Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 159011 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dahlia Anggraini
"Penelitian dilakukan di RS Tipe B di DKI Jakarta. Tujuan penelitian adalah mengetahui implementasi penjaminan obat alteplase Tahun 2023, menggunakan pendekatan kualitatif non-eksperimental Edward III. Hasil penelitian menunjukkan implementasi berjalan dengan baik, meskipun terdapat perbedaan dalam penentuan onsite stroke antara PNPK Stroke dan Fornas. Persiapan sarana, prasarana, dan tim code stroke menjadi krusial. Di RS S, tim code stroke tersedia sejak pertengahan 2023 dan trombolisis dimulai pada Oktober 2023. Di RS P, trombolisis dimulai pada Februari 2024 setelah persiapan intens mulai November 2023. Tantangan utama adalah kurang siapnya pelaksana (tim Code Stroke) sejak dimulainya penjaminan obat alteplase dan RS yang belum dilengkapi CT-Scan. Dari 2.218 RS, 82 RS mengajukan klaim obat alteplase (3,70%) dengan 774 kasus klaim (0,24%) dari 322.282 kasus stroke iskemik. Kesimpulannya, implementasi penjaminan obat alteplase di RS yang diteliti terbilang tidak ada kendala disisi penjaminan, namun masih diperlukan sosialisasi ke RS. Selain itu diperlukan persiapan dari sisi pelaksanaan tindakan trombolisis seperti SDM, sinkronisasi kebijakan, dan persiapan yang lebih baik di RS untuk optimalisasi trombolisis.

The research was conducted at a Type B hospital in DKI Jakarta. The aim of the study was to assess the implementation of alteplase drug assurance in 2023, using Edward III's non-experimental qualitative approach. The results indicated that the implementation proceeded well, although there were discrepancies in determining onsite stroke between PNPK Stroke and Fornas. The preparation of facilities, infrastructure, and the stroke code team was crucial. At Hospital S, the stroke code team was available since mid-2023, and thrombolysis began in October 2023. At Hospital P, thrombolysis started in February 2024 after intensive preparations began in November 2023. The main challenges were the unpreparedness of the implementers (Stroke Code team) since the initiation of alteplase drug assurance and hospitals not yet equipped with CT-Scans. Out of 2,218 hospitals, 82 hospitals submitted alteplase drug claims (3.70%) with 774 claim cases (0.24%) out of 322,282 ischemic stroke cases. In conclusion, the implementation of alteplase drug assurance in the studied hospitals showed no significant issues on the assurance side, but further socialization to hospitals is needed. Additionally, preparation in terms of human resources, policy synchronization, and better hospital readiness for thrombolysis is required for optimal thrombolysis implementation."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isti Nurul Afifah
"Pasien yang dirawat inap dengan stroke iskemik perlu mendapat perhatian khusus karena komorbiditas dan polifarmasi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis masalah terkait obat dengan domain efektivitas terapi dan reaksi obat yang tidak diinginkan di bawah Jaringan Perawatan Farmasi Eropa. Metode penelitian ini adalah cross sectional berdasarkan data rekam medis, resep, dan catatan perawat. Sampel dari penelitian ini adalah pasien dengan diagnosis primer stroke iskemik dan pasien berusia lebih dari sama dengan 23 tahun. Analisis dilakukan pada 115 sampel penelitian. Masalah terkait obat yang paling umum adalah masalah efektivitas pengobatan (65,00%) dengan efek sub domain dari pengobatan obat tidak optimal (29,58%) sebagai sub domain yang paling parah. Masalah terkait narkoba lainnya adalah masalah reaksi merugikan memiliki prosentase (35,00%) dengan subtitusi kejadian obat merugikan (tidak alergi) sebesar (34,58%) sebagai sub domain tertinggi. Penyebab tertinggi dari masalah yang diidentifikasi dalam penelitian ini adalah bahwa kombinasi obat, atau obat, dan makanan yang tidak tepat yaitu (56,04%).

