Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 174870 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fachrul Jamal Isa
"Telah dilakukan penelitian kekerapan nyeri kepala pada
pasien pasca seksio sesaria dengan analgesia spinal dengan
pensil] di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunku-
Sejumlah 100 orang pasien yang menjalani operasi seksio
sesaria baik elektif dan darurat dengan status fisis ASA III.
Pasien-pasien ini dibagi dalam dua kelompok [ I dan II].
Kelompok I mendapat jarum spinal 27 tajam, kelompok II mendapat
jarum spinal 27 tumpul [keduanya dari produk UNISIS].
Sebelum dilakukan analgesia spinal semua pasien mendapat
perlakuan yang sama yaitu dipasang jalur intravena dan
diberikan cairan beban ringer laktat sebanyak 500 ml. Kemudian
pasien dibaringkan dalam posisi lateral dikubitus dan
dilakukan pungsi lumbal [L2-3 atau L3-4] dengan pendekatan
tajam].
Setelah operasi semua pasien dibaringkan dalam posisi
datar [horizontal] selama 6 jam dan mendapat cairan rehidrasi
3000 ml/hari untuk hari pertama dan dilakukan wawancara
keluhan nyeri kepala pasca pungsi dura (NKPPD) pada hari
I,III,V, pasca operasi. Pada pasien tersebut juga ditanyakan
keluhan lain, khususnya yang menyertai keluhan NKPPD. Pada
penelitian ini tidak ditemukan komplikasi NKPPD pada operasi
seksio sesaria dengan mempergunakan jarum no.27 tajam maupun
27 tumpul (UNISIS).
Vll sumo Jakarta dan Rumah Sakit Boedi Kemuliaan Jakarta.
median dengan jarum yang dipilih secara acak [tumpul atau
memakai jarum no.27 tajam [Standard] dan 27 tumpul (UNISIS)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laras Lembahmanah
"Latar Belakang: Penyuntikan obat anestesia spinal dosis tunggal diketahui menyebabkan hipotensi yang lebih besar dibandingkan dosis terbagi pada pasien obstetrik sehat, namun belum ada penelitian yang dilakukan pada pasien obsterik dengan penyulit hipertensi, khususnya di Indonesia. Hipotensi akibat anestesia spinal, khususnya pada pasien obstetrik dengan penyulit hipertensi, akan mengganggu kesejahteraan ibu dan janin.
Tujuan: Membandingkan penurunan MAP dan kebutuhan efedrin, serta mengetahui level ketinggian blok antara teknik anestesia spinal dosis terbagi dengan dosis tunggal untuk bedah Sesar dengan penyulit hipertensi.
Metode. Uji klinis acak tersamar tunggal terhadap 42 pasien di RSU Kabupaten Tangerang yang memenuhi kriteria dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok dosis terbagi (TB) dilakukan dengan menyuntikkan 2/3 dosis (1,5 ml), dilanjutkan 1/3 dosis sisanya (1 ml) setelah jeda 90 detik. Kelompok dosis tunggal (TU) dilakukan dengan menyuntikkan seluruh dosis dalam sekali bolus. Keduanya dilakukan dalam posisi duduk, menggunakan kombinasi obat anestesia spinal bupivakain 0,5% hiperbarik 10 mg dan fentanil 25 mcg (volume total 2,5 ml), kecepatan 0,2 ml/detik, barbotase £0,1 ml sebelum penyuntikan, serta pemberian coloading cairan kristaloid 5-10 ml/KgBB. MAP diukur sebanyak 7 kali, dan kebutuhan efedrin serta ketinggian blok dicatat. Analisis hasil menggunakan uji General Linear Model (GLM) untuk pengukuran berulang, uji Fisher dan Mann-Whitney U.
