mengenai permohonan pengangkatan anak.
Adoption is a legal act that brings about legal consequences, one of which is inheritance. In Indonesia, adoption is regulated in several laws and regulations, including the Child Protection Law, Government Regulation No. 54/2007 on the Implementation of Adoption, and Staatsblad 1917 No. 129, which has not been repealed. Article 39 paragraph (2) of the Child Protection Law and Article 4 of Government Regulation No. 54/2007 stipulate that adoption does not sever the blood relationship between the adopted child and their biological parents. This reflects Islamic law, where an adopted child remains an heir to their biological parents. Meanwhile, under civil law, there is a difference with the provisions of Staatsblad 1917 No. 129, which states that adoption severs all relationships between the adopted child and their biological parents, making the adopted child an heir to their adoptive parents. This difference leads to legal uncertainty regarding judges' considerations in determining inheritance for adopted children. To address this issue, a study was conducted using a normative juridical method. The study's findings show that the adoption provisions in Staatsblad 1917 No. 129 are no longer in line with societal conditions, and therefore, these provisions should be explicitly revoked. Furthermore, adoption petitions by Muslims should not be submitted to the District Court but to the Religious Court. It is hoped that this study can eliminate the legal uncertainty regarding the inheritance rights of adopted children concerning the inheritance of their biological parents under civil law and resolve the confusion regarding the absolute jurisdiction of the court concerning adoption petitions. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Vonny Hardiyanti
"[Pengangkatan anak (adopsi) di kalangan masyarakat adat Tionghoa merupakan suatu perbuatan yang lazim dilakukan bila tidak terdapat keturunan laki-laki dalam suatu perkawinan. Keberadaan keturunan laki-laki dalam masyarakat Tionghoa adalah sangat penting sebagai penerus marga (she) dan pemelihara abu leluhur. Dalam perkembangannya masyarakat adat Tionghoa mengalami perubahan sistem kekerabatan menjadi bercorak parental sehingga sekarang dikenal pula pengangkatan anak perempuan. Motif utama pengangkatan anak turut mengalami perubahan, tidak lagi demi melanjutkan keturunan semata tetapi demi kepentingan terbaik anak. Kedudukan anak angkat dalam keluarga angkat haruslah dalam posisi yang menjamin kesejahteraan anak tersebut, termasuk pula bila orang tua angkatnya meninggal kelak berkaitan dengan warisnya. Yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pelaksanaan pengangkatan anak pada masyarakat adat Tionghoa di Indonesia, bagaimana akibat hukum dari pengangkatan anak terhadap kedudukan anak angkat dalam hukum waris adat Tionghoa, bagaimanakah pelaksanaan pengangkatan anak (adopsi) yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa dalam penetapan Pengadilan
Negeri Jember Nomor 10/Pdt.P/2014/Pn.Jr. Metode penelitan yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif dengan tipologi penelitian eksplanatoris. Data yang digunakan adalah data sekunder yang dikumpulkan dengan studi kepustakaan, selain itu dilakukan pula wawancara untuk mendukung fakta yang ditemukan dalam data sekunder. Dari penelitian diketahui bahwa masyarakat adat Tionghoa di Indonesia melakukan pengangkatan anak hanya secara adat karena pengangkatan anak melalui pengadilan dianggap rumit dan memakan banyak biaya. Akibat hukum dari pengangkatan anak terhadap kedudukan anak angkat dalam hukum waris adat Tionghoa adalah anak angkat menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya. Pengangkatan anak yang dilakukan oleh masyarakat Tionghoa dalam penetapan Pengadilan Negeri Jember Nomor 10/Pdt.P/2014/Pn.Jr adalah pengangkatan seorang anak perempuan yang awalnya hanya dilakukan berdasarkan adat kebiasaan yang kemudian dapat disahkan oleh pengadilan negeri demi mendapat kepastian hukum dan mewujudkan kepentingan terbaik anak tersebut.
