Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 211842 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zevanya Lavita Ebella Noija
"Tulisan ini tentang pencucian hijau terkait perubahan iklim (climate washing) yang sedang marak terjadi. Seiring meningkatnya upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, timbul kekhawatiran dari berbagai pihak, termasuk masyarakat, konsumen, dan aktivis lingkungan mengenai kredibilitas dan integritas dari aksi iklim yang dilaksanakan oleh sektor privat maupun sektor publik. Kekhawatiran ini terutama disebabkan oleh banyaknya komitmen terkait iklim dan lingkungan yang dinyatakan secara luas. Pembuatan komitmen dan klaim terkait lingkungan dan iklim yang tidak berdasar sehingga menyesatkan tersebut diistilahkan sebagai climate washing oleh ahli maupun lembaga internasional. Dalam menghadapi maraknya kasus dan tuduhan terkait climate washing, terdapat beberapa kerangka hukum dan kebijakan yang berkaitan dengan climate washing. Tulisan ini mengkritisi bahwa meski sudah tersedia kerangka hukum dan kebijakan Indonesia terkait climate washing, masih terdapat beberapa kerangka hukum dan kebijakan di Indonesia yang membutuhkan pengoptimalan untuk menghadapi maraknya climate washing. Kritik tersebut diperoleh melalui pembelajaran yang didapatkan dari kerangka hukum dan kebijakan terkait climate washing yang ada di dunia internasional.

This article is about greenwashing related to climate change (climate washing) which is currently happening. As efforts to mitigate and adapt to climate change increase, concerns arise from various parties, including the public, consumers and environmental activists regarding the credibility and integrity of climate action carried out by the private and public sectors. This concern is mainly due to the many widely stated climate and environmental commitments. Making commitments and claims related to the environment and climate that are unfounded so that the agreement is termed as Climate Washing by international experts and institutions. In facing the increasing number of cases and accusations related to Climate Washing, there are several legal and policy frameworks related to Climate Washing. This article criticizes that even though Indonesia's legal and policy framework regarding Climate Washing is available, there are still several legal and policy frameworks in Indonesia that play a role in dealing with the rise of Climate Washing. This criticism was obtained through lessons learned from the existing climate-related legal and policy frameworks in the international world."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cornelia Ingrid Setiawan
"Tugas Karya Akhir ini membahas tentang tindakan greenwashing yang dilakukan oleh industri fast fashion melalui koleksi pakaian berkelanjutan, dengan berfokus pada koleksi dari H&M Conscious. Dengan menggunakan metode pengumpulan data existing statistics reseach dan metode content analysis, penulis menggunakan data dari buku, artikel jurnal, laporan tahunan terkait keberlanjutan yang dikeluarkan oleh H&M, laporan dari NGO, dan beberapa artikel berita untuk melakukan analisis. Lebih lanjut, penulis juga mengidentifikasi peran video promosi dan media daring milik H&M dalam tindakan greenwashing. Dengan menggunakan perspektif green criminology, hasil analisis menunjukkan bentuk tindakan greenwashing yang dilakukan oleh perusahaan H&M dalam proses produksi dan penggunaan bahan yang menyebabkan terjadinya environmental harm. Dalam hal ini, perusahaan kemudian memanfaatkan media daring yang dimiliki oleh perusahaan untuk membangun citra dan meyakinkan konsumen.

This Final Assignment discusses the greenwashing practices done by the fast fashion industry through sustainable clothing collections by focusing H&M Conscious collection. Using existing statistics research data collection method and content analysis method, the author utilized data from books, journal articles, H&M's annual sustainability reports, reports from NGOs, and several news articles for analysis. Furthermore, the author also identified the role of H&M's promotional videos and online media in greenwashing practices. By applying a green criminology perspective, the analysis revealed forms of greenwashing conducted by H&M in the production process and the materials used that result in environmental harm. In this regard, the company then leverages its online media platforms to maintain its image and convince consumers."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vandezande, Niels
"In the last few years, the cryptocurrency bitcoin has repeatedly made worldwide headlines with its fluctuations in value and the uncertainty regarding the legal framework under which it operates. While bitcoin has swiftly become the foremost example of a virtual currency, it is by no means the only one. In-game currencies and currencies used as part of a loyalty scheme are examples as of other forms of virtual currencies. Moreover, new forms of virtual currency used mainly for investment purposes—derived from cryptocurrencies such as bitcoin—are rapidly gaining hold. This book focuses on the legal aspects of virtual currencies from the perspective of financial and economic law. It establishes a typology of virtual currencies and assesses whether they can be considered as money. The author analyzes whether the EU legal frameworks on electronic money, payment services, anti-money laundering, and markets in financial instruments can be applied to virtual currencies. A functional comparison is made to the US, where more regulatory initiative has been identified. The book concludes by answering the question of whether—and how—virtual currencies should be regulated within the EU."
