Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 151388 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dea Alifia Maharani
"Retinal detachment (RD), atau ablasi retina, adalah kondisi ketika retina neurosensori terlepas dari lapisan dasarnya, yaitu epitel pigmen retina (EPR), karena kehilangan kerekatan. RD bisa menjadi kondisi yang serius jika tidak segera ditangani, seperti gangguan penglihatan hingga kebutaan permanen. Di Indonesia, diperkirakan terdapat 17.500—25.000 kasus baru setiap tahunnya. Namun, dengan jumlah dokter yang terbatas, pendeteksian RD secara konvensional mungkin tidak dapat dilakukan dengan cepat. Dengan memanfaatkan metode machine learning, khususnya deep learning, yang kini berkembangan pesat, dapat dilakukan pendeteksian RD melalui citra fundus mata menggunakan Convolutional Neural Network (CNN) dengan arsitektur ResNeSt. Terdapat masalah keterbatasan jumlah data pada kelas RD sehubungan dengan perlindungan privasi pasien yang membatasi akses terhadap data medis. Untuk meningkatkan jumlah data, dilakukan augmentasi data dengan GAN untuk menghasilkan data baru berupa citra sintetis untuk kelas RD. Dilakukan pula percobaan dengan menerapkan Contrast Limited Adaptive Histogram Equalization (CLAHE) sebagai tahap preprocessing sebelum augmentasi dengan GAN dengan tujuan meningkatkan kualitas citra yang masuk sebagai input dari GAN. Lebih lanjut, penelitian ini menguji tiga skenario dengan dua rasio splitting data, yaitu 6:2:2 dan 6:1:3. Skenario 1 menjalankan model ResNeSt tanpa preprocessing CLAHE dan augmentasi GAN pada data input. Skenario 2 menjalankan model ResNeSt dengan augmentasi GAN pada data input. Sementara itu, skenario 3 menjalankan model ResNeSt dengan menerapkan preprocessing CLAHE dan augmentasi GAN pada data input. Untuk splitting data dengan rasio 6:2:2, skenario 1 menghasilkan nilai rata-rata accuracy 89,9%, sensitivity 76,3%, specificity 94,3%, dan loss 52,4%, skenario 2 menghasilkan nilai rata-rata accuracy 92,3%, sensitivity 88,2%, specificity 94,8%, dan loss 18,6%, sedangkan skenario 3 menghasilkan nilai rata-rata accuracy 95,9%, sensitivity 94,4%, specificity 96,8%, dan loss 9,8%. Sementara itu, untuk splitting data dengan rasio 6:1:3, skenario 1 menghasilkan nilai rata-rata accuracy 91,3%, sensitivity 78,6%, specificity 94,9%, dan loss 27,9%, skenario 2 menghasilkan nilai rata-rata accuracy 94%, sensitivity 90,2%, specificity 96,3%, dan loss 17,9%, sedangkan skenario 3 menghasilkan nilai rata-rata accuracy 97,9%, sensitivity 97%, specificity 98,4%, dan loss 5,4%. Didapatkan bahwa performa model terbaik adalah ketika menggunakan skenario 3 dengan rasio splitting data 6:1:3.

Retinal detachment (RD), also known as retinal ablation, is a condition where the neurosensory retina separates from its underlying layer, the retinal pigment epithelium (RPE), due to the loss of adhesion. RD can become a serious condition if not promptly treated, potentially leading to vision impairment, even permanent blindness. In Indonesia, an estimated 17,500–25,000 new cases of RD occur annually. However, with a limited number of doctors, conventional detection methods for RD may not be performed swiftly enough. Leveraging machine learning, particularly deep learning, which has rapidly advanced, RD detection can be facilitated through fundus imaging using Convolutional Neural Network (CNN) with ResNeSt architecture. A significant challenge arises due to the limited amount of data available for the RD class, as patient privacy regulations restrict access to medical data. To address this, data augmentation is applied using Generative Adversarial Networks (GAN) to generate synthetic images for the RD class. Additionally, experiments were conducted by applying Contrast Limited Adaptive Histogram Equalization (CLAHE) as a preprocessing step before GAN augmentation, aiming to enhance the quality of the images inputted into the GAN. This study further evaluates three scenarios with two data splitting ratios, 6:2:2 and 6:1:3. Scenario 1 involved training the ResNeSt model without CLAHE preprocessing or GAN augmentation. Scenario 2 involved training the ResNeSt model with GAN augmentation. Scenario 3 involved training the ResNeSt model with both CLAHE preprocessing and GAN augmentation. For the 6:2:2 data splitting ratio, Scenario 1 achieved an average accuracy of 89.9%, sensitivity of 76.3%, specificity of 94.3%, and loss of 52.4%. Scenario 2 achieved an average accuracy of 92.3%, sensitivity of 88.2%, specificity of 94.8%, and loss of 18.6%. Meanwhile, Scenario 3 achieved an average accuracy of 95.9%, sensitivity of 94.4%, specificity of 96.8%, and loss of 9.8%. For the 6:1:3 data splitting ratio, Scenario 1 achieved an average accuracy of 91.3%, sensitivity of 78.6%, specificity of 94.9%, and loss of 27.9%. Scenario 2 achieved an average accuracy of 94%, sensitivity of 90.2%, specificity of 96.3%, and loss of 17.9%. Meanwhile, Scenario 3 achieved an average accuracy of 97.9%, sensitivity of 97%, specificity of 98.4%, and loss of 5.4%. The best model performance was observed in Scenario 3 with a 6:1:3 data splitting ratio."
