Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 92245 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lisa Surianti Sutomy
"Pengaturan cuti dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 Tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) yang tidak secara jelas diatur menunjukan keberadaan undang-undang tersebut tidak mengatur mengenai cuti, terlebih pengaturannya justru masih menginduk pada undang-undang sebelumnya. Hal tersebut pula menunjukan adanya kelemahan dalam UU ASN. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ketiadaan pengaturan cuti dalam UU ASN berkaitan dengan hak kepegawaian, serta menganalisis pelaksanaan ketentuan cuti dengan ketiadaan pengaturan dalam UU ASN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu menggambarkan fenomena yang melekat permasalahan. Pendekatan yuridis normatif dilakukan untuk menjawab permasalahan hukum dengan pendekatan atas norma atau kaidah yang didalamnya juga termasuk juga peraturan perundang-undangan. Penelitian bersifat deskriptif analisis dengan analisis menggunakan metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa ketiadaan pengaturan cuti dalam UU ASN yang secara formal tidak mendapat pengaturan mengenai cuti dan hanya mengaitkan keberadaan cuti dengan alasan yuridis keberadaan Pasal 75, yang menyatakan keberadaan aturan yang terdapat dalam UU ASN beserta aturan turunannya. Hasil lain dari penelitian ini adalah cuti adalah sebuh hak yang pelaksanaannya harus diatur dalam undang-undang ASN. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah tidaklah benar ketiadaan cuti dalam UU ASN, serta ketiadaan tersebut akan menghilangkan kepastian hukum.

The regulation of leave in Law Number 20 of 2023 concerning the State Civil Apparatus (UU ASN) which is not clearly regulated shows that the existence of the Law does not regulate leave, moreover the regulation is still subordinate to the previous law. This also shows weaknesses in the ASN Law. This study aims to analyze the absence of leave regulations in the ASN Law relating to employee rights, as well as to analyze the implementation of leave provisions with the absence of regulations in the ASN Law. This research is a descriptive study, namely describing the phenomenon that is inherent in the problem. A normative legal approach is carried out to answer legal problems with an approach to norms or rules which also include laws and regulations. The research is descriptive analysis with analysis using qualitative methods. The results of the study show that the absence of leave regulations in the ASN Law which formally does not receive regulations regarding leave and only links the existence of leave with the legal reasons for the existence of Article 75, which states the existence of regulations contained in the ASN Law and its derivative regulations. Another result of this study is that leave is a right whose implementation must be regulated in the ASN law. The conclusion in this study is that it is not true that there is no leave in the ASN Law, and its absence will eliminate legal certainty."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Monica Octavianne Risti
"ABSTRAK
Hak cuti melahirkan dan hak cuti haid merupakan dua hak terhadap kesehatan reproduksi yang secara adikodrati melekat pada kondisi biologis perempuan. Posisi kedua hak tersebut telah diakomodasi dalam instrumen hukum di tataran internasional maupun nasional. Penelitian ini menggunakan metode sosio-legal menelaah implementasi pemenuhan hak cuti melahirkan dan hak cuti haid bagi profesi perawat yang bekerja di Rumah Sakit Umum Daerah RSUD Kota Bogor. Instrumen hukum hak cuti melahirkan dan cuti haid diklasifikan menurut status kepegawaian perawat yang dibagi menjadi perawat Aparatur Sipil Negara ASN dan perawat non-ASN. Bagi jenis hak cuti melahirkan, Perawat ASN telah diakomodasi oleh instrumen Pasal 325-327 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil sedangkan perawat non-ASN dapat merujuk pada pengaturan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun, permasalahan pemenuhan hak cuti melahirkan bagi perawat di RSUD Bogor terletak pada periode pengambilan cuti. Sedangkan bagi hak cuti haid, kekosongan hukum ditemui dalam pengaturan bagi perawat ASN dimana Undang-Undang Aparatur Sipil Negara beserta peraturan turunannya tidak mengatur hak cuti haid. Di satu sisi, pengaturan cuti haid bagi perawat non-ASN mengandung inkonsistensi dalam tingkat Peraturan Daerah. Dalam tataran implementatif, cuti haid sering pula diperlakukan hanya sebagai cuti sakit, sehingga menghilangkan kekhasan filosofis urgensi cuti haid dalam siklus alamiah mensutrasi dalam realitas biologis perempuan. Penemuan tersebut turut disertai oleh minimnya pengetahuan perawat perempuan terhadap eksisten hak cuti haid sebagai salah satu hak pekerja serta penyamarataan lsquo;subjek rsquo; perawat ASN dengan perawat non-ASN oleh pihak manajemen RSUD Bogor yang pada akhirnya meniadakan instrumen cuti haid bagi perawat non-ASN.

