Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 213999 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hilbram Rahmansyah Bayusasi
"Penelitian ini membahas tantangan komunitas transpuan memperoleh pengakuan identitas hukum di Indonesia. Pasal 56 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan Pasal 58 Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil belum sempurna menangani permasalahan tersebut. Tidak sempurnanya kedua pengaturan hukum tersebut karena pengajuan permohonan pengubahan identitas hukum kepada pengadilan negeri dapat ditolak. Dengan begitu, transpuan di Indonesia tidak mendapatkan salah satu hak dasarnya, yakni identitas hukum. Melalui metode sosio-legal, penelitian ini menganalisis kekurangan kedua pengaturan hukum yang ada dan mewawancarai transpuan di Jakarta Selatan tentang identitas hukum mereka. Hasil ditemukan bahwa para transpuan ini belum melakukan pengubahan identitas hukum karena terintimidasi dengan hukum yang ada. Hal tersebut mengakibatkan keseharian mereka terdapak, termasuk dalam aspek sosial, ekonomi, dan keamanan pribadi. Berdasarkan temuan ini, peneliti memberikan beberapa saran ke depan. Pertama, dicanangkan self-ID law yang memungkinkan transpuan untuk secara langsung mengajukan perubahan identitas tanpa hambatan pengadilan yang berlebihan. Kedua, perlunya kompensasi bagi mereka yang pernah ditolak, serta edukasi intensif bagi petugas pemerintah untuk menghindari diskriminasi. Ketiga, pentingnya dukungan sosial dan hukum yang lebih luas, termasuk layanan kesehatan yang sensitif terhadap transisi gender. Keempat, edukasi masyarakat luas untuk mengurangi stigma terhadap identitas gender yang beragam. Dengan menerapkan saran-saran ini, diharapkan bahwa transpuan di Indonesia dapat mengakses hak mereka untuk identitas hukum dengan lebih mudah dan adil, menjadikan perubahan identitas sebagai bagian normal dari proses transisi mereka.

This study discusses the challenges faced by trans women in obtaining legal recognition of their identity in Indonesia. Article 56 of Law Number 23 of 2006 on Population Administration and Article 58 of Presidential Regulation Number 96 of 2018 on Population Registration Requirements have not adequately addressed these issues. The imperfections in these legal provisions arise from the potential rejection of applications for legal identity change by district courts. Consequently, trans women in Indonesia are denied a fundamental right, namely legal identity. Using socio-legal methods, this research analyzes the shortcomings of existing legal frameworks and interviews trans women in South Jakarta about their legal identities. The findings reveal that these women have refrained from pursuing legal identity changes due to intimidation by existing laws, impacting their daily lives including social, economic, and personal security aspects. Based on these findings, the researcher proposes several recommendations. First, the implementation of a self-ID law that allows trans women to directly request identity changes without excessive judicial barriers. Second, the need for compensation for those previously denied, along with intensive education for government officials to prevent discrimination. Third, the importance of broader social and legal support, including healthcare services sensitive to gender transitions. Fourth, public education to reduce stigma against diverse gender identities. Implementing these recommendations is expected to facilitate easier and fairer access to legal identity rights for trans women in Indonesia, making identity changes a normal part of their transition process."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stebby Julionatan
"Hukum Kasih dalah ajaran utama Kekristenan. Dengan Hukum Kasih maka umat Kristiani diajar untuk bersikap inklusi dan memperjuangkan hak-hak orang-orang yang tertindas. Sayangnya, ketika Hukum Kasih diperhadapkan pada pemenuhan hak spiritualitas transpuan, maka “hukum” tersebut kehilangan sisi inklusinya. Wacana tentang heteronormatif dalam Kekristenan menjadi kontra narasi atas nilai inklusi Hukum Kasih. Bahkan, dalam konteks ini, Kekristenan justru menjadi hambatan terbesar terhadap penerimaan pada ketubuhan dan seksualitas kelompok transpuan. Namun, benarkah heteronormatif telah final dalam wacana Kristen? Bagaimana para pendeta menjembatani kontradiksi yang ada dalam amanat pelayanan spiritualitas jemaat, termasuk transpuan? Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi pandangan dan pemahaman 6 (enam) pendeta sekutu Protestan mengenai Hukum Kasih guna membangun landasan pemaknaan atau peta tafsir alternatif yang memfasilitasi pemenuhan kebutuhan spritiualitas kelompok transpuan. Menggunakan pendekatan fenomenologi dengan perspektif feminis yang berpihak kepada kelompok transpuan, penelitian ini mewawancarai 2 (dua) pendeta perempuan cis-gender heteroseksual, 3 (tiga) pendeta laki-laki cis-gender heteroseksual dan seorang pendeta laki-laki non-heteroseksual yang memiliki keberpihakan terhadap kelompok minoritas seksual. Studi ini mengungkap tiga hal, yaitu upaya membangun kesadaran dan keberpihakan terhadap kelompok minoritas seksual, agensi pendeta sekutu dan makna pemberkatan perkawinan transpuan bagi pendeta sekutu. Upaya yang telah dilakukan dari studi ini menunjukkan: Pertama, sekadar pemaknaan akan “kasih” yang inklusi, ternyata tidak cukup dalam membangun kesadaran kritis dan keberpihakan, para pendeta sekutu membangunnya melalui refleksi kesadaran akan privilese, makna panggilan dan pengutusan gerejawi, adanya perjumpaan dengan kelompok minoritas seksual dan menyadari bahwa kelompok minoritas kebutuhan spiritualitas. Kedua, dalam upaya membangun agensi, para pendeta sekutu menggunakan identitas kependetaan mereka (paspor) sebagai strategi untuk membangun tafsir baru, mengubah wacana inklusi menjadi DNA gereja dan melakukan gerakan inklusif SOGIESC. Ketiga, dalam memaknai pemberkatan perkawinan transpuan, para pendeta masih dihadapkan pada ragam tafsir yang menjadi tantangan dalam pemenuhan kebutuhan spiritualitas kelompok tranpuan. Pada akhirnya, penguatan wacana teologi feminis dan SOGIESC pada para pendeta dan pengambil kebijakan di gereja menjadi suatu yang niscaya untuk pengejawantahan nilai Hukum Kasih yang sebenarnya.

The Law of Love is the main teaching of Christianity. With the Law of Love, Christians are taught to be inclusive and fight for the rights of oppressed people. Unfortunately, when the Law of Love is confronted with fulfilling the spiritual rights of transgender women, the "law" loses its inclusion. Discourse about heteronormative in Christianity becomes a counter narrative on the inclusion value of the Law of Love. In fact, in this context, Christianity is actually the biggest obstacle to acceptance of the body and sexuality of transgender groups. However, is it true that heteronormative is final in Christian discourse? How do pastors bridge the contradictions that exist in the mandate of the church's spiritual ministry, including transwomen? This study aims to explore the views and understanding of 6 (six) allied Protestant pastors regarding the Law of Love in order to build a basis for interpretation or an alternative interpretation map that facilitates the fulfillment of the spiritual needs of the transgender group. Using a phenomenological approach with a feminist perspective that favors transgender groups, this study interviewed 2 (two) heterosexual cis-gender female priests, 3 (three) heterosexual cis-gender male priests and one non-heterosexual male priest who has a bias against sexual minorities. This study reveals three things, namely efforts to build awareness and alignment with sexual minority groups, the agency of allied priests and the meaning of the blessing of transgender marriages for allied priests. The efforts that have been made from this study show: First, the mere meaning of "love" which is inclusive, turns out to be insufficient in building critical awareness and partiality, the allied pastors build it through reflection on awareness of privilege, the meaning of ecclesiastical vocation and mission, the existence of encounters with groups sexual minorities and realize that minority groups need spirituality. Second, in an effort to build agency, allied pastors use their clerical identity (passport) as a strategy to build new interpretations, change the discourse of inclusion into the DNA of the church and carry out the SOGIESC inclusive movement. Third, in interpreting the blessing of transgender marriages, priests are still faced with various interpretations which are a challenge in meeting the spiritual needs of transgender groups. In the end, the strengthening of feminist theological discourse and SOGIESC among pastors and policy makers in the church is necessary for the realization of the true value of the Law of Love."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatima Mernissi