Patients who are hospitalized with ischemic stroke need special attention due to comorbidity and polypharmacy. This study aims to analyze drug-related problems with the domain of therapeutic effectiveness and unwanted drug reactions under the European Pharmaceutical Care Network. This research method is cross sectional based on medical records, prescriptions, and nurses' records. Samples from this study were patients with a primary diagnosis of ischemic stroke and patients aged more than equal to 23 years. Analysis was conducted on 115 study samples. The most common drug-related problem is the problem of treatment effectiveness (65.00%) with the sub-domain effect of suboptimal drug treatment (29.58%) being the most severe sub-domain. Another drug related problem is the problem of adverse reactions having a percentage (35.00%) with the substitution of adverse drug events (not allergic) of (34.58%) as the highest sub domain. The highest cause of the problems identified in this study was that the combination of drugs, or drugs, and food were not appropriate (56.04%)."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Beny Rilianto
"Latar Belakang: Trombolisis merupakan terapi definitif pada stroke iskemik hingga saat ini. Efektivitas trombolisis sangat bergantung waktu pemberian. Salah satu faktor yang memengaruhi luaran trombolisis pada stroke iskemik akut adalah waktu door to needle. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari faktor-faktor yang memengaruhi waktu DTN pada penderita yang mendapat terapi trombolisis.
Metode: Penelitian berupa potong lintang untuk melihat faktor klinis dan logistik yang memengaruhi waktu DTN pada penderita stroke iskemik yang mendapat terapi trombolisis periode November 2014 hingga Oktober 2018 di rumah sakit Cipto Mangunkusumo.
Hasil: Total 94 subjek didapatkan proporsi waktu DTN > 60 menit sebanyak 68(71,3%). Faktor yang secara dependen berpengaruh terhadap waktu DTN adalah: nilai NIHSS awal (OR: 0,29; CI: 0,091-0,938), penggunaan antitrombotik (OR: 0,128; IK: 0,024-0,692), dan lokasi CT scanner (OR: 0,168; IK: 0,046-0,611).
Simpulan: Nilai NIHSS awal, penggunaan antirombotik, dan lokasi CT scan berhubungan terhadap waktu DTN.

Background: Thrombolysis is the definitive therapy in ischemic stroke to date. The effectiveness of thrombolysis is very time-dependent. One of the factors that influence the outcome of thrombolysis in acute ischemic stroke is the door to needle time. The aims of this study was to look for factors that influence DTN times in patients receiving thrombolysis therapy.
Methods: A cross-sectional study to look at clinical and logistical factors that influence DTN times in patients with acute ischemic stroke who received thrombolysis therapy from November 2014 to October 2018 at Cipto Mangunkusumo Hospital.
Results: A total of 94 subjects obtained a proportion of DTN time > 60 minutes of 68 (71.3%). Factors that are dependent on DTN times are: initial NIHSS (OR: 0.29; CI: 0.091-0.938), antithrombotic use (OR: 0.128; CI: 0.024-0.692), and CT scanner location (OR: 0.168; CI: 0.046-0.611).
Conclusions: Initial NIHSS, antithrombotic use, and CT scan location are associated to DTN times.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Beny Rilianto
"Latar Belakang: Trombolisis merupakan terapi definitif pada stroke iskemik hingga saat ini. Efektivitas trombolisis sangat bergantung waktu pemberian. Salah satu faktor yang memengaruhi luaran trombolisis pada stroke iskemik akut adalah waktu door to needle. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mencari faktor-faktor yang memengaruhi waktu DTN pada penderita yang mendapat terapi trombolisis. Metode: Penelitian berupa potong lintang untuk melihat faktor klinis dan logistik yang memengaruhi waktu DTN pada penderita stroke iskemik yang mendapat terapi trombolisis periode November 2014 hingga Oktober 2018 di rumah sakit Cipto Mangunkusumo. Hasil: Total 94 subjek didapatkan proporsi waktu DTN > 60 menit sebanyak 68(71,3%). Faktor yang secara dependen berpengaruh terhadap waktu DTN adalah: nilai NIHSS awal (OR: 0,29; CI: 0,091-0,938), penggunaan antitrombotik (OR: 0,128; IK: 0,024-0,692), dan lokasi CT scanner (OR: 0,168; IK: 0,046-0,611). Simpulan : Nilai NIHSS awal, penggunaan antirombotik, dan lokasi CT scan berhubungan terhadap waktu DTN.