Cambridge: Intersentia, 2018
e20519159
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Farizan Hawali
"Tulisan ini menganalisis perkembangan obligasi biru di Indonesia dan potensi permasalahan yang mungkin timbul akibat proses penerbitan obligasi biru di Pasar Obligasi Jepang. Selain itu, artikel ini juga menjelaskan dampak dan risiko hukum dari penerbitan ini serta memberikan perbandingan singkat dengan penerbitan obligasi biru yang dilakukan oleh Republik Seychelles, Republik Fiji, Bank of China, dan Pemerintah Provinsi Hainan. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Obligasi biru merupakan obligasi berkelanjutan yang menggunakan konsep ekonomi biru yang termasuk dalam 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Indonesia telah menerbitkan obligasi biru di Pasar Obligasi Jepang pada tahun 2023 untuk mendukung proyek-proyek yang memperhatikan pertumbuhan ekonomi biru sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Kelautan. Namun karena obligasi biru diterbitkan di Pasar Obligasi Jepang, maka penting untuk memastikan proses penerbitannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku, seperti Peraturan Menteri Keuangan No. 215/PMK.08/2019 tentang Penjualan dan Pembelian Kembali Surat Utang Negara dalam Valuta Asing di Pasar Internasional dan Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2022 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2023. Selain itu, penting juga untuk mengetahui dampak dan risiko hukum yang mungkin timbul dari penerbitan obligasi biru tersebut. Selain itu, perbandingan singkat dengan penerbitan obligasi biru yang dilakukan oleh negara dan lembaga lain dapat menunjukkan beberapa perbandingan mengenai struktur obligasi biru, pihak-pihak yang terlibat, dan penggunaan dana obligasi biru tersebut sehingga Indonesia dapat mengkaji dan meningkatkan kapasitasnya dalam hal ini. melakukan penerbitan obligasi biru di masa depan. Beberapa cara yang dilakukan adalah dengan melakukan pengujian lebih lanjut terhadap obligasi biru, membuat kerangka kerja yang detail, dan meningkatkan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.

This article analyzes the development of blue bonds in Indonesia and the potential problems that could arise due to the blue bond issuance process on the Japanese Bond Market. Apart from that, this article also describes the legal impacts and risks of this issuance and provides a brief comparison with the blue bond issuance carried out by the Republic of Seychelles, the Republic of Fiji, the Bank of China, and the Hainan Provincial Government. This article was prepared using doctrinal research methods. Blue Bond is a sustainable bond that uses the blue economy concept, which is included in the 17 Sustainable Development Goals. Indonesia will issue Blue Bonds on the Japanese Bond Market in 2023 to support projects that pay attention to blue economic growth as mandated by Law Number 32 of 2014 concerning Marine Management. However, because Blue Bonds are issued on the Japanese Bond Market, it is important to ensure that the issuance process complies with applicable regulations, such as Minister of Finance Regulation No. 215/PMK.08/2019 concerning the Sale and Repurchase of Government Debt Securities in Foreign Currency in International Markets and Law Number 28 of 2022 concerning the 2023 State Expenditure and Expenditure Budget. Apart from that, it is also important to know about the impact and legal risks that could arise from the issuance of the blue bond. Apart from that, a brief comparison with blue bond issuances carried out by other countries and institution can show several comparisons on the blue bond structures, parties involved, and the use of proceeds of the blue bonds so that Indonesia can study and increase its capacity in carrying out blue bond issuances in the future. Some ways are by carrying out further testing of blue bonds, creating a detailed framework, and increasing compliance with applicable laws and regulations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dadang Solihin
"This policy paper carries the theme: Towards Professional Planners in the Termination of Stages of RPJPN 2005-2025 and Determination of Strategy for Implementing Indonesia's Vision 2045. With Sub-themes: Increasing the Role of Planners in the Long-Term Perspective Framework for the Indonesian Vision 2045. It is concluded that there are three problems faced in increasing the role of planners in the framework of the elaboration of the Indonesian Vision 2045, as well as in preparing policy recommendations to realize professional planners. The three problems are the lack of understanding of JFP regulations, the existence of "minor" opinions on JFP, and a lack of leadership commitment. To overcome these three problems, the authors propose four alternative policies and three types of recommendations to be carried out by the parties in a planned and coordinated manner. This policy paper recommends that to deal with the VUCA phenomenon, a planner must be visionary, innovative and agile. Furthermore, with the enactment of the Industrial Revolution 4.0 and beyond, professional planners are required to have six abilities, namely: Complex Problem Solving, Social Skills, Process Skills, System Skills, Digital Skills, and Cognitive Abilities."
Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas, 2020
330 BAP 3:1 (2020)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Afiatha Rania Fitri
"Salah satu permasalahan lingkungan yang sedang marak dibicarakan adalah sampah plastik dari produk kecantikan. Hal tersebut mendorong perusahaan untuk memproduksi produk yang aman bagi lingkungan, salah satunya The Body Shop. Dimana The Body Shop mengeluarkan klaim “New Commitment : Enrich Not Exploit. Namun, klaim tersebut dikritik oleh banyak pihak karena hanya dianggap sebagai teknik marketing. Mengacu dari hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persepsi konsumen terutama generasi Milenial & Z, terkait greenwashing yang dilakukan oleh The Body Shop dan menganalisis risiko yang dialami konsumen seperti financial perceived risk dan green perceived risk. Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini yaitu kuantitatif dengan metode konklusif. Pada penelitian ini melakukan pengumpulan data yang dilakukan menggunakan metode non probability sampling dengan purposive sampling dan snowball sampling. Pengolahan data pada penelitian ini menggunakan software SPSS dan SMARTPLS. Hasil yang ditemukan pada penelitian ini menunjukan bahwa dengan adanya persepsi greenwashing yang dimiliki oleh konsumen meningkatkan risiko finansial dan risiko hijau yang dirasakan. Dan dengan adanya risiko finansial dapat menurunkan niat membeli konsumen.

One of the environmental problems that is being widely discussed is plastic waste from beauty products. This encourages companies to produce products that are safe for the environment, one of which is The Body Shop. Where The Body Shop issued the claim "New Commitment: Enrich Not Exploit. However, this claim was criticized by many parties because it was only considered a marketing technique. Referring to this, this research aims to determine consumer perceptions, especially the Millennial & Z generation, regarding greenwashing carried out by The Body Shop and analyze the risks experienced by consumers such as financial perceived risk and green perceived risk. The research design used in this research is quantitative with a conclusive method which aims to test hypotheses, look at problems and make decisions. In this research, sample collection was carried out using non-probability sampling methods with purposive sampling and snowball sampling. Data processing in this research used SPSS and SMART PLS software. The results found in this research indicate that the perception of greenwashing presence of greenwashing can also increase financial risk and perceived green risk. And the presence of financial risks can reduce consumers' purchasing intentions."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andreas Pramudinto
"Dalam salah satu skenario yang dikeluarkan oleh IPCC telah diprediksi bahwa peningkatan konsentrasi gas rumah kaca untuk tahun 2030 akan setara dengan pelipatgandaaan kandungan karbondioksida dalam atmosfer dan tingkat masa pra industri. Dan jumlah itu, setengah dari yang diproyeksikan dalam bentuk karbondioksida dan sisanya merupakan gabungan dari gas rumah kaca yang lain. Hal ini akan berakibat terjadinya peningkatan suhu di tahun 2030 sebesar 1 ° Celcius diatas suhu saat ini (tahun 1990) dan peningkatan keseluruhan sebesar 3 ° Celcius pada akhir abad 21. Kisaran ketidakpastian dinyatakan sebesar 0,5 ° Celcius hingga 1,5 ° Celcius dan untuk akhir abad 21 sebesar 1,5 ° Celcius hingga 4,5 ° Celcius.