ABSTRACT
Menstrual leave and Maternity leave are rights regarding women reproductive health that attached to the biological conditions of women and these rights has been accommodated in international and national legal instruments. The purpose of this research, through socio legal methods, is to examine the implementation of maternity leave and menstrual leave rights for the nurses whose working in the General Hospital of Bogor City RSUD . The legal instruments use for maternity leave and menstrual leave can be classified based on their employment status, which divided into Nurses as a civil servant ASN and non civil servant nurses Non ASN nurses . For the maternity leave ASN Nurses has been accommodated by Article 325 327 of Government Regulation Number 11 of 2017 regarding Civil Servant Management while for non ASN nurses has been regulated through Article 81 of Law Number 13 of 2003 regarding Labor Law. However, there are issues in the implementation of maternity leave for nurses in RSUD Bogor, which lies in the period of the leave. While for Menstrual leave, there has been no legal basis for ASN nurses to have such right, because The Civil State Apparatus Act and its derivative regulations do not regulate such rights. While menstrual leave for non ASN nurses has inconsistencies within the level of Regional Regulations and its implementation. On the implementation, menstrual leave is often treated as a sick leave, thus eliminating the philosophical uniqueness of menstrual leave as the natural cycle of menstruation as part of the biological reality of women. Also based on the findings, there are several other issues, the lack of knowledge by the female nurses of the existence of the menstrual leave as part of the workers 39 rights, also the over generalization of the 39 subject 39 of the nurses over their employment status as ASN nurses and non ASN nurses by the management of RSUD Bogor which ultimately abolished the menstrual leave for non ASN nurses. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siagian, Nicholas Martua
"

Aparatur Sipil Negara sebagai profesi yang memiliki kewajiban mengelola dan mengembangkan dirinya dan wajib mempertanggungjawabkan kinerjanya dan menerapkan prinsip merit dalam pelaksanaan manajemen aparatur sipil negara. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 pengawasan sistem merit dilaksanakan oleh Komisi Aparatur Sipil Negara. Pengawasan tersebut diharapkan dapat mewujudkan aparatur sipil negara yang memiliki integritas, profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Era berikutnya adalah adanya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014, perubahan signifikan dalam tata kelola aparatur sipil negara di Indonesia terjadi dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023, yaitu menghapus keberadaan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Pasal dalam undang-undang baru tersebut semakin memperjelas bahwa hilangnya keberadaan KASN, bahkan tinggal menunggu terbitnya peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023. Padahal salah satu pokok pengaturan dalam undang-undang baru tersebut adalah penguatan pengawasan sistem merit.

