Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 114803 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Hayillah Al Hamim
"Saat ini, salah satu prosedur yang paling umum digunakan dalam radiologi untuk mendiagnosa suatu penyakit adalah sinar-X diagnostik. Prosedur ini sering kali diterapkan dalam berbagai pemeriksaan medis, seperti medical checkup, deteksi dini kanker, dan pendarahan otak. Oleh karena itu, penting untuk menentukan jumlah radiasi hambur yang dihasilkan selama prosedur ini guna mengevaluasi dosis radiasi yang diterima oleh pasien, staf medis, dan masyarakat umum. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi radiasi hambur terhadap variasi sudut hambur dan tegangan tabung dengan metode Monte Carlo, serta distribusi radiasi hambur yang dihamburkan oleh pasien dalam prosedur Trout dan Kelly dan radiografi toraks posisi supine AP. Penelitian ini menggunakan pendekatan simulasi Monte Carlo menggunakan software PHITS untuk memodelkan radiasi hambur terhadap variasi posisi dan tegangan tabung. Variabel kontrol mencakup arus tabung (5 mAs), luas lapangan (20×20 cm² untuk prosedur Trout dan Kelly, 35×43 cm² untuk radiografi toraks supine AP), jarak fokus ke detektor (100 cm untuk Trout dan Kelly, 180 cm untuk radiografi toraks supine AP), dan dimensi fantom. Fantom yang digunakan berupa slab (balok air) berdensitas setara jaringan, balok masonit, dan ellipsoid air. Variabel yang diubah adalah sudut hambur (30° - 135°) dan tegangan tabung (70 kV - 100 kV). Variabel yang diamati adalah kerma primer dan kerma hambur, diukur pada jarak 1 m dari titik fokus dan pusat fantom. Kurva fraksi hambur dari simulasi dibandingkan dengan data literatur dan pengukuran untuk verifikasi hasil. Hasil simulasi menunjukkan bahwa sudut 30° mengalami peningkatan radiasi hambur terbesar hingga faktor 2,71, sedangkan sudut 135° menunjukkan peningkatan terendah, yaitu faktor 1,21. Kurva fraksi hambur simulasi memiliki pola yang menyerupai kurva fraksi hambur data literatur dan pengukuran, dengan sudut 80° paling mendekati literatur referensi dan 90° untuk verifikasi pengukuran. Dibandingkan prosedur Trout dan Kelly, prosedur radiografi toraks posisi supine AP menghasilkan fraksi hambur lebih besar hingga faktor 4,27. Perhitungan shielding radiasi sekunder perlu ditingkatkan dengan mengubah jarak fokus ke detektor menjadi 180 cm dan luas lapangan menjadi 35×43 cm².


Currently, one of the most used procedures in radiology for diagnosing diseases is diagnostic X-ray. This procedure is often applied in various medical examinations, such as medical check-ups, early cancer detection, and brain hemorrhage detection. Therefore, it is important to determine the amount of scattered radiation produced during this procedure to evaluate the radiation dose received by patients, personnel, and the members of the public. This study aims to evaluate how scattered radiation changes with scatter angle and tube voltage using the Monte Carlo method. This study also evaluates the scattered radiation distribution from patients during Trout and Kelly procedures and supine AP chest radiography. The study uses the Monte Carlo simulation using PHITS software to model scattered radiations with variations of position and tube voltage. The controlled variables are tube current (5 mAs), field size (20×20 𝑐𝑚2 for Trout and Kelly procedures, 35×43 𝑐𝑚2 for supine AP chest radiography), focus-to-detector distance (100 cm for Trout and Kelly, 180 cm for supine AP chest radiography), and phantom dimensions. The phantoms used are water blocks with tissue-equivalent density, masonite blocks, and water ellipsoids. The independent variables are scatter angle (30° to 135°) and tube voltage (70 kV to 100 kV). The dependent variables are primary kerma and scatter kerma, measured at 1 m from the focal point and the center of the phantom. Scatter fraction curves from the simulation are compared with literature data and measurements for result verification. Study results show that the 30° angle shows the highest increase in scattered radiation, up to a factor of 2.71, while the 135° angle shows the lowest increase, at a factor of 1.21. The simulated scatter fraction curves have a pattern similar to those from literature data and measurements, with the 80° angle most closely matching the reference literature and the 90° angle for measurement verification. Compared to the Trout and Kelly procedures, the supine AP chest radiography procedure produces a greater scatter fraction, up to a factor of 4.27. Secondary radiation shielding calculations need to be improved by changing the focus-to-detector distance to 180 cm and the field size to 35×43 𝑐𝑚2.