Dengan adanya bukti ilmiah ini diperlukan upaya penanganan terhadap fenomena perubahan iklim tersebut. Untuk itu menjelang berakhirnya abad 20, kesibukan para pejabat diplomatik telah meningkatkan intensitasnya terutama dalam perundingan global draft konvensi mengenai perubahan Iklim sebagai upaya mengurangi dampak perubahan iklim. Komitmen ini akhirnya dicapai dengan ditandatanganinya UNFCCC (United Nations Framework on the Convention an Climate Change/UNFCCC) atau Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Perubahan Iklim 1992 pada KTT Bumi 1992 di Rio De Janerio, Brazil. Indonesia baru meratifikasi 2 tahun kemudian melalui Undang-undang No. 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Kerangka Kerja Mengenai Perubahan Iklim 1992. Pada tahun 1997 ketika diadakan Konperensi. Para Pihak Ke-3 (Conference of the Parties/COP-3) di Kyoto, Jepang telah ditandatangani Protokol Kyoto 1997 sebagai pelaksanaan dari UNFCCC. Namun hingga sekarang protokol ini belum berlaku penuh (not enter into force yet) dan belum diratifikasi oleh Indonesia.
Suatu perjanjian internasional yang telah ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia tidak langsung diterapkan oleh kalangan stakeholders. Untuk dapat diterapkan harus melalui proses ratifikasi, dan setelah diratifikasi dapat dilakukan upaya-upaya seperti pembentukan kelembagaan serta peraturan pelaksanaan bahkan juga upaya penegakan hukumnya. Namun bagi perjanjian internasional yang belum diterapkan diperlukan juga antisipasi dalam menghadapi proses menuju ratifikasi. Antisipasi itu dapat berupa penyiapan kelembagaan, sumberdaya manusia serta perangkat perundang-undangan. Dengan demikian baik perjanjian internasional yang sudah diratifikasi maupun yang akan diratifikasi tetap memerlukan suatu proses terlebih dahulu.
Salah satu upaya agar perjanjian internasional dalam pelaksanaannya maupun antisipasi pelaksanaannya dapat berjalan dengan baik maka diperlukan gambaran mengenai pengetahuan serta sikap stakeholders yang menangani perjanjian internasional ini. Adanya gambaran ini sangat penting karena akan diperoleh informasi mengenai hasil ratifikasi dan antisipasi menjelang diratifikasinya suatu perjanjian internasional.
Tujuan penelitian ini adalah menginventarisasi peraturan-peraturan, kelembagaan serta sumberdaya manusia yang berhubungan dengan Konvensi Kerangka Kerja mengenai Perubahan Iklim 1992 dan antisipasi Protokol Kyoto 1997.
Penelitian ini menggunakan penelitian non-eksperimental atau penelitian deskriptif-analitik dengan analisis kuantitatif dan kualitatif. Jenis penelitian termasuk penelitian eksploratif dan pengembangannya. Responden yang diambil dalam penelitian ini adalah kalangan stakeholders yang menangani masalah perubahan iklim yang berada di wilayah DKI Jakarta yaitu dari kalangan pemerintah, Iembaga swadaya masyarakat, dunia usaha atau asosiasi usaha dan pakar atau ahli.
Dalam penelitian ini peneliti ingin mencari hubungan antara pengetahuan perjanjian internasional perubahan iklim dengan sikap perjanjian internasional perubahan iklim. Pengetahuan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengetahuan mengenai UNFCCC 1992 dan Protokol Kyoto 1997. Sedangkan yang dimaksud sikap dalam penelitian ini adalah sikap mengenai pelaksanaan UNFCCC 1992 dan antisipasi Protokol Kyoto 1997.
Survey pada responden mengenai pengetahuannya tentang UNFCCC memperlihatkan dari 35 responden penelitian yang menjawab tahu adanya UNFCCC sebesar 85,7 %, sedangkan 14,3 % tidak tahu adanya UNFCCC. Jawaban 35 responden mengenai Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan lklim 1992/UNFCCC adalah sebanyak 42,9 % tahu. Sisanya 57,1 % responden tidak mengetahui ratifikasi ini. Sedangkan pengetahuan mengenai Undang-undang No. 6 tahun 1994 sebagai hasil ratifikasi hanya diketahui oleh responden sebesar 48,6 % dan 51,4 % tidak mengetahui adanya undang-undang ini.