Thrombolysis is the definitive therapy in ischemic stroke to date. The effectiveness of thrombolysis is very time-dependent. One of the factors that influence the outcome of thrombolysis in acute ischemic stroke is the door to needle time. The aims of this study was to look for factors that influence DTN times in patients receiving thrombolysis therapy. Methods: A cross-sectional study to look at clinical and logistical factors that influence DTN times in patients with acute ischemic stroke who received thrombolysis therapy from November 2014 to October 2018 at Cipto Mangunkusumo Hospital. Results: A total of 94 subjects obtained a proportion of DTN time > 60 minutes of 68 (71.3%). Factors that are dependent on DTN times are: initial NIHSS (OR: 0.29; CI: 0.091-0.938), antithrombotic use (OR: 0.128; CI: 0.024-0.692), and CT scanner location (OR: 0.168; CI: 0.046-0.611). Conclusions: Initial NIHSS, antithrombotic use, and CT scan location are associated to DTN times."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Prasetyo
"Latar belakang: Kanker ovarium khususnya jenis epitelial merupakan salah satu kanker tersering yang diderita oleh perempuan dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Hingga saat ini, beberapa penelitian telah meneliti berbagai faktor prognostik pada kanker ovarium, khususnya trombosit yang secara patofisiologi memiliki hubungan dengan berbagai marker inflamasi pada kanker. Tujuan: (1) Membuktikan bahwa trombositosis sebagai faktor prognosis pada pasien kanker ovarium jenis epitelial (2) Membuktikan angka OS selama 3 tahun pada pasien kanker ovarium jenis epitelial dengan trombositosis lebih buruk dibandingkan tanpa trombositosis. Metode: Penelitian ini menggunakan studi kohort retrospektif menggunakan data rekam medis pasien kanker ovarium epitelial yang terdaftar pada cancer registry Departemen Obstetri dan Ginekologi Divisi Onkologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada tahun Januari 2014- Juli 2016. Pengamatan dilakukan saat subjek pertama kali didiagnosis kanker ovarium hingga terjadi peristiwa hidup, meninggal, atau hilang dari pengamatan dalam waktu 3 tahun. Hasil: Didapatkan 220 subjek penelitian yang merupakan populasi terjangkau dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Dari 220 subjek penelitian, 132 (60%) dari 220 subjek penelitian merupakan pasien dengan kanker ovarium stadium lanjut (Stadium II/III/IV). Trombositosis didapatkan pada 94 orang subjek penelitian (42,7%). Pasien dengan kanker stadium lanjut memiliki risiko trombositosis yang lebih tinggi dibandingkan subjek pada stadium awal (p=0,005;OR=2,329). Meski begitu, ada atau tidaknya trombositosis secara statistik tidak bermakna pada OS selama 3 tahun (p=0,555). Terdapat mean time survival yang lebih rendah pada pasien dengan trombositosis tetapi tidak ada perbedaan hazard ratio yang bermakna antara subjek dengan atau tanpa trombositosis (p=0,399). Pada penelitian ini, didapatkan faktor prognostik yang bermakna pada OS selama 3 tahun antara lain adalah ada tidaknya asites (HR=3,425; p=0,025), stadium (HR=9,523; p=0,029) dan residu tumor ≥ 1 cm (HR=4,137; p=0,015) dengan stadium kanker ovarium merupakan faktor independen (HR=9,162; p=0,033). Sensitivitas dan spesifisitas trombositosis terhadap kanker ovarium stadium lanjut didapatkan sebesar 50,75% dan 69,32%. Kesimpulan: Trombositosis sebagai faktor prognostik pada pasien kanker ovarium jenis epitelial tidak dapat dibuktikan dan angka OS selama 3 tahun pada pasien dengan trombositosis dibandingkan dengan pasien tanpa trombositosis tidak bermakna secara statistik.

