Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 200246 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Iman Sufrian
"Studi ini memiliki dua tujuan utama. Tujuan penelitian pertama adalah mengevaluasi pencapaian keadilan pelayanan Kesehatan di Indonesia dan mengkaji dimensi geografis ketimpangan menggunakan ukuran ketimpangan yang dapat didekomposisi secara sempurna yaitu Theil Indeks. Studi ini melakukan perbandingan sebelum dan sesudah perubahan tingkat desentralisasi di Indonesia. Selain itu, studi ini juga melakukan perbandingan periode dengan krisis ekonomi dan periode tanpa krisis ekonomi. Data yang digunakan adalah data sekunder cross-sectional berasal dari Survei Sosial Ekonomi Indonesia (Susenas) tahun 1996, 1998, 2000, 2002, 2005, 2008, 2011, dan 2014. Selanjutnya, indeks Theil didekomposisi menjadi antar- dan dalam-wilayah di tingkat provinsi dan kabupaten/Kota. Indeks Theil ketimpangan layanan kesehatan memberikan gambaran dinamika ketimpangan layanan kesehatan selama periode tahun 1996-2014. Ketimpangan layanan kesehatan cenderung memburuk selama krisis ekonomi tahun 1998. Selain itu ketimpangan cenderung membaik terutama selama fase kedua desentralisasi dan adanya kebijakan jaminan kesehatan sosial pada periode 2005-2014. Kombinasi desentralisasi administratif, desentralisasi politik dan adanya jaminan kesehatan sosial di Indonesia terkait dengan menurunnya tingkat ketimpangan secara keseluruhan, ketimpangan dalam wilayah (provinsi dan kabupaten/kota) dalam provinsi dan ketimpangan antar kabupaten/kota untuk layanan kesehatan rawat jalan dan rawat inap. Ketimpangan dalam wilayah berkontribusi signifikan terhadap ketimpangan total. Oleh karena itu, perhatian yang lebih besar terhadap penurunan ketimpangan dalam wilayah akan berkontribusi pada penurunan ketimpangan secara keseluruhan. Selanjutnya, tujuan penelitian kedua adalah mengevaluasi indikasi dampak kebijakan desentralisasi administrasi dan politik (pemilihan langsung di tingkat daerah) dan jaminan kesehatan sosial terhadap ketimpangan pelayanan kesehatan di tingkat kabupaten/kota di Indonesia. Dalam hal ini variabel ketimpangan pelayanan kesehatan dua kelompok layanan kesehatan yaitu layanan kesehatan rawat jalan dan rawat inap diukur dengan Theil indeks. Berdasarkan dataset pseudo-panel tingkat kabupaten/kota dari tahun 1996 hingga 2014, hasil estimasi fixed effect menunjukkan bahwa kombinasi desentralisasi administratif desentralisasi politik dan jaminan kesehatan sosial berkontribusi pada penurunan ketimpangan layanan kesehatan rawat jalan dan rawat inap. Mekanisme transmisi indikasi dampak desentralisasi pada pengurangan ketimpangan layanan kesehatan terjadi melalui efek langsung kebijakan desentralisasi dan kebijakan jaminan kesehatan sosial maupun melalui efek interaksi antara kebijakan desentralisasi dan kebijakan jaminan kesehatan sosial dengan penyediaan sumber daya kesehatan maupun efek langsung. Desentralisasi administratif saja belum memberikan efek