Hasil: Uji GLM menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna antar waktu pengukuran antar kelompok (P >0,05), namun grafik garis menunjukkan trend MAP kelompok TB lebih tinggi pada 3 menit pertama dibandingkan kelompok TU. Penurunan MAP >20% terjadi lebih cepat pada kelompok TU (menit ke-3). Ketinggian blok sensorik keduanya terbanyak pada level T4 sebesar 11 subjek (52,4%) pada kelompok TB dan 9 subjek (42,9%) pada kelompok TU (P=0,59). Perbandingan dosis total pemakaian efedrin mendapat nilai median (range) kelompok TB sebesar 10 (0-25) mg dan kelompok TU sebesar 15 (0-30) mg (P=0,30).
Simpulan: Penurunan MAP dan kebutuhan efedrin pada dosis terbagi tidak lebih kecil secara signifikan dibanding dosis tunggal, namun trend penurunan MAP >20% terjadi lebih lambat dan pemakaian efedrin lebih sedikit pada 3 menit pertama, dengan level ketinggian blok keduanya serupa.

Background: Injection of a single bolus of local anesthetics in spinal anesthesia is known to cause greater hypotension than a fractionated dose in healthy obstetric patients, but no studies have been performed on obstetric patients with hypertensive complications, especially in Indonesia. Spinal hypotension will interfere to maternal and fetal well-being, particularly to mother with pregnancyinduced hypertension.
Objective: Compare the decrease in mean arterial pressure (MAP) and ephedrin requirements, as well as to determine the level of sensory blockade between fractionated dose and single dose technique in spinal anesthesia for Cesarean section in pregnancy-induced hypertension.
Methods: Single blinded randomized clinical trials of 42 patients at Tangerang District General Hospital who met the criteria were divided into two groups. The fractionated dose group (TB) was administered by injecting 2/3 of the total doses (1,5 ml) initially, followed by 1/3 of the remaining dose (1 ml) after 90 s. A Single dose group (TU) was performed by injecting all doses in one bolus. Both were performed in a sitting position, using a combination of 0,5% hyperbaric bupivacaine 10 mg and fentanyl 25 mcg (total volume of 2,5 ml), with velocities 0,2 ml/sec, £0,1 ml barbotage before injection, and administration of 5-10 ml/KgBW crystalloids for co-loading. MAP was measured 7 times, as well as ephedrine requirement and level of sensory blockade were recorded. Analysis was performed using a General Linear Model (GLM) test for repeated measurements, Fisher exact and Mann-Whitney U test.
Results: The GLM test showed no significant differences between the time measurements between groups (P>0,05), but the line chart showed the TB group's trend of MAP was higher in the first 3 minutes than TU group. MAP decline >20% occured faster in TU group (minute-3). The level of sensory block was mostly at the T4 level of 11 subjects (52,4%) in TB group and 9 subjects (42,9%) in TU group (P = 0,59). The total dose of ephedrine requirement was in median (range) value of 10 (0-25) mg in TB group and 15 (0-30) mg in TU group (P = 0,30).
Conclusion: MAP decline and ephedrine requirement in fractionated dose were not significantly smaller than single dose, but >20% decrease in MAP's trend occured more slowly and ephedrine requirement was less in the first 3 minutes, with similar level of sensory block in both groups."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Hayati Heryundari
"Tujuan : dilakukan penelitian untuk membandingkan keefektifan morfin 0,05 mg intratekal plus ketorolak 30 mg intramuskular dengan morfin 0,1 mg intratekal untuk mencegah nyeri pasca bedah sesar dengan analgesia spinal bupivakain 0,5% 12,5 mg.
Disain : uji klinis acak tersamar ganda.
Metode : 96 pasien yang menjalani bedah sesar dibagi 2 kelompok. Kelompok A sebanyak 48 orang mendapat 0,05 mg morfin pada suntikan bupivakain 0,5% 12,5 mg intratekal plus ketorolak 30 mg intramuskular dan kelompok B sebanyak 48 orang mendapat 0,1 mg morfin pada suntikan bupivakain 0,5% 12,5 mg plus NaCi 0,9% 1 cc intramuscular. Selanjutnya dilakukan pemantauan nyeri menggunakan VAS, tekanan darah, frekuensi nadi, nafas dan efek samping pada jam ke 2, 4, 6, 8, 16 dan 24 pasca operasi.