 


The State Civil Apparatus as a profession has the obligation to manage and develop itself and is obliged to be accountable for its performance and apply the merit principle in the implementation of state civil apparatus management. In Law Number 5 Year 2014, the supervision of the merit system is carried out by the State Civil Apparatus Commission. The supervision is expected to realize a state civil apparatus that has integrity, is professional, neutral and free from political intervention, clean from corrupt practices, collusion, and nepotism, and is able to organize public services for the community and be able to carry out the role as an adhesive element of national unity and integrity based on Pancasila and the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. The next era was the revision of Law Number 5 Year 2014, a significant change in the governance of the state civil apparatus in Indonesia occurred with the enactment of Law Number 20 Year 2023, which abolished the existence of the State Civil Apparatus Commission (KASN). The article in the new law makes it clear that the disappearance of KASN's existence is just waiting for the issuance of implementing regulations from Law Number 20 of 2023. In fact, one of the main arrangements in the new law is to strengthen the supervision of the merit system.

 

"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theresia Gita Johana
"Dalam iklim usaha penting untuk menciptakan kepastian hukum, termasuk dalam perihal perlindungan terhadap Hak Merek. Praktik trademark squatting terjadi ketika terjadi pendaftaran merek oleh seorang individu atas merek yang bukan miliknya dengan maksud dijual kembali kepada pemilik merek yang sah tersebut. Terkait hal tersebut terdapat dua pokok permasalah yaitu mengenai bagaimana perlindungan hukum bagi Hak Merek dari praktik trademark squatting dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2016 Tentang Merek dan Indikasi Geografi dan bagaimana perbandingannya dengan pengaturan secara internasional dan di Rusia, Republik Rakyat Cina dan Amerika Serikat dengan metode penelitian yuridis-normatif. Walaupun istilah trademark squatting tidak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016, namun pada dasarnya suatu merek dapat memperoleh perlindungan dari praktik trademark squatting dengan adanya konsep merek terkenal,
In business it is important to create legal certainty, including regarding the protection of trademark rights. The practice of trademark squatting occurs when an individual register and obtain the trademark rights of other parties with the intention of reselling the registered trademark rights to the actual owner of the trademark. Regarding this matter, there are two main issues in this researc, about the legal protection for trademark rights from the practice of trademark squatting in Law Number 20 of 2016 concerning Trademark and Geographical Indications and how it compares to international regulations and regulations in Russia, People’s Republic of China and United States of America. This research is concucted using judicial-normative research methods. Although the term trademark squatting is not known in Law Number 20 Year 2016, basically a trademark can get protection from the practice of trademark squatting by using the concept of well-known marks, bad faith, and non-use marks."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Demetrio Reinhart Priono
"Penerapan sanksi pidana denda atas pelanggaran hukum memiliki sejarah panjang, di mana setiap peradaban dan budaya memiliki bentuk hukuman sendiri untuk pelanggaran hukum. Pemidanaan, yang identik dengan pemberian hukuman, mengacu pada penderitaan yang sengaja diberikan kepada individu yang melanggar hukum, sebagaimana didefinisikan oleh para ahli hukum. Penelitian ini mengkaji penerapan pidana denda dalam tindak pidana persaingan usaha di Indonesia setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023, yang menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas pidana denda sebagai instrumen hukum dalam menegakkan persaingan usaha yang sehat serta implikasi hukum dari perubahan regulasi tersebut. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan studi kasus. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 telah menyebabkan dekriminalisasi terhadap beberapa tindak pidana persaingan usaha, mengalihkan pendekatan dari penegakan pidana ke penegakan administratif. Dekriminalisasi ini bermasalah karena berpotensi mengurangi efek jera yang dapat diberikan oleh sanksi pidana, termasuk denda. Penegakan pidana yang efektif dapat memiliki efek jera yang signifikan terhadap pelanggar, seperti yang dibuktikan oleh praktik di yurisdiksi lain seperti Amerika Serikat. Potensi denda sebagai alat penegakan hukum yang kuat belum sepenuhnya dioptimalkan dalam kerangka regulasi baru ini. Penelitian ini menyimpulkan bahwa sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023, pendekatan penegakan hukum pidana dalam persaingan usaha telah bergeser, lebih memilih penegakan administratif daripada sanksi pidana. Dekriminalisasi ini dianggap kurang menguntungkan karena penegakan pidana yang efektif, termasuk denda, dapat memberikan efek jera yang signifikan, seperti yang dibuktikan oleh praktik di Amerika Serikat. Selain itu, potensi denda sebagai alat penegakan hukum yang kuat belum sepenuhnya dioptimalkan. Rekomendasi penelitian ini termasuk tinjauan lebih mendalam oleh pemerintah mengenai potensi re-kriminalisasi terhadap tindak pidana persaingan usaha yang serius, terutama kartel hardcore seperti penetapan harga, pembatasan produksi, dan pembagian pasar. Selain itu, perlu ada evaluasi mekanisme saat ini untuk menghitung denda dan menghapus batas maksimum denda untuk meningkatkan kepatuhan dan menciptakan lingkungan usaha yang lebih kompetitif dan adil di Indonesia.