Background: Ovarian cancer, especially, epithelial ovarian cancer is one of the most common cancer in women with high rate of mortality and morbidity. Some studies have found that some biological factors that can be used as a prognostic factor for epithelial ovarian cancer, particularly, thrombocytes which pathophysiologically correlates with inflammation markers in cancer. Aim: (1) To determine thrombocytosis as a prognostic factor for epithelial ovarian cancer. (2) To determine that 3-year overall survival in epithelial ovarian cancer with thrombocytosis is significantly shorter than patients without thrombocytosis. Method: This study is a retrospective cohort study using medical record of patients with epithelial ovarian cancer which are registed in the cancer registry of Oncology Division in Obstetric and Gynecology Department, Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2014 until July 2016. Datas were collected when subjects were first diagnosed with epithelial ovarian cancer until diseases outcomes (survive, death, or loss to follow up) were identified in 3 years. Result: Out of 220 subjects, 132 (60%) were patients with advanced stage epithelial ovarian cancer (stage II/III/IV). 94 (42,7%) subjects had thrombocytosis. Patients with advanced stage of disease had higher risk of having thrombocytosis than the ones with earlier stage (p=0,005;OR=2,329). Correlation between thrombocytosis and 3-year overall survival was known to be insignificant (p=0,555). There was shorter mean time survival between patients with thrombocytosis and the ones without but the there was no significant difference in hazard ratio between the two groups. In this study, several prognostic factors of epithelial ovarian cancer were identifed such as ascites (HR=3,425; p=0,025), stage of disease (HR=9,523; p=0,029), and post-operative residual tumor ≥ 1 cm (HR=4,137; p=0,015) with stage of disease being the independent prognostic factor (HR=9,162; p=0,033). Sensitivity and specificity of thrombocytosis to advance stage of epithelial ovarian cancer were found to be 50,75% and 69,32%, respectively. Conclusion: Thrombocytosis as a prognostic factor in patients with epithelial ovarian cancer cannot be proven statistically. There is also no significant difference of 3-year overall survival between patients with or without thrombocytosis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58866
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sodiqur Rifqi
"Trombolisis merupakan pengobatan baku untuk IMA masa kini. Keberhasilan trombolisis berkisar 50-85%, berarti sekitar 15-50% gagal trombolisis. Kejadian reperfusi berkaitan dengan turunnya morbiditas, mortalitas dan dipertahankannya fungsi ventrikel global maupun regional/segmental. Baku emas penilaian reperfusi adalah pemeriksaan angiografi koroner yang memerlukan teknologi tinggi, invasif, kurang praktis, mahal dan berisiko. Sementara penilaian klinis dengan menilai berkurangnya sakit dada, menurunnya ST elevasi dan adanya aritmia reperfusi kurang akurat. Petanda reperfusi dini pada penderita IMA yang non invasif, praktis, relatif murah dan memiliki sensitifitas dan spesifisitas tinggi menjadi harapan para klinisi. Dari beberapa studi, mioglobin yang dapat meningkat dengan cepat pada jam pertama reperfusi tampaknya dapat memenuhi harapan tersebut. Tetapi manfaat klinis penilaian keberhasilan reperfusi dini pada IMA dengan Mioglobin dalam hubungannya perbaikan fungsi regional dinding ventrikel kiri belum pernah diteliti hingga kini.