Hasil : kelompok A mempunyai efek analgesia yang setara dengan kelompok pada pemantauan jam ke 2 hingga ke 24 dan pa 0,05_ Efek samping pruritus, mual muntah kelompok A 14,6%, 2,1%, 2,1% sedangkan kelompok B 43,0%, 10,4%, 4,2%.
Kesimpulan : morfin intratekal 0,05 mg plus ketorolak 30 mg intramuskular menghasilkan analgesia yang tidak berbeda bermakna dengan morfin 0,1 mg dan menurunnya efek samping pruritus, mual dan muntah pasca bedah sesar.

Objective : this study was conducted to compare the effectiveness of 0,05 mg intrathecal morphine plus 30 mg intramuscular ketorolac with 0,1 mg intrathecal morphine for postoperative pain control after cesarean delivery under spinal analgesia with 12,5 mg of 0,5 % plain bupivacaine.
Design : double blind, randomized clinical study
Methods : 96 patients who underwent cesarean delivery, were divided into 2 groups. Group A : 48 patients got 0,05 mg intrathecal morphine at injection of 12,5 mg bupivacaine 0,5 % combined with 30 mg intramuscular ketorolac. Group B : 48 patients got 0,1 mg intrathecal morphine at injection of 12,5 mg bupivacaine 0,5 % plus NaCl 0,9 % intramuscular. All patients were observed and evaluated for the first 24 hours : the effectiveness of analgesia using VAS, BP, HR and RR.
Result : group A have the same effectiveness of post operative pain control with group B during the observations. A significanty greater incidence of pruritus was observed in the group B receiving 0,1 mg of intrathecal morphine. Although no significant difference among groups was observed regarding the incidence of vomiting, there was a trend toward less vomiting with the use of smaller doses of morphine.
Conclusion : a multimodal approach to pain control with the use of a combination drug ( 0,05 intrathecal morphine and 30 mg im ketorolac) have same quality of analgesia that provided with 0,1 mg intrathecal morphine but the incidence of side effects trend to decrease."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T58437
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusrini
"Penelitian ini dilakukan umuk mengetahui apakah tcrdapat perbedaan informasi yang dibutuhkan ibu dengan pengalaman pertama dan ibu yang menjalani lebih dari sam kali seksio sesaria. Penelitian ini dilakukan di RSAB Harapan Kita Jakarta. Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif perbandingan Populasi pada penelitian ini adalah kelompok ibu yang menjalani operasi seksio Sesaria di nmng kebidanan Jumlah sampel pada penelitian ini sehanyak 82 orang terdiri dari 41 responden dari kelornpok ibu yang menjalani seksio sesaria pertama dan 41 responden dari kelompok ibu yang menjalani Iebih dari satu kali seksio sesaria Data diperoleh melalui kuesioner yang dibagikan dan diisi oleh seliap responden. Instrumen yang digunakan terdiri dari data demografi (kuesioner A) dan pemyataan informasi yang dibutuhkan ibu dengan seksio sesaria (kuesioner B), setelah data terkumpul dianalisa dengan statistik univariat dan bivariat. Untuk menguji adanya perbedaan bermakna, dilakukan uji hipotesa dua arah dengan derajat kemaknaan 0,05 hasil hipotesa didapatkan adanya perbedaan yang bermakna, artinya ada perbedaan informasi yang dibutuhkan ibu dengan pengalaman penama dan ibu yang menjalani lebih dari satu kali seksio sesaria."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2004
TA5324
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Kirana
"Ketidakmampuan melahirkan dengan normal merupakan suatu kegagalan fungsi yang dapat menimbulkan gangguan konsep diri khususnya citra diri. Permasalahan dalam penelitian ini adalah sejauh mana dampak tindakan seksio sesarea terhadap citra diri klien. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dampak tindakan seksio sesarea terhadap citra diri klien. Metode penelitian ini menggunakan desain deskriptif sederhana dengau uji statistik tendensi sentral (mean). Penelitian yang dilakukan pada 20 orang responden didapatkan hasil bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan dari tindakan seksio sesarea terhadap citra diri. dilihat dari 20 orang responden tersebut. hanya 3 orang (15%) yang mengalami gangguan citra diri. Hal ini dapat diminimalkan lagl jika mendapat dukungan dari keluarga & tim perawatan sehingga penerimaan klien terhadap tindakan seksio sesarea meningkat."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2002