The imposition of criminal fines for legal violations has a long history, with each civilization and culture having its own forms of punishment for such violations. Penalization, synonymous with sentencing, refers to the suffering intentionally imposed on individuals who break the law, as defined by legal experts. This study examines the application of criminal fines in business competition offenses in Indonesia following the enactment of Law No. 6 of 2023, which established the Government Regulation in Lieu of Law No. 2 of 2022 on Job Creation as law. The research aims to analyze the effectiveness of criminal fines as a legal instrument in enforcing fair business competition and the legal implications of the regulatory changes. The method used is normative juridical with a legislative and case study approach. The enactment of Law No. 6 of 2023 has led to the decriminalization of certain business competition offenses, shifting the approach from criminal enforcement to administrative enforcement. This decriminalization is problematic as it potentially reduces the deterrent effect that criminal sanctions, including fines, can provide. Effective criminal enforcement can have a significant deterrent effect on violators, as evidenced by practices in other jurisdictions such as the United States. The potential of fines as a powerful enforcement tool has not been fully optimized under the new regulatory framework. The study concludes that since the enactment of Law No. 6 of 2023, the approach to criminal law enforcement in business competition has shifted, favoring administrative enforcement over criminal penalties. This decriminalization is considered less favorable because effective criminal enforcement, including fines, can provide a significant deterrent effect, as evidenced by practices in the United States. Moreover, the potential of fines as a powerful enforcement tool has not been fully optimized. The study's recommendations include a deeper review by the government regarding the potential re-criminalization of serious business competition offenses, especially hardcore cartels such as price-fixing, production limitations, and market division. Additionally, there should be an evaluation of the current mechanisms for calculating fines and removing maximum fine limits to enhance compliance and create a more competitive and fair business environment in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
London: IDS, 2003
R 344.4 MAT
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Rizti Aprillia
"Tesis ini membahas tentang mekanisme ideal pengangkatan pegawai Penghubung Komisi Yudisial. Selama ini status kepegawaian Penghubung adalah pegawai honorer yang tidak diatur dalam UU ASN. Hal itu membuat tidak ada kepastian mengenai hak keperdataan Penghubung, baik mengenai jaminan pendapatan (gaji dan tunjangan), perlindungan, dan pengembangan kompetensi. Kepastian status kepegawaian juga menentukan mekanisme seleksi, pengangkatan dan pemberhentian, pelaksanaan tugas pokok dan fungsi, pola karir, serta mekanisme evaluasi kinerja. Hal ini menarik karena Penghubung Komisi Yudisial sudah terbentuk sejak tahun 2013 di 12 Provinsi, tetapi status kepegawaiannya tidak jelas. Permasalahan yang diangkat adalah urgensi keberadaan Penghubung Komisi Yudisial, Pengaturan status kepegawaian Penghubung Komisi Yudisial, dan mekanisme ideal pengangkatan Penghubung di Komisi Yudisial. Metode penelitian yang digunakan penulis adalah yuridis normatif, menggunakan pendekatan analisis kualitatif, dengan menggunakan penelusuran literatur sebagai studi dokumen pada data sekunder. Adapun hasil penelitian menemukan bahwa keberadaan Penghubung sangat urgen sebagai pembantu pelaksana tugas Komisi Yudisial di daerah. Akan tetapi pengaturan mengenai status kepegawaiannya tidak jelas dan hanya sebagai pegawai honorer. Oleh karena itu Penghubung idealnya adalah menjadi ASN yaitu sebagai PNS. Sementara Penghubung yang tidak memenuhi kualifikasi sebagai PNS, terutama karena syarat usia, maka ditransformasikan sebagai PPPK dengan pengaturan yang mengikuti ketentuan UU ASN dan PP Manajemen PPPK. Tujuannya, agar Penghubung memiliki perlindungan dan kepastian hukum yang jelas. Sebab ketidakjelasan status Penghubung membuat beberapa diantara mereka memilih resign dan memilih pekerjaan lain. Kondisi tersebut tentu sebuah ironi mengingat penghubung bekerja di Komisi Yudisial yang merupakan Lembaga Negara sekaligus entitas pemerintahan. Sebagai entitas pemerintahan yang bekerja dalam rangka memberikan layanan publik seharusnya Penghubung menjadi aparatur sipil Negara dan mengikuti ketentuan dalam UU ASN. Apalagi pekerjaan Penghubung membutuhkan tingkat kerahasiaan tinggi, sehingga status kepegawaian Penghubung juga harus kuat secara formal.