Depok: Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herardita Cahyaning Wulan
"Age-related macular degeneration (AMD) adalah penyakit degeneratif pada makula yang menyebabkan gangguan penglihatan sentral pada orang lanjut usia. Secara global, orang yang didiagnosis mengalami AMD mencapai 170 juta orang. Pada 2018, AMD menjadi penyebab kebutaan terbesar ketiga di Indonesia, setelah katarak dan gangguan refraksi. Salah satu pendekatan teknologi dalam bidang kedokteran adalah menggunakan sains data dan deep learning untuk mendeteksi dan mendiagnosis penyakit mata. Salah satu metode deep learning yang paling efektif untuk memahami data berbasis citra adalah Convolutionl Neural Network (CNN). Di antara arsitektur CNN yang dikembangkan, arsitektur EfficientNet merupakan salah satu yang paling efektif untuk mencapai akurasi terbaik pada tugas klasifikasi gambar serta efisien secara komputasional. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data citra fundus retina yang bersumber dari empat open source database. Terdapat dua kelas yang akan diklasifikasi yaitu Normal dan AMD. Dengan penggabungan beberapa dataset muncul beberapa masalah yaitu terdapat perbedaan dimensi dan kontras pada citra. Sebelum dataset digunakan untuk melatih model, dilakukan preprocessing dengan centered crop, resize, dan Contrast Limited Adaptive Histogram Equalization (CLAHE). Masalah lain yang muncul adalah ukuran dataset yang kecil karena sulitnya mendapatkan data medis pasien. Salah satu metode yang dapat menjadi solusi adalah Generative Adversarial Network (GAN) yang digunakan untuk menghasilkan data citra sintetis. Penelitian ini diajukan untuk menerapkan metode GAN guna meningkatkan kinerja model EfficientNet dalam mendeteksi AMD. Untuk melakukan hal tersebut dibuat tiga skenario untuk membandingkan kinerja EfficientNet. Skenario A yaitu melakukan klasifikasi dengan dataset asli, tanpa preprocessing CLAHE dan tanpa augmentasi GAN. Skenario B melakukan klasifikasi dengan dataset yang sudah diaugmentasi dengan GAN. Sedangkan, skenario C melakukan klasifikasi dengan dataset yang diaugmentasi dengan GAN dan melalui preprocessing CLAHE. Metrik evaluasi yang digunakan untuk mengukukur kinerja adalah akurasi, sensitivity, dan specifity. Pada skenario A dengan rasio splitting data 70:15:15 dan 80:10:10 didapat rata-rata akurasi sebesar 89,01% dan 88,52%. Sedangkan, pada skenario B dengan rasio 70:15:15 dan 80:10:10 didapat rata-rata akurasi sebesar 87,10% dan 89,86%. Pada Skenario C dengan rasio 70:15:15 dan 80:10:10 didapat rata-rata akurasi sebesar 88,97% dan 91,27%. Skenario terbaik adalah skenario C dengan rasio 80:10:10 dengan nilai akurasi tertinggi 92,96%, sensitivity tertinggi mencapai 93,55%, dan specifity tertinggi mencapai 95,00%.