penurunan ketimpangan layanan kesehatan rawat jalan dan cenderung meningkatkan ketimpangan layanan kesehatan rawat inap. Sedangkan, desentralisasi administratif yang dikombinasikan dengan kebijakan jaminan kesehatan sosial memberikan efek penurunan ketimpangan layanan kesehatan rawat jalan dan rawat inap. Kombinasi kebijakan desentralisasi administratif, demokratisasi di tingkat pemerintah kabupaten/kota dan kebijakan jaminan kesehatan sosial memberikan efek penurunan ketimpangan layanan kesehatan terbesar dibanding kondisi lainnya. Secara rata-rata, penyediaan sumber daya kesehatan memberikan efek terhadap penurunan ketimpangan layanan kesehatan. Penyediaan sumber daya kesehatan pada kondisi kombinasi kebijakan desentralisasi administratif yang ditambah dengan kebijakan desentralisasi politik serta adanya kebijakan jaminan kesehatan sosial memberikan efek penurunan ketimpangan layanan kesehatan rawat jalan maupun ketimpangan layanan kesehatan rawat inap yang terbesar dibandingkan kondisi lainnya. Efek penyediaan sumber daya kesehatan menjadi lebih besar terhadap penurunan ketimpangan layanan kesehatan seiring peningkatan nilai indeks sumber daya kesehatan. Secara keseluruhan, efektivitas penyediaan sumber daya kesehatan bervariasi antar pemerintah daerah. Berdasarkan analisis marginal effect, dibutuhkan suatu batas minimum penyediaan sumber daya kesehatan untuk bisa memberikan dampak penurunan ketimpangan layanan kesehatan. Terdapat batasan nilai minimum (threshold) bagi penyediaan sumber daya kesehatan agar dapat memberikan efek penurunan ketimpangan layanan kesehatan yaitu 12 untuk memberikan efek penurunan ketimpangan layanan kesehatan rawat jalan dan 27 untuk memberikan efek penurunan ketimpangan layanan kesehaan rawat inap. Pada tahun 2014, terdapat variasi yang besar untuk nilai indeks sumber daya kesehatan di tingkat kabupaten/kota. Nilai terendah adalah 9,16 dengan nilai tertinggi adalah 74,67 dengan rata-rata 34,49. Dengan demikian, masih ada kabupaten/kota yang ketersediaan sumber daya kesehatannya belum cukup untuk dapat memberikan efek penurunan ketimpangan layanan kesehatan. Terkait dengan penyediaan sumber daya kesehatan, Pemerintah Indonesia telah menetapkan Peraturan Pemerintah No. 2 tentang Standar Pelayanan Minimum (SPM). Peraturan pemerintah ini standar layanan minimum di sektor kesehatan. Selanjutnya, Menteri Kesehatan juga telah menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 4 tahun 2019 tentang Standar Teknis Pemenuhan Mutu Pelayanan Dasar pada Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan. Penyediaan sumber daya kesehatan merupakan elemen penting bagi pencapaian standar pelayanan minimum yang diatur dalam peraturan Menteri Kesehatan ini. Oleh karena itu, implementasi peraturan Menteri Kesehatan No 4 tahun 2019 secara konsisten penting untuk menurunkan ketimpangan layanan kesehatan di suatu wilayah kabupaten/kota dan selanjutnya berkontribusi pada penurunan ketimpangan layanan kesehatan secara keseluruhan.