This thesis discusses the ideal mechanism for appointing the Judicial Commission Liaison Employee. So far, the Liaison's employment status is an temporary employee which is not regulated in the ASN Law. This creates no certainty regarding the Liaison's civil rights, both regarding income security (salaries and benefits), protection, and competency development. Certainity of employment status will also determine the selection mechanism, appointment and dismissal, implementation of basic tasks and functions, career patterns, and mechanism of performance evaluations. This is interesting because the Judicial Commission Liaison has been formed since 2013 in 12 Provinces, but the employment status is not clear. The research method used by the author is normative juridical, using a qualitative analysis approach, and using literature search as a document study on secondary data. The study results found that the existence of liaisons is very urgent as assistants implementing the duties of the Judicial Commission in the regions. However, the regulation regarding their employment status is not clear and they are only a temporary employees. Therefore, ideally the Liaison is to become an ASN, namely as a civil servants (PNS). Meanwhile, Liaisons who do not fulfil the qualifications as civil servants (PNS), mainly because of the age requirement, are transformed into PPPK with arrangements that follow the provisions of the ASN Law and PP Manajemen PPPK. In order to have clear protection and legal certainty. Because the unclear status of the Liaisons made some of them choose to resign and moved to other jobs. This condition is certainly an irony considering that the Liaison works in the Judicial Commission which is a State Institution as well as a government entity in a broad sense. As a government entity that works in the context of providing public services, the Liaison should become a state civil apparatus and follow the provisions of the ASN Law. Moreover, Liaison job requires a high degree of confidentiality, so the Liaison's employment status must also be formally strong."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Adnan
"ABSTRAK
Pada tanggal 15 Januari 2014 telah diundangkan Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Dengan berlakunya undang-undang tersebut telah terjadi pula perubahan komposisi kelembagaan yang mengurusi urusan kepegawaian dan sumber daya aparatur negara yaitu, i Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi ldquo;Kemenpan-RB rdquo; , yang berwenang dalam perumusan dan penetapan kebijakan, koordinasi dan sinkronisasi kebijakan, serta pengawasan atas pelaksanaan kebijakan ASN; ii Komisi Aparatur Sipil Negara ldquo;KASN rdquo; yang berwenang dalam monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan Manajemen ASN untuk menjamin terwujudnya Sistem Merit serta pengawasan terhadap penerapan asas serta kode etik dan kode perilaku ASN; iii Lembaga Administrasi Negara ldquo;LAN rdquo; yang berwenang dalam penelitian, pengkajian kebijakan Manajemen ASN, pembinaan, dan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan ASN; dan iv Badan Kepegawaian Negara ldquo;BKN rdquo; yang berwenang dalam penyelenggaraan Manajemen ASN, pengawasan dan pengendalian pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria Manajemen ASN. Namun dalam penerapan Manajemen ASN masih jauh dari kata sempurna. Hal ini terjadi karena masih banyak terdapat penyimpangan-penyimpangan yang terjadi baik dari lembaga pemerintah, Aparatur Sipil Negara itu sendiri, maupun Pejabat daerah terkait.