Age-related macular degeneration (AMD) is a degenerative disease of the macula that causes central vision impairment in the elderly. Globally, the number of people diagnosed with AMD reaches 170 million. In 2018, AMD became the third leading cause of blindness in Indonesia, following cataracts and refractive errors. One technological approach in the field of medicine is utilizing data science and deep learning to detect and diagnose eye diseases. One of the most effective deep learning methods for understanding image-based data is the Convolutional Neural Network (CNN). Among the developed CNN architectures, EfficientNet is one of the most effective in achieving the best accuracy in image classification tasks while being computationally efficient. The data used in this research consists of fundus retinal images sourced from four open source databases. There are two classes: Normal and AMD. Combining multiple datasets presents several issues, such as differences in image dimensions and contrast. Before the dataset is used to train the model, preprocessing is conducted using centered crop, resize, and Contrast Limited Adaptive Histogram Equalization (CLAHE). Another emerging issue is the small dataset size due to the difficulty of obtaining patient medical data. One method that can provide a solution is the Generative Adversarial Network (GAN), which is used to generate synthetic image data. This study proposes to implement GAN to enhance the performance of the EfficientNet model in detecting AMD. To achieve this, three scenarios were created to compare the performance of EfficientNet. Scenario A involves classification with the original dataset, without CLAHE preprocessing and without GAN augmentation. Scenario B involves classification with the dataset augmented by GAN. Scenario C involves classification with the dataset augmented by GAN and processed through CLAHE preprocessing. The evaluation metrics used to measure performance are accuracy, sensitivity, and specificity. In Scenario A, with data splitting ratios of 70:15:15 and 80:10:10, the average accuracy obtained was 89.01% and 88.52%, respectively. In Scenario B, with the same data splitting ratios, the average accuracy obtained was 87.10% and 89.86%, respectively. In Scenario C, with data splitting ratios of 70:15:15 and 80:10:10, the average accuracy obtained was 88.97% and 91.27%, respectively. The best scenario is Scenario C with a ratio of 80:10:10, achieving the highest accuracy of 92.96%, the highest sensitivity of 93.55%, and the highest specificity of 95.00%."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Gilbert W.S.
"Terdapat banyak laporan mengenai biaya-efektifitas di bidang ilmu penyakit mata, tetapi laporan biaya-efektifitas vitrektomi antara bius lokal dibandingkan bius umum belum ditemukan di literatur nasional/internasional. Penelitian ini bermanfaat untuk pengambil kebijakan, penyedia jasa kesehatan dan asuransi. Untuk menjawab hal ini, peneliti melakukan penelitian kohort retrospektif di dua rumah sakit dengan jumlah 100 sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Efektifitas dihitung sebagai perbaikan tajam 2 skala logMAR atau lebih, dan biaya dihitung berdasarkan data yang diperoleh dari wawancara dan dikonfirmasi dengan surat keterangan yang berwenang. Hasil yang diperoleh adalah dibutuhkan biaya sebesar Rp. 23.959.000,- untuk mencapai efektifitas operasi (Perbaikan) sebesar 32% dengan bius umum. Sebesar Rp. 15.950.200,- diperlukan untuk mencapai efektifitas operasi (Perbaikan) sebesar 80 % dengan bius lokal. Interpretasi data ini butuh kehatian-hatian, juga untuk diterapkan secara umum (extrapolation). Penghematan biaya yang terjadi adalah sebesar 50,21% dengan bius lokal dibandingkan bius umum. Faktor yang berpengaruh secara multivariat terhadap perbaikan setelah operasi dan biaya adalah lamanya retina lepas (RR 1.85) bila lepas < 4 minggu, dan bius lokal (RR 2.58). Waktu tunggu (antara pertama kali berobat hingga dioperasi) lebih singkat di bius lokal (p 0.00) dan tindakan membrane peeling lebih banyak di bius lokal (p 0.00) merupakan dua hal yang berbeda bermakna. Dapat disimpulkan bahwa operasi vitrektomi untuk retina lepas dapat dilakukan dengan bius lokal dengan efektifitas lebih baik dan biaya lebih sedikit.

There were reports on cost-effectiveness in ophthalmology, but so far none of report on cost-effectiveness of vitrectomy between local and general anesthesia for rhegmatogenous retinal detachment, either in national or international journal. Meanwhile, this report is beneficial for health policy decision maker, health provider and insurance. To answer this limitation, we conduct retrospective cohort study in two hospitals with 100 subjects that fulfill inclusion and exclusion criteria. Effectiveness was visual acuity improvement in two or more logMAR scale after vitrectomy, and units cost data were given by both hospitals. The amount of Rp. 23.959.000,- was needed to achieve effectiveness 32% in general anesthesia. The amount of Rp. 15.950.200,- was needed to achieve effectiveness 80% in local anesthesia. These data interpretation and extrapolation should be done cautiously. There is cost-minimization 50,12% when doing vitrectomy under local versus general anesthesia. Multivariate analysis of effectiveness and cost showed that variables of detachment duration if less than 4 weeks (RR 1.85) and of local anesthesia (RR 2.58) were contributing for better surgical outcome. Shorter waiting time (time needed for surgery after diagnosed), and more membrane peeling done in local anesthesia group were different variabels (p 0.00) between two groups significantly. As conclusion, vitrectomy for rhegmatogenous retinal detachment can be done under local anesthesia with higher effectiveness and lower cost."