Untuk Protokol Kyoto 1997 responden penelitian menjawab tahu adanya protokol ini 94,3 % sedangkan yang tidak tahu 5,7 %. Dari responden yang mengetahui protokol ini, sikap responden 88,6 % sangat setuju jika Indonesia meratifikasi Protokol Kyoto 1997 dan setuju 5,7 %. Sedangkan yang tidak mengetahui protokol ini menjawab ragu-ragu 5,7 %. Dalam wawancara selanjutnya yang menjawab ragu-ragu menyatakan bahwa untuk meratifikasi diperlukan studi lebih dalam lagi mengenal segala konsekuensi yang terjadi.
Sedangkan waktu ratifikasi, dari 35 responden penelitian yang menjawab bersikap sangat setuju jika Protokol Kyoto 1997 segera diratifikasi adalah 42,9 %. Sedangkan 45,7 % setuju dan 11,4 % ragu-ragu. Yang menjawab ragu-ragu menyatakan harus melihat situasi dan perkembangan nasional dan internasional.
Dari hasil penelitian ini telah mengungkapkan bahwa terdapat hubungan positif antara pengetahuan dengan sikap stakeholders sehubungan dengan pelaksanaan perjanjian internasional di bidang perubahan iklim. Selain itu pelaksanaan perjanjian internasional di bidang perubahan iklim belum berjalan dengan baik dikarenakan keterbatasan peraturan perundang-undangan, kelembagaan dan sumberdaya manusia khususnya pengetahuan dengan sikap stakeholders.
Dan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:
a. Pemerintah Indonesia sudah memiliki peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian internasional di bidang iklim.
b. Sudah ada beberapa lembaga yang telah menangani pelaksanaan perjanjian internasional dibidang perubahan iklim.
c. Sumber daya manusia terutama para pelaksana dikalangan stakeholders yang melaksanakan perjanjian internasional mengenai perubahan iklim umumnya sangat terbatas jumlahnya.
Saran untuk rekomendasi adalah :
a. Perlu dibuat peraturan pelaksanaan yang sesuai dengan Undang-undang No. 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan Kerangka Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim. Selain ltu perlu didukung rencana ratifikasi Protokol Kyoto 1997.
b. Perlu dilakukan sosialisasi terhadap Konvensi Perubahan Iklim 1992 dan Protokol Kyoto 1997.
c. Perlu adanya koordinasi yang kuat antar stakeholders dalam melaksanakan perjanjian internasional dibidang perubahan iklim.
d. Perlu ditingkatkan sumberdaya manusia dan kelembagaan yang menangani pelaksanaan perjanjian perubahan iklim.
e. Perlu mengetahui isu-isu baru dan memanfaatkan mekanisme baru.
f. Perlu dilakukan langkah-Iangkah konkrit dalam upaya menurunkan gas-gas rumah kaca (GRK).

In one scenario of Intergovernmental Panel on Climate Change or IPCC, it has been predicted that concentration of green house gases in 2030 will equal to the multiplication of carbon dioxide concentration in the atmosphere from pre-industrial era level. From that amount, half of it was projected to be carbon dioxide and the remainder would be combination of other green house gases. This condition will cause an increase in the air temperature in 2030 by 1°C higher from the temperature in 1990 and the total increase is estimated to be 3°C by the end of the century. The range of uncertainty was noted on 0,5 to 1,5°C and for the temperature at the end of the century it was ranged from 1,5°C to 4,5°C.
Effort is required in deal with this scientific evidence concerning the phenomenon of climate change. Hence towards the end of 20th century, the activity of the diplomatic staff has been increasing in intensity particularly in global discussion on convention draft about the climate change in an effort to minimize the impact of climate change. This commitment was finally achieved by the signing of United Nations Framework Convention on Climate Change in the 1992 Earth Summit at Rio De Janeiro Brazil. Indonesia has ratified it 2 years after that through the issue of Act Number 6 year of 1994. In the year 1997 at the conference of parties in Kyotso (Japan), signed the Kyoto Protocol 1999 as implementation of UNFCCC. However until today this protocol neither been enforced yet nor has it been ratified by the Indonesian Government.
