Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 150738 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Timothy Ronald Alessandro
"Pada tahun 2020, Pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dalam undang-undang tersebut, terdapat klausul yang mengatakan bahwa jasa pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh paranormal termasuk ke dalam jasa pelayanan kesehatan medis. Klausul yang terdapat pada Undang-Undang tentang Cipta Kerja tersebut dikhawatirkan berpotensi menyebabkan kebingungan dalam masyarakat. Oleh karena itu, peneliti dalam meyusun skripsi ini mengambil tiga pokok permasalahan, yaitu bagaimana pengaturan mengenai tenaga kesehatan dan tenaga medis di Indonesia, bagaimana kedudukan hukum paranormal dalam golongan tenaga kesehatan di Indonesia, dan bagaimana dampak dari klausul jasa pengobatan alternatif yang dilakukan paranormal sebagai jasa pelayanan kesehatan medis dalam undang-undang Cipta Kerja ditinjau dari asas kepastian hukum dan hukum kesehatan. Metode penelitian yang peneliti gunakan adalah metode yuridis-normatif, yang menekankan pada penggunaan norma hukum secara tertulis dan didukung dengan hasil penelitian berdasarkan topik terkait. Kesimpulan yang peneliti dapatkan adalah paranormal dalam melakukan praktiknya, tidak boleh melakukan pelayanan kesehatan medis kepada pasiennya. Serta klausul yang terdapat pada Undang-Undang Cipta Kerja tersebut, bertentangan dengan aturan perundang-undangan yang telah ada, sehingga tidak memenuhi asas kepastian hukum dan bertentangan dengan hukum kesehatan.

In 2020, the government ratify Law Number 11 Year 2020 regarding Job Creation. There is a provision in the law that states that alternative medicine services, including thos provided by psychics, are included in medical health services. It is feared that the clause in Job Creation Act will cause confusion in the community. Therefore, in compiling this thesis, researchers focused on three major issues, namely how the regulation of health workers and medical personnel in Indonesia, how the legal position of paranormal in the health workforce in Indonesia, and how the impact of the cause on alternative medicine services performed by psychics as a service. Medical health services in the Job Creation Act are reviewed from the principle of legal certainty and health law. The research method which being used by the researcher employs the juridicial-normative method, which emphasizes the use of written legal norms and is supported by research results on related topics. The researchers came to conclusion that in their practice, psychics are not allowed to do a medical health service to their patient. In addition to the clause in the Job Creation Act, it is contrary to the existing laws and regulations, thus it violates the principle of legal certainty and is contrary to health law. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Nauval
"Berlakunya peraturan pelaksana Pasal 31 D UU Nomor 36 Tahun 2008 yaitu PP Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah pun menunjukkan adanya dukungan Pemerintah Indonesia dalam memberikan kepastian hukum dan mendorong netralitas perpajakan produk perbankan syariah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perlakuan kebijakan Pajak Penghasilan (PPh) atas imbalan sukuk dalam produk investasi sukuk negara/ ritel ditinjau dari asas kepastian hukum dan netralitas. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan wawancara mendalam kepada narasumber sebagai teknik pengumpulan data. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prinsip mutatis mutandis yang berlaku sesuai PP Nomor 25 Tahun 2009 memberikan kepastian hukum bagi pengenaan pajak atas penghasilan imbalan sukuk bagi investor dan pemberlakuan tarif PPh atas obligasi syariah yang sama dengan obligasi netral dari segi pajak. Disarankan agar pemerintah membuat evaluasi yang terpisah terkait penerimaan pajak tahunan kegiatan syariah dan non-syariah untuk melihat keseimbangan ekonomi/pasar yang terjadi sehingga keputusan penyetaraan perlakuan pajak antara imbalan sukuk dan bunga obligasi yang diterima investor tetap dipertahankan/tidak sesuai pertimbangan tersebut

The enactment of implementing regulations for Article 31 D of Law Number 36 of 2008, namely PP Number 25 of 2009 concerning Income Tax for Sharia-Based Business Activities also shows the support of the Indonesian Government in providing legal certainty and encouraging tax neutrality of Islamic banking products. This research aims to analyze the income policy (PPh) policy on the imbalance of sukuk in the investment product of sovereign sukuk / review in terms of legal certainty and neutrality. The research is conducted using quantitative approach with in-depth interviews as data collecting technique. The results of this research indicate that the mutatis mutandis principle in accordance with Government Regulation No. 25 Year 2009 provides legal certainty for the imposition of taxes on the sukuk yield for investors and the imposition of PPh rates on sharia bonds which are same as bonds, neutral from a tax perspective. It is recommended that the government make a separate evaluation regarding the annual tax revenue for sharia and non-sharia activities to see the economic / market balance that occurs so that the decision to equalize tax treatment between sukuk returns and bond interest received by investors is maintained / not in accordance with these considerations"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Eleonora Novena Pritasari Boli Pain
