Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 118127 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Rafi Eltharik Sofyan
"Hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, baik dinyatakan secara tegas maupun tersirat. Hak tersebut berbeda dengan hak asasi manusia maupun hak hukum. Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018, terdapat larangan bagi pengurus partai politik untuk menjadi calon anggota DPD. Meskipun putusan tersebut dapat diargumentasikan berpengaruh positif dalam mengembalikan lembaga Dewan Perwakilan Daerah kepada maksud asli pembentukannya serta mencegah representasi ganda dengan Dewan Perwakilan Rakyat, namun putusan tersebut tidak mempertimbangkan berbagai hal secara komprehensif. Penelitian ini menawarkan perspektif lain dalam mengkaji Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUUXVI/2018, yaitu dengan menggunakan pendekatan hak konstitusional yang sama sekali tidak dibahas dalam pertimbangan hukum putusan. Penelitian ini mengkaji tinjauan umum mengenai hak konstitusional, sejarah lembaga Dewan Perwakilan Daerah, serta perbandingan hak konstitusional pengisian jabatan anggota kamar kedua di negara-negara lain. Pada akhirnya terdapat kesimpulan bahwa larangan bagi pengurus partai politik dalam pengisian jabatan anggota Dewan Perwakilan Daerah terindikasi bertentangan dengan hak konstitusional yakni hak untuk dipilih dan memilih serta hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Selain itu, pembatasan terhadap hak konstitusional yang dimaksud oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 juga tidak sesuai dengan ketentuan mengenai pembatasan terhadap hak konstitusional.

Constitutional rights are the rights regulated in the Indonesian 1945 Constitution, both expressly and implicitly. These rights are different from human rights nor legal rights. After the Constitutional Court Decision Number 30/PUU-XVI/2018, there is a ban for political party administrators to become candidates for Regional Representatives Council members. Although it can be argued that the decision has a positive effect in returning the Regional Representatives Council institution to its formation original intent and preventing double representation with the People's Representatives Council, the decision does not consider various matters comprehensively. This study offers another perspective in reviewing the Constitutional Court Decision Number 30/PUU-XVI/2018, namely by using a constitutional rights approach that is not discussed at all in the legal considerations of the decision. This study examines an overview of constitutional rights, the history of the Regional Representatives Council, and a comparison of constitutional rights to fill the position of second chamber member in other countries. In the end, there is a conclusion that the prohibition for political party administrators to fill the positions of Regional Representatives Council members is indicated to violate constitutional rights, namely the right to be elected and to elect and the right to obtain equal opportunities in government. In addition, the restrictions on constitutional rights referred to by the Constitutional Court Decision Number 30/PUU-XVI/2018 are also not in accordance with the provisions regarding restrictions on constitutional rights."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhlan Zamzami Sitio
"Hak atas Kesehatan right to health merupakan bagian dari hak asasi manusia yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai hak dasar dari setiap individu dan tidak dapat dihilangkan. Setelah diamandemen, Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa; “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.” Kemudian, pasal 98 Undang-Undang Kesehatan menegaskan bahwa Pemerintah bertanggung jawab atas sediaan farmasi dan alat kesehatan yang aman, bermanfaat, bermutu dan terjangkau. Meski begitu, hingga saat ini pemerintah masih mengenakan bea masuk dan pajak dalam rangka impor (PDRI) terhadap alat kesehatan impor, padahal 91,7 persen kebutuhan alat kesehatan dalam negeri dipasok oleh barang impor. Tentu saja, pengenaan bea masuk dan PDRI alat kesehatan tersebut akan berimbas pada bertambahnya biaya pengadaan alat kesehatan. Penelitian ini ingin menganalisis korelasi antara pengenaan tarif bea masuk dan PDRI alat kesehatan tersebut dengan prinsip pemenuhan hak dasar kesehatan yang diamanatkan peraturan perundang–undangan, sehingga penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis-normatif. Penelitian dilakukan dengan batasan penggunaan data sekunder dan alat pengumpulan data berupa studi dokumen dan wawancara. Berdasarkan studi yang dilakukan, peneliti menyimpulkan bahwa pengenaan bea masuk dan pajak impor terhadap alat kesehatan tidak sejalan dengan apa yang diperintahkan oleh undang-undang, bahwa sediaan alat kesehatan harus bermutu dan terjangkau. Oleh karena itu, penelitian ini menyarakan agar pemerintah berkenan meninjau ulang pengaturan tarif bea masuk dan pajak dalam rangka impor (PDRI) terhadap alat kesehatan demi pemenuhan akses kesehatan untuk setiap orang.
