Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17063 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Cohen, Misha Ruth
New York: ST Martin's Grifin, 2000
616.362 3 COH h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Qurratu Ayunin
"Jumlah infeksi baru HIV di Indonesia masih tinggi yaitu mencapai 46.000 dan jumlah kematian yang disebabkan oleh HIV sejumlah 38.000 kematian pada Tahun 2018. Koinfeksi Hepatitis C pada pasien HIV cukup tinggi yaitu berkisar 2-15%.  Penelitian ini bertujuan meneliti pengaruh koinfeksi Hepatitis C terhadap kesintasan pasien HIV yang mendapatkan terapi antiretroviral di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tebet pada tahun 2015-2020. Penelitian dilakukan menggunakan desain kohort retrospekstif dengan analisis kesintasan. Pengambilan data dilakukan secara total sampling yang memenuhi kriteria inklusi sebesar 284 sampel. Data dianalisis secara univariat untuk melihat distribusi frekuensi dari masing-masing variabel penelitian yang diteliti. Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan masing-masing variabel independen dengan kesintasan pasien HIV dengan menggunakan Regresi Cox. Analisis multivariat dilakukan untuk mendapatkan model yang robust dan parsimonius dengan analisis Regresi Cox. Hasil penelitian menjukkan kesintasan kumulatif pasien HIV yaitu 85,4 %. Pengaruh koinfeksi Hepatitis C terhadap kesintasan pasien HIV yang mendapatkan terapi ARV di RSUD Tebet Tahun 2015-2020 didapatkan HR 1,94 (95% CI 0,81-4,6) dengan nilai p: 0,13 setelah dikontrol oleh variabel indeks massa tubuh dan status kerja. Tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik dari koinfeksi Hepatitis C terhadap kesintasan pasien HIV yang mendapatkan terapi ARV di RSUD Tebet Tahun 2015-2020.

The number of new HIV infections in Indonesia is still high, reaching 46,000 and number of deaths caused by HIV is 38,000 in 2018. Hepatitis C coinfection in HIV patients is high, ranging 2-15%. This study aims to examine the effect of Hepatitis C coinfection on survival of HIV patients receiving antiretroviral therapy at RSUD Tebet in 2015-2020. This research used retrospectif cohort design with survival analysis. This study used total sampling as much as 284 HIV patient. Data were analyzed univariately to see the frequency distribution of each variable studied. Bivariate analysis was performed to see the relationship of each independent variable with the survival of HIV patients using Cox Regression. Multivariate analysis was performed to obtain robust and parsimonius models with Cox Regression. The results of research found cumulatif survival of HIV patients in RSUD  Tebet were 85,4 %. The Effect of Hepatitis C Coinfection on Survival HIV Patients Who Receive Antiretroviral Therapy in RSUD Tebet from 2015-2020 had HR 1,94  (95% CI 0,81-4,6) after adjusted with body mass index and working status. There were no corelation from Hepatitis C Coinfection on Survival HIV Patients Who Receive Antiretroviral Therapy in RSUD Tebet from 2015 until 2020."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firiyaliza Aulianisa
"Penyakit hepatitis C menjadi salah satu penyebab utama kerusakan yang fatal pada organ hati (silent epidemic). World Health Organization (WHO) memperkirakan prevalensi pasien hepatitis C kronik sebesar 1,6% dari total populasi dunia atau sekitar 115 juta jiwa dan terdapat penambahan 3-4 juta kasus baru setiap tahunnya. Pengendalian penyakit hepatitis C merupakan strategi yang efektif dan berdampak pada peningkatan kualitas hidup penderita hepatitis C. Penggunaan obat yang rasional dikatakan apabila pasien menerima obat sesuai dengan kebutuhan kliniknya, dosis yang tepat, dan waktu pemakaian terukur. Oleh karena itu pentingnya dilakukan evaluasi penggunaan obat di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati untuk memperoleh gambaran mengenai karakteristik pasien hepatitis C agar memastikan terapi yang diberikan sesuai. Evaluasi penggunaan obat pada pasien hepatitis C di RSUP Fatmawati dilakukan pada periode Januari sampai dengan Agustus 2023 yang diklasifikasikan berdasarkan karakteristik usia yaitu paling banyak terjadi pada kelompok usia 51 – 60 tahun sebanyak 16 kasus (32,65%), jenis kelamin yaitu paling banyak terjadi pada jenis kelamin laki-laki sebanyak 30 kasus (61,22%), serta terapi kombinasi obat dan lama pemberian obat yaitu paling banyak digunakan berupa terapi kombinasi Mydekla® (Daclastavir tab 60 mg) dan Myheb® (Sofosbufir tab 400 mg) dengan lama pemberian 24 minggu sebanyak 22 kasus (44.90%).