"Kegiatan distribusi berfungsi untuk melancarkan arus perpindahan barang dan jasa. Melalui kegiatan distribusi transaksi pemasaran akan menjadi lebih aman dan terjamin dengan adanya pihak lain yang memindahkan barang. Namun Pemerintah memberlakukan larangan bagi distributor untuk mendistribusikan barang secara eceran kepada konsumen. Selain itu produsen dengan skala usaha besar dan menengah termasuk importir dilarang untuk mendistribusikan barang kepada pengecer. Aturan tersebut dimaksudkan untuk meminimalisir monopoli perdagangan dan melindungi usaha kecil. Larangan tersebut diterapkan dalam perizinan berusaha pada sistem OSS yang melarang perdagangan besar dan perdagangan eceran untuk digabungkan. Oleh karenanya muncul permasalahan bagaimana fungsi dan pelaksanaan perizinan berusaha bagi pelaku usaha importir sebagai distributor dan pengecer. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, yaitu dengan cara meneliti peraturan perundang-undangan dan mengaitkannya dengan fakta di lapangan. Hasil dari penelitian ini adalah nyatanya penerapan larangan dalam perizinan berusaha tersebut memiliki pengecualian dan celah sehingga pelaku usaha dapat tetap menjalankan usahanya. Pelaku usaha dapat menjalankan izinnya selama dapat dibuktikan bahwa sebelum aturan terkait perizinan berusaha diberlakukan, ia memiliki klasifikasi usaha sebagai distributor dan pengecer. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis menyarankan perlu adanya pengkajian ulang terhadap Peraturan Pemerintah terkait pendistribusian barang dengan cara melakukan koordinasi antar lembaga agar terciptanya aturan dan pelaksanaan perizinan berusaha yang seimbang bagi semua pihak khususnya importir sebagai distributor dan pengecer. Penyelarasan antara maksud dan tujuan masing-masing instansi khususnya yang berkaitan dengan bidang perdagangan diperlukan dalam rangka menunjang perizinan kegiatan usaha.

Distribution activities function to expedite the flow of movement of goods and services. Through distribution activities, marketing transactions will become safer and more secure with other parties moving goods. However, the Government imposes a ban on distributors to distribute goods in retail to consumers. In addition, producers with large and medium scale businesses, including importers, are prohibited from distributing goods to retailers. The regulation is intended to minimize trade monopolies and protect small businesses. This prohibition is implemented in business licensing in the OSS system which prohibits wholesale trade and retail trade from being combined. Therefore, a problem arises as to how the function and implementation of business licensing for importer business actors as distributors and retailers. To answer these problems, this study uses a normative juridical method, namely by examining laws and regulations andrelate it with facts on the ground. The results of this study are in fact the implementation of the prohibition on business licensing has exceptions and loopholes so that business actors can continue to run their business. Business actors can carry out their licenses if it can be proven that before the regulations related to trying licensing were enforced, they had business classifications as distributors and retailers. Therefore, in this study the authors suggest that there is a need for a review of Government Regulations related to the distribution of goods by coordinating between agencies so that the rules and implementation of business licensing are balanced for all parties, especially importers as distributors and retailers. Alignment between the aims and objectives of each agency, especially those related to the trade sector, is needed in order to support licensing of business activities."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sazkia Balhqis Kemalajati
"Penelitian ini dilatarbelakangi adanya perbedaan pengakuan objek penghasilan atas transaksi non-fungible token (NFT) antara Wajib Pajak dan Direktorat Jenderal Pajak. Kemudian, pada Maret 2022, pemerintah menetapkan PMK Nomor 68 Tahun 2022 yang mengatur tentang pajak penghasilan atas transaksi aset kripto. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pemenuhan asas kepastian hukum dalam pengenaan pajak atas transaksi NFT dan permasalahan yang dihadapi pemerintah dalam pengenaan pajaknya. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan post-positivisme dengan teknik pengumpulan data melalui studi literatur dan wawancara mendalam. Hasil penelitian ini adalah pemungutan pajak penghasilan atas transaksi NFT belum sepenuhnya memenuhi asas kepastian hukum. Adapun indikator yang belum memenuhi kepastian hukum yaitu materi/objek, subjek, pendefinisian dengan menggunakan tafsiran otentik, penyempitan/perluasan materi, dan ruang lingkup. Selain itu, dalam praktik implementasinya permasalahan yang dihadapi pemerintah adalah kepatuhan pajak dan perkembangan variasi transaksi NFT.