The right to health is one of the human rights listed in the Universal Declaration of Human Rights as a basic right of every individual and is non-derogable. Post-amendment, Article 34 paragraph (3) of the 1945 Constitution mandates; "The state is responsible for the provision of adequate health care facilities and public services." Additionally, article 98 of the Health Act confirms that the Government is responsible for the supply of pharmaceutical and medical devices that are safe, beneficial, qualified, and affordable. However, to this day the government still imposes import duties and taxes (PDRI) for imported medical devices, even though 91.7 percent of domestic medical device demands are supplied by imported goods. Naturally, the imposition of import duties and PDRI for medical devices will impact in increasing the costs of procurement of medical devices. This study aims to analyze the correlation between the imposition of import duty tariffs as well as the PDRI of medical devices and the principle of fulfilling the basic health rights mandated by laws and regulations. Therefore, this research was conducted in a juridical-normative approach. This study was conducted within the limitation of secondary data. Tools of data collection were in the form of document studies and interviews. Based on the conducted study, the researcher concluded that the imposition of import duties and taxes on medical devices is not in line with the principles mandated by law, specifically in the aspect of qualified and affordable medical device supply. Therefore, this study suggests that the government should consider reassessing the regulation of import duty and tax rates of imports (PDRI) for medical devices in order to fulfill access to health for everyone."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saban Nur Akbar
"Skripsi ini membahas mengenai dugaan praktik anti persaingan perdagangan gula di Indonesia baik dalam perdagagan gula kristal rafinasi maupun gula kristal putih, dugaan adanya praktik anti persaingan ditenggarai dengan selalu tidak simetrisnya neraca gula di Indonesia, disertai harga gula di Indonesia yang cenderung tidak pernah turun. Struktur pasar gula di Indonesia yang cenderung oligopolis dan dikuasainya stok gula oleh di Indonesia diduga memberikan kesempatan kepada para pelaku usaha untuk menciptakan kolusi yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Pokok permasalahan utama dalam skripsi ini adalah untuk membahas apakah terdapat dugaan praktik anti persaingan yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dan apakah kebijakan perdagangan gula di Indonesia telah sesuai dengan Hukum Persaingan Usaha. Penulisan skripsi ini merupakan penelitian yuridis-normatif menggunakan data primer dan sekunder. Hasil penulisan skripsi ini menunjukkan bahwa terdapat dugaan praktik anti persaingan berupa kartel yang melanggar Pasal 11 dan oligopoli yang diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, dan Kebijakan perdagangan gula di Indonesia belum efektif dan dapat memberikan kesempatan untuk menimbulkan persaingan usaha tidak sehat oleh pelaku usaha.

This thesis analysis the alleged of anti-competition practices in sugar (white sugar plantation and refined sugar) trading in Indonesia. These allegations arose after not always asymmetrical balance of sugar in Indonesia and price of sugar is most expensive. The structure of the sugar market in Indonesia which tends to oligopoly and overpowered by the sugar stocks in Indonesia allegedly provides the opportunity for businesses to create collusion resulting unfair competition. The issues of this thesis is to discuss whether there is allegation of unfair competition practices as regulated in law number 5 year 1999 and whether sugar trade policy in Indonesia were in accordance with competition law. this thesis is the juridical-normative research using primary and secondary data. The results of this thesis shows that there is competition in the form of an alleged practice of anti-competitive cartels in violation of article 11 and oligopoly that is set out in article 4 of law number 5 year 1999, and sugar trade policy in Indonesia have not been effective and can provide an opportunity to inflict unhealthy business competition."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saban Nur Akbar
"Skripsi ini membahas mengenai dugaan praktik anti persaingan perdagangan gula di Indonesia baik dalam perdagagan gula kristal rafinasi maupun gula kristal putih, dugaan adanya praktik anti persaingan ditenggarai dengan selalu tidak simetrisnya neraca gula di Indonesia, disertai harga gula di Indonesia yang cenderung tidak pernah turun. Struktur pasar gula di Indonesia yang cenderung oligopolis dan dikuasainya stok gula oleh di Indonesia diduga memberikan kesempatan kepada para pelaku usaha untuk menciptakan kolusi yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat. Pokok permasalahan utama dalam skripsi ini adalah untuk membahas apakah terdapat dugaan praktik anti persaingan yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dan apakah kebijakan perdagangan gula di Indonesia telah sesuai dengan Hukum Persaingan Usaha. Penulisan skripsi ini merupakan penelitian yuridis-normatif menggunakan data primer dan sekunder. Hasil penulisan skripsi ini menunjukkan bahwa terdapat dugaan praktik anti persaingan berupa kartel yang melanggar Pasal 11 dan oligopoli yang diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, dan Kebijakan perdagangan gula di Indonesia belum efektif dan dapat memberikan kesempatan untuk menimbulkan persaingan usaha tidak sehat oleh pelaku usaha.