Hepatitis C disease is one of the main causes of fatal damage to the liver (silent epidemic). The World Health Organization (WHO) estimates the prevalence of chronic hepatitis C patients at 1.6% of the total world population or around 115 million people and there are an additional 3-4 million new cases each year. Controlling hepatitis C disease is an effective strategy and has an impact on improving the quality of life of hepatitis C patients. Rational drug use is said to be when patients receive drugs according to their clinical needs, the right dose, and the time of use is measured. Therefore, it is important to evaluate drug use at Fatmawati Central General Hospital (RSUP) to obtain an overview of the characteristics of hepatitis C patients in order to ensure that the therapy provided is appropriate. Evaluation of drug use in hepatitis C patients at Fatmawati General Hospital was carried out in the period January to August 2023 which was classified based on age characteristics, namely the most prevalent in the 51-60 years age group as many as 16 cases (32.65%), gender, namely the most prevalent in male gender as many as 30 cases (61.22%), as well as drug combination therapy and duration of drug administration, namely the most widely used combination therapy of Mydekla® (Daclastavir tab 60 mg) and Myheb® (Sofosbufir tab 400 mg) with a duration of 24 weeks as many as 22 cases (44.90%). 90%).
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Henny Saraswati
"Antiretroviral therapy (ART) given to HIV patients to improve their immune response that damaged by HIV infection. Some patients with ART experience Immune Restoration Disease (IRD) as worsening of clinical symptoms from certain pathogens infection. The incidence of IRD concided with an increased number of CD4+ T cells. Hepatitis C virus can also infect HIV patients and may also lead to HCV IRD. The immunopathogenecity of IRD has not known yet. This study aims to look at the function of dendritic cells producing IL-12 and IFNα, and IFNγ-producing T cell responses in incidence of HCV IRD. Research subjects were 50 patients with HIV/HCV who were initiating antiretroviral therapy (ART) for up to 6 months of therapy. There are 9 people with HCV IRD who compared with non HCV IRD patients. Blood specimens were collected from study subjects at months 0, 1, 3 and 6 after ART. Then PBMC isolation was done and used for flowsitometri and ELISpot analysis.
The results showed that the percentage of myeloid (mDC) and plasmacytoid dendritic cells (pDC) did not differ between HCV IRD patients and non-HCV IRD patients. It appears that the percentage of IL-12-producing mDC did not correlate significantly with IFNγ- producing T cells both in HCV IRD and non-IRD HCV patients. The percentage of IL-12-producing mDC in HCV IRD patients were lower than in non-IRD patients (p=0.003). While percentage of IFNα-producing pDC and IFNγ- producing T cells did not differ significantly between the two groups of patients. Antibody response to HCV proteins (core, NS3, NS4, and NS5) did not differ between HCV IRD and non-HCV IRD patients. The role of dendritic cells and T cell responses in HCV IRD incidence have not clearly seen.