Penelitian ini bertujuan untuk menilai keberhasilan reperfusi dini pada IMA yang dinilai dengan mioglobin dalam hubungannya dengan perbaikan fungsi segmental dinding ventrikel kiri secara ekokardiografis. Penelitian ini bersifat cross sectional dengan sampel 30 penderita IMA pertama kali, dengan keluhan sakit dada < 12 jam, yang memenuhi 2 dari 3 kriteria IMA sbb: 1. Sakit dada terus menerus > 30 menit, 2. EKG menunjukkan peningkatan segmen ST> 1 mm pada sandapan ekstremitas dan atau > 2 mm pada sandapan dada, 3. Peningkatan enzim CK dan CKMB > 2 kali nilai normal. Penderita mendapat terapi trombolisis (tPA atau Streptokinase). Penelitian dilakukan di RS Jantung Harapan Kita Jakarta. Kriteria pengeluaran : adanya riwayat trauma otot dalam 6 jam sebelumnya (termasuk suntikan IM, kerokan, mendapat renjatan arus searah), gagal ginjal, penyakit jantung katup tingkat sedang-berat. Seluruh subyek penelitian diambil darah vena 3 kali untuk pemeriksaan Mb, pertama sebelum diberikan trombolisis (Mb0), kemudian 30 (Mb30) dan 60 menit (Mb60) setelah mulai trombolisis. Rasio kadar Mb60/Mb0 atau Mb30/Mb0 > 2,4 sebagai petanda berhasil reperfusi terapi trombolisis. Sedangkan kadar MbO> 820 mg/ml dan menurun pada Mb30 atau Mb60, serta rasio kadar MbO/CKO > 5, digunakan sebagai petanda terjadinya reperfusi sebelum terapi trombolisis diberikan (otoreperfusi). Pemeriksaan ekokardiografi dilakukan 2 kali, pertama, dalam 24 jam pertama (0,5 - 24 jam, rata-rata 13,9 jam) pasca trombolisis dan kedua, pada hari ke 6 atau lebih (6 -192, median 10 hari). Semua subyek penelitian berjenis kelamin lelaki, usia antara 35-68 tahun (rata-rata 48,9 ± 8,9 tahun). Hasil penelitian menunjukkan, 18 (60%) memenuhi kriteria reperfusi berhasil, 4 (13%) otoreperfusi dan 8 (27%) gagal reperfusi. Kenaikan kadar Mb dalam 60 menit setelah mulai trombolisis menunjukkan korelasi linier dengan perbaikan WMSI (-0,58). Kejadian reperfusi (termasuk otoreperfusi) yang dinilai dengan mioglobin menunjukkan hubungan sangat bermakna dengan perbaikan WMSI (p<0,007). Apabila perbaikan WMSI yang adekuat (>0,22) saja yang diuji terhadap kejadian reperfusi, hubungan tersebut tetap bermakna (p<0,02). Jumlah segmen yang membaik juga berbeda bermakna antara yang berhasil dan gagal reperfusi (3,91 ± 2,14 vs 1,5 ± 1,5 segmen, p<0,002). Uji multivariat dengan logistik regresi atas beberapa variabel pengaruh terhadap perbaikan WMSI menunjukkan bahwa hanya reperfusi berhasil yang menunjukan hubungan bermakna (p<0,05), sedangkan variabel lain seperti waktu (p=0,32), usia (p-0,81) maupun lokasi infark (p=0,40) tidak menunjukkan perbedaan bermakna. Kesimpulan: Kejadian reperfusi dini yang dinilai dengan Mb pada penderita IMA yang mendapat trombolisis kurang dari 12 jam, menunjukkan perbaikan WMSI yang bermakna dibandingkan yang gagal reperfusi."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57298
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meity Asyari Rahmadhani
"ABSTRAK