This thesis analysis the alleged of anti-competition practices in sugar (white sugar plantation and refined sugar) trading in Indonesia. These allegations arose after not always asymmetrical balance of sugar in Indonesia and price of sugar is most expensive. The structure of the sugar market in Indonesia which tends to oligopoly and overpowered by the sugar stocks in Indonesia allegedly provides the opportunity for businesses to create collusion resulting unfair competition. The issues of this thesis is to discuss whether there is allegation of unfair competition practices as regulated in law number 5 year 1999 and whether sugar trade policy in Indonesia were in accordance with competition law. this thesis is the juridical-normative research using primary and secondary data. The results of this thesis shows that there is competition in the form of an alleged practice of anti-competitive cartels in violation of article 11 and oligopoly that is set out in article 4 of law number 5 year 1999, and sugar trade policy in Indonesia have not been effective and can provide an opportunity to inflict unfair business competition."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S67941
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Habibi Kurniawan
"Salah satu aturan main yang harus dirumuskan didalam proses pelaksanaan pemilu yang demokratis adalah perumusan terkait mekanisme sistem pemilu beserta instrument- instrumen kepemiluannya. Sistem pemilu adalah instrument teknis pelaksanaan pemilu yang digunakan untuk menentukan keterpilihan suatu partai politik atau calon anggota legislatif didalam proses transisi kekuasaan. Di Indonesia, dari masa ke-masa terkait mekanisme sistem pemilu menjadi perdebatan didalam proses perumusan Undang- Undang Pemilu. Peristiwa ini-pun terjadi didalam proses pembahasan UU No 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD terkait empat isu krusial yani sistem pemilu, ambang batas parlemen (parliamentary treshold), alokasi kursi ke dapil dan metode konversi suara menjadi kursi. Sikap PDI Perjuangan mengenai pembahasan sistem pemilu merupakan kepentingan dari keberadaan partai politik sebagai peserta pemilu didalam proses perebutan kekuasaan secara konstitusional dan berdasar atas pengalaman dan sejarah kepesertaannya didalam proses pemilu di Indonesia.
Teori yang digunakan didalam penelitian ini adalah teori sistem pemilu Arend Lijphart, teori model kebijakan partai politik Hans Deiter Klingeman, teori ideologi Terrence Ball, teori elit dan teori konsensus dan konflik Maswadi Rauf dan Maurice Duverger. Penelitian in menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian ini akan menggunakan dua teknik pengumpulan data, yakni data yang diperoleh dari wawancara yang akan digunakan sebagai sumber data primer dan studi kepustakaan (literature review) yang digunakan sebagai sumber data sekunder.
Kesimpulan penelitian bahwa sebagai sebuah proses politik, Fraksi PDI Perjuangan memiliki alasan atas kepentingan politik terkait empat isu krusial didalam pembahasan UU No 8/2012 Tentang Pemilu. Kepentingan politik yang dioperasionalkan dari pemahaman ideologis partai dalam proses tarik menarik kepentingan politik (political-interplay) didalam proses pembuatan undang-undang Pemilu No 8 Tahun 2012. Akan tetapi, keputusan yang diambil berdasarkan kompromi merupakan keputusan yang moderat untuk diambil diantara banyaknya perbedaan di antara fraksi-fraksi.
Implikasi teoritis menunjukkan bahwa pendekatan model kebijakan partai politik didalam prosedur negara demokratis, pendekatan elit dan konsensus politik telah memberikan implikasi positif terhadap proses pengambilan keputusan pembahasan Undang-Undang No 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD.