This study has two main objectives. The first research objective is to evaluate the achievement of healthcare equty in Indonesia and to examine the geographical dimension of inequity using a perfectly decomposable measure of inequality, the Theil Index. This study uses outpatient and inpatient healthcare as healthcare variables. This study compares before and after changes in the level of decentralization in Indonesia. In addition, this study also compares periods with economic crises and periods without economic crises. The data used are secondary cross-sectional data from the Indonesian Socio-Economic Survey (Susenas) in 1996, 1998, 2000, 2002, 2005, 2008, 2011, and 2014. Furthermore, the Theil index is decomposed into inter- and intra-regional at the provincial and district/city levels. Theil Index of Healthcare Inequity provides an overview of the dynamics of healthcare inequity dynamics during the period 1996-2014. Healthcare inequity tended to worsen during the economic crisis of 1998. In addition, healthcare inequity tended to improve especially during the second phase of decentralization and the introduction of social health insurance policies in the period 2005-2014. The combination of administrative decentralization, political decentralization, and the introduction of social health insurance in Indonesia is associated with a decline in overall healthcare inequity, intra-regional (provincial and district/city) disparities within provinces, and inter-district/city inequity for outpatient and inpatient healthcare. Intra-regional inequity contributes significantly to total inequity. Therefore, greater attention to reducing intra-regional inequity will contribute to a decline in overall healthcare inequity. Furthermore, the second research objective is to evaluate the indication of the impact of administrative and political decentralization policies (direct elections at the regional level) and social health insurance on healthcare inequity at the district/city level in Indonesia. In this case, the healthcare variable of two groups of healthcare, namely outpatient and inpatient healthcare, is measured by the Theil index. Based on the pseudo-panel dataset at the district/city level from 1996 to 2014, the results of the fixed effect estimation show that the combination of administrative decentralization, political decentralization, and social health insurance contribute to reducing outpatient and inpatient healthcare inequity. The transmission mechanism of the indication of the impact of decentralization on reducing healthcare inequity occurs through the direct effects of decentralization policies and social health insurance policies as well as through the interaction effects between decentralization policies and social health insurance policies with the provision of health resources and direct effects. Administrative decentralization alone has not provided an effect on reducing outpatient healthcare inequity and tends to increase inpatient health services inequity. Meanwhile, administrative decentralization combined with social health insurance policies provides an effect on reducing outpatient and inpatient healthcare inequity. The combination of administrative decentralization policies, democratization at the district/city government level, and social health insurance policies has had the greatest effect in reducing healthcare inequity compared to other conditions. On average, the provision of health resources reduces healthcare inequity. The provision of health resources in conditions of a combination of administrative decentralization policies coupled with political decentralization policies and the existence of social health insurance policies has the greatest effect on reducing inequality in outpatient health services and inequality in inpatient health services compared to other conditions. The effect of the provision of health resources becomes greater on reducing healthcare inequity as the value of the health resource index increases. Overall, the effectiveness health resources provision varies between local governments. Based on the marginal effect analysis, a minimum limit of the provision of health resources is needed to be able to have an impact on reducing inequality in health services. There is a minimum value limit (threshold) for the provision of health resources to be able to provide an effect on reducing inequality in health services, namely 12 to provide an effect on reducing outpatient healthcare inequity and 27 to provide an effect on reducing inpatient healthcare inequity. In 2014, there was a large variation in the value of the health resource index at the district/city level. The lowest score was 9.16 with the highest score being 74.67 with an average of 34.49. Thus, there are still districts/cities whose health resource availability is not sufficient to be provide an effect on reducing healthcare inequity. Regarding the provision of health resources, the Government of Indonesia has stipulated Government Regulation No. 2 concerning Minimum Service Standards (SPM). This government regulation is the minimum service standard in the health sector. Furthermore, the Minister of Health has also stipulated Regulation of the Minister of Health No. 4 of 2019 concerning Technical Standards for Fulfilling Basic Service Quality in Minimum Service Standards in the Health Sector. The provision of health resources is an important element for achieving the minimum service standards regulated in this regulation of the Minister of Health. Therefore, consistent implementation of the Regulation of the Minister of Health No. 4 of 2019 is important to reduce healthcare inequity in a district/city area and further contribute to reducing healthcare inequity as a whole."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Agung Nugraha
"Penelitian ini fokus terhadap desentralisasi fiscal di Indonesia dan pengaruhnya terhadap pelayanan publik bidang kesehatan. Dengan menggunakan panel data dari 30 provinsi di Indonesia dalam rentang waktu 2002-2015, penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat otonomi fiskal pemerintah daerah berdampak positif terhadap belanja bidang kesehatan yang dialokasikan oleh pemerintah daerah. Kemudian, capaian pelayanan publik bidang kesehatan secara positif dipengaruhi oleh proporsi belanja kesehatan terhadap total belanja, tetapi belanja kesehatan per kapita berpengaruh negative terhadap capaian tersebut. Untuk penelitian lebih lanjut atas temuan tersebut, penelitian ini membagi sampel kedalam beberapa kelompok berdasarkan tingkat belanja kesehatan per kapita dan tingkat PDRB per kapita. Hasil penelitan menunjukkan bahwa belanja kesehatan per kapita berdampak positif pada pelayanan kesehatan pada provinsi dengan tingkat belanja kesehatan per kapita dan provinsi dengan tingkat PDRB per kapita yang tinggi.