Terapi antiretroviral (ART) diberikan kepada pasien HIV akan memperbaiki respon imun tubuh yang rusak karena infeksi HIV. Beberapa pasien dengan ART mengalami sindrom pulih imun atau Immune Restoration Disease (IRD) berupa perburukan gejala klinis dari infeksi patogen tertentu. Kejadian sindrom pulih imun ini terjadi bersamaan dengan peningkatan jumlah sel T CD4+. Virus Hepatitis C yang menjadi patogen penyerta pada pasien HIV juga menjadi penyebab sindrom pulih imun. Belum diketahui dengan jelas imunopatogenesitas dari sindrom pulih imun ini. Penelitian ini bertujuan untuk melihat fungsi sel dendritik penghasil IL-12 dan IFNα, serta respon sel T penghasil IFNγ pada kejadian sindrom pulih imun HCV. Subyek penelitian adalah 50 pasien HIV/HCV yang sedang memulai terapi antiretroviral (ART). Terdapat 9 orang pasien dengan sindrom pulih imun HCV yang dibandingkan dengan pasien tanpa sindrom pulih imun HCV. Spesimen darah lengkap dikumpulkan dari subyek penelitian pada bulan ke-0, 1, 3 dan 6 setelah ART. Kemudian dilakukan isolasi PBMC dan analisis flowsitometri dan ELISpot.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase sel dendritik mieloid (mDC) dan plasmasitoid (pDC) tidak berbeda antara pasien dengan dan tanpa sindrom pulih imun HCV. Persentase sel mDC penghasil IL-12 tidak berkorelasi secara signifikan dengan jumlah sel T penghasil IFNγ baik pada pasien dengan maupun tanpa sindrom pulih imun HCV. Pasien dengan sindrom pulih imun HCV memiliki persentase sel mDC penghasil IL-12 yang lebih rendah dibandingkan pasien tanpa sindrom pulih imun HCV (p=0,003). Sedangkan persentase sel pDC penghasil IFNα dan jumlah sel T penghasil IFNγ tidak berbeda secara signifikan antara kedua kelompok pasien. Respon antibodi terhadap protein HCV (core, NS3, NS4 dan NS5) pun tidak berbeda antara kedua kelompok pasien. Disimpulkan bahwa belum terlihat adanya peran dari sel dendritik dan respon sel T terhadap kejadian sindrom pulih imun HCV."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ina Susianti Timan
"Hepatitis C merupakan penyakit infeksi yang dapat ditemukan di seluruh dunia, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Sekitar 90-95% dari seluruh hepatitis pasca transfusi disebabkan oleh infeksi virus hepatitis C, sedangkan sebagian besar diantaranya cenderung asimptomatik. sehingga kadang-kadang tidak terdeteksi. Sekitar separuh dari penderita tersebut dalam perjalanan penyakitnya akan menjadi hepatitis kronis, dan 20% di antaranya berlanjut menjadi sirosis bahkan karsinoma hepatoseluler. Timbulnya hepatitis C pada transfusi tentunya akan memperburuk kondisi penderita.
Di Indonesia, penggunaan darah dan komponennya dari tahun ke tahun semakin meningkat. Komplikasi utama dari transfusi adalah timbulnya hepatitis pasca transfusi. Pada penderita hemofilia/talasemia seringkali harus berulang kali menerima transfusi darah dan faktor pembekuan, sehingga mempunyai resiko tinggi untuk menderita hepatitis pasca transfusi. Begitu pula para penderita lain yang suatu waktu harus menerima transfusi darah, juga mempunyai resiko yang cukup besar untuk mendapat hepatitis pasca transfusi.
Selain melalui transfusi darah, dilaporkan juga adanya berbagai Cara penularan secara parenteral yang juga sering mengakibatkan seseorang terinfeksi virus hepatitis C, antara lain melalui hemodialisa, transplantasi organ, melalui jarum suntik pada pengguna obat bius, dan lain-lain. Penularan hepatitis C pada penderita hemodialisa tentunya akan mempersulit penanganan penderita tersebut.
Akhir-akhir ini telah banyak dikembangkan tes serologic untuk mendeteksi adanya antibodi HCV yang merupakan petanda infeksi virus hepatitis C. Diharapkan dengan dilakukan penelitian ini penularan virus hepatitis C baik melalui transfusi darah dan komponennya, ataupun secara tidak langsung melalui proses hemodialisa dapat dikurangi."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
I Nyoman Sudirga
"Hepatitis C merupakan penyebab penyakit hati kronik yang penting di seluruh dunia termasuk lndonesia. Diperkirakan terdapat 300 juta pembawa virus hepatitis C di seluruh dunia. Pada penelitian yang dilakukan di Indonesia didapatkan prevalensi anti Hepatitis C Virus (anti HCV) berkisar antara 2,1-2,5%.s Penelitian di Jakarta pada tahun 1990 memperlihatkan prevalensi anti HCV pada hepatitis kronik non B sebesar 80,4%. Hepatitis C merupakan jenis hepatitis dengan gejala k1inis yang ringan tapi dengan tingkat kronisitas dan progresifitas yang tinggi ke arah sirosis. Sekitar 70-80% hepatitis C akut akan menjadi kronik dan 20% akan berkembang menjadi sirosis bati.