An lnternational agreement that was signed by the government of Indonesia, has not been implemented directly as it has to pass a ratification process. After being ratified some effort would taken to implement it by the establishment of implementing institution as well as law enforcement of the regulations.
However some international agreement which has not been implemented are still anticipating time process of ratification. That anticipation could be a preparation of institution, human resources and regulations hence the two aspects still need the preparations process.
In effort to make the international agreement implementation and anticipation for ratification work better, It needs a description of knowledge and attitude of the stakeholders with authority to implement this lnternational agreement. This description is very important because it gives information about the ratification achievement and the before ratification of an international agreement. Therefore this research is aimed to enlist the regulations, institutions and human resources with United Nations Framework Convention on Climate Change 1992 and Anticipation of Kyoto Protocol 1997.
This research is a non-experimental research in which both quantitative and qualitative method is used analytical description. According to this research type, it is considered as an explorative research and its development. The respondents are from some stakeholders groups that deal with climate change problem in DKI Jakarta. The respondents were chosen from the government institution, NGO, businessmen or business association and expert in climate change problems.
Aim of this research is to find out the relationship between stakeholders knowledge on climate change convention and stakeholders attitude toward climate change convention. Knowledge on climate change convention in this research are UNFCCC 1992 and Kyoto Protocol 1997. The attitude that was examined are attitude toward implementation of UNFCCC 1992 and anticipation of Kyoto protocol 1997.
Survey in respondents knowledge about UNFCCC showed that 85,7 % of the thirty five respondents know about the existence of UNFCCC, while 14,3 % did not. From the 35 respondent only 42,9 % of them know that Indonesia has ratified it, while 57,1 % of them did not know about this ratification. The Act No. 6 in the year 1994 was issued as a result of the ratification UNFCCC only know by 48,6 % of respondents, while more than a half or 51,4 % did not know about this regulation.
For the Kyoto Protocol 1997 knowledge, most of respondents (94,3 %) know about Kyoto Protocol, while 5,7 % did not. The respondents attitude survey from 94,3 % of respondent who know Kyoto Protocol showed that 88,6 % strongly agree if Indonesia ratified the Kyoto Protocol 1997, the remaining 5,7 % of respondent agree. The respondents attitude survey from 5,7 % respondents who did know Kyoto Protocol were not sure about ratification of respondents who was not sure argued that we should consider the situation and its development in national and international conditions.
This research also revealed that there is a relationship between knowledge and attitude of the stakeholders concerning to the implementation of lnternational agreement in climate change sector. The implementation of international agreement would not proceed well due to factors like lack of regulations, institution and human resources, the knowledge and attitude of the stakeholders are equally important points to consider.
From the results obtained it can be concluded that :
a. The Indonesian government has already has some regulations concerning the implementation of lnternational agreement on climate change.
b. There are some stakeholders to deal with the implementation of international agreement on climate change.
c. The human resources especially the administrator of stakeholders that implement international agreement are very limited number.
Recommendation for the implementation of international agreement on climate change are:
a. The necessity to constitute the regulation of lmplementation according to 1994 Act Number 6 on Ratification of UN Framework Convention on Climate Change. It also need to be supported by the ratification plan of Kyoto Protocol
b. The necessity to socialize the climate change convention 1992 and Kyoto Protocol 1997. It also need to develop good information and communication related to some new problems that can emerge from the convention and its protocol.
c. The need for strong coordination between stakeholders in implementation of international agreements on climate change.
d. The necessity to increase capacity building including institution and human resources.
e. The need for learning of new issues and mechanism in UNFCCC and Kyoto Protocol.