Jakarta: Universitas Indonesia, 2013
D1412
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghina Fedora
"Latar Belakang: Silicone oil (SO) merupakan salah satu substitusi vitreus yang digunakan pasca vitrektomi pars plana (VPP) dalam manajemen ablasio retina rhegmatogen. Beberapa komplikasi penggunaan SO meliputi katarak, peningkatan tekanan bola mata, emulsifikasi, keratopati hingga menurunnya ketebalan dan densitas vaskular makula. Tujuan: Mengetahui perubahan ketebalan makula sentral serta densitas vaskular pleksus superfisial pada pasien ablasio retina rhegmatogen pasca VPP dengan tamponade SO. Metode: 41 pasien ablasio dianalisis dalam studi ini yang menggunakan dua desain: observasional prospektif tanpa pembanding untuk membandingkan efek tamponade SO minggu-1 dengan minggu-4 dan potong lintang untuk membandingkan mata kontralateral dengan minggu-1 pasca tamponade SO. Hasil: Central subfield thickness (CST), superficial vascular density (SVD) serta superficial perfusion density (SPD) pada minggu-1 lebih rendah dibandingkan mata kontralateral (p<0,001). Pada minggu-4 pasca tamponade SO ditemukan peningkatan CST, SVD, SPD dibandingkan minggu-1 meskipun tidak signifikan secara statistik. Pada analisis tambahan, didapatkan usia diatas 50 tahun mengalami kecenderungan penurunan SVD (p 0,033) dan SPD (0,011) dibandingkan kelompok usia muda. Kesimpulan: Tidak didapatkan penurunan ketebalan makula sentral dan densitas vaskular pleksus kapiler superfisial makula di minggu-4 pasca PPV dengan SO. Didapatkan ketebalan makula sentral dan densitas vaskular pleksus kapiler superfisial makula yang lebih rendah di minggu-1 pasca tamponade SO dibandingkan mata kontralateral

Background: Silicone oil (SO) is one of the vitreous substitutes used after pars plana vitrectomy (PPV) for rhegmatogenous retinal detachment (RRD) management. Complications arising from SO include cataracts, increased ocular pressure, emulsification, keratopathy, and decreased macular thickness and vascular density. Objective: To determine changes in central macular thickness and superficial vascular density in RRD patients after PPV with SO. Method: 41 patients were included in this study, which comprises two designs: a prospective observational without comparison to compare the effect of SO tamponade week-1 with week-4 and a cross-sectional design to compare the contralateral eye with week-1 after SO tamponade. Results: Central subfield thickness (CST), superficial vascular density (SVD), and superficial perfusion density (SPD) were lower at week 1 after PPV with SO compared to the contralateral eye (p<0.001). At week 4 after PPV with SO, there was an increase in CST, SVD, and SPD compared to week 1, although not statistically significant. In additional analysis, we found that those aged over 50 had tendencies toward decreased SVD (p 0.033) and SPD (0.011) compared to the younger age group. Conclusion: There was no reduction in central macular thickness or superficial vascular density at week 4 after PPV with SO in RRD patients. Central macular thickness and superficial vascular density were lower on week 1 after SO tamponade compared to the contralateral eye."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Rania Nur Farahiyah
"Retinopati hipertensi merupakan penyakit yang timbul pada retina akibat komplikasi dari hipertensi atau tekanan darah tinggi. Pemeriksaan gejala retinopati hipertensi penting untuk dilakukan supaya penanganan yang tepat dapat diberikan. Gejala retinopati hipertensi terdapat pada pembuluh darah di retina sehingga diagnosis dapat dilakukan melalui citra fundus retina. Penelitian ini memanfaatkan model Data-Efficient Image Transformer (DeiT) untuk mengklasifikasikan citra fundus retina menjadi dua kelas, yaitu kelas retinopati hipertensi dan kelas normal. Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari empat database open-source, yaitu DRIVE, JSIEC, ODIR, dan STARE. Preprocessing berupa resize dan Contrast Limited Adaptive Histogram Equalization (CLAHE) diterapkan untuk menyeragamkan ukuran citra dan meningkatkan kontras citra. Generative Adversarial Network (GAN) digunakan untuk menghasilkan citra sintetis guna mengatasi masalah keterbatasan jumlah data serta meningkatkan variasi data yang dapat dipelajari oleh model DeiT. Penelitian ini menganalisis pengaruh metode GAN terhadap kinerja model DeiT dengan menggunakan metrik evaluasi accuracy, sensitivity, dan specificity. Analisis dilakukan dengan membandingkan tiga skenario: skenario A menggunakan data asli, skenario B menggunakan data hasil augmentasi GAN, dan skenario C menggunakan preprocessing CLAHE dan data hasil augmentasi GAN. Skenario A menunjukkan kinerja yang cukup baik dengan nilai rata-rata accuracy, sensitivitiy, dan specificity sebesar 94%, 97,7%, dan 84,6% untuk rasio pembagian data 70:30, serta 95,7%, 97%, dan 92,8% untuk rasio pembagian data 80:20. Skenario B mengungguli skenario sebelumnya dengan nilai rata-rata accuracy, sensitivitiy, dan specificity sebesar 96,4%, 97,2%, dan 95,7% untuk rasio pembagian data 70:30, serta 97,5%, 97,9%, dan 97,1% untuk rasio pembagian data 80:20. Pada skenario C, diperoleh nilai rata-rata accuracy, sensitivitiy, dan specificity sebesar 95,7%, 95%, dan 96,2% untuk rasio pembagian data 70:30, serta 95,5%, 94,9%, dan 96,4% untuk rasio pembagian data 80:20. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan metode GAN berhasil meningkatkan kinerja model DeiT, khususnya pada nilai specificity. Dari ketiga skenario yang diuji, skenario B yang memanfaatkan data sintetis hasil augmentasi GAN tanpa preprocessing CLAHE memberikan hasil yang paling unggul.