The background of this research is that there are differences in recognition of income objects for non-fungible token (NFT) transactions between taxpayers and the Directorate General of Taxes. Then, in March 2022, the government issued PMK 68/2022, which regulates income tax on crypto-asset transactions. This study aims to analyze the fulfillment of the principle of legal certainty in collecting taxes on NFT transactions and the problems faced by the government in levying taxes. The approach used in this study is a post-positivism approach with data collection techniques through literature studies and in-depth interviews. This study's results show that the income tax collection on NFT transactions still needs to comply with the certainty of law principle fully. The indicators that have not met a certainty of law principle are material/object, subject, definition using authentic interpretation, narrowing/expanding material, and scope. Apart from that, in practice, the problems faced by the government are tax compliance and the development of variations in NFT transactions."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Satria Dhanthes
"Penelitian ini membahas objek pemotongan Pajak Penghasilan (PPh) atas jasa konstruksi ditinjau dari asas kepastian hukum. Penelitian ini mengangkat dua permasalahan, yakni perbedaan pemajakan atas penghasilan dari jasa konstruksi yang bersifat final dan tidak final dan dampak perbedaan pemotongan PPh atas jasa konstruksi. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif.
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa terdapat pemajakan ganda atas penghasilan dari jasa konstruksi yang memiliki sifat pemajakan yang berbeda. Perbedaan pemotongan PPh atas jasa konstruksi yang diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan menimbulkan keraguan dalam pelaksanaannya.

This study discusses the object of withholding income tax (PPh) on construction service seen from certainty principle. This research raised two issues, namely the differences of global taxation and schedular taxation on construction service fee and the impact of the different from withholding income tax on construction service. This research using qualitative approach with desciriptive design.
This research states that there is double taxation on construction service fee wich have different characteristic in withholding income tax. The different characteristic in withholding income tax on construction service in Indonesia Income Tax Law appear the ambiguous tax in its implementation.
"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2014
S61275
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarisa Khairunnisa
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis interpretasi hukum terhadap imbalan dalam bentuk kenikmatan yang mengalami perubahan melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dalam klaster pajak penghasilan, dengan penekanan pada aspek kepastian hukum. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah paradigma post-positivist. Teknik pengumpulan data yang digunakan meliputi studi pustaka dan wawancara mendalam. Hasil penelitian ini mengungkapkan kesimpulan berdasarkan 6 (enam) dimensi kepastian hukum, yaitu (1) dimensi materi/objek hukum belum mampu memberikan kepastian hukum yang memadai; (2) dimensi subjek hukum memberikan kepastian hukum yang memadai, (3) dimensi pendefinisian belum memberikan kepastian hukum, (4) dimensi perluasan/penyempitan juga belum memberikan kepastian hukum, (5) dimensi ruang lingkup belum memberikan kepastian hukum, dan (6) dimensi penggunaan bahasa hukum masih belum mampu memberikan kepastian hukum. Berdasarkan temuan penelitian ini, terlihat bahwa kebijakan pajak penghasilan terbaru terkait imbalan kenikmatan belum mampu memberikan kepastian hukum, sehingga berpotensi menimbulkan sengketa pajak dalam implementasinya. Oleh karena itu, disarankan agar muatan undang-undang lebih diperjelas dan disempurnakan melalui regulasi perpajakan yang berkaitan dengan imbalan kenikmatan, guna memberikan kepastian hukum yang lebih baik. Dengan meningkatkan kejelasan hukum, para pengambil kebijakan dapat menciptakan lingkungan perpajakan yang stabil dan dapat diprediksi, yang menguntungkan baik bagi para wajib pajak maupun administrasi perpajakan. Memperkuat kerangka hukum akan mengurangi potensi sengketa yang berlarut-larut dan berkontribusi pada pembangunan sistem perpajakan yang adil dan efektif.