f. The need of action no mitigate of green house gasses."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11073
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aghniya Fitri Kamila
"Keterlibatan dalam praktik corporate greenwashing telah memicu munculnya tuduhan dari NGO lingkungan kepada perusahaan. Penelitian ini menggunakan studi kasus teknik netralisasi perusahaan X dalam menanggapi tuduhan melakukan corporate greenwashing. Objek utama dalam penelitian ini adalah reaksi NGO lingkungan. Data diperoleh dari hasil wawancara terstruktur dengan tiga perwakilan NGO lingkungan di Indonesia dan dianalisis menggunakan teori interaksionisme simbolik. Hasilnya menunjukkan bahwa meskipun ketiga informan terlibat dalam kegiatan yang sama, hal tersebut tidak menjamin reaksi serupa. NGO lingkungan melihat teknik netralisasi sebagai bentuk lain dari corporate greenwashing. Dari kesembilan teknik netralisasi perusahaan X, reaksi NGO lingkungan cenderung mencerminkan peran sebagai bad cop yang meliputi menentang, memberikan apresiasi dengan catatan tambahan, memberikan tekanan, dan menyerang kembali. Temuan ini menunjukkan bagaimana reaksi NGO lingkungan berkaitan erat dengan prinsip, ideologi, dan/atau peraturan tertulis masing-masing sehingga hanya mencerminkan NGO lingkungan sebagai satu organisasi dan tidak mewakili NGO lingkungan secara keseluruhan.

Involvement in corporate greenwashing practices has sparked accusations against companies from environmental NGOs. This research uses a case study of company X's neutralization technique in response to accusations of corporate greenwashing. The main object of this research is the reaction of environmental NGOs. Data was obtained from structured interviews with three representatives of environmental NGOs in Indonesia and analyzed using symbolic interactionism theory. The results show that even if all three informants are involved in the same activity, this does not guarantee similar reactions. Environmental NGOs see neutralization techniques as another form of corporate greenwashing. Out of all the nine neutralization techniques of Company X, NGOs reactions tend to reflect the role of bad cop which includes opposing, providing appreciation with additional notes, applying pressure, and attacking. These findings show how the reactions of environmental NGOs are closely related to their respective principles, ideologies and/or written rules so that they only reflect environmental NGOs as an organization and do not represent environmental NGOs as a whole."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Zaky Nur Fajar
"

Diluncurkan pada tahun 2013, Belt and Road Initiative (BRI) merupakan salah satu mega proyek terbesar di dunia, dengan fokus utama pada pengembangan infrastruktur transportasi dan energi. Dengan skala dan ambisi yang besar, BRI mendapat banyak sorotan terkait dampak lingkungan dan keberlanjutannya. Sebagai tanggapan, komitmen hijau BRI diperkenalkan oleh China pada tahun 2017 dan diamplifikasi kembali pada tahun 2019. Sayangnya, masih banyak pihak yang skeptis bahwa komitmen hijau tersebut hanya sekadar greenwashing  untuk memperbaiki citra China di kancah global. Oleh karena itu, studi ini mengadopsi pendekatan kuantitatif eksperimental, menggunakan metodologi staggered multiple difference-in-difference untuk mengevaluasi efektivitas BRI sebelum dan setelah komitmen hijau dalam mengamplifikasi dampak lingkungan OFDI di negara-negara sepanjang rute. Hasil menunjukkan bahwa BRI tidak dapat mengamplifikasi pengaruh signifikan antara OFDI China dengan emisi CO2 per kapita secara keseluruhan. Setelah komitmen hijau diterapkan, OFDI menyebabkan penurunan emisi jika sebelum komitmen tersebut sebuah negara telah terlebih dahulu mengadopsi BRI. Jika tidak, penerapan Green BRI justru mengamplifikasi hubungan positif OFDI dan CO2 per kapita. Selain itu, dampak dari komitmen hijau BRI lebih bermanfaat di negara maju dan dengan tata kelola yang baik, sedangkan di negara berkembang, negara dengan kontrol korupsi lemah, serta negara yang dilalui jalur perdagangan utama BRI, kebijakan Green BRI cenderung meningkatkan emisi. Namun, perlu menjadi catatan bahwa meskipun Green BRI menciptakan pengaruh yang negatif, dampak tersebut tidak memiliki besaran yang signifikan secara ekonomi. Kondisi ini membuktikan bahwa terdapat kemungkinan besar greenwashing dalam kerangka komitmen hijau BRI terjadi, khususnya di negara berkembang dan tata kelola yang buruk. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan sektor swasta di China serta negara-negara mitra untuk mengembangkan strategi yang memastikan manfaat lingkungan dari Green BRI dapat dirasakan secara holistik dan inklusif.