ABSTRACT
Law No. 5 of 2014 concerning on State Civil Apparatus ldquo State Civil Apparatus Law rdquo has became effective since15 January 2014. The effectiveness of this State Civil Apparatus Law changed the organizational composition that will be taking care of the personnel affairs and resources of the state apparatus which are, i The Ministry of Administrative and Bureaucratic Reform Komisi Aparatur Sipil Negara or ldquo Kemenpan RB rdquo , that authorized in the policies formulation and stipulation, coordination, synchronization, and supervision of policies implementation ASN ii State Civil Apparatus Commission Komisi Aparatur Sipil Negara ldquo KASN rdquo , that authorized in the monitoring and evaluation of the implementation of ASN Management and Policy to ensure the realization of merit system along with the supervision of the application of ASN rsquo s principles and codes of conduct iii Public Administration Institute Lembaga Administrasi Negeara or ldquo LAN rdquo , that authorized in conducting research, ASN Management policy review, and ASN coaching and training iv State Personnel Board Badan Kepegawaian Negara or ldquo BKN rdquo that authorized in the implementation of ASN Management, conducting supervision and control of the norms, standards, procedure, and criteria of ASN Management. However, the application and implementation of the ASN Management itself is still far from the word of perfect. This happens because there are still many of deviations occur either from the government agencies, or the ASN itself, as well as the related local officials. "
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sirait, Sunggul Hamonangan
"ABSTRAK
Tesis ini membahas pembatasan hak-hak politik ASN (PNS) dalam Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN. Sebagai warga negara Indonesia, maka ASN juga mempunyai hak-hak sipil dan poitik yang dilindungi oleh konstitusi. Seorang ASN tidak dapat menjadi pengurus suatu partai politik namun untuk menggunakan hak politiknya dalam pemilu yaitu hak dipilih dan memilih untuk jabatan politik/publik adalah dilindungi konstitusi. Pengisian jabatan politik oleh seorang ASN melalui mekanisme pemilu adalah suatu yang wajar dan terlindungi sepanjang dilakukan dengan itikad baik dan melalui mekanisme yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Seorang ASN mempunyai hak politik dan hak konstitusional jika ingin maju sebagai Presiden dan Wakil Presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah; gubernur dan wakil gubernur; bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota. Sehingga seharusnya tidak ada perbedaan perlakuan antara profesi seorang ASN dengan profesi lainnya, misalnya Advokat, Notaris, Dokter, dan lain-lain dalam pengisian jabatan-jabatan publik. Namun dengan berlakunya UU No. 5 tahun 2014 Tentang ASN tersebut, telah membatasi hak seorang ASN dalam mempergunakan haknya sebagai warga negara yang ingin berpartisipasi dalam mengisi jabatan-jabatan publik dengan diwajibkannya seorang ASN untuk menyatakan mengundurkan diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon. Dengan demikian ketentuan Pasal 119 dan pasal 123 ayat (3) UU No. 5 Tahun 2014, yang membedakan profesi seorang ASN dengan Profesi lainnya bersifat diskriminatif, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28i ayat (2) UUD 1945. Padahal, dalam kedudukannya sebagai warga negara maka ASN juga mempunyai hak-hak asasi manusia yang dilindungi oleh konstitusi. Ada beberapa hak asasi manusia yang dimiliki oleh ASN sebagai warga negara dan ada pula hak-hak politik yang melekat pada individu ASN tersebut, namun dengan berlakunya Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU No. 5 Tahun 2014 hak-hak tersebut menjadi dibatasi dan melanggar hak asasi maupun hak politik ASN.