Hypertensive retinopathy is a disease that occurs in the retina due to complications from hypertension or high blood pressure. Examination of hypertensive retinopathy symptoms is important to ensure appropriate treatment can be performed. The symptoms of hypertensive retinopathy are found in the blood vessels of the retina, allowing diagnosis to be performed through retinal fundus images. This study uses the Data-Efficient Image Transformer (DeiT) model to classify retinal fundus images into two classes: hypertensive retinopathy and normal. The data used in this study were obtained from four different open-source databases: DRIVE, JSIEC, ODIR, and STARE. Preprocessing in the form of resizing and Contrast Limited Adaptive Histogram Equalization (CLAHE) was applied to standardize the image size and enhance the image contrast. Generative Adversarial Network (GAN) was used to generate synthetic images to address the problem of limited data availability and increase the variety of data that can be learned by the DeiT model. This study analyzes the impact of the GAN method on the performance of the DeiT model using evaluation metrics of accuracy, sensitivity, and specificity. The analysis was conducted by comparing three scenarios: scenario A using the original data, scenario B using GAN-augmented data, and scenario C using CLAHE preprocessing and GAN-augmented data. Scenario A showed fairly good performance with average accuracy, sensitivity, and specificity values of 94%, 97.7%, and 84.6% for a 70:30 data split ratio, and 95.7%, 97%, and 92.8% for an 80:20 data split ratio. Scenario B outperformed the previous scenario with average accuracy, sensitivity, and specificity values of 96.4%, 97.2%, and 95.7% for a 70:30 data split ratio, and 97.5%, 97.9%, and 97.1% for an 80:20 data split ratio. In scenario C, the average accuracy, sensitivity, and specificity values were 95.7%, 95%, and 96.2% for a 70:30 data split ratio, and 95.5%, 94.9%, and 96.4% for an 80:20 data split ratio. The results of the study indicate that the application of the GAN method successfully improved the performance of the DeiT model, particularly in terms of specificity. Out of the three scenarios tested, scenario B, which utilized GAN-augmented synthetic data without CLAHE preprocessing, yielded the best results."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tsania Rachmah Rahayu
"Koroid memiliki peran dalam mengatur metabolisme fotoreseptor dan epitel pigmen retina (EPR) serta sumber perdarahan ke lapisan luar retina. Pada miopia terjadi elongasi aksial yang berdampak pada penipisan ketebalan koroid dan memengaruhi prognosis visual. Studi ini bertujuan mengetahui hubungan antara ketebalan koroid dengan derajat miopia dan ketebalan fotoreseptor-EPR. Studi ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan pada 102 mata. Setiap subjek dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu emetropia, miopia ringan, sedang, dan berat. Setiap subjek dilakukan pemeriksaan mata menyeluruh dan pemindaian makula menggunakan spectral domain optical coherence tomography (SD-OCT), dengan pengaturan HD-1-Line100x dan enhanced depth imaging (EDI). Gambar pemindaian dinilai secara manual dan dikelompokkan berdasarkan Early Treatment of Diabetic Retinopathy Study (ETDRS) grid. Hasil studi menunjukkan ketebalan koroid terbesar ditemukan di subfovea atau lingkar superior bergantung pada kelompok, dan ketebalan terendah ditemukan pada regio nasal setiap kelompok. Terdapat perbedaan signifikan ketebalan koroid dengan derajat miopia pada setiap kelompok. Korelasi signifikan ketebalan koroid dan ketebalan lapisan fotoreseptor-EPR hanya ditemukan pada lingkar inferior dalam (r=0,34; p<0,001). Penelitian ini menunjukkan ketebalan koroid yang beragam dan signifikan tiap derajat miopia, serta korelasi negatif lemah antara ketebalan koroid dan ketebalan lapisan fotoreseptor-EPR pada di regio inferior.