Hepatitis C is an important cause of chronic liver disease around the world, including Indonesia. It is estimated that there are 300 million carriers of the hepatitis C virus worldwide. In a study conducted in Indonesia, the prevalence of anti-Hepatitis C Virus (anti-HCV) ranged from 2.1-2.5%.s A study in Jakarta in 1990 showed an anti-HCV prevalence in chronic non-B hepatitis of 80.4%. Hepatitis C is a type of hepatitis with mild k1inis symptoms but with a high degree of chronicity and progression to arabic cirrhosis. About 70-80%. Acute hepatitis C will become chronic and 20% will develop into batic cirrhosis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Femmy Nurul Akbar
"Latar Belakang. Salah satu terapi standar hepatitis C kronik adalah terapi kombinasi interferon alfa (IFN) dan ribavirin (RIB). Namun terapi kombinasi tersebut dapat menimbulkan efek samping anemia. Anemia menyebabkan dosis ribavirin harus diturunkan atau dihentikan sementara yang mengakibatkan penurunan keberhasilan terapi hepatitis C kronik. Oleh karena itu perlu diketahui prevalensi dan faktor risiko anemia pada pasien yang menjalani terapi kombinasi agar anemia dapat diantipasi dan diawasi lebih cermat pada pasien dengan faktor risiko tersebut. Penelitian semacam ini belum pernah dipublikasi di Indonesia.
Tujuan. Mengetahui prevalensi dan faktor risiko terjadinya anemia pada pasien hepatitis C kronik yang menjalani terapi interferon alfa dan ribavirin serta mengetahui frekuensi pasien anemia yang mengalami penurunan dan penghentian ribavirin.
Metodologi. Pasien hepatitis C kronik yang mendapat pengobatan berupa terapi kombinasi interferon alfa-ribavirin oleh staf divisi Hepatologi FKUIIRSCM diikutsertakan dalam penelitian. Data yang dikumpulkan meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan darah tepi pada minggu ke 8 terapi kombinasi. Penelitian menggunakan desain cross sectional dengan variabel yang diteliti adalah umur, jenis kelamin, genotip, dosis ribavirin dan, kadar hemoglobin awal terapi.
Hasil. Enam puluh satu subyek penelitian terdiri dari pria 47 (77%), wanita 14 (23%) dan usia rerata 38,9 tahun, 23 (71,9 %) subyek mempunyai genotip 1 dan 4, dan 44 (72,1 %) subyek mendapat dosis ribavirin 1000 mg. Prevalensi anemia sebesar 52,5 % (32 subyek). Dari analisis multivariat hanya kadar hemoglobin awal terapi yang rendah yang berhubungan bermakna dengan anemia.. Jumlah pasien anemia yang mengalami penurunan dosis ribavirin adalah 8 dari 32 pasien anemia.
Kesimpulan. Prevalensi anemia pada terapi kombinasi 52,5 %. Kadar hemoglobin awal terapi < 14 gldl merupakan faktor risiko terjadinya anemia sehingga pengawasan lebih ketat dan intervensi terhadap anemia dapat dilakukan pada pasien dengan faktor risiko tersebut. Meskipun umur ? 50 tahun, dan wanita belum terbukti sebagai faktor risiko anemia namun harus tetap menjadi perhatian. Delapan subyek (25 %) Ban 32 pasien anemia memerlukan penurunan dosis ribavirin dan tidak ada yang mengalami penghentian ribavirin.

Background. Interferon alfa and ribavirin combination therapy is one of effective standard therapy for chronic hepatitis C. However, anemia is a common side effect of this therapy. Therefore, patients have to reduce or discontinue ribavirin therapy and this can reduce the effectivity of the therapy. Hence, it is important to know the prevalence of anemia and to determine the factors associated with anemia.
Objective. To determine the prevalence of anemia and some risk factors associated with anemia caused by combination therapy in chronic hepatitis C, also to know frequencies of anemia patients who received dose reduction or discontinuation ribavirin therapy.