This study focused on the fiscal decentralization in Indonesia and its effect on public health service delivery. By using a panel data set of 30 provinces in Indonesia from 2002 to 2015, the results provided evidence that fiscal autonomy of local governments has a positive association with health expenditure that allocated by local governments. Then, the public health service outcomes are positively correlated with the share of health expenditure to total expenditure but negatively correlated with real health expenditure per capita. To further examination of the finding that health expenditure per capita negatively correlates with public health outcome, this study divided the sample based on the real health expenditure per capita and the real GRDP per capita. The results revealed that health expenditure per capita has a positive sign of public health service on the high real health expenditure per capita regions and high-income regions.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2018
T51870
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adinda Arumantika Sahara
"Indonesia memiliki ratio kematian ibu (AKI) tertinggi di Asia Tenggara sebesar 305 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup dengan MMR yang jauh lebih tinggi yaitu di Indonesia Timur sebesar 489. Beban kematian ibu sering dikaitkan dengan ketimpangan akses ke layanan kesehatan ibu. Pemerintah Indonesia meluncurkan program asuransi kesehatan yaitu Jaminan Kesehatan Nasional pada tahun 2014 untuk mengupayakan pemerataan pelayanan kesehatan diantaranya pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA) terutama pada kelompok wanita kurang beruntung. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengtahui hubungan jaminan kesehatan nasional terhadap pemanfaatan layanan kesehatan ibu yang dinilai dari kunjungan antenatal, persalianan di fasyankes dan pemeriksaan nifas. Penelitian ini menggunakan data SDKI tahun 2017 mencakup 2257 wanita usia 15-49 tahun yang pernah melahirkan dalam kurun waktu dua tahun sebelum survei. Analisis multivariat menggunakan regresi logistik ganda. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak terdapat adanya hubungan yang signifikan secara statistik terhadap pemanfaatan layanan kesehatan ibu baik itu kunjungan ANC, persalinan di fasyankes maupun pemeriksaan nifas setelah dikontrol variabel confunder. Namun kunjungan ANC ada hubungan signifikan secara statistik dengan status ekonomi atas, paritas multipara, akses ke fasyankes bukan masalah besar dan ibu dengan komplikasi kehamilan. Persalinan di fasilitas kesehatan secara statistik ada hubungan dengan umur >35 tahun, wilayah tempat tinggal perkotaan, status ekonomi atas, pendidikan ibu tinggi, riwayat paritas primipara, dan ada komplikasi kehamilan. Serta pemeriksaan nifas secara statistik ada hubungan dengan wilayah tempat tinggal perkotaan, status ekonomi atas, akses ke Fasyankes dan ada komplikasi kehamilan. Hubungan kepemilikan JKN terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu belum dapat dibuktikan di Indonesia bagian timur, akan tetapi peningkatan cakupan kepemilikan JKN tetap perlu diupayakan untuk menunju Indonesia Universal Health Coverage (UHC).