The choroid is crucial for regulating the metabolism of photoreceptors and the retinal pigment epithelium (RPE) while supplying blood to the outer retinal layer. Myopia, characterized by axial elongation, is linked to choroidal thinning, impacting visual prognosis. This study investigates the relationship between choroidal thickness (CT), different myopia degrees, and photoreceptor-RPE thickness. In a cross-sectional study of 102 eyes, categorized into emmetropia, mild, moderate, and high myopia groups, comprehensive eye exams and macular scans using spectral domain optical coherence tomography (SD-OCT) with HD-1-Line100x settings and enhanced depth imaging (EDI) were conducted. Manual evaluations of scan images based on the Early Treatment of Diabetic Retinopathy Study (ETDRS) grid revealed varied and significant CT across myopia degrees. The thickest CT found either in the subfovea or superior ring depending on the group, and the thinnest consistently in the nasal region for all groups. A significant correlation between choroidal thickness and photoreceptor-RPE layer thickness was noted in the inner inferior circle (r=0.34; p<0.001). In summary, this study unveils varying and significant CT across myopia degrees, emphasizing weak negative correlations between choroidal thickness and photoreceptor-RPE layer thickness, specifically in the inferior region."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alva Andhika Sa`Id
"Degenerasi makula atau Age-Related Macular Degeneration (AMD) adalah penyakit mata yang menyebabkan kebutaan pada bagian tengah mata yang merusak kinerja retina pada bagian makula yang berfungsi untuk mempertajam penglihatan untuk beberapa aktivitas, seperti membaca, menulis, dan mengenali wajah seseorang. Penderita AMD akan mengalami penglihatan yang buram, distorsi penglihatan, atau bahkan kehilangan penglihatannya. Dalam mendiagnosis AMD dapat digunakan oftalmoskopi, beberapa metodenya yaitu Ocular Coherence Tomography (OCT) dan fotografi fundus sudah banyak dilakukan untuk membantu diagnosis AMD. Namun, diagnosis AMD dengan mengandalkan ahli dapat berlangsung lama dan memungkinkan terjadinya error subjektivitas oleh pendiagnosis. Diagnosis awal diperlukan untuk mendeteksi adanya kemungkinan terjadinya AMD pada tahap awal yang gejalanya tidak dirasakan oleh penderita. Pendekatan diagnosis AMD salah satunya dapat dilakukan dengan pendekatan machine learning. Machine learning sudah berperan besar dalam sektor medis membantu permasalahan klasifikasi diagnosis penyakit seperti metode Support Vector Machines (SVM) dan Twin Support Vector Machines (TSVM). Salah satu cabang machine learning yang sangat baik dalam klasifikasi penyakit lewat gambar adalah deep learning. Metode yang digunakan deep learning untuk permasalahan klasifikasi data citra salah satunya adalah Convolutional Neural Network (CNN). Pada penelitian ini, akan digunakan metode Convolutional Neural Network – Twin Support Vector Machines (CNN-TSVM) untuk mengklasifikasi penyakit AMD menggunakan data citra fundus yang diperoleh dari Ocular Disease Recognition (ODIR-5K) 2019, dengan 227 data citra fundus normal dan 227 data citra fundus penyakit AMD. Evaluasi kinerja metode CNN-TSVM menggunakan teknik hold-out validation dengan membagi data latih dan data uji dengan proporsi 10% - 90% dan metrik akurasi, presisi, dan recall. Hasil kinerjanya dibandingkan dengan metode CNN dan Convolutional Neural Network – Support Vector Machines (CNN-SVM). Hasil yang diperoleh menunjukkan CNN-TSVM menggunakan kernel RBF memberikan akurasi dan recall terbaik, sementara CNN-TSVM menggunakan kernel polinomial memberikan presisi terbaik.