The objective of this research is to comprehensively analyze the legal interpretation of benefits in the form of perks, which have undergone modifications as a result of the enactment of the Harmonization of Tax Regulation Act in the income tax cluster, with a specific focus on establishing the extent of legal certainty. Employing a post-positivist paradigm, the study employs a combination of literature review and in-depth interviews as data collection techniques. The research findings shed light on the six dimensions of legal certainty. Firstly, the material/legal object dimension fails to provide the required level of legal certainty. Secondly, while the legal subject dimension achieves a satisfactory level of legal certainty, shortcomings are observed in other dimensions. Thirdly, the definition dimension lacks the necessary legal certainty. Fourthly, both the expansion/narrowing dimension and the scope dimension exhibit inadequacies in ensuring legal certainty. Lastly, the utilization of legal language dimension falls short in establishing legal certainty. Based on these research outcomes, it becomes apparent that the latest income tax policy concerning perks fails to guarantee legal certainty, which in turn may lead to tax disputes during implementation. Consequently, it is strongly recommended to clarify and enhance tax regulations pertaining to perks to ensure a higher level of legal certainty. By fostering improved legal clarity, policymakers can cultivate a stable and predictable tax environment that benefits both taxpayers and tax authorities. Strengthening the legal framework will reduce the likelihood of protracted disputes and contribute to the development of an equitable and effective tax system."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miggi Sahabati
"Tesis ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan mengenai Perjanjian Nominee dalam ketentuan hukum di Indonesia; menganalisis sejauh mana ketentuan hukum di Indonesia dapat memberikan kepastian hukum bagi pihak pemberi kuasa dalam Perjanjian Nominee; dan untuk mengetahui apakah dalam pengembangan investasi Indonesia Perjanjian Nominee dapat menjadi suatu alternatif yang menguntungkan, mengingat kerjasama internasional antar negara telah menjadi suatu kebutuhan dalam perekonomian dunia. Penelitian ini bersifat kepustakaan dengan metode yang digunakan adalah metode penelitian normatif. Adapun berdasarkan uraian latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian serta berdasarkan hasil analisis dalam penelitian dapat dikemukakan kesimpulan bahwa pada dasarnya Perjanjian Nominee sebagai salah satu bentuk dari Perjanjian Innominaat tidak diatur secara tegas dan khusus. Namun dalam pelaksanaannya Perjanjian Innominaat harus tunduk pada ketentuan-ketentuan dalam Buku III KUHPerdata termasuk asas-asas yang terkandung di dalam KUHPerdata yang berkaitan dengan Hukum Perjanjian. Sehingga untuk memberikan kepastian hukum bagi pihak pemberi kuasa dalam Perjanjian Nominee perlu diperhatikan asas pacta sunt servanda, prinsip itikad baik, konsep ?sebab yang halal?, dan perjanjian tambahan lainnya yang diperlukan untuk meng-eliminate tingkat risiko yang akan timbul. Di samping itu, Perjanjian Nominee dapat menjadi suatu alternatif yang menguntungkan bagi Indonesia untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berasal dari penanaman modal asing. Hal ini terlihat dari masih adanya praktik Nominee di wilayah Indonesia, khususnya dalam bidang pariwisata. Dengan demikian, meskipun saat ini Undang-undang Penanaman Modal telah cukup memberi insentif bagi para investor asing, namun perlu untuk dipertimbangkan adanya konsep Nominee di Indonesia khususnya bagi sektor pariwisata, agar Indonesia dapat bersaing dengan negara ? negara lainnya dalam bidang investasi. Hal ini juga menjadi dasar pertimbangan perlunya dibuat suatu ketentuan tambahan yang mengatur mengenai Perjanjian Nominee dalam hukum Indonesia, serta perlunya dilakukan suatu kajian atas pelaksanaan investasi di negara lain yang menggunakan konsep Nominee sebagai perbandingan dan pembelajaran bagi sistem investasi di Indonesia.