Surabaya: ALFIKR, 1997
297.43 MER b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Verren Marcelia Suwandi
"Penelitian ini mengeksplorasi pengalaman tiga transpuan dalam lingkungan Gereja Protestan di tiga gereja berbeda, yaitu Gereja Y, Gereja Z. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis bagaimana identitas gender para transpuan ini dipersepsikan, diakui, dan dihadapi dalam konteks religius yang seringkali patriarkis dan heteronormatif. Metode yang digunakan adalah Narrative analysis dimana penelitian ini menganalisis secara mendalam terhadap isi dan bentuk kisah yang disampaikan oleh transpuan dan pendeta. Hasil temuan data penelitian ini bahwa pendeta dan gereja X, Y, dan Z memiliki perlakuan berbeda-beda terhadap transpuan. Secara keseluruhan, penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya untuk memberikan dukungan dan ruang bagi transpuan dalam gereja, norma-norma heteronormatif dan patriarkal tetap menjadi hambatan utama yang perlu diatasi

This study explores the experiences of three transgender women within Protestant Church environments in three different churches, namely Church Y, Church Z. The purpose of this research is to analyze how the gender identities of these transgender women are perceived, recognized, and addressed within a religious context that is often patriarchal and heteronormative. The method used is narrative analysis, where this research deeply examines the content and form of stories conveyed by the transgender women and the pastors. The findings indicate that pastors and churches X, Y, and Z have varying approaches towards transgender women. Overall, the research shows that although there are efforts to provide support and space for transgender women within the church, heteronormative and patriarchal norms remain the main obstacles that need to be overcome."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umar Dwi Turhangga
"Jurnal ini membahas krisis eksistensial yang dialami seorang transpuan dalam film GIRL (2018). Film ini dibuat berdasarkan kisah yang dialami oleh seorang transpuan yang bercita-cita ingin menjadi balerina profesional dan harus berjuang menghadapi permasalahan dalam meraihnya. Konflik yang dihadapi tokoh dimulai dari konflik dalam batinnya yang berkecamuk, hubungannya dengan keluarga, hingga pengakuan dalam kelompok pertemanannya. Konflik yang begitu kompleks ditampilkan dengan memanfaatkan teknik sinematografi yang beragam. Pembahasan krisis eksistensi yang dialami transpuan dalam film ini dijabarkan dengan analisis struktur, fokalisasi, dan sinematografi.

This journal discusses the existence crisis experienced by a trans woman in the film GIRL (2018). This film is based on a story experienced by a trans woman who aspires to become a professional ballerina and must struggle to face problems in achieving it. The conflicts that the characters face, start from the inner conflict that rages on, her relationship with her family, the recognition in their group of friends. Such complex conflicts are displayed using various cinematographic techniques. Analysis of the existence crisis experienced by trans women in this film is described by structural analysis, focalization, and cinematography."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
New York: Routledge, 2023
306.768 TRA
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Nangoi Priscilla Francis
"Di Indonesia, Jakarta khususnya, kita kenal dengan keberadaan kelompok individu yang memiliki nama popular waria atau wanita-pria. Waria adalah individu yang memiliki jenis kelamin pria namun mengidentifikasikan dirinya serta berpenampilan selayaknya seorang wanita. Waria dapat disebut atau digolongkan ke dalam istilah transeksual, karena selain memiliki identifikasi sebagai seorang wanita, is juga mengubah penampilannya seperti seorang wanita, baik dari pakaian hingga bentuk tubuh. Hal ini dilakukannya dengan melakukan operasi ataupun melakukan suntikan hormon pada bagian-bagian tubuh tertentu sehingga semakin mirip dengan wanita. Operasi yang pada umumnya dilakukan oleh para waria adalah suntik payudara atau memasang silikon, operasi wajah (tulang pipi, dagu, hidung, dli.), dan juga pada bagian-bagian tubuh lainnya kecuali pada alat kelamin.