Latar Belakang: Stroke merupakan salah satu penyebab utama tingginya angka kematian dan disabilitas di dunia dengan etiologi utama iskemik. Stroke iskemik disebabkan emboli atau trombus yang menyumbat arteri otak sehingga timbul inti infark yang dikelilingi penumbra iskemik. Untuk mengembalikan sirkulasi penumbra iskemik diperlukan terapi reperfusi, salah satunya trombolisis intravena dengan Alteplase. Dari berbagai pusat studi penggunaan Alteplase berbeda-beda dalam waktu awitan-terapi dan dosis terapi, yaitu awitan terapi 3 hingga 6 jam dan dosis standard 0,9 mg/kgBB dibandingkan dengan dosis rendah 0,6 mg/kgBB. Metode Penelitian: Penelitian berupa studi potong lintang serial untuk menilai manfaat persentase perbaikan NIHSS dan mRS serta keamanan angka kejadian perdarahan intraserebral simtomatik dan kematian penggunaan alteplase dosis 0,6 mg/kgBB pada stroke iskemik akut 4 nilai NIHSS pada 24 jam pasca-trombolisis. 55,4 memiliki luaran baik berdasarkan mRS 90 hari. 7,4 mengalami perdarahan intraserebral 7 hari pasca-trombolisis. Sebanyak 10,2 subjek mengalami kematian dengan 5,6 meninggal dengan penyebab serebral. Kesimpulan: Alteplase dosis 0,6 mg/kgBB bermanfaat dan aman diberikan pada stroke iskemik akut

ABSTRACT<>br>
Background Stroke is a leading cause of mortality and disability globally with major ischemic etiology. Ischemic stroke caused by thrombus or embolus that lodges in cerebral artery causing infarct core and surrounded by ischemic penumbra. To restore ischemic penumbral circulation, reperfusion therapy is required, one of them is intravenous thrombolysis with Alteplase. Many centers have different use of Alteplase within onset to treatment time and therapeutic doses, i.e. onset to treatment 3 to 6 hours and the standard dose of 0.9 mg kg compared with low dose 0.6 mg kg. Methods Serial cross sectional study to assess the efficacy percentage improvement of NIHSS and mRS and safety symptomatic intracerebral haemorrhage and death with Alteplase 0.6 mg kg in acute ischemic stroke 4 point NIHSS at 24 hours post thrombolysis. 55.4 had good outcomes based on mRS 90 days. 7.4 experienced intracerebral hemorrhage at 7 days post thrombolysis. 10.2 of subjects suffered death with 5.6 died with cerebral causes. Conclusion Alteplase dose 0.6 mg kg is beneficial and safe for acute ischemic stroke "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58852
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bonita Dochrist Teresa
"Stroke merupakan salah satu penyakit kardioserebrovaskular yang digolongkan sebagai penyakit katastropik. Seiring meningkatnya prevalensi stroke, maka beban biaya pelayanan kesehatan tentu akan meningkat. Beberapa penelitian mengenai penggunaan dabigatran dan warfarin pada pasien stroke iskemik menunjukkan bahwa dabigatran menghasilkan biaya medis langsung yang lebih tinggi dibandingkan warfarin, namun hal ini diimbangi dengan manfaat kesehatan tambahan dalam hal jumlah tahun kehidupan berkualitas yang disesuaikan (JTKD). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis biaya terapi dabigatran dan warfarin pada pasien stroke iskemik. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan pengumpulan data biaya berdasarkan perspektif rumah sakit. Subjek penelitian adalah pasien rawat jalan dengan diagnosis stroke iskemik yang berusia 18 tahun ke atas dan mendapat terapi dabigatran atau warfarin di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional Jakarta pada tahun 2018-2019. Karakteristik pasien dari penelitian ini ialah pria (63%) dan berusia 55 - <65 tahun (40,7%). Berdasarkan hasil analisis, total biaya terapi dabigatran sebesar Rp1.656.412,03, dan Rp2.014.007,00 untuk terapi warfarin. Tidak ada perbedaan bermakna antara total biaya terapi dabigatran dan terapi warfarin berdasarkan uji beda Mann-Whitney (P=0,842). Oleh karena itu, dari aspek total biaya, dabigatran dapat dipertimbangkan sebagai rekomendasi terapi antikoagulan pada pasien stroke iskemik.