Indonesia has the highest maternal mortality ratio (MMR) in Southeast Asia at 305 maternal deaths per 100,000 live births with a much higher MMR in Eastern Indonesia at 489. The burden of maternal mortality is often associated with inequality in access to maternal health services. The Indonesian government launched a health insurance program, namely the National Health Insurance in 2014 to seek equal distribution of health services, including maternal and child health services (KIA), especially for disadvantaged women. The purpose of this study was to determine the relationship between national health insurance and the utilization of maternal health services as assessed from antenatal visits, delivery at health facilities and postpartum examinations. This study uses data from the 2017 IDHS covering 2257 women aged 15-49 years who have given birth in the two years prior to the survey. Multivariate analysis using multiple logistic regression. The results of this study indicate that there is no statistically significant relationship to the utilization of maternal health services, whether it is ANC visits, delivery at the health facility or postpartum examination after controlling for confounding variables. However, ANC visits had a statistically significant relationship with upper economic status, multiparity parity, access to health facilities that were not a major problem and mothers with pregnancy complications. Delivery at a health facility was statistically associated with age >35 years, urban area of ​​residence, upper economic status, high maternal education, history of primiparity, and pregnancy complications. As well as post-partum examination statistically there is a relationship with urban area of ​​residence, upper economic status, access to health facilities and pregnancy complications. The relationship between JKN ownership and utilization of maternal health services has not been proven in eastern Indonesia, but efforts to increase the coverage of JKN ownership still need to be pursued to achieve Indonesia Universal Health Coverage (UHC)."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Rahmi Maghfira
"Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia telah berlangsung sejak tahun 2001. Salah satu tujuan desentralisasi adalah memaksimalkan peran pemerintah daerah agar mampu mengatasi permasalahan di daerah yang dapat menghambat terwujudnya kesejahteraan masyarakat dan pembangunan ekonomi. Diantara masalah yang dapat menghambat terwujudnya kesejahteraan masyarakat adalah konflik lokal. Kajian ini melihat dampak desentralisasi di wilayah Jabodetabek terhadap jumlah konflik dari data PODES tahun 2008, 2011, 2014 dan 2018. Hasil estimasi dengan menggunakan Regression Discontinuity menunjukkan bahwa desentralisasi di Jabodetabek memiliki korelasi positif dengan jumlah konflik di Jakarta. pada 2014 dan 2018.

The implementation of decentralization in Indonesia has been going on since 2001. One of the goals of decentralization is to maximize the role of local governments in order to be able to overcome problems in the regions that can hinder the realization of people's welfare and economic development. Among the problems that can hinder the realization of community welfare are local conflicts. This study looks at the impact of decentralization in the Jabodetabek area on the number of conflicts from PODES data for 2008, 2011, 2014 and 2018. Estimation results using Regression Discontinuity show that decentralization in Jabodetabek has a positive correlation with the number of conflicts in Jakarta. in 2014 and 2018."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia , 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Guruh Panca Nugraha
"Tujuan kajian ini adalah untuk meneliti apakah penurunan kemiskinan di Indonesia terkait dengan penerapan desentralisasi fiskal. Ukuran kemiskinan yang digunakan adalah poverty headcount index (P0), poverty gap index (P1), dan poverty severity index (P2), sedangkan ukuran derajat desentralisasi fiskal (FD) yang digunakan adalah indikator pendapatan/revenue indicator (RI), indikator belanja/expenditure indicator (EI), dan indikator otonomi/autonomy indicator (AI). Indikator-indikator FD tersebut diadaptasi dari konsep yang disajikan oleh Akai dan Sakata (2002). Guna memastikan robustness model penelitian, kajian ini menerapkan static and dynamic panel data analyses. Static panel data analysis dilakukan dengan menggunakan ordinary least square dan fixed effect (FE) method, sementara dynamic panel data analysis dilakukan dengan menggunakan System Generalized Method of Moment (Sys GMM), yang dikembangkan oleh Arellano dan Bover (1995) serta Blundell dan Bond (1998). Hasil dari static dan dynamic panel data analyses secara konsisten menunjukkan bahwa peningkatan derajat desentralisasi fiskal dapat menurunkan tingkat kemiskinan, meskipun dalam estimasi dengan menggunakan FE dan Sys GMM, desentralisasi fiskal membutuhkan jeda waktu untuk mempengaruhi tingkat kemiskinan. Hasil penelitian ini mempunyai dampak kebijakan, yaitu bahwa pemerintah harus terus menyempurnakan desain desentralisasi fiskal, terutama terkait dengan kewenangan pemerintah daerah dalam hal pendapatan, belanja, dan kemandirian fiskal.