Launched in 2013, the Belt and Road Initiative (BRI) is one of the world's largest mega projects, primarily focusing on developing transportation and energy infrastructure. Due to its scale and ambition, the BRI has drawn considerable attention regarding its environmental impact and sustainability. In response to these concerns, China introduced the BRI green commitment in 2017, which was further emphasized in 2019. However, skepticism remains that this commitment might merely be a form of greenwashing. This study adopts an experimental quantitative approach, employing a staggered multiple difference-in-difference methodology to assess the effectiveness of BRI before and after the green commitments in amplifying the environmental impacts of China's outbound foreign direct investment (OFDI) in countries along the BRI route. The findings indicate that BRI does not significantly influence the relationship between China's OFDI and overall CO2 emissions per capita. Post-green commitment implementation, OFDI leads to a reduction in emissions if a country has already adopted BRI; otherwise, it enhances the positive relationship between OFDI and CO2 per capita. Additionally, the green commitments of BRI are more beneficial in developed countries and those with good governance, whereas in developing countries, those with weak corruption controls, and countries along BRI’s main trade routes, these policies tend to increase emissions. However, it is noteworthy that while Green BRI has a negative impact, the magnitude is not economically significant. This suggests a high likelihood of greenwashing within the BRI's green commitment framework, particularly in developing countries and those with poor governance. Therefore, it is crucial for the Chinese government, the private sector, and partner countries to devise strategies that ensure the holistic and inclusive realization of the Green BRI’s environmental benefits.

"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizka Chairunnisa
"Perlindungan lingkungan hidup memerlukan pendanaan yang memadai yang salah satunya diperoleh dari Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan/EBUBL (Green Bond) yang saat ini diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 60/POJK.04/2017 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan (Green Bond). Namun demikian, ketiadaan standar untuk menentukan kelayakan proyek penerima Green Bond mendorong terjadinya praktik greenwashing, yaitu promosi ramah lingkungan yang menyesatkan dan tidak didasari oleh upaya yang substantif untuk mewujudkan klaim ramah lingkungan tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mencari tahu bagaimana perlindungan hukum bagi investor EBUBL dari risiko praktik greenwashing. Menggunakan metode yuridis-normatif, penelitian ini menemukan bahwa dugaan praktik greenwashing yang terjadi dalam pasar Green Bond umumnya meliputi dua jenis, yaitu sin of lesser of two evils serta decoupling behavior, dan didorong oleh ketiadaan standar untuk menentukan kelayakan proyek penerima Green Bond. Praktik greenwashing dalam pasar Green Bond menimbulkan berbagai akibat bagi para pemangku kepentingan, mulai dari investor, penerbit/Emiten, pemerintah, hingga masyarakat serta berdampak bagi lingkungan itu sendiri. Perlindungan hukum bagi investor EBUBL meliputi dua jenis, yaitu preventif dan represif. Perlindungan hukum preventif utamanya meliputi perlindungan yang terkandung dalam syarat-syarat penerbitan EBUBL, sementara perlindungan hukum represif utamanya meliputi pengenaan sanksi yang terdapat dalam Undang-Undang terkait, serta terkandung dalam POJK Nomor 60/POJK.04/2017.

Environmental protection requires adequate funding, one of which is obtained from Environmentally Sound Debt Securities/Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan (Green Bond) which is currently regulated in Financial Services Authority Regulation (FSAR/POJK) Number 60/POJK.04/2017 concerning Issuance and Requirements for Environmentally Sound Debt Securities (Green Bond). However, the absence of standards to determine the eligibility of Green Bond recipient projects encourages the practice of greenwashing, which is a misleading promotion of environmental friendliness and is not based on substantive efforts to realize these green claims. This research aims to find out how legal protection for Green Bond investors from the risk of greenwashing practices. Using the juridical-normative method, this study found that the alleged greenwashing practices that occur in the Green Bond market generally include two types, namely the sin of lesser of two evils and decoupling behavior, and are driven by the absence of standards to determine the eligibility of Green Bond recipient projects. Greenwashing in the Green Bond market has various consequences for its stakeholders, ranging from investors, issuers, governments, to the community and has an impact on the environment itself.Legal protection for Green Bond investors includes two types, namely preventive and repressive. Preventive legal protection mainly includes the protection contained in the terms of issuance of Green Bond, while repressive legal protection mainly includes the imposition of sanctions contained in the relevant Law, as well as contained in POJK Number 60/POJK.04/2017."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>