Stroke is a cardioserebrovascular disease which classified as a catastrophic disease. As the prevalence of stroke increase, the burden of healthcare cost will certainly increase. Several studies on the use of dabigatran and warfarin in ischemic stroke patients showed that dabigatran resulted in higher direct medical cost compared to warfarin, but this is offset by additional health benefits in terms of quality-adjusted life-year (QALY). This study aimed to analyze total costs of dabigatran and warfarin therapy in ischemic stroke patients. This study used a cross-sectional design with cost data collection based on hospital perspective. Subjects were outpatients with diagnosis of ischemic stroke aged 18 years and over who received dabigatran or warfarin therapy at the National Brain Center Hospital in 2018-2019. Patients’ characteristics of this study were men (63%) and aged 55 - <65 years old (40,7%). Based on the analysis, a total cost of Rp1,656,412.03, was obtained for dabigatran therapy, and Rp2,014,007.00 for warfarin therapy. There was no significant differences between the total cost of dabigatran therapy and warfarin therapy based on Mann-Whitney test (P=0,842). Therefore, from the aspect of total cost, dabigatran can be considered as a recommendation for anticoagulant therapy in ischemic stroke patients."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Steven Arianto
"Mukopolisakaridosis tipe II (MPS II) merupakan penyakit kelainan lisosomal langka yang disebabkan oleh mutasi pada gen iduronat 2-sulfatase (IDS) dapat menyebabkan disfungsi dari enzim I2S yang dihasilkan sehingga molekul heparan sulfat (HS) dan dermatan sulfat (DS) terakumulasi pada jaringan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dan menganalisis hubungan kadar HS dan DS urin dengan jenis mutasi gen IDS pada penderita MPS II di Indonesia. Data susunan nukleotida gen IDS dari tujuh pasien MPS II dianalisis untuk melihat jenis mutasi dan dibuat model 3D proteinnya. Analisis 3D protein akan dikorelasikan dengan kadar HS dan DS urin pasien tersebut yang diukur menggunakan metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Hasil analisis mutasi ditemukan beberapa jenis mutasi, seperti mutasi nonsense (1/7), delesi (2/7), insersi (1/7), dan missense (3/7). Dari ketujuh pasien tersebut, tiga diantaranya (P2, P6, P7) telah menjalani terapi ERT. Kadar HS urin dari ketujuh pasien menunjukkan peningkatan yang beragam dibandingkan dengan kadar HS normal. Berbeda dengan HS, kadar DS urin sampel pasien ada yang mengalami sedikit peningkatan (P1, P2, P7) dan ada pula yang tetap berada pada rentang kadar DS normal (P3, P4, P5, P6). Keragaman kadar HS dan DS sampel pasien tersebut sangat dipengaruhi oleh letak mutasi, jenis mutasi, diagnosis dan prognosis yang ditegakkan sedini mungkin, terapi ERT yang telah dilakukan pasie, durasi ERT, dan respon masing-masing pasien terhadap pengobatan yang telah diberikan.

Mucopolysaccharidosis type II (MPS II) is a rare lysosomal disorder caused by mutations in the iduronat 2-sulfatase (IDS) gene that can cause dysfunction of I2S enzyme so that the heparan sulfate (HS) and dermatan sulfate (DS) molecules accumulate in the tissue. This study was conducted to determine and analyze the relationship of urinary HS and DS levels with the type of IDS gene mutation in MPS II patients in Indonesia. The nucleotide of IDS genes sequences from seven MPS II patients were analyzed to see the type of mutation and the 3D protein model was made. 3D protein analysis will be correlated with urinary HS and DS levels of the patients measured by using the Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) method. Results of mutation analysis results found several types of mutations, such as nonsense mutations (1/7), deletions (2/7), insertions (1/7), and missense (3/7). From the seven patients, three of them (P2, P6, P7) had undergone ERT therapy. The urine HS level of the seven patients showed a varied increase compared to normal HS levels. In contrast to HS, the urine DS level of the sample of patients had a slight increase (P1, P2, P7) and some remained in the normal DS level range (P3, P4, P5, P6). The diversity of HS and DS levels of the patient's samples is strongly influenced by the location of the mutation, type of mutation, diagnosis and prognosis that is enforced as early as possible, ERT therapy has been carried out, ERT duration, and each patient's response to the treatment given."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Agung Alamsyah
"Latar Belakang: Deep Vein Thrombosis (DVT) adalah salah satu penyakit penyebab mortalitas jangka pendek dan morbiditas jangka panjang. Kasus DVT akan meningkat seiring bertambahnya usia. Pada pasien dengan keganasan, risiko DVT meningkat hingga 4,1 kali lipat karena kondisi hiperkoagulasi. Penatalaksanaan DVT antara lain pemberian antikoagulan dan kompresi eksterna. Penelitian ini bertujuan membandingkan luaran antropometrik tungkai pasien DVT dengan keganasan dan non-keganasan yang diterapi heparin.