ABSTRACT
This thesis discusses restrictions on political rights ASN (PNS) of Article 119 and Article 123 paragraph (3) of Act No. 5 In 2014 about ASN. As a citizen of Indonesia, the ASN also have civil rights and political exclusion that is protected by the constitution. An ASN can not take charge of a political party but to use their political rights in the election, namely the right of elected and to vote for political office / public are constitutionally protected. Charging political office by an ASN through the mechanism of elections is a natural and protected all done in good faith and through the mechanisms set out in the legislation. An ASN having political rights and constitutional rights if it is to go forward as President and Vice President; chairman, deputy chairman and members of the House of Representatives; chairman, deputy chairman and members of the Regional Representative Council; governor and vice governor; regent / mayor and deputy regent / deputy mayor. So there should be no difference in treatment between an ASN profession with other professions, for example Advocate, Notary, doctors, and others in filling public positions. However, with the enactment of Law No. 5 2014 On the ASN, has limited rights to use the ASN in their rights as citizens who wish to participate in filling public positions with an ASN mandatory to declare in writing to resign as a civil servant since registering as a candidate. Thus the provisions of Article 119 and Article 123 paragraph (3) of Act No. 5 In 2014, the ASN distinguishes a profession with other professions is discriminatory, contrary to Article 28D paragraph (1), Article 28i paragraph (2) of the 1945 Constitution In fact, in his capacity as a citizen, the ASN also has rights human rights is protected by the constitution. There are some human rights that are owned by the ASN as citizens and some political rights attached to the ASN individual, but with the application of Article 119 and Article 123 paragraph (3) of Act No. 5 In 2014 these rights be restricted and violated the human rights and political rights ASN.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2016
T44849
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Setiowati
"Pegawai negeri mempunyai peranan yang sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam mencapai tujuan negara. Pegawai negeri merupakan unsur aparatur negara untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan dalam rangka mencapai tujuan negara. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2015 tentang Aparatur Sipil Negara memiliki sistem pola karier terbuka yang membawa konsekuensi pada terbukanya lowongan jabatan administrasi, fungsional dan jabatan pimpinan tinggi yang tidak hanya dapat diisi oleh PNS tetapi juga oleh kalangan non PNS seperti pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja. Kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pejabat selain pejabat pimpinan tinggi utama dan madya pada pemerintah Provinsi DKI Jakarta diemban oleh Gubernur DKI Jakarta sebagai pejabat pembina kepegawaian daerah Provinsi. Besarnya kekuasaan, jika tanpa pengawasan tentu saja dapat mengundang kesewenang-wenangan, karena setiap kekuasaan cenderung untuk disalahgunakan, dan kekuasaan yang absolut pasti disalahgunakan. Untuk menjamin tegaknya hukum dan keadilan kepada setiap pegawai negeri sipil dalam hal pengembangan kariernya, pengawasan mutlak diperlukan.

Civil servants have a very important role in governance in achieving the objectives of the state. Civil servants are elements of the state apparatus to run the administration and development in order to achieve the objectives of the state. Law No. 5 of 2015 on Civil Administrative State has a system of open career patterns that have consequences on the opening of a vacancy administrative, functional and high leadership positions who not only can be filled by civil servants but also among noncivil servants such as government employees with a work contract. Establishes authority appointment, transfer and dismissal of officials in addition to officials and mid-level leaders of the main high on the Jakarta provincial government assumed by the Governor of Jakarta as the official provincial staff development. The amount of power, if unattended can certainly invite arbitrariness, because power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely. To ensure the enforcement of law and justice to every civil servants in terms of career development, oversight is absolutely necessary."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T43951
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>