Age-related Macular Degeneration (AMD) is an eye disease that causes blindness in the middle of the eye that impairs retinal performance in the macula that serves to sharpen vision for some activities, such as reading, writing, and recognizing a person's face. AMD sufferers will experience blurred vision, vision distortion, or even loss of vision. In AMD diagnosed, ophthalmology can be used, several methods of ophthalmology including Ocular Coherence Tomography (OCT) and fundus photography have been widely done to help the diagnosis of AMD. However, AMD diagnosis by relying on experts can be long-lasting and allow subjective errors to occur in the diagnosis. An initial diagnosis is needed to detect the possibility of AMD occurrence at an early stage where symptoms are not felt by the sufferer. One of AMD diagnosis approach can be done with machine learning approach as one of artificial intelligence methods. Machine learning method has played a major role in the medical sector helping classification problems of disease diagnosis such as Support Vector Machines (SVM) and Twin Support Vector Machines (TSVM). One of the excellent branches of machine learning in the classification of diseases through images is deep learning. The suitable method used by deep learning for image data classification problems is convolutional neural network (CNN). In this study, Convolutional Neural Network–Twin Support Vector Machines (CNN-TSVM) method will be used to classify AMD diseases using fundus image data obtained from Ocular Disease Recognition (ODIR-5K) 2019, with 227 normal fundus image data and 227 fundus image data of AMD disease. Performance evaluation of CNN-TSVM method using hold-out validation techniques by dividing training data and testing data by a proportion of 10% - 90% and metrics of accuracy, precision, and recall. The performance results will be compared to CNN and Convolutional Neural Network – Support Vector Machines (CNN-SVM). The results showed CNN-TSVM using RBF kernel provided the best accuracy and recall, while CNN-TSVM using polynomial kernel provided the best precision."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widi Nugroho
"Bayi prematur adalah bayi yang lahir dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu yang memiliki sistem saraf dan organ-organ yang belum sempurna sehingga lebih beresiko mengalami berbagai masalah kesehatan. Salah satu masalah kesehatan yang dapat terjadi adalah pada organ mata yang merupakan organ penting dalam perkembangan bayi. Retinopathy of Prematurity (ROP) merupakan salah satu penyakit mata yang terjadi pada bayi prematur yang disebabkan oleh pembentukan pembuluh darah retina yang tidak normal. Proses diagnosis yang dilakukan oleh dokter mata belum bisa mengatasi kenaikan jumlah kasus ROP, sehingga disini penulis menggunakan pendekatan deep learning untuk melakukan klasifikasi tingkat keparahan ROP pada citra fundus retina. Metode deep learning yang digunakan adalah Convolutional Neural Network (CNN) dengan arsitektur ResNet50. Data yang digunakan pada penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari online database Kaggle berupa 90 data citra fundus retina yang terbagi atas 38 citra bukan penderita ROP, 19 citra penderita ROP Stage 1, 22 citra penderita ROP Stage 2, dan 11 citra penderita ROP Stage 3. Pada tahap persiapan data, dilakukan perbaikan kontras citra menggunakan Contrast Limited Adaptive Histogram (CLAHE) dan image masking. Kemudian dilakukan resize citra menjadi ukuran 224×224. Data kemudian diaugmentasi menggunakan teknik flip horizontal dan rotation agar data menjadi lebih banyak yang kemudian dibagi menjadi 80% data training dan 20% data testing. Dari 80% data training, diambil 20% untuk data validation. Training model dilakukan menggunakan model dengan arsitektur ResNet50 dengan hyerparameter model yaitu batch size 64, learning rate 0.001, dan epoch sebanyak 30, fungsi optimasi Adam (Adaptive moment estimation), dan fungsi loss categorical cross entropy. Proses modelling dilakukan sebanyak 5 kali percobaan dan berhasil memperoleh nilai rata-rata kinerja training model sebesar 99.714% dan 92.85% pada akurasi training dan akurasi validation-nya, selain itu diperoleh nilai 0.01864 dan 0.18434 pada loss training dan loss validation. Sedangkan rata-rata kinerja testing model berhasil memperoleh akurasi testing sebesar 97.352%, testing loss sebesar 0.0986374, dan AUROC sebesar 0.0955. Selain melakukan evaluasi kinerja, peneliti juga akan menggunakan GradCAM untuk menampilkan visualisasi ciri-ciri yang dianggap penting untuk nantinya membantu dokter dalam mengevaluasi ROP.