Adoption among Chinese Indonesians are a very common thing to do if there's no male descendant born in a marriage. Male descendants play a very important role as they are the successor whom continue the passage of family name (she) and the person in charge of preserving ancestor?s ash. Over the time Chinese Indonesian's descent system transforming into bilateral kinship system so that girls adoption are also recognized now. Adoption's main motives also started shifting, it was tocarry on the lineage but now it is for foster child's own benefit. Foster child?s should be placed in the proper position that guarantee his/her welfare being, including in the time of foster parents? death regarding the legacy. The subjects of this research are how is the practice of adoption among Chinese Indonesians, whatis the legal consequence of adoption in matter of foster's child's position in Chinese Indonesians customary inheritance law, how is the practice of adoption among Chinese Indonesians as stated in Jember district court order number 10/Pdt.P/2014/Pn.Jr. The research method are juridicial normative method with explanatory typology. Data used are secondary data which gathered through literature study, beside there's also interview performed to advocating facts found in secondary data. From the research we can tell that Chinese Indonesians conduct adoption solely based on their tradition because doing it through court considered complicated and will cost a lot of money. The legal consequence of adoption in Chinese Indonesians customary inheritance law is foster child becomes adoptive parent's heir. Adoption among Chinese Indonesians as stated in Jember district court order number 10/Pdt.P/2014/Pn.Jr is the adoption of a girl which at first only conducted based on tradition then authorized by district court for the sake of legal certainty and to actualize the child's best interest.;Adoption among Chinese Indonesians are a very common thing to do if there’s no male descendant born in a marriage. Male descendants play a very important role as they are the successor whom continue the passage of family name (she) and the person in charge of preserving ancestor’s ash. Over the time Chinese Indonesian’s descent system transforming into bilateral kinship system so that girls adoption are also recognized now. Adoption’s main motives also started shifting, it was to carry on the lineage but now it is for foster child’s own benefit. Foster child’s should be placed in the proper position that guarantee his/her welfare being, including in the time of foster parents’ death regarding the legacy. The subjects of this research are how is the practice of adoption among Chinese Indonesians, what is the legal consequence of adoption in matter of foster’s child’s position in Chinese Indonesians customary inheritance law, how is the practice of adoption among Chinese Indonesians as stated in Jember district court order number 10/Pdt.P/2014/Pn.Jr. The research method are juridicial normative method with explanatory typology. Data used are secondary data which gathered throughliterature study, beside there’s also interview performed to advocating facts found in secondary data. From the research we can tell that Chinese Indonesians conduct adoption solely based on their tradition because doing it through court considered complicated and will cost a lot of money. The legal consequence of adoption in Chinese Indonesians customary inheritance law is foster childbecomes adoptive parents’ heir. Adoption among Chinese Indonesians as stated in Jember district court order number 10/Pdt.P/2014/Pn.Jr is the adoption of a girl which at first only conducted based on tradition then authorized by district court for the sake of legal certainty and to actualize the child’s best interest., Adoption among Chinese Indonesians are a very common thing to do if there’s nomale descendant born in a marriage. Male descendants play a very important role as they are the successor whom continue the passage of family name (she) and theperson in charge of preserving ancestor’s ash. Over the time Chinese Indonesian’sdescent system transforming into bilateral kinship system so that girls adoptionare also recognized now. Adoption’s main motives also started shifting, it was tocarry on the lineage but now it is for foster child’s own benefit. Foster child’s should be placed in the proper position that guarantee his/her welfare being, including in the time of foster parents’ death regarding the legacy. The subjects ofthis research are how is the practice of adoption among Chinese Indonesians, whatis the legal consequence of adoption in matter of foster’s child’s position inChinese Indonesians customary inheritance law, how is the practice of adoption among Chinese Indonesians as stated in Jember district court order number 10/Pdt.P/2014/Pn.Jr. The research method are juridicial normative method with explanatory typology. Data used are secondary data which gathered throughliterature study, beside there’s also interview performed to advocating facts foundin secondary data. From the research we can tell that Chinese Indonesiansconduct adoption solely based on their tradition because doing it through courtconsidered complicated and will cost a lot of money. The legal consequence ofadoption in Chinese Indonesians customary inheritance law is foster childbecomes adoptive parents’ heir. Adoption among Chinese Indonesians as stated in Jember district court order number 10/Pdt.P/2014/Pn.Jr is the adoption of a girl which at first only conducted based on tradition then authorized by district court for the sake of legal certainty and to actualize the child’s best interest.]"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T44955