This Thesis aims to understand on Nominee Agreement arrangement within Indonesia law provisions; to analize the extent of Indonesia law in giving legal certainty for the beneficiary of Nominee Agreement; and to understand whether Nominee Agreement can be a viable alternative for investment growth in Indonesia, which taken from a consideration that international cooperation among countries has become a necessity in worldwide economy. This research is a literature-based, with normative research methode applied. As describe by the back ground, problem formulation, research purpose and analysis of this research, it is conclude that basically Nominee Agreement is one of Innominaat Agreement forms which is not specificly and explicitly regulated. Though in practise Innominaat Agreement should be in accordance to the provisions of Book III of Indonesia Civil Law including its principles which related to Agreement Law. Thus to provide legal certainty to beneficiary party in the Nominee Agreement, we need to emphasize on sunt servada pact, goodwill principle, ?legal cause? concept, and other required additional agreement to eliminate the degree of risk arises.Thus, although Investment Law has currently provide enough incentives to foreign investors, however it is necessary to consider the existance of Nominee in Indonesia especially for tourism sector, in order for Indonesia to compete with other countries in investment area. The aforementioned thing also become one of the basic consideration on the necessity to construe an additional provision in regulating Nominee Agreement in Indonesian Law, also the necessity to conduct a study on the implementation of investment in other countries which use the concept of Nominee as a comparison to and lesson for Indonesia investment system."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28910
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hafid Rahmadi
"Peraturan PER-31/PJ/2012 tidak mencantumkan kata ?magang? seperti yang ditetapkan pada PER-31/PJ/2009. Oleh sebab itu, penerima penghasilan magang dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) golongan, hal ini berarti bertentangan dengan asas kepastian hukum karena memiliki penafsiran yang berbeda (Nurmantu, 1994:110). Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 atas penghasilan magang ditinjau dari asas kepastian hukum dan untuk menganalisis pengenaan PPh Pasal 21 yang benar atas penghasilan magang. Demi menjawab pokok permasalahan, penelitian menggunakan teori asas kepastian hukum yang dicetuskan oleh Mansury (1996:5) sebagai tolak ukur pengujian. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, dengan jenis penelitian deskriptif dan teknik pengumpulan data wawancara mendalam. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pengenaan PPh Pasal 21 atas penghasilan peserta magang belum memenuhi asas kepastian hukum. Pengenaan PPh Pasal 21 yang benar atas penghasilan magang yaitu mengklasifikasikan penerima penghasilan magang sebagai Pegawai Tidak Tetap.

PER-31/PJ/2012 regulation doesn?t mention ?internship? word as mentioned in PER-31/PJ/2009. Therefore, internship employee could be classified into 3 (three) categories, this means a contradiction to certainty principle (Nurmantu, 1994:110). This research aims to analyze the mechanism of withholding income tax Article 21 on the internship income based on certainty principle and to analyze the correct withholding tax of internship income. This research used certainty principle (Mansury, 1996:5) to answer the main issues. This descriptive research used quantitative approach with in depth interview as data collection technique. Result of this research is withholding tax Article 21 of internship income still has a contradiction to legal certainty principle. The correct income tax Article 21 imposition on internship income is classified internship employee as Temporary Employee."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2014
S57350
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ricky Joseph Martua
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerapan asas kepastian hukum dalam pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian listrik swasta oleh PT PLN (Persero) serta dampak-dampak yang ditimbulkan bagi Independent Power Producer (IPP) dan PT PLN (Persero). Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data berupa wawancara mendalam dan studi literatur.