Among the rules that must be formulated in the process of a democratic election is one involving the mechanisms of an electoral system and its associated instruments. The electoral system is implemented as a technical instrument to determine the desirability of a political party or legislative candidate in the process of their transition to power. In the Republic of Indonesia, from time to time there has been considerable debate over the mechanisms of an electoral system during the process of formulating its Election Laws. Such a debate had then ensued during the discussion of Law No. 8 of 2012 on the Election of Members of DPR, DPD and DPRD, involving four crucial issues: the election system, parliamentary threshold, the allocation of seats to the constituencies and conversion methods of votes into seats. On that, the Indonesian Democratic Party of Struggle made a political stance that had been within the interest of political parties in their constitutional struggle for power, based on contesting history and experience in the election process of Indonesia.
The fundamental theories used in this study include Arend Lijphart's theory on the electoral system, Hans Deiter Klingeman's theory on the policy models of political parties, Terrence Ball's theory on ideology and Maswadi Rauf & Maurice Duverger's theories on the elite, consensus and conflicts. This study utilized qualitiative methods of research in its two techniques of data collection. Data obtained from interviews were used as the primary source, while literature references were used as the secondary source.
This study concluded that as a political process, factions in the Indonesian Democratic Party of Struggle had reasons within their political interest involving the four crucial issues in the discusssion of Law No 8/2012 on Elections. In the political process, Indonesia Democratic Party of Struggle implied the ideological platform. Although a decision was ultimately reached based on compromise, it had been moderacy taken from the various differences between factions of the political parties.
Theoretical implications show that in the procedures of a democratic country, the approaches of policy models of political parties, elite and political consensus gave positive implications for the decision making process in the discussion of Law No. 8 of 2012 on DPR, DPD and DPRD Elections.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T38966
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firda Reza Atariq
"Setelah dibentuknya Mahkamah Konstitusi pasca reformasi, salah satu kewenangannya ialah membubarkan partai politik, sudah seharusnya peraturan perundang-undangan di Indonesia juga mengatur aturan lanjutan akibat-akibat hukum dari pembubaran tersebut. Salah satunya ialah aturan lanjutan, dari salah satu akibat hukum dibubarkannya partai politik, yaitu pemberhentian seluruh anggota Dewan Perwakilan Rakyat “DPR” yang berasal dari partai politik yang dibubarkan. Implikasi tersebut akan meninggalkan jabatan atau kursi kosong di parlemen sehingga pengaturan di masa mendatang (ius constituendum) tentang prosedur pengisian kekosongan jabatan anggota DPR akibat pembubaran partai politik di Indonesia sangat diperlukan. Hal ini disebabkan, walaupun Indonesia belum pernah mengalami hal demikian semenjak MK dibentuk, pengaturan ini diperlukan untuk memberikan kepastian hukum (rechtssicerheit) bagi pemerintah, masyarakat, dan pihak-pihak yang berperan langsung di dalamnya, baik partai politik maupun DPR itu sendiri, bila mana hal demikian terjadi dalam perkembangan Indonesia di masa yang akan datang. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian normatif yang disempurnakan dengan pendekatan sejarah, kasus, dan perbandingan dengan tiga negara. Hasil analisis dari Skripsi ini menunjukan bahwa akibat hukum pembubaran partai politik sendiri harus diatur melalui undang-undang. Kemudian, terdapat beberapa mekanisme yang dapat dijadikan pilihan dalam pengisian kekosongan jabatan DPR. Oleh karena itu, sebagai upaya mengakomodir ketentuan-ketentuan tersebut, perlu adanya perubahan pada peraturan perundang-undangan terkait.