"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Guntur Winarno
"Telah dilakukan penelitian optimasi citra radiografi dengan phantom rando laki-laki menggunakan sistem FCR type Capsula XL-2 Drypic 4000. Dilakukan juga pengukuran ESD menggunakan thermoluminescent dosimeter (TLD), untuk pemeriksaan kepala AP, cervical AP, thorax PA teknik kVp standar dan teknik kVp tinggi, dan pemeriksaan pelvis AP. Optimasi pembentukan citra dievaluasi berdasarkan panduan dari European Commission dengan kriteria penerimaannya, kondisi eksposi kVp dan mAs, ESD, kontras tinggi dan kontras rendah. Selain evaluasi visual citra untuk optimasi diperhatikan pula karakter incident exposure FCR yang dinyatakan dengan Sensitivity Value (S Value) dengan proses digitasi citra yang dapat dilihat pada tampilan image consule dan softwere ImageJ.
Uji fungsi pesawat sinar-X dilakukan sebelum pelaksanaan penelitian menurut panduan RCWA, dan sistem FCR menurut panduan AAPM dan KCare, dengan hasil, keduanya memenuhi standar yang disyaratkan. Hasil penelitian optimasi menunjukkan bahwa untuk pemeriksaan kepala AP optimasi terjadi pada kondisi eksposi 65 kVp 20 mAs dan ESD 2.67 mGy. Pemeriksaan cervical AP optimasi terjadi pada eksposi 55 kVp 16 mAs dan ESD 2.55 mGy. Untuk pemeriksaan thorax PA teknik kVp standar optimasi terjadi pada 50 kVp 10 mAs dan ESD 2.24 mGy, sedangkan untuk teknik kVp tinggi optimasi terjadi pada eksposi 100 kVp 1 mAs dan ESD 1.75 mGy. Untuk pemeriksaan pelvis AP optimasi terjadi pada eksposi 75 kVp 10 mAs dan ESD 2.24 mGy.

A research about a radiography image optimization using a male rando phantom by FCR type Capsula XL-2 Drypic 4000 system has been done. Along with ESD measurement using a thermoluminescent dosimeter (TLD), for examination of AP skull, AP cervical, PA thorax use standard kVp technique and high kVp technique, and AP pelvis. The optimization of image formation was evaluated based on guidance from European Commission with their acceptance criterian, the condition of kVp and mAs, ESD, high contrast and low contrast. Beside the image visual evaluation for optimization, the FCR incident exposure was also observed which is stated in Sensitivity Value (S Value) by image digitations process that can be seen at image console and imageJ software.
Function test of X-ray device was done before the research based on the RCWA guidance, and FCR system based on the AAPM and KCare guidance, the results, both of them meet the standard. The result of optimization research show that for AP skull examination optimum condition was when the expose 65 kVp, 20 mAs and ESD of 2.67 mGy. For examination of AP cervical optimum condition was when the expose 55 kVp, 20 mAs and ESD 2.67 mGy. For the PA thorax, the optimization of standard kVp technique was when 50 kVp 10 mAs and ESD 2.24 mGy, for the high kVp technique optimization was when expose 100 kVp 1 mAs and ESD 1.75 mGy. And for the AP pelvis, optimization was when 75 kVp 10 mAs and ESD 2.24 mGy.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
T30282
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Menik Priminiarti
"Osteoporosis has become a worldwide problem and has been known as a silence disease. Nowadays, there are a lot of diagnostic tools for detecting osteoporosis. Eighty eight postmenopausal were included and underwent digital panoramic, digital periapical, and conventional radiography. Ultrasound bone densitometry of os calcis used as gold
standard. Correlation between stiffness index (SI) with a digital dental, digital panoramic and conventional dental radiography are 0.170 (p = 0.11), -0382 (p = 0.001) and 0.246 (p = 0.021) respectively. Significant relationship was found between the SI only with digital panoramic and conventional dental. The highest correlation was found between SI values with mandibular Inferior Cortex on digital panoramic (-0.382, Pearson Correlation Tests). Correlation
between digital panoramic radiographs and the SI values was the highest of the three radiographic modalities in this study. This indicates that evaluation of cortical bone is more accurate than cancellous bone. Bone quality evaluation in patients at high risk for osteoporosis using panoramic and dental conventional radiograph by dentist, contributes in preventing further occurrence of osteoporosis which in turn could reduce mortality and morbidity of osteoporosis in
Indonesia."