TA5256
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Emi Setyaningsih
"Insersi jarum spinal dapat menimbulkan nyeri sehingga perlu dilakukan teknik stimulasi kompres dingin guna menurunkan intensitas nyeri yang dialami. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi efektivitas kompres dingin dalam menurunkan intensitas nyeri insersi jarum spinal pada prosedur spinal anestesi. Desain yang digunakan adalah quasy experimental dengan pendekatan post test only design non equivalent control group. Sampel terdiri dari 72 pasien dewasa yang terbagi atas 36 orang kelompok intervensi dan 36 orang kelompok kontrol.
Analisis data untuk mengetahui perbedaan rerata kelompok perlakuan (kompres dingin) dan kelompok kontrol (standar prosedur) dengan intensitas nyeri dan menganalisis hubungan variabel jenis kelamin dan pengalaman nyeri insersi spinal dengan intensitas nyeri menggunakan uji Mann Whitney. Analisis data untuk mengetahui hubungan variabel usia, ukuran jarum spinal dan kecemasan dilakukan uji Kruskal Wallis.
Hasil analisis menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara kelompok perlakuan (kompres dingin) dan kelompok kontrol (standar prosedur) dan hubungan bermakna antara variabel kecemasan dengan intensitas nyeri (p<0,05). Hasil analisis menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna pada variabel usia, jenis kelamin, pengalaman nyeri insersi dan ukuran jarum spinal (p>0,05). Dapat disimpulkan kompres dingin merupakan intervensi yang terbukti efektif untuk menurunkan intensitas nyeri insersi jarum spinal pada prosedur spinal anestesi.

Spinal needle insertion may cause pain hence cold compress stimulation technique to reduce the intensity of the pain is required. This study aims to identify the effectiveness of cold compress in reducing the intensity of spinal needle insertion pain in spinal anesthesia procedures. The design used was quasy experimental with post test only design non equivalent control group approach. The sample consisted of 72 adult patients divided into 36 intervention groups and 36 control groups.
Data analysis is to obtain the difference average of treatment group (cold compress) and control group (standard procedure) with pain intensity and analyze the connection of gender and spinal insertion pain variables and the intensity of pain using Mann Whitney test. Data analysis to obtain the correlation of age, spinal needle size and anxiety variables was conducted using Kruskal Wallis test.
Analysis results show that there are significant differences between treatment group (cold compress) and control group (standard procedure) and significant relationship between anxiety variables with pain intensity (p <0.05). The results show no significant association in age, sex, insertion pain experience and spinal needle size (p> 0.05). It can be concluded that cold compress is an effective intervention to decrease the intensity of spinal needle insertion pain in spinal anesthesia procedure.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
T49253
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sidharta Kusuma Manggala
"[Latar Belakang: Posisi pasien selama tindakan anestesia spinal menentukan keberhasilan penempatan jarum spinal. Traditional sitting position (TSP) merupakan posisi standar untuk anestesia spinal, namun angka keberhasilannya masih cukup rendah. Crossed leg sitting position (CLSP) merupakan salah satu posisi alternatif dalam anestesia spinal yang memiliki kelebihan berupa derajat fleksi lumbal yang lebih besar. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan CLSP dan TSP terhadap keberhasilan penempatan jarum spinal pada pasien bedah urologi.