Method. Sixty one patient of chronic hepatitis C received combination therapy from staff of Hepatology Division FKUIfRSCM were included in the study. Data were obtained by anamnesis, physical examination, and measured complete blood count on 8`h week of therapy. This study was conducted by using cross sectional design.
Result. Subjects were 47 males (77%), females 14 (23%) with mean age 38.9 years. Twenty three subjects had genotype 1 and 4 (71.9%) and 44 subject (72.1) received 1000 mg ribavirin. Prevalence of anemia was found to be 52.5 % (32 subjects). It was concluded that risk factors of anemia are: age > 50 years, females, low pretreatment hemoglobin concentration (<14 gldl) were risk factors of anemia. On multivariate analysis only pretreatment hemoglobin concentration < 14 g/dl was determined to be the risk factor of anemia There were 8 subjects from 32 anemia patients had ribavirin reduction, and no patient had discontinuation treatment on Bch week of therapy.
Conclusion. Prevalence anemia was 52,5 % and pretreatment hemoglobin concentration <14 gldl were found to be the risk factors of anemia. Although age > 50 years and female were not yet found to be risk factors of anemia, we should be careful of these risk factors. Therefore patient with these risk factors should be carefully monitored and intervention to prevent anemia should be considered. Eight subjects from 32 anemia patients had ribavirin reduction, and no patient had discontinuation treatment on 8`h week of therapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58523
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Hepatitis C adalah infeksi sistemik yang disebabkan oleh Virus Hepatitis tipe C disertai nekrosis
dan inflamasi pada sel hati (Brunner & Suddart, 2002). Penyakit ini ditularkan melalui darah dan
komponen darah karena penggunaan jarum suntik yang tidak steril. Penyakit hepatitis C ini
sangat berbahaya karena dapat menjadi hepatitis kronis, sirosis hati, dan kanker hati primer.
Diketahui penyakit ini banyak terjadi pada pengguna narkoba, karena 70% pengguna NAPZA
dan obat-obat terlarang dilakukan melalui suntikan (Ashadi, T (2001). Sebagian besar pengguna
NAPZA tersebut adalah kelompok remaja dan dewasa muda. Penelitian ini ingin mendapatkan
gambaran tentang tingkat pengetahuan remaja pengguna NAPZA tentang Hepatitis C. Desain
penelitian yang digunakan adalah deskriptif sederhana dengan populasi semua remaja yang
dirawat di mang rehabilitasi NAPZA Rumah Sakit Marzuki Mahdi Bogor dengan teknik total
sampel, yaitu sebanyak 45 orang. Data dikumpulkan pada hari jumat 17 Desernber 2004 dengan
menggunakan kuisioner. Data diolah dengan menggunakan metode statistik sederhana dan
ditampilkan dalam bentuk distribusi frekuensi dan proporsi. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa tingkat pengetahuan remaja pengguna NAPZA di ruang rehabilitasi NAPZA Rumah Sakit
Marzuki Mahdi adalah cukup, yaitu 24 orang (54%), Sedangkan tingkat pengetahuan baik ada
11 orang (24%) dan kurang 10 orang (22%)"
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2004
TA5376
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Napitupulu, Evie Rosa Widyawanti
"ABSTRAK
Latar Belakang:
Penyakit hepatitis C kronik merupakan masalah kesehatan global yang dapat menyebabkan morbiditas serta mortalitas yang tinggi pada kondisi sirosis dan karsinoma hepatoseluler. Adanya terapi sofosbuvir-daclatasvir yang bersifat pangenotipik diharapkan dapat mengatasi penyakit ini. Namun, didapatkan hasil pencapaian SVR 12 yang bervariasi dan lebih rendah pada genotipe 3 dibandingkan genotipe 1. Di Indonesia sendiri belum ada data mengenai pencapaian SVR 12 pada kedua genotipe ini yang menggunakan terapi sofosbuvir-daclatasvir.
Tujuan:
Mengetahui pencapaian SVR 12 pasien hepatitis C Kronik genotipe 3 dibandingkan genotipe 1 yang mendapatkan terapi sofosbuvir-daclatasvir.