After the establishment of the post-reformation Constitutional Court, one of its powers is to dissolve political parties, Indonesian laws and regulations should also regulate further legal consequences of such dissolution. One of them is a follow-up regulation, one of the legal consequences of the dissolution of a political party, namely the dismissal of all members of the People's Representative Council "DPR" who are from the disbanded political party. The implication is that it will leave vacant positions or seats in parliament so that the ius constituendum regulation of procedures for filling vacancies in DPR positions due to the dissolution of political parties in Indonesia is very necessary. This is because, although Indonesia has never experienced such a thing since the Constitutional Court was formed, this arrangement is needed to provide legal certainty (rechtssicerheit) for the government, society, and parties who play a direct role in it, both political parties and the DPR itself if this happens in the development of Indonesia in the future. The research method used is a normative research method that is refined with a historical, case, and comparison approach with three countries. The results of the analysis of this thesis indicate that the legal consequences of the dissolution of a political party itself must be regulated by law. Then, there are several mechanisms that can be used as an option in filling the vacant position in the DPR. Therefore, to accommodate these provisions, it is necessary to make changes to the relevant laws and regulations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Rezza Naufal
"Tesis ini membahas tentang Keanggotaan DPD terkait Larangan dari Partai Politik, dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana keanggotaan DPD terkait larangan dari partai politik, problematika yang timbul dari keanggotaan DPD dari partai politik dan mengetahui keanggotaan DPD yang ideal untuk mewujudkan checks and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif, melalui studi kepustakaan, dengan tipologi penelitian preskriptif yaitu melakukan pendekatan secara intensif, mendalam dan mendetail serta komprehensif untuk menggali secara mendalam mengenai masalah penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keanggotaan DPD dari partai politik terkait larangan diatur pertama kali oleh Pasal 63 UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD bahwa calon anggota DPD tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon. Kemudian syarat tersebut dihilangkan pada undang-undang selanjutnya. Kemudian diatur kembali dalam Putusan MK No. 30/PUU/XVI/2018. MK menafsirkan makna “pekerjaan lain” dalam Pasal 182 huruf l UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum termasuk sebagai pengurus Partai Politik mulai dari tingkat pusat sampai tingkat paling rendah sesuai dengan struktur organisasi partai politik yang bersangkutan. Problematika yang timbul dari keanggotaan DPD dari partai politik ini adalah dapat menimbulkan konflik kepentingan antara DPD dengan partai politik dan merubah original intent DPD sebagai pembawa aspirasi daerah dan kekuatan penyeimbang antara politik dan daerah.

This thesis discusses about DPD membership related to the Prohibition of Political Parties, with the aim to find out how the DPD membership is related to the prohibition of political parties, problems arising from the DPD membership of political parties and to find out the ideal DPD membership to realize checks and balances in the Indonesian constitutional system. This research was conducted using normative legal research methods, through library research, with prescriptive research typologies that are conducting intensive, profound, detailed and comprehensive to explore deeply about research issues. The results showed that the membership of the DPD from political parties related to the ban was first regulated by Article 63 of Law No. 12 of 2003 concerning the General Election of Members of the DPR, DPD, and DPRD that the DPD candidate members do not become administrators of political parties for at least 4 (four) years as of the nomination date. Then these conditions are removed in the next law. Then rearranged in the Constitutional Court Decision No. 30 / PUU / XVI / 2018. The Constitutional Court interprets the meaning of 'other work' in Article 182 letter l of Law No. 7/2017 regarding General Elections including being an administrator of a Political Party starting from the central level to the lowest level in accordance with the organizational structure of the political party concerned. The problems that arise from the DPD membership of political parties are that it can lead to conflicts of interest between the DPD and political parties and change the DPD's original intent as a carrier of regional aspirations and a balancing force between politics and the region.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T55349
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ani Purwanti
"Affirmative Action (tindakan khusus sementara) untuk perempuan di bidang politik, pertama kali termuat dalam Undang Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik dan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR RI, DPD dan DPRD. Regulasi tersebut berlanjut pada Undang Undang Nomor 2 Tahun 2008 dan Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan Undang Undang Nomor 10 Tahun 2008 dan Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR,DPD dan DPRD (Legislatif). Ketentuan tersebut merupakan hal baru di Indonesia karena mengatur keadilan gender dalam rekruitmen dan manajemen partai politik dan memasukkan 30% keterwakilan perempuan dalam pencalonan anggota legislatif, selain itu ada keharusan partai politik untuk memasukkan setidaknya 1 orang perempuan dalam setiap 3 bakal calon Legislatif (zipper system).