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Farah Safitri
"Skripsi ini membahas tentang pendampingan yang dilakukan pekerja sosial dalam proses adaptasi Calon Orang Tua Angkat (COTA) dan Calon Anak Angkat (CAA). Penelitian ini penting untuk dikaji karena pekerja sosial anak yang bernaung di bawah Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) mendampingi keluarga angkat untuk memperkuat hubungan antara COTA dan CAA. Tujuan penelitian ini untuk menggambarkan pendampingan pekerja sosial dalam proses adaptasi Calon Orang Tua Angkat (COTA) dan Calon Anak Angkat (CAA). Skripsi ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif yang dilakukan menggunakan teknik pengumpulan data melalui wawancara daring semi terstuktur dengan 6 (enam) orang informan yaitu ketua pelaksana, 2 (dua) pekerja sosial, dan 3 (tiga) Orang Tua Angkat. Seluruh proses penelitian dilakukan sejak Oktober 2020 sampai dengan September 2021 selama pandemi COVID-19. Lokasi pengambilan data dilakukan di Yayasan Sayap Ibu Jakarta. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pekerja sosial memiliki tugas memberikan pendampingan dalam proses adopsi yaitu home visit 2 untuk mengetahui perkembangan anak angkat dan kendala COTA maupun CAA selama masa asuhan dengan menuliskan laporan sosial untuk menilai kelayakan COTA dan CAA dalam melanjutkan proses adopsi. Pekerja sosial melakukan pendampingan psikososial terhadap COTA untuk menghadapi perubahan dan penyesuaian yang terjadi pada anak. Selama kunjungan rumah pekerja sosial mengajarkan keterampilan mengasuh anak kepada COTA dan membantu berinteraksi dengan CAA. Dapat disimpulkan bahwa pendampingan yang dilakukan pekerja sosial terhadap proses adaptasi yaitu home visit 2 dan pendampingan psikososial.
This thesis discusses the assistance provided by social workers in the adaptation process of Prospective Adoptive Parents (COTA) and Prospective Adopted Children (CAA). This research is important to study because child social workers under the Child Welfare Institution (LKSA) assist the adoptive families to strengthen the relationship between COTA and CAA. The purpose of this study is to describe the assistance of social workers in the adaptation process of Prospective Adoptive Parents (COTA) and Prospective Adopted Children (CAA). This thesis is a qualitative research with a descriptive design which was carried out using data collection techniques through semi-structured online interviews with 6 (six) informants, namely the chief executive, 2 (two) social workers, and 3 (three) adoptive parents. The entire research process was carried out from October 2020 to September 2021 during the COVID-19 pandemic. The location of data collection was carried out at Yayasan Sayap Ibu Jakarta. The results of this study indicate that social workers have the task of providing assistance in the adoption process, namely home visit 2 to find out the development of adopted children and the constraints of COTA and CAA during the care period by writing social reports to assess the feasibility of COTA and CAA in continuing the adoption process. Social workers provide psychosocial assistance to COTA to deal with changes and adjustments that occur in children. During home visits social workers teach COTA parenting skills and help interact with CAA. It can be concluded that the assistance provided by social workers to the adaptation process is home visit 2 and psychosocial assistance."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Sartika Sari Dewi
"Dalam setiap perkawinan pada masyarakat, tak jarang pasangan suami istri tidak dapat memperoleh keturunan. Maka dari itu, mereka melakukan pengangkatan anak. Namun, hingga saat ini belum terdapat unifikasi peraturan terutama dalam bidang waris sebagai akibat hukumnya. Terdapat persamaan dan perbedaan dalam aturan dari Hukum waris perdata barat dan hukum waris adat yang dimana kedua hukum tersebut merupakan bagian dari hukum positif waris yang sama – sama mengikat dan berlaku di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk membahas tentang kedudukan dan hak anak angkat mengenai hal mewaris serta hak yang diperoleh anak angkat dalam pembagian waris keluarga ditinjau dari perspektif hukum perdata dan hukum adat, khususnya adat batak toba dengan metode penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian ini menyimpulkan terhadap kedua aturan hukum waris yang berbeda ini menimbulkan masalah dalam pengangkatan anak di Indonesia, khususnya mengenai dampak terhadap hak waris anak angkat tersebut.
In every marriage in society, it is not uncommon for a married couple to be unable to obtain offspring. Therefore, they adopt a child. However, until now there has been no unification of regulations, especially in the field of inheritance as a legal consequence. There are similarities and differences in the rules of Western civil inheritance law and customary inheritance law, which are both part of positive inheritance law that are equally binding and applicable in Indonesia. This research aims to discuss the position and rights of adopted children regarding inheritance and the rights obtained by adopted children in the distribution of family inheritance from the perspective of civil law and customary law, especially Batak toba custom with normative juridical research methods. The results of this study conclude that these two different inheritance law rules cause problems in the appointment of children in Indonesia, especially regarding the impact on the inheritance rights of the adopted child."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library