Metode: Penelitian ini adalah uji klinik acak tidak tersamar terhadap pasien yang menjalani anestesia spinal untuk prosedur urologi pada bulan Maret-April 2015 di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Setelah mendapatkan persetujuan izin etik dari Komite Etik Penelitian Kesehatan FKUI-RSCM, sebanyak 138 subjek dialokasikan ke dalam dua kelompok posisi penusukan jarum spinal yaitu kelompok CLSP dan TSP. Proporsi keberhasilan penempatan jarum spinal di rongga subarakhnoid, kemudahan perabaan landmark, dan jumlah needle-bone contact pada kedua kelompok kemudian dinilai.
Hasil: Enam subjek masuk kriteria pengeluaran berupa kegagalan penempatan jarum spinal setelah lebih dari sembilan kali percobaan. Tersisa 132 subjek, 67 subjek pada kelompok CLSP dan 65 subjek pada kelompok TSP, yang berhasil menyelesaikan penelitian. Keberhasilan penempatan jarum spinal secara one shot pada kelompok CLSP dan TSP tidak berbeda bermakna (64.2% vs 53.8%, p=0.227). Kemudahan perabaan landmark pada kelompok CLSP berbeda bermakna dengan TSP (94% vs 75%, p=0.003). Jumlah needle-bone contact pada kedua kelompok tidak berbeda bermakna (p=0.337).
Simpulan: Keberhasilan penempatan jarum spinal pada kelompok CLSP tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan keberhasilan penempatan jarum spinal pada kelompok TSP pada pasien bedah urologi.;Background: Patient position during spinal anesthesia plays a major role in determining the success of spinal needle insertion to subarachnoid space. Traditional sitting position (TSP) is a standard position for spinal anesthesia, but the success rate for spinal anesthesia in TSP is still quite low. Crossed leg sitting position (CLSP) is one of the alternative positions in spinal anesthesia, which can increase the degree of lumbar flexion. This study aimed to compare CLSP and TSP to the successful insertion of spinal needle in urologic surgery patients.
Methods: This study was a non-blinded randomized controlled trial in patients undergoing spinal anesthesia for urologic procedures between March-April 2015 in RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. After obtaining approval from FKUI-RSCM Ethical Committee, 138 subjects were allocated into two groups, CLSP group and TSP group. The proportion of successful spinal needle insertion to the subarachnoid space, ease of landmark palpation, and the number of needle-bone contact in both groups were then analyzed and assessed.
Result: Six subjects met dropout criteria, which was failure of obtaining successful spinal needle insertion after nine consecutive redirections. The remaining 132 subjects, 67 subjects in the CLSP group and 65 subjects in TSP group, successfully completed the study. The proportion of successful spinal needle insertion in a one-time shot, was not significantly different between CLSP and TSP group (64.2% vs. 53.8%, p = 0227). Ease of landmark palpation in CLSP group was significantly different with TSP group (94% vs. 75%, p = 0.003). The number of needle-bone contact in both groups was not significantly different (p = 0337).
Conclusion: The proportion of successful spinal needle insertion in CLSP group was not significantly different compared to TSP group for urologic surgery patients.;Background: Patient position during spinal anesthesia plays a major role in determining the success of spinal needle insertion to subarachnoid space. Traditional sitting position (TSP) is a standard position for spinal anesthesia, but the success rate for spinal anesthesia in TSP is still quite low. Crossed leg sitting position (CLSP) is one of the alternative positions in spinal anesthesia, which can increase the degree of lumbar flexion. This study aimed to compare CLSP and TSP to the successful insertion of spinal needle in urologic surgery patients.
Methods: This study was a non-blinded randomized controlled trial in patients undergoing spinal anesthesia for urologic procedures between March-April 2015 in RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. After obtaining approval from FKUI-RSCM Ethical Committee, 138 subjects were allocated into two groups, CLSP group and TSP group. The proportion of successful spinal needle insertion to the subarachnoid space, ease of landmark palpation, and the number of needle-bone contact in both groups were then analyzed and assessed.