Metode:
Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif dengan menggunakan data sekunder yang melibatkan 209 pasien hepatitis C kronik genotipe 3 dan 1. Dilakukan analisis dengan membagi pasien menjadi dua kelompok yaitu genotipe 3 dan 1 serta dibandingkan dengan pencapaian keberhasilan SVR 12 menggunakan uji chi-square. Faktor sirosis hepatis dan usia yang dianggap dapat memengaruhi keberhasilan SVR 12 dianalisis dengan menggunakan uji chi-square kemudian dilanjutkan dengan analisis regresi logistik.
Hasil:
Sampel berjumlah 209 pasien yang terdiri dari 45 pasien genotipe 3 dan 164 pasien genotipe 1. Pencapaian keberhasilan SVR 12 pada genotipe 3 dan 1 yaitu 84,4% dan 98,8%. Kelompok pasien genotipe 3 memiliki keberhasilan SVR 12 lebih rendah dibandingkan kelompok pasien genotipe 1 dengan adjusted OR=0,065 (IK95% 0,013-0,330) dan ARR 14,4%. Sirosis hepatis dan usia tidak memengaruhi keberhasilan SVR 12 (p=1,00 dan p=0,72). Sejumlah 5 dari 9 pasien yang mengalami kegagalan memiki koinfeksi dengan HIV.
Simpulan:
Pasien hepatitis C kronik genotipe 3 yang menggunakan terapi sofosbuvir-daclatasvir memiliki keberhasilan SVR 12 lebih rendah dibandingkan genotipe 1.

ABSTRACT
Background. Chronic hepatitis C is a global health problem with high morbidity and mortality in the condition of cirrhosis and hepatocellular carcinoma. sofosbuvir-daclatasvir is pangenotypic therapy that expected to overcome this disease. However, the achievement of SVR 12 was varied and lower in genotype 3 compared to genotype 1. In Indonesia, there is no data about achievement SVR 12 in both genotypes using sofosbuvir-daclatasvir.
Objectives. To know SVR 12 achievement between genotype 3 and 1 chronic hepatitis C patients that using sofosbuvir-daclatasvir therapy.
Methods. This study is a retrospective cohort using secondary data of 209 hepatitis C chronic genotype 3 and 1. Samples were divided into two groups according to its genotype and compared with achievement of SVR 12 then analyzed using chi-square test. Hepatic cirrhosis and age factors that are considered to affect the achievement SVR 12 were analyzed using chi-square test and logistic regression test.
Results. 209 patients participated in this study consisting of 45 genotype 3 and 164 genotype 1. Achievement of SVR 12 succeed in genotypes 3 and 1 were 84,4% and 98,8%. Genotype 3 patients had lower SVR 12 achievement compared to genotype 1 patients with adjusted OR=0,065 (95% CI 0,013-0,330) and ARR 14,4. Hepatic cirrhosis and ages did not affect SVR 12 (p= 1.00 and 0,72, respectively). Five from nine patients who failed have co-infection with HIV.
Conclusions. Chronic hepatitis C patients using sofosbuvir-daclatasvir theraphy had lower SVR 12 achievement in genotype 3 than genotype 1.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58604
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juferdy Kurniawan
"HIV coinfection in HCV-infected patients accelerates the course of disease and affects the outcome of Peg-IFN/RBV combination treatment. HCV-HIV coinfected patients are suspected to have HCV mutation in NS5A-ISDR/PKR-BD region that had a role to the successfulness of Peg-IFN/RBV therapy. SNP IL-28B polymorphism is predicted to have an effect on the HCV quasi-species evolution. However, until now the effect of HCV NS5A mutation and SNP IL-28B of the host to the response of treatment is still unclear.
This study aimed to determine the presence and role of HCV NS5A-ISDR/PKR-BD region mutation and host SNP IL-28B on the succes of Peg-IFN/RBV combination treatment in HCV-HIV coinfected patients.
Prospective cohort study design was conducted in this study. Plasma sample was collected from 22 monoinfected and 134 HCV-HIV coinfected patients prior to therapy. All of them were treated with Peg-IFN/RBV for 48 weeks. The examination of HCV RNA was performed 24 weeks after the end of therapy. PCR nucleotide sequencing was performed after the RNA virus extraction and cDNA synthesis had been performed. Analysis of secondary structure and prediction of mutation function were assessed by PredictProtein (PP) program.