Politik hukum dianggap sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang diharapkan bisa membantu mencapai tujuan yang diinginkan masyarakat, karena politik akan mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukumnya serta akan dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah. Politik Hukum adalah aktivitas memilih cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan tujuan hukum tertentu. Undang-Undang Paket Politik yang ada sejak Reformasi merupakan representasi dari keinginan masyarakat (perempuan) untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan di bidang Legislatif, dan hasilnya pada Pemilu Legislatif pada Tahun 2004 jumlah keterwakilan perempuan sebesar 11,3 %. Pada Pemilu Legislatif Tahun 2009, setelah Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang suara terbanyak, keterwakilan perempuan di DPR sebesar 18,04% , di DPRD Provinsi sebesar 16,0 % dan pada DPRD Kabupaten/Kota sebesar 12,0 % .Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan pada masa sebelum diterapkannya affirmative action pada masa Orde Lama dan Baru yaitu pada Pemilu Tahun 1992 (sebesar 12,50%).
Penelitian dalam disertasi ini melihat hukum dalam konsepnya sebagai norma sekaligus perilaku dan implementasinya, metode yang digunakan adalah sosio legal research, dengan demikian teks yang mengatur partisipasi perempuan dikaji dengan konteksnya di masyarakat. Permasalahan dalam penelitian ini adalah (1) bagaimana perkembangan politik hukum pengaturan partisipasi perempuan di bidang politik khususnya di Lembaga Legislatif (Perwakilan), (2) bagaimana implementasi pengaturan keterwakilan perempuan di bidang Legislatif sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Partai Politik dan Undang-Undang Pemilu Legislatif. Sedangkan permasalahan (3) adalah merumuskan bagaimana sebaiknya pengaturan partisipasi perempuan di Legislatif (Perwakilan) yang akan datang.
Penelitian ini termasuk kedalam jenis penelitian kualitatif dengan mengunakan teori dari Hans Kelsen, Teori Responsif Philippe Nonet dan Philippe Selznick, Teori Hukum Progresif, Lawrence M Friedman dan William J Chambliss dan Robert B Seidman, dan Teori Pembentukan Agenda dari J.M.Otto Lokasi penelitian adalah Provinsi Jawa Tengah, Sumatera Barat dan Bali, dengan perbandingan negara Swedia, The Netherlands dan Malaysia dan 3 Partai Politik yaitu PDI Perjuangan, Golkar dan PKB.
Hasil dari penelitian ini adalah (1) perkembangan politik hukum terutama sejak era reformasi tahun 1998 mendorong meningkatnya partisipasi perempuan di bidang politik khususnya di lembaga Legislatif (Perwakilan), (2) Budaya patriarkhi yang masih berkelindan pada stakeholder termasuk partai politik dan masyarakat pemilih termasuk perempuan menjadi kendala belum optimalnya partisipasi perempuan di Legislatif (Perwakilan) di Jawa Tengah, Sumatra Barat dan Bali. (3) pengaturan ideal keterwakilan perempuan di bidang politik khususnya pada Legislatif (Perwakilan) memerlukan pengaturan yang bersifat responsif dan progresif khususnya pada pembentukan Undang-Undang Partai Politik dan Undang-Undang Pemilu Legislatif yang akan datang.
Partai Politik segera memasukkan program terkait dengan pendidikan politik dan pemberdayaan perempuan di dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga. dengan demikian Partai Politik dapat melaksanakan program kaderisasi, rekruitmen, pendidikan politik bagi perempuan, sehingga akan tersedia cukup banyak calon legislatif perempuan yang berkualitas. Hasil lainnya adalah memaksimalkan lembaga suprastruktur, infrastruktur dan lembaga non departemen dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas perempuan di bidang politik.
Berdasarkan hasil penelitian diatas, penelitian ini merekomendasikan agar tetap memasukkam prinsip affirmatif action di dalam Undang-Undang Partai Politik dan Undang-Undang Pemilu Legislatif. Selain itu Partai Politik sebagai stakeholder utama diwajibkan memasukkan program pemberdayaan perempuan dalam AD/ART sebagai syarat utama menjadi peserta pemilu Legislatif. Hal ini disebabkan karena dari 12 partai politik peserta pemilu tahun 2014 hanya 3 partai politik yang mempunyai program pemberdayaan perempuan di dalam AD/ART yaitu (PKB, Gerindra, dan PAN). Partisipasi perempuan di Lembaga Legislatif akan meningkat sebagaimana diamanatkan Undang-Undang yaitu sebesar 30% jika pada Paket Undang-Undang Politik yang akan datang menggunakan sistem proporsional dengan daftar tertutup, dengan syarat partai politik mempunyai komitmen yang kuat terhadap peningkatan partisipasi perempuan di lembaga Legislatif.