Result: Six subjects met dropout criteria, which was failure of obtaining successful spinal needle insertion after nine consecutive redirections. The remaining 132 subjects, 67 subjects in the CLSP group and 65 subjects in TSP group, successfully completed the study. The proportion of successful spinal needle insertion in a one-time shot, was not significantly different between CLSP and TSP group (64.2% vs. 53.8%, p = 0227). Ease of landmark palpation in CLSP group was significantly different with TSP group (94% vs. 75%, p = 0.003). The number of needle-bone contact in both groups was not significantly different (p = 0337).
Conclusion: The proportion of successful spinal needle insertion in CLSP group was not significantly different compared to TSP group for urologic surgery patients., Background: Patient position during spinal anesthesia plays a major role in determining the success of spinal needle insertion to subarachnoid space. Traditional sitting position (TSP) is a standard position for spinal anesthesia, but the success rate for spinal anesthesia in TSP is still quite low. Crossed leg sitting position (CLSP) is one of the alternative positions in spinal anesthesia, which can increase the degree of lumbar flexion. This study aimed to compare CLSP and TSP to the successful insertion of spinal needle in urologic surgery patients.
Methods: This study was a non-blinded randomized controlled trial in patients undergoing spinal anesthesia for urologic procedures between March-April 2015 in RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. After obtaining approval from FKUI-RSCM Ethical Committee, 138 subjects were allocated into two groups, CLSP group and TSP group. The proportion of successful spinal needle insertion to the subarachnoid space, ease of landmark palpation, and the number of needle-bone contact in both groups were then analyzed and assessed.
Result: Six subjects met dropout criteria, which was failure of obtaining successful spinal needle insertion after nine consecutive redirections. The remaining 132 subjects, 67 subjects in the CLSP group and 65 subjects in TSP group, successfully completed the study. The proportion of successful spinal needle insertion in a one-time shot, was not significantly different between CLSP and TSP group (64.2% vs. 53.8%, p = 0227). Ease of landmark palpation in CLSP group was significantly different with TSP group (94% vs. 75%, p = 0.003). The number of needle-bone contact in both groups was not significantly different (p = 0337).
Conclusion: The proportion of successful spinal needle insertion in CLSP group was not significantly different compared to TSP group for urologic surgery patients.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Desy Januarrifianto
"Latar Belakang: Anestesia spinal pada wanita hamil sangat dipengaruhi oleh posisi pasien. Pendant position merupakan posisi yang baru diperkenalkan pada laporan kasus. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan keberhasilan penempatan jarum spinal pada usaha pertama antara pendant position dengan traditional sitting position untuk pasien yang menjalani pembedahan Sesar.
Metode: Penelitian ini adalah uji klinik Randomized Controlled Trial (RCT), dilakukan secara terbuka (tidak tersamar). Subjek dilakukan randomisasi untuk menentukan perlakuan pendant position atau traditional sitting position. Keberhasilan penempatan jarum spinal dinilai dari jumlah usaha, jumlah kontak tulang dan lama waktu penempatan jarum spinal.
Hasil: Sebanyak 308 subjek penelitian, tidak ada yang termasuk kriteria penolakan dan pengeluaran. Keberhasilan penempatan jarum spinal pada usaha pertama untuk pendant position lebih baik (142 subjek (92%) vs 121 subjek (78%), p 0,001), total jumlah kontak tulang lebih sedikit (185 vs 421, p<0,001) dan median lama waktu yang dibutuhkan untuk penempatan jarum spinal lebih cepat ( 9 (4-350) vs 12 (5-486) detik, p<0,001) jika dibandingkan dengan traditional sitting position.
Simpulan: Pendant position lebih baik dalam hal keberhasilan penempatan jarum spinal pada usaha pertama untuk pasien yang menjalani pembedahan Sesar jika dibandingkan traditional sitting position.