Sixteen from thirthy HCV-HIV co-infection patients and none from eight HCV patients achieved SVR. Nonneutral mutation ≥ 1 was found in 23/30 subjects with HCV-HIV co-infection. The presence of nonneutral mutation ≥ 1 was observed more frequent in SVR group than non-SVR group. Nonneutral mutation ≥ 1 was associated with SVR achievement, regardless the monoinfection or coinfection status (p = 0.04). Interaction of CC gene and nonneutral mutation was not associated with SVR. Secondary structure transformation of VHC NS5A was not associated with SVR in coinfected subjects. NS5A binding site structure was different from consensus in SVR group, while the structure was similar to consensus in non-SVR group.
Nonneutral mutation ≥ 1 has the most important role on the SVR achievement in patients treated with Peg-IFN/RBV. The interaction of CC-gene and nonneutral mutation was not associated with SVR. The change of secondary structure was also not associated with SVR achievement, however, the changes of NS5A binding site structure were found in HCV-HIV coinfected patients who achieved SVR.

Koinfeksi HIV pada pasien dengan infeksi VHC dapat memperberat perjalanan penyakit dan memengaruhi keberhasilan terapi kombinasi Peg-IFN/RBV. Pasien koinfeksi VHC-HIV diduga mengalami mutasi VHC pada regio NS5A-ISDR/PKR-BD yang mempunyai peran terhadap keberhasilan terapi Peg-IFN/RBV. Polimorfisme SNP IL-28B diprediksi berpengaruh terhadap evolusi quasi-spesies VHC, namun hingga saat ini keberadaan dan peran mutasi VHC NS5A serta SNP IL-28B pejamu pada koinfeksi VHC-HIV terhadap keberhasilan terapi masih belum diketahui secara jelas.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberadaan dan peran mutasi VHC NS5A-ISDR/PKR-BD serta SNP IL-28B pejamu terhadap keberhasilan terapi dengan kombinasi Peg-IFN/RBV pada pasien koinfeksi VHC-HIV.
Penelitian ini menggunakan desain studi kohort prospektif. Sampel plasma dikumpulkan dari 22 subjek monoinfeksi dan 134 subjek koinfeksi sebelum menjalani terapi. Seluruh pasien mendapatkan terapi Peg-IFN/RBV selama 48 minggu. Pemeriksaan VHC RNA setelah 24 minggu dari akhir terapi dilakukan untuk menilai respons terapi (sustained virological response/SVR 24). Sekuensing nukleotida menggunakan PCR dilakukan setelah ekstraksi RNA virus dan sintesis cDNA dari sampel plasma. Analisis struktur sekunder dan prediksi fungsi mutasi menggunakan program PredictProtein (PP).
Sebanyak 16 pasien dari 30 pasien koinfeksi VHC-HIV yang mengalami SVR serta tidak ada dari 8 pasien monoinfeksi VHC yang mengalami SVR. Mutasi nonnetral ≥ 1 ditemukan pada 23/30 pasien koinfeksi VHC-HIV. Keberadaan mutasi nonnetral ≥ 1 didapatkan lebih tinggi pada kelompok SVR (14 pasien) dibandingkan dengan non-SVR (9 pasien). Mutasi nonnetral ≥1 berhubungan dengan kejadian SVR, tanpa memandang status monoinfeksi dan koinfeksi (p = 0,04). Interaksi antara gen CC dan mutasi nonnetral tidak berhubungan dengan SVR. Perubahan struktur sekunder NS5A tidak berhubungan dengan SVR pada pasien koinfeksi. Struktur binding site NS5A pada kelompok SVR didapatkan berbeda dengan konsensus, sedangkan pada kelompok non-SVR mirip dengan konsensus.
Mutasi nonnetral ≥ 1 berperan terhadap kejadian SVR pada pasien yang mendapat terapi Peg-IFN/RBV. Interaksi mutasi nonnetral dan gen CC tidak berhubungan dengan pencapaian SVR. Perubahan struktur sekunder juga tidak berhubungan dengan pencapaian SVR, akan tetapi perubahan struktur binding site NS5A-ISDR/PKR-BD ditemukan pada pasien koinfeksi VHC-HIV yang mencapai SVR dengan terapi Peg-IFN/RBV."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>