The aim of this study is to investigate whether poverty reduction in Indonesia is correlated with fiscal decentralization. Poverty measures used are poverty headcount index (P0), poverty gap index (P1), and poverty severity index (P2), whereas the measures of degree of fiscal decentralization (FD) are revenue indicator (RI), expenditure indicator (EI), and autonomy indicator (AI). These FD indicators are adapted from the concept presented by Akai and Sakata (2002). In order to ascertain the robustness of the model, this study applies both static and dynamic panel data analyses. The static panel data analysis is conducted using ordinary least square and fixed effect (FE) method, whereas the dynamic panel data analysis is conducted using System Generalized Method of Moment (Sys GMM), which is developed by Arellano and Bover (1995) and Blundell and Bond (1998). The results of both static and dynamic panel data analyses consistently show that an increase in degree of fiscal decentralization lowers poverty, although in estimation of FE and Sys GMM, fiscal decentralization needs time lag to affect poverty. These results have policy implication that government of Indonesia needs to improve fiscal decentralization design, mainly related to the revenue authority, expenditure authority, and fiscal independency of local governments.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aksa Nugraha
"Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah desentralisasi fiskal di Indonesia berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Dengan menggunakan panel data 33 provinsi di Indonesia dalam periode 2005-2014, hasil memberikan bukti bahwa desentralisasi fiskal memiliki hubungan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi regional provinsi. Dengan pengkajian yang lebih mendalam, penelitian ini menganalisis komposisi pengeluaran pemerintah daerah dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil tersebut menunjukkan bahwa alokasi belanja pemerintah daerah pada belanja pegawai, belanja lainnya, dan bahkan belanja modal berpengaruhi negatif terhadap pertumbuhan regional.

The principal objective of this study was to investigate whether fiscal decentralization in Indonesia leads to economic growth. By using a panel data set of 33 provinces in Indonesia over the period 2005 ndash 2014, the results provided evidence that fiscal decentralization has a negative association with provincial economic growth. To further the examination of the finding, this study analyzes the composition of expenditure of local government and its influence on growth in the fiscal decentralization framework. The results reveal that spending allocation of local governments on personnel expenditure, other expenditure, and even capital expenditure actually harms regional growth."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2016
T47487
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Doni Aria Candra
"Kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan terus berkembang seiring denganmeningkatnya tingkat pendidikan dan status kehidupan sosial. Untuk meningkatkanpelayanan kesehatan yang bermutu, nyaman, dan berorientasi pada kepuasan konsumen,pemerintah sebagai penyedia layanan kesehatan dituntut untuk membenahi sistempelayanan yang bersifat layanan publik. Untuk mendukung program pembangunankesehatan dengan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, maka dibentuk BadanLayanan Umum BLU di setiap Puskesmas. Di kabupaten Bogor pada tahun 2017sudah ditetapkan 19 puskesmas untuk dilakukan penilaian adminsitratif sebagai syaratpenetapan menjadi Badan Layanan Umum Daerah BLUD . Penelitian ini bertujuanuntuk melihat kesiapan Puskesmas dari segi masukan yaitu sumber daya yang dimiliki,yaitu sumber daya manusia, anggaran, sarana, serta peraturan untuk ditetapkan menjadiBLUD. Selain itu, dilakukan juga analisis untuk mengetahui bagaimana manajemenpuskesmas berupa proses pengaturan organisasi dan penetapan tujuan dalam persiapanpenetapan BLUD. Faktor luar puskesmas juga mempunyai pengaruh dalam kesiapanpuskesmas dalam penerapan BLUD. Dari hasil penelitian ini akan diketahui informasimendalam tentang kesiapan administratif penerapan BLUD Puskesmas, serta faktor apasaja yang menjadi penghambat dalam proses persiapan dalam penerapan BLUDPuskesmas di Kabupaten Bogor.