Background: Spinal anesthesia in pregnant women is strongly influenced by the position of the patient. Pendant position is a new position introduced in the case report. This study aimed to compare the successful placement of spinal needle on the first attempt between pendant position and traditional sitting position for patients who underwent sectio Caesarean.
Methods: The study was a randomized controlled trial (RCT), conducted openly (not blind). Subject randomization to determine treatment pendant position or traditional sitting position. The successful placement of spinal needle judged from the number of first attempt, the amount of bone contact and the duration of the placement of spinal needle.
Results: A total of 308 subjects, none of which include criteria for exclusion and drop out. The successful placement of spinal needle on the first attempt of pendant position is better (142 subjects (92%) vs. 121 subjects (78%), p 0.001), the total amount of bone contact is less (185 vs. 421, p <0.001) and the median length of time required for placement of spinal needle is faster (9 (4-350) vs. 12 (5-486) seconds, p <0.001) when compared to the traditional sitting position.
Conclusion: Pendant position is better in terms of the successful placement of spinal needle on the first attempt for a patient who underwent sectio Caesarean compared to traditional sitting position.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Johan
"Latar belakang: Nyeri pasca bedah yang tidak terkontrol dapat menyebabkan perubahan klinis dan fisiologis yang terkait dengan peningkatan mortalitas, morbiditas dan biaya rawat serta menurunnya kualitas hidup pasien. Sebaliknya, penggunaan analgetik yang berlebihan dapat meningkatkan risiko terjadinya efek samping obat. Studi prospektif ini bertujuan untuk mengetahui pola penggunaan analgetik (jenis, dosis, frekuensi dan cara pemberian analgetik) dan menilai keadekuatan tatalaksana nyeri, tingkat kepuasan pasien terhadap penatalaksanaan nyeri, efek samping dan interaksi obat analgetik pada pasien pasca bedah sesar emergency.
Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional prospektif pada pasien pasca bedah sesar emergency yang dirawat di ruang perawatan Departemen Kebidanan dan Kandungan Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSUPN-CM) dalam periode Juli 2015 - Januari 2016. Keadekuatan tatalaksana nyeri dinilai berdasarkan pain management index (PMI). Tingkat kepuasan pasien terhadap tatalaksana nyeri dinilai menggunakan American Pain Society Patient Outcome Questionnaire (APSPOQ). Hubungan keadekuatan tatalaksana nyeri dengan tingkat kepuasan pasien dievaluasi dengan uji Fisher's exact. Analisis statistik dilakukan menggunakan SPSS versi 20.
Hasil penelitian: Dari 92 pasien bedah sesar emergency yang dirawat di ruang inap RSUPN-CM, 80 pasien memenuhi kriteria inklusi dan menjadi subjek penelitian. Terdapat 19 pasien (8.7%) yang selama perawatan diberikan 2 jenis AINS secara bersamaan dan 28 analgetik (41.8%) yang pada hari pertama perawatan frekuensi pemberiannya kurang. Sebagian besar pasien masih merasakan nyeri dengan numeric rating scale (NRS)>3 dalam 24 jam pasca bedah:59 pasien (73.75%) merasakannya saat aktivitas dan 7 pasien (8.75%) saat istirahat. Median tingkat kepuasan pasien terhadap penatalaksanaan nyeri selama di ruang perawatan berdasarkan skor APSPOQ adalah 7.50 (range 0-10). Tidak terdapat hubungan antara tingkat kepuasan pasien dengan kontrol intensitas nyeri, baik saat beraktivitas (Fisher's exact test, p=0.537) maupun saat istirahat (Fisher's exact test, p=0.1616). Pada penelitian ini terdapat 2 potensi terjadinya interaksi obat yaitu ketoprofen dan natrium diklonefak dengan bisoprolol.
Kesimpulan: Penatalaksanaan nyeri pasca bedah sesar emergency di RSUPN-CM masih optimal; sebagian besar (73.75% pasien) belum mendapatkan penatalaksanaan nyeri yang adekuat pada 24 jam pasca bedah, meskipun demikian, tingkat kepuasan pasien mencapai skor APSPOQ 7,50.