Adapun hasil dari penelitian ini adalah pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian listrik swasta oleh PT PLN (Persero) belum memenuhi asas kepastian hukum. Selain itu, pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas pembelian listrik tersebut menimbulkan beban material pada IPP dan PT PLN (Persero).

This study aims to analyze the application of the certainty of law principle in the collection of Income Tax Article 22 on the purchase of private electricity by PT PLN (Persero) and the impacts on the Independent Power Producer (IPP) and PT PLN (Persero). This research uses descriptive quantitative research approaches and data collection techniques such as depth interviews and literature reviews.
The result of this research is the collection of Income Tax Article 22 on the purchase of private electricity by PT PLN (Persero) does not meet the requirements of certainty of law principle. In addition, the collection of Income Tax Article 22 on the purchase of private electricity raises the material costs for the IPP and PT PLN (Persero).
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S63763
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Yudha Wijaya Putra
"Skripsi ini menganalisis sengketa pajak yang terjadi diantara Direktorat Jenderal Pajak dengan KSO ABC terkait penentuan tanggal pembuatan faktur pajak. Sengketa pajak tersebut timbul disebabkan oleh perbedaan interpretasi dalam menafsirkan frasa “menyampaikan tagihan” yang termuat di dalam Pasal 2 ayat (1) huruf d PER DJP 24/2012. Adanya sengketa pajak tersebut, mengindikasikan bahwa terdapat ketidakselarasan antara peraturan dengan teori sehingga menimbulkan permasalahan pada praktiknya. Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mendalam mengenai kasus sengketa pajak tersebut yang ditinjau berdasarkan asas kepastian hukum dan asas substance over form. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan melakukan penalaran secara induktif. Berdasarkan tujuan dan manfaatnya penelitian ini tergolong kedalam penelitian deskriptif dan murni. Hasil dari penelitian adalah frasa “menyampaikan tagihan” pada peraturan tersebut kurang memiliki kepastian hukum, karena pada praktiknya peraturan tersebut menimbulkan perbedaan penafsiran antara fiskus dengan wajib pajak, hingga memunculkan sengketa Banding di Pengadilan Pajak. Ditinjau berdasarkan asas substance over form frasa “menyampaikan tagihan” yang menimbulkan multitafsir, dapat dianalisis menggunaka metode textualism yang mengacu pada makna katanya. KBBI digunakan sebagai dasar acuan untuk melihat makna kata dari Frasa “tagihan”, frasa tersebut bermakna hasil menagih atau uang dan sebagainya yang harus ditagih. Dengan demikian, menyampaikan tagihan harus dikaitkan dengan dokumen yang memuat sejumlah uang yang ditagih, sehingga pada saat tersebut KSO ABC harus membuat faktur pajaknya.

This thesis analyzes tax disputes that occur between the Directorate General of Taxes and KSO ABC regarding the determination of the date of making tax invoices. The tax dispute arose due to differences in interpretation in interpreting the phrase "conveying bills" contained in Article 2 paragraph (1) letter d of the DGT Regulation 24/2012. The existence of the tax dispute indicates that there is a misalignment between the regulations and theories, causing problems in practice. Researchers are interested in conducting in-depth research on the tax dispute case which is reviewed based on the principle of legal certainty and the principle of substance over form. This research uses a qualitative approach by conducting reasoning inductively. Based on its purpose and benefits, this research is classified as descriptive and pure research. The result of the study is that the phrase "conveying bills" in the regulation lacks legal certainty, because in practice the regulation creates differences in interpretation between the fiscus and the taxpayer, giving rise to an Appeal dispute in the Tax Court. Reviewed based on the principle of substance over form the phrase "conveying the bill" that gives rise to multiple interpretations, it can be analyzed using the method of textualism which refers to the meaning of the word. KBBI is used as a reference basis to see the meaning of the word from the phrase "bill", the phrase means the result of billing or money and so on that must be billed. Thus, conveying the bill must be associated with a document containing the amount of money billed, so at that time the ABC KSO must make its tax invoice."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>