Affirmative Action is temporary special measure for woman in political area has regulated on Act of Political Party (UU Nomor 31 Tahun 2002) and Act of Parliament Election (UU Nomor 12 Tahun 2003), it is regulate further and revised on Act Number 2 Year 2008 and Act Number 2 Year 2011 on Political Party and Act Number 10 Year 2008 and Act Number 8 Year 2012 on Parliament Election. Those regulation on affirmative action for woman are considered as a "new stuff" in Indonesia that specificly regulate about the gender equility on political party recruitment and management thats include the 30% woman representation on legislative candidate selection, it is also regulate that political party have to included at least one woman in every three candidate of preliminary legislative (zipper system).
Legal policy are considered as a legal policy that expected to change purpose on society because political will in law making process could make an impact on law from the basis of the configuration of political background process on law making process in legislative. The Act of Political Parties which had been exist since reformation can be considered as reflaction of people will to influence on policy making. The result from Legislative Election at 2004 has make woman representation in parliament about 11,3% and Legislative Election at 2009, after Constitutional Court Decree result 18,04 woman representation in Legislative and 16% on Province Legislative and 12% on City Legislative , those numbers are higher if its compared to the legislative election on the new order regime (12,5% on the 1992 election).
This doctoral research is trying to see the problem of woman representation based on law as norm and also behavior include its implementation by using socio legal research method to actualize law on its text and context. The problem that appear on this research are : first, how the development of the legal policy on woman representation in the political field especially in legislative, the second is how the regulation of woman representation works in reality according to the Act of Political Parties and the Act of Parliament Election, and third is how to formulate the ideal regulation of woman political legislative participation in the upcoming election.
This qualitative research using the theories from, Hans Kelsen, , Lawrence M Friedman and William J Chambliss and Robert B Seidman, Satjipto Rahardjo Progressive Law Theories and Agenda?s Theories from JM Otto. This research took place in Central Java, West Sumatra and Bali, with the comparison three different nation state Swedia, Netherlands dan Malaysia, the study of political party in Indonesia take place on PDI Perjuangan, Golkar and PKB.
The results from this research are (1) the development of the legal policy especially in reformation era after 1998 is very determining woman representation in political field especially legislative field. (2) Patriarkhi culture is still give an impact to the stakeholders such as political party and the voters include women it self become the main factor in the optimalization of woman participation number in Central Java, West Sumatra and Bali. (3) The ideal woman legislative representation should be regulate with progressive and responsif laws which is required in the formulated of Political Party Acts should held women empowering programme on their basic principles, so they could run and should be given on the party that doesnt obey the woman political representation both on the recruitment or in the management of the party.
Political parties as the main stakeholders that related to the woman participation especially political party should have a clear agenda to achieve the ideal condition of woman representation in political field from the level of caderization, recruitment, political education for woman, that have a clear impact both on the quality and quantity on the woman politician. The Maximalization of the suprastructure and infrastructure institution, and even the grassroot political movement and woman movement from NGO's.
Based on these Research, I recommend that the future Political Party Act and Legislative Election Acts should maintain the affirmative action principles. On the other hand, all of the stakeholders that correlated with empowering woman, on political area, especially the Political Party to held an woman empowerement programmes. So far, there are only three among twelve party on the 2014 election that has already have woman empowerement program on their rule of conduct; PKB, Gerindra and PAN. On the future,the rule of conduct that consist the woman empowerement and political agenda as one of the election's verification reqruienment. The number of woman participation on Parliament could raised if on the future election act is using the Proportional Closed List System, plus the commitment of political party to enhance the number of woman member is a must.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
D1469
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabella Annisa Putri
"Skripsi ini membahas mengenai larangan pemutusan hubungan kerja (PHK) atas alasan yang berkenaan dengan hak ? hak reproduksi pekerja/buruh perempuan, yaitu mengenai cuti hamil/melahirkan. Penelitian yang dilakukan berjenis yuridisnormatif dengan analisis data secara kualitatif yang bersifat deskriptif analitis. Adapun tujuan penelitian dan penulisan skripsi ini ialah untuk mengetahui pengaturan mengenai hal tersebut ditinjau dari segi yuridis dan ekonomis, serta perbandingannya dengan pengaturan yang terdapat di beberapa negara di Asia Tenggara, seperti negara Malaysia, Singapura, dan Vietnam.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat didentifikasi bahwa negara yang relatif baik pengaturannya terkait larangan PHK berkenaan dengan hak cuti hamil/melahirkan adalah negara Vietnam, dikarenakan adanya perlindungan bagi pekerja/buruh perempuan dan intervensi pemerintah dalam mengurangi beban pengusaha berupa pemberian pengurangan pajak operasional perusahaan, penggantian dana, dan jangka waktu cuti hamil/melahirkan yang lebih panjang.