Keputusan seseorang untuk menentukan ia menjadi seorang waria ataukah tidak, terkait dengan istilah gender identity atau identitas jender. Identitas jender adalah proses dimana seseorang melakukan klasifikasi terhadap dirinya, apakah ia seorang wanita ataukah pria. Selama seorang anak menjalani proses pembentukan identitas jender, yang paling memiliki peran sebagai pembimbing anak adalah keluarga, terutama orang tua. Ketika anak dalam masa pengenalan jenis kelamin serta perannya, tugas utama dari prang tua adalah memperkenalkan hal-hal yang menunjang pembentukan identitas jender sesuai dengan jenis kelamin anak, seperti misalnya mainan, pakaian, gaga rambut, warna, dan lain sebagainya. Selain pengenalan terhadap obyek, hal lain yang juga sangat penting adalah pengenalan terhadap peran dan perilaku yang sesuai dengan jenis kelaminnya.
Ayah dan ibu sebagai orang tua dalam keluarga memiliki peran penting dalam perkembangan anak. Peran tersebut antara lain adalah untuk merawat anak, menjadi teman/companion bagi anak, mengajarkan anak mengenai nilai-nilai ataupun norma-norma terutama yang berkaitan dengan jender, menjadi tokoh model bagi anak, dan juga sebagai pencari nafkah untuk pemenuhan tuntutan ekonomi keluarga. Selain itu menurut Lamb (1997), hubungan ayah dan ibu sebagai pasangan suami istri dan orang tua juga mempengaruhi perkembangan kepribadian anak. Terpenuhi atau tidaknya peran tersebut dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian anak, terutama identitas jender.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitati f, dengan teknik pengambilan data dengan wawancara dan observasi. Subyek penelitian ini ada 3 orang, yang pengambilan subyek dengan menggunakan teknik purposive sampling. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa instrument penelitian yaitu alat perekam, pedoman wawancara, lembar informed conscent, dan lembar Identitas diri.
Dari data yang didapat serta berdasarkan hasil analisis dapat terlihat bahwa terdapat kontribusi yang tidak sedikit dari peran orang tua terhadap pembentukan identitas jender anak. Pada setiap peran orang tua terdapat salah satu orang tua yang menonjol dalam memenuhi peran mereka. Salah seorang yang menonjol ini kemudian menjadi patokan anak dalam memandang orang tuanya. Pada responden penelitian sangat terlihat bahwa pemenuhan peran yang paling dinilai positif adalah ibu, dimana ibu sebagai orang yang dekat dengan anak, merawat anak, menerima anak, serta menjadi idola serta rontoh dari anak. Padahal mungkin ibu sebenarnya tidak memenuhi perannya dengan baik, namun karena dianggap menguntungkan anak sehingga dinilai positif oleh anak. Seperti misalnya ibu yang menerima keadaan anak apa adanya, atau juga ibu yang menjadi pembela anak. Pada ayah, terlihat bahwa dalam memenuhi perannya ayah lebih cenderung ditakuti karena ayah lebih banyak melakukan kontrol dengan hukuman fisik yang menyebabkan anak takut dan menghindar dari ayah, atau bahkan melawan ayah. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa masing-masing peran orang tua sangat mempengaruhi pembentukan identitas jender anak, seperti pegajaran, pengawasan, kontrol, perhatian, role model, dan Iainnya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T17423
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M.K. Rono J.
"Penelitian ini berusaha melihat hubungan antara goal orientation dengan prestasi akademis pada Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Goal orientation diukur dengan menggunakan alat ukur ?goal orientation? yang dikembangkan oleh Larasati (2010). Sedangkan untuk mengukur prestasi akademis dilihat dari IPK terakhir yang diraih oleh partisipan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara goal orientation dengan prestasi akademis. Lebih lanjut lagi, ditemukan adanya hubungan positif yang lemah antara learning goal orientation terhadap prestasi akademis, namun terdapat hubungan positif yang signifikan antara performance goal orientation terhadap prestasi akademis. Selain itu ditemukan bahwa mahasiswa yang menggunakan learning dan performance goal orientation yang tinggi secara bersamaan, mencapai prestasi akademis terbaik dibandingkan dengan mahasiswa yang hanya menggunakan salah satu goal orientation maupun kedua goal orientation secara rendah. Berdasarkan jenis kelamin, tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan antara goal orientation, learning goal orientation, maupun performance goal orientation antara laki-laki dan perempuan. Namun perempuan secara signifikan lebih tinggi dalam prestasi akademis dibandingkan dengan laki-laki.