Public awareness of the importance of health continues to grow along with increasinglevels of education and social life status. To improve the quality of health services,comfortable, and consumer oriented, the government as a healthcare provider isrequired to fix the service system that is public service. To support health developmentprograms by improving services to the community, a Local Public Service BLU isestablished in every Public Health Puskesmas . In Bogor regency in 2017, there are 19public health centers have been set up for administrative assessment as a condition ofdetermination to become the Local Public Service Agency BLUD . This study aims tosee the preparedness of Puskesmas in terms of input that is resources, namely human,budget, facilites, and regulations to be established into BLUD. In addition, analysis isalso conducted to find out how the management of puskesmas in the form oforganizational arrangement process and goal setting in preparation of the determinationof BLUD. The outside factors of the puskesmas also have an influence in the puskesmasreadiness in applying BLUD. From the results of this study will be known in depthinformation about the administrative readiness of the application BLUD Puskesmas, aswell as any factors that hamper the preparation process in the application of BLUDPuskesmas in Bogor Regency. "
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T53636
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Rachelyca Febriantoputri
"Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK) menjadi salah satu cara Puskesmas untuk meningkatkan jangkauan sasaran serta meningkatkan akses pelayanan kesehatan di wilayah kerjanya dengan mendatangai keluarga sehingga layanan yang diterima lebih komprehensif dan tidak hanya berfokus pada kegiatan dalam gedung. Kunjungan keluarga yang dilakukan menggunakan 12 indikator PHBS. Namun hingga awal Oktober tahun 2018 tercatat baru 26,80% keluarga yang sudah didata oleh Puskesmas dari target 100% di tahun 2019. Provinsi Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten merupakan Provinsi dengan angka pendataan tertinggi nasional namun angka cakupan kunjungannya rendah yaitu kurang dari 50% (<50%). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hambatan kegiatan pendataan keluarga PIS-PK di Puskesmas menggunakan pendekatan input-proses-output dan desain studi literature review>. Hasil penelitian menunjukkan ketersediaan sumber daya, dana, sarana dan prasarana, serta metode yang digunakan belum memadai sehingga kegiatan tidak berjalan sesuai rencana, minimnya keterlibatan lintas sektor, pelaksanan pendataan yang bermasalah, dan kegiatan penilaian yang tidak dilakukan rutin. Sehingga perlu adanya keterlibatan dan komitmen yang tinggi dari seluruh petugas Puskesmas untuk mempengaruhi keterlibatan lintas sektoral dalam menyelesaikan hambatan kegiatan pendataan PIS-PK.

The Healthy Indonesia Program with the Family Approach (PIS-PK) is one of many way for Puskesmas to increase the reach of targets and increase access to health services in the working area by visiting families so that the services received are more comprehensive and not only focus on indoor activities. Family visits were carried out using 12 PHBS indicators. However, as of early October 2018, only 26.80% of families had been recorded by Puskesmas from the target of 100% in 2019. North Sumatera, West Java, Central Java, East Java, and Banten province were the provinces with the highest national data collection but their coverage rates visits were low at less than 50% (<50%). This study aims to analyze the barriers of PIS-PK family data collection activities at the Puskesmas using the input-process-output approach with literature review study. The results showed the availability of resources, funds, facilities and infrastructure, as well as the methods used were inadequate so that activities did not go according to plan, lack of cross-sector involvement, implementation of problematic data collection, and assessment activities that were not carried out routinely. So there is a need for high involvement and commitment from all Puskesmas staff to influence cross sectoral involvement in resolving the barriers to PIS-PK data collection activities.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fridamarva Yasmine
"Penelitian ini bertujuan mengetahui pelaksanaan JAMKESDA setalah BPJS berjalan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan pendekatan sistem sehingga bertujuan untuk mengertahui bagaimana input proses dan output program JAMKESDA pada era JKN. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa pelaksanaan program JAMKESDA sudah berjalan dengan baik. Kendala utama dalam program JAMKESDA di Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan adalah terlambatnya klaim dari rumah sakit yang mengakibatkan terlambatnya pelaporan. Dengan demikian, tidak ada perubahan yang signifikan pada program JAMKESDA di era JKN, hanya saja perlu penambahan kualitas dan kuantitas pegawai serta peningkatan sarana dan prasarana, selain itu pelajaran yang dapat diambil ketika JAMKESDA bergabung dengan BPJS adalah perlunya kesiapan sistem, kebijakan pemerintah daerah serta puskesmas sebagai gate keeper.