Premature infants are babies born with a gestational age of less than 37 weeks, and they have underdeveloped nervous systems and organs, making them more susceptible to various health issues. One of the health problems that can occur involves the eye, which plays a crucial role in the baby's development. Retinopathy of Prematurity (ROP) is one of the eye diseases that affects premature infants and is caused by abnormal blood vessel formation in the retina. The current diagnostic processes performed by ophthalmologists have not been effective in addressing the increase in ROP cases. Therefore, in this study, the author employs a deep learning approach to classify the severity of ROP in retinal fundus images. The deep learning method utilized is the Convolutional Neural Network (CNN) with the ResNet50 architecture. The research data consists of 90 retinal fundus images obtained from the online database Kaggle, comprising 38 images of non-ROP cases, 19 images of ROP Stage 1, 22 images of ROP Stage 2, and 11 images of ROP Stage 3. In the data preparation phase, the image contrast is enhanced using Contrast Limited Adaptive Histogram (CLAHE) and image masking techniques. Subsequently, the images are resized to 224×224 dimensions. Data augmentation is performed using horizontal flip and rotation techniques to increase the dataset, which is then split into 80% training data and 20% testing data. From the 80% training data, 20% is further allocated for validation data. The model is trained using the ResNet50 architecture with hyperparameters set to batch size 64, learning rate 0.001, and 30 epochs. The optimization function used is Adam (Adaptive Moment Estimation), and the loss function is categorical cross-entropy. The modeling process is repeated five times, and the average performance of the training model is achieved at 99.714% for training accuracy and 92.85% for validation accuracy, with training and validation losses of 0.01864 and 0.18434, respectively. As for the average performance of the testing model, the testing accuracy is 97.352%, the testing loss is 0.0986374, and the AUROC (Area Under the Receiver Operating Characteristic) is 0.0955. In addition to evaluating the model's performance, the researcher also employs GradCAM to visualize important features, which can assist doctors in evaluating ROP cases.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dialika
"Latar belakang: Salah satu efek samping yang cukup dikenal dalam pengobatan TB adalah efek samping akibat konsumsi etambutol, yang dikenal sebagai neuropati optik etambutol (NOE). Beberapa studi baru-baru ini pada hewan coba yang diberikan etambutol mendapatkan adanya penurunan jumlah sel ganglion retina pasca konsumsi etambutol.
Tujuan: Untuk mengetahui perubahan ketebalan RNFL peripapil dengan menggunakan OCT setelah konsumsi etambutol dan mengetahui korelasi perubahan ketebalan RNFL peripapil dengan perubahan fungsi penglihatan.
Desain Penelitian prospektif dengan uji klinis tunggal.
Hasil: Terdapat 29 subjek yang berpartisipasi pada studi ini, dengan rerata dosis etambutol yang dikonsumsi 16,44 ± 2,7 mg/kgBB/hari. Ditemukan perubahan signifikan ketebalan RNFL 2 bulan setelah konsumsi etambutol pada kuadran superior (147 ; 141μm), nasal (92 ; 88μm) dan pada rerata seluruh kuadran (116,77 ; 112,65 μm). Nilai rerata tajam penglihatan, sensitivitas warna dan lapang pandangan mengalami perubahan signifikan, namun bukan perubahan yang bermakna secara klinis. Pada studi ini korelasi antara perubahan masing-masing parameter fungsi penglihatan dengan perubahan ketebalan rerata RNFL tidak bermakna secara statistik (p > 0,05).
Kesimpulan: Terdapat penurunan ketebalan RNFL peripapil setelah mengkonsumsi etambutol selama 2 bulan, namun belum mencapai penurunan yang bermakna klinis. Terdapat perubahan tajam penglihatan, sensitivitas warna, dan lapang pandangan yang bermakna setelah mengkonsumsi etambutol selama 2 bulan. Tidak terdapat korelasi antara perubahan ketebalan RNFL peripapil dengan perubahan masing-masing fungsi penglihatan.

Background: Ethambutol Optic Neuropathy (EON) is a well-known side effect within patients receiving ethambutol therapy. Recent studies performed in animals reveal decreased amount of retinal ganglion cells after they are given ethambutol.
Purpose: To evaluate peripapillary RNFL thickness changes using OCT, before and after patients receive ethambutol therapy. To know the correlation of RNFL thickness changes with the changes of visual function.
Study design: One group pretest-posttest study.
Result: There was 29 subjects enrolling the study, with the mean dose of ethambutol 16,44 ± 2,7 mg/kgBW/day. We found significant changes of peripapillary RNFL thickness 2 months after consuming ethambutol in superior (147 ; 141 μm), nasal (92 ; 88 μm) and average RNFL thickness (116,77 ; 112,65 μm). The mean visual acuity, color sensitivity and visual field also change significantly, without clinically meaningful changes. This study did not found any statistically significant correlation between RNFL thickness changes and the changes of visual function parameters (p>0,05).
Conclusion: After 2 months ethambutol consumption, there was a statistically significant peripapillary RNFL thinning, with non-clinically significant amount of reduction. There was also significant changes of visual acuity, color sensitivity and visual field. No correlation was found between RNFL thickness thinning and visual function parameters changes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T58939
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>