Metode: Kohort retrospektif menggunakan rekam medis di RS Cipto Mangunkusumo. Variabel bebas adalah status keganasan pada pasien DVT sedangkan variabel terikatnya adalah pengukuran antropometrik lingkar tungkai sebelum terapi heparin, 4 hari, dan 7 hari. Analisis statistik menggunakan SPSS versi 25, nilai p<0,05 menunjukkan kemaknaan secara statistik.
Hasil: Sebanyak 63 subjek penelitian, didapatkan subjek DVT dengan keganasan sebanyak 33 subjek (52,4%) dan DVT non keganasan sebanyak 30 subjek (47,6%). Pada awal terapi, tidak terdapat perbedaan ukuran antropometrik antara DVT keganasan dan non keganasan. Pada hari ke-4 dan ke-7 terapi, terdapat perbedaan perbaikan ukuran antropometrik di mid femur, distal femur, dan mid cruris, dimana perbaikan klinis lebih tampak pada DVT non keganasan (p<0,05). Subjek DVT keganasan memiliki dosis heparin maintenance teraputik yang lebih tinggi (p=0,000), dan mencapai waktu kadar APTT terapeutik yang lebih lama (p=0,000).
Kesimpulan: Subjek DVT keganasan menunjukkan perbaikan klinis yang lebih kecil dibandingkan DVT non keganasan. Selain itu, memerlukan dosis heparin maintenance terapeutik yang lebih tinggi, dan mencapai waktu kadar APTT terapeutik yang lebih lama.

Background: Deep Vein Thrombosis (DVT) is a disease that causes short-term mortality and long-term morbidity. DVT cases will increase with age. In patients with malignancy, the risk of DVT increases up to 4.1-fold due to the hypercoagulable state. Treatment for DVT includes anticoagulants and external compression. This study aims to compare the anthropometric outcomes of the limbs of DVT patients with malignancy and non-malignancy treated with heparin.
Method: Retrospective cohort study using medical records at Cipto Mangunkusumo Hospital. The independent variable is malignancy status in DVT patients while the dependent variable is anthropometric measurements of leg circumference at first day, 4 days and 7 days heparin therapy. Statistical analysis using SPSS version 25, p<0.05 showed statistical significance.
Results: Of the 63 study subjects, 33 subjects (52.4%) had DVT with malignancy and 30 subjects (47.6%) had non-malignant DVT. At the start of therapy, there was no difference in anthropometric measures between malignant and non-malignant DVT. On the fourth and seventh days of therapy, there were differences in anthropometric size improvement in the mid femur, distal femur, and mid cruris, whereas clinical improvement was more evident in nonmalignant DVT (p<0.05). Malignant DVT subjects had higher therapeutic maintenance heparin doses (p=0.000), and achieved longer therapeutic APTT levels (p=0.000).
Conclusion: Malignant DVT subjects showed less clinical improvement than non-malignant DVT. In addition, it requires higher therapeutic maintenance heparin doses, and achieves a longer therapeutic APTT level time.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>