The aim of this study is to know the implementation JAMKESDA after BPJS. This study is a qualitative research using a systems approach that aims to determine how the process input and output JAMKESDA program at JKN era. Based on this research, it is known that the implementation of the program has been running well JAMKESDA. The main obstacle in JAMKESDA program in South Tangerang City Health Department is delayed claims from hospitals that resulted in delays in reporting. Thus, there was no significant change in the program JAMKESDA in JKN era, only need the addition of the quality and quantity of personnel and improvement of facilities and infrastructure, in addition to the lessons that can be taken when JAMKESDA join BPJS is the need for system readiness, government policy and health centers as a gate keeper."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
S55549
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Putu Ayu Prima Dewi
"RSU Bali Royal didirikan tahun 2009 dan mulai beroperasi pada tanggal 17 Juli 2010. Memiliki beberapa layanan unggulan Neuro Science Center, Endoscopy, Orthopaedics Therapy. Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan strategi terbaik untuk menjadikan RSU Bali Royal sebagai rujukan pelayanan kesehatan pariwisata dan meningkatkan jumlah kunjungan pasien pariwisata. Di dalam renstra 2016-2020, dikatakan bahwa untuk pasar international ditargetkan 10 %, namun data 2018- 2019 kunjungan untuk pasien wisatawan masih sangat rendah yaitu hanya 4-5 %. Maka penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisa strategi pengembangan kesehatan pariwisata di RSU Bali Royal dengan menggunakan analisa SWOT. Desain penelitian adalah Studi Kasus Kualitatif. Dengan Hasil pada posisi kuadran V memberikan arti strategi strategi hold and maintain. Strategi yang cocok bagi SBU (startegic bussines unit) di RSU Bali Royal, strategi yang umum dipakai adalah strategi market penetration dan product. Dari matriks TOWS didapatkan usulan rencana strategi pengembangan pelayanan kesehatan pariwisata di RSU Bali Royal dengan strategi pengembangan layanan unggulan, pengembangan kerjasama dengan lebih banyak medical agent, dan bekerjasama dengan lebih banyak klinik klinik provider. Bagi Managemen RSU Bali Royal agar melakukan kolaborasi dengan medical agent, clinic clinic provider dan melakukan promosi internal external lebih gencar melalui web, media sosial maupun kegiatan kegiatan lain di bidang kesehatan dan pariwisata. Dan Usulan rencana strategis yang telah di buat oleh peneliti bisa dijadikan masukan untuk managemen RSU Bali Royal Untuk Renstra RSU Bali Royal di tahun mendatang.

RSU Bali Royal was established in 2009 and began operations on July 17, 2010, has superior service are Neuro Science Center, Endoscopy, Orthopaedics Therapy. This study aims to formulate the best strategy to make Rsu Bali Royal as a reference for travel health services and increase the number of tourism patient visits. In 2016- 2020 strategic plan it is said that for the international market it is targeted at 10% but the data 2018 – 2019 visits for tourist patients is still very low at 4-5 %. Travel health services in RSU Bali Royal using SWOT analysis. A qualitative case study research design. The result in quadrant position V gives the meaning of a hold and maintain strategy. From the TOWS matrix, it is proposed that the strategy plan for developing health tourism services in RSU Bali Royal with the strategy, development of superior services, development of collaboration with more medical agents and collaboration with more clinical clinics provider. For the management of Bali Royal Hospital in collaboration with clinical agents and conducting internal and external promotion more intensively through social media web and activities in the field of travel health, and the proposed strategic plan that has been made by researchers can be used as input for the management Bali Royal Hospital for strategic planning in coming year."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
T54985
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>