Backgroud: Uncontrolled post-operative pain can cause clinical and physiological changes leading to increased mortality and morbidity and treatment cost and decreased quality of life. On the other hand, excessive analgetic use can increase the side effects of the drug. The objective of this study was to understand the using pattern of analgetic (type, doses, interval and analgetic used) and to evaluate the pain management of post-operative caesarean section emergency patients (pain intensity, the level of patients satisfaction to pain management, analgetic drug side effects, the appropriateness of pain management).
Methods: This was a prospective observational study conducted on patients after an emergency caesarean section and treated at The Department of Obstetry and Gynecology, National Center Hospital Cipto Mangunkusumo (RSUPN-CM) during July 2015 - January 2016. The adequacy of pain management were assessed with pain management index (PMI). Level of patient satisfaction to pain management were esesssed with American Pain Society Patient Outcome Questionnaire (APSPOQ). Relationship between level of patient satisfaction and pain intensity were assessed with Fisher's exact test. Statistical analysis was performed by SPSS version 20.
Results: Out of 92 patients which have undergone emergency caesarean section and treated in RSUPN-CM, 80 patients fulfilled inclusion criteria. There were 19 patients (8.7%) that received 2 type of NSAIDs simultaneously with the total of 28 analgetics (41.8%) were given with interval of administration less than advised by the references during the first 24 hour of the treatment. Most of patients still experienced the pain during treatment with numeric rating scale (NRS) > 3 in first 24 hour post-operative: 59 patients (73.75%) had pain during movement and 8.75% (7 patients) during rest. The study median value of patient satisfaction with pain management was 7.50 (range 0-10). There is no relationship between level of patient satisfaction and pain intensity during movement (p=0.537) and during rest (p=0.161). There were 2 potential drug interaction, namely ketoprofen and sodium diclofenac with bisoprolol.
Conclusion: About 73.75% patients still experience post-operative pain which indicate that pain management of post-operative emergency caesarean section emergency in CM hospital was not yet adequate, However, level of patient's satisfaction with pain management reach the value of 7,5.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Manik, Riris
"Ada beberapa komplikasi respon fisiologis yang muncul setelah pemberian anestesi spinal diantaranya : retensi urine . Dimana klien tidak dapat berkemih selama 6 - 8 jam paska operasi Maka hal ini peneliti ingin melihat sejauh mana ketidakmampuan berkemih pada klien paska operasi. Penelitian deskriptif sederhana yang dilakukan oleh peneliti terhadap 20 responden paska operasi dengan anestesi spinal pada 24 jam pertama di ruang rawat dewasa RS Siloam Gleneagles pada bulan Juni - Juli 2001, membuktikan bahwa terdapat 17 responden (85 %) yang mempunyai nilai rentang antara 21 - 30 adalah merasa ingin berkemih tetapi tidak mampu. Hal ini menunjukkan adanya kebenaran konsep menurut Perry dan Potter (1993)yang mengatakan bahwa klien tidak dapat berkemih selama 8 jam paska operasi dan merasakan kandung kemih penuh atau distensi, sehingga pasien merasa tidak nyaman, menurut Lewis, Heitkemper, dan Dirksen (1999) mengatalcan bahwa anestesi dapat menekan sistem syaraf termasuk refleks berkemih. Dan menurut Miller (2000) mengatakan retensi urine terjadi karena anestesi spinal menghambat syarah neuroaksial. Metode pengumpulan data dilakukan sesuai prosedur dimana setelah menyerahkan surat ijin, peneliti mendatangi respnnden paska operasi dergi anestesi spinal pada 24 jam pertama untuk rnemberikan kuesioner. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa klien dengan paska anestesi spinal menunjukkan respon ketidakmampuan berkemih pada 24 jam pertama."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2001
TA5044
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>