This research is proposed to find the relationship of goal orientation and academic achievement in college student in Faculty of Psychology University of Indonesia. Goal orientation was measured by measurement tools constructed by Larasati (2010). And academic achievement was measured by Grade Point Average of the subject. The result from this study is there?s a positive and significant relationship between goal orientation and academic achievement. Furthermore, it was founded that learning goal orientation has a positive but weak relationship with academic achievement, whereas performance goal orientation has a positive and significant relationship with academic achievement. Beside that, it was founded that student with high on learning and performance goal orientation achieved the highest Grade Point Average than student with only using either learning or performance goal orientation alone or neither goal orientation. By sex, there is no significant differences on goal orientation, learning goal orientation nor performance goal orientation among male and female college student. But female is significantly higher on academic achievement than male college student.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dhelia Puri Ariani
"ABSTRAK
Penggunaan hijab di Indonesia menjadi marak pasca pemerintahan Orde Baru yang kini turut digunakan oleh kalangan waria. Padahal waria lebih dikenal dengan tampilan (hyper)femininity dan identik sebagai pekerja seks yang secara tidak langsung memunculkan diskriminasi kepada mereka. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana waria menampilkan identitas mereka melalui atribut hijab. Penelitian ini menggunakan metode etnografi yang dilakukan di Yayasan Srikandi Sejati sebagai salah satu lembaga yang menaungi kelompok waria di Jakarta. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan mengenakan hijab yang hampir menutupi seluruh bagian tubuh waria, membuat identitas gender mereka jadi tersamarkan. Ini tidak terlepas dari subjektivitas kesalehan dan good women terhadap pengguna hijab di Indonesia. Penelitian ini lalu menemukan bahwa waria menggunakan hijab sebagai topeng untuk menunjang performance mereka di masyarakat. Mereka kemudian tidak hanya memperlihatkan front dan back stage seperti uraian Goffman (1959), tetapi juga performance yang beragam; multiple front stage dan back stage

ABSTRACT
The use of hijab in Indonesia has increased after the New Order Government era which is now also used by transvestites. Whereas transvestites are better known for their appearance as (hyper)femininity and are identical as a sex worker which indirectly bring some types of discrimination against them. This study discusses how these waria displayed their identities through the attributes of the hijab. This study uses ethnographic methods carried out at Srikandi Sejati Foundation as one of the institutions that oversees the transvestite community in Jakarta. The results of this study prove that by wearing a hijab that mostly covers their entire body, makes their gender identity obscured. This is inseparable from the subjectivity of piety and good women to hijab users in Indonesia. This study also found that transvestite that uses hijab, as an actor who wear masks to support their performance in the wider community who have not been able to accept their presence. Their performance is seen in multiple stages (multiple) front and back stages."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinta Ayu Permadani
"ABSTRAK
Penelitian terhadap perbedaan ciri-ciri bahasa laki-laki dan bahasa perempuan telah banyak dilakukan sebelumnya. Namun dalam penelitian ini, subjek penelitian yang dipilih adalah seorang model transgender berkebangsaan Belanda yaitu Loiza Lamers dengan melihat keterangan-keterangan foto pada unggahan akun Instagramnya. Tulisan ini akan membahas ciri-ciri penggunaan bahasa yang dituliskan oleh Loiza Lamers dalam keterangan-keterangan fotonya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Analisis data dilakukan pada tiga belas keterangan-keterangan foto pada unggahan Instagram Loiza Lamers berdasarkan ciri-ciri perbedaan bahasa laki-laki dan bahasa perempuan dari Tannen, Lakoff, Jespersen, Verbiest, dan Van Ginneken. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa dalam keterangan-keterangan foto yang ditulis oleh Loiza Lamers, penggunaan bahasa perempuan lebih terlihat dibandingkan bahasa laki-laki"
2019
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>