This thesis discusses about the prohibition of termination of employment (ToE) for reasons related to rights - reproductive rights of women workers / employees of women, particulary maternity leave / giving birth. The type of this research is a normative juridical research and have a quality with qualitative data analysis which is descriptive analytical. The objective of the research is to know the rules regarding the juridical and economic terms, and its comparison with the rules addressed in several countries in Southeast Asia, such as Malaysia, Singapore, and Vietnam.
Based on research result, it can be identified that a country with good relatively rules about the prohibition of termination of employment (ToE) related to rights - reproductive rights of women workers / employees of women, particulary maternity leave / giving birth is Vietnam due to the protection of women workers / employees of women and government interventions in reducing the burden on businesses for the provision of tax relief operations, reimbursement, and longer period of maternity leave / childbirth.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S59218
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herti Septhiany
"Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan yang mempunyai fungsi sebagai penegak konstitusi yang putusannya bersifat final dan sebagai peradilan tingkat pertama dan terakhir. Menurut Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, kewenangan pengisian jabatan hakim konstitusi didelegasikan kepada tiga lembaga berwenang, yaitu Mahkamah Agung. DPR dan Presiden. Pengisian jabatan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga berwenang tersebut harus dilaksanakan berdasarkan prinsip transparansi, partisipasi, obyektif dan akuntabel. Transparansi diartikan sebagai keterbukaan. Artinya dalam setiap proses pengisian jabatan hakim konstitusi baik MA, DPR dan Presiden harus melaksanakan publikasi dan memberikan segala informasi terkait dengan proses yang dilaksanakan dalam pengisian jabatan hakim konstitusi. Namun, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tidak mengatur secara spesifik dan tidak adanya standarisasi aturan dalam pengisian jabatan hakim konstitusi dan indikator pelaksanaan prinsip transparansi. Proses pengisian jabatan hakim konstitusi yang transparan mempengaruhi pembentukan independensi personal hakim. Semakin baik pelaksanaan prinsip transparansi dalam pengisian jabatan hakim konstitusi, semakin baik pula terwujudnya independensi hakim. Untuk mewujudkan independensi hakim, tentunya harus diterapkan pula mekanisme pengisian jabatan hakim konstitusi yang ideal berdasar prinsip transparansi. Perbandingan mekanisme pengisian jabatan hakim konstitusi di negara lainnya dapat menjadi sebuah inspirasi untuk membentuk mekanisme pengisian jabatan hakim konstitusi yang ideal berdasar prinsip transparansi untuk memperkuat independensi hakim konstitusi.

Constitutional Court is a judicial institution that has function as constitutional enforcer which have final decisions and as first and final level judiciary. According to the Law of Constitutional Court, the authority to fill the positions of constitutional judges is delegated to three institutions, those are MA, DPR and President. The filling the positions of constitutional judges by those institutions must be implemented based on the principles of transparency, participation, objectivity and accountability. Transparency is defined as openness. This means in every process of filling positions of constitutional judges, both of MA, DPR and President, must carry out publications and provide all information related to process in filling positions of constitutional judges. However, the Law on the Constitutional Court does not specifically regulated and there is no standardization of rules in filling positions of constitutional judges and indicators of implementation principle of transparency. The transparent process of filling position of constitutional judge affects personal independence of judges. Implementation the principle of transparency in filling the positions of constitutional judges makes higher independence of judges will be. To realize the independence of judges, of course, the mechanism for filling the position of an ideal constitutional judge based on the principle of transparency must also be applied. Comparison of mechanisms for filling the positions of constitutional justices in other countries can be an inspiration to form an ideal mechanism for filling the positions of constitutional judges based on the principle of transparency to strengthen the independence of constitutional judges."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>