Depok: [Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat UI ; Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia;Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia], 2010
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ika Bayuadi
"Pemeriksaan Radiografi Thorak Posteroanterior (PA) merupakan pemeriksaan terbanyak didalam radiodiagnostik, diperlukan optimasi dosis dan citra radiografi Thorak PA. Penelitian teknik optimasi dengan menggunakan teknik kV tinggi pada pemeriksaan Radiografi Thorak PA dengan menggunakan reseptor system Kodak CRperlu dilakukan. Pengambilan citra radiografi Thorak PA dilakukan dengan objek fantom thorak dan sample pasien, untuk mengeliminir penilaian subjektif diambil citra radiografi fantom TOR 18 FG dan TOR CDR. Pada saat pengambilan citra radiografi thorak PA dilakukan pengukuran dosis masuk permukaan (Entrance surface dose / ESD ) dengan mengunakan TLD. Evaluasi citra radiografi thorak PA menggunakan 'quality criteria' European Commission EUR 16260 EN (1996). European Guidelines On Quality Criteria For Diagnostic Radiographic Images. Evaluasi dosis dengan membandingkan dengan dosis referensi dari IAEA BSS 115.Hasil evaluasi dosis pada fantom thorak, dari tiga variasi faktor eksposi 66 kV 8 mA, 85 kV 6.3 mAs dan 109 kV 2.2 mAs, dosis paling kecil dihasilkan dari faktor eksposi 109 kV 2.2 mAs.
Hasil evaluasi citra pada TOR 18 FG dan TOR CDR didapatkan sensitifitas kontras rendah, sensitifitas kontras tinggi dan resolusi pada kondisi 109 kV 2.2 mAs lebih besar daripada kondisi 66 kV 8 mAs. Hasil evaluasi gambaran thorak PA dengan mengunakan kondisi eksposi 109 kV 2.2 mAs dibandingkan dengan kondisi eksposi 66 kV 8 mAs kontras pada jaringan yang memiliki perbedaan kerapatan yang besar akan terjadi penurunan kontras. Sedangkan pada jaringan yang memiliki perbedaan kerapatan yang relatif kecil atau sama akan menaikkan kontras.

The Posterior-Anterior (PA) Examination of the thorax is the most frequent radio-diagnostic procedure. Optimization of dose and image of the PA thoracic radiography is required.This research was conducted to determine the optimal of techniques using high kV technique on thoracic radiography PA examination by using the Kodak CR system receptor and the patient sample, to eliminate the subjective assessment of radiographic image taken TOR 18 FG and TOR CDR phantom. At the time of image acquisition PA Thorax radiographs were performed, entrance surface dose measurements (ESD) were made using the TLD. The evaluation of the thoracic radiographic image of the PA using the quality criteria European Commission EUR 16260 EN (1996) European Guidelines On Quality Criteria For Diagnostic radiographic Images were made. An evaluation of dose by comparing with a reference dose of the IAEA BSS 155 was conducted.In the results of dose evaluation in thoracic phantom of the three variations of exposure factor: 66 kV 8 mAs, 85 kV 6.3 mAs and 109 kV 2.2 mAs, the smallest dose resulted from 109 kV 2.2 mAs exposure factor.
The result of the evaluation on TOR 18 FG and TOR CDR obtained low contrast sensitivity. The contrast sensitivity and higher resolution on the condition of 109 kV 2.2 mAs were larger than the condition of 66 kV 8 mAs. The results of the evaluation of thoracic image of PA by using the condition of 109 kV 2.2 mAs were comparable to the conditions of 66 kV 8 mAs contrast to the tissue that has large density differences that will decrease the contrast. While on a tissue that has relatively small density difference, or the same will increase the contrast.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2011
S200
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Santi Apriyani
"Selang dada sering terpasang pada pasien yang telah dilakukan operasi jantung atau thorax yang berfungsi untuk memelihara fungsi kardiorespirasi dan stabilitas hemodinamik dengan mengalirkan udara, darah atau cairan yang berasal pleura dan mediastinal. Pencabutan selang dada merupakan prosedur yang menyakitkan yang dirasakan oleh hampir seluruh pasien. Tindakan pencabutan selang dada sering menyebabkan tarikan pada jaringan endotel yang melekat pada selang dada, merangsang saraf intercostal dan menginflamasi pleura. Berdasarkan evidence based kombinasi cold therapy dan terapi musik dapat mengurangi nyeri pada pasien saat pencabutan selang dada. Tujuan dari penerapan EBN ini adalah untuk mengetahui efektifitas pemberian kombinasi cold therapy dan terapi musik terhadap nyeri pada pasien yang dilakukan pencabutan selang dada. Jumlah sampel pada penerapan EBN ini adalah 20 orang dengan kriteria inklusi pasien berusia > 18 thn, terpasang selang dada (WSD), tidak ada gangguan pendengaran dan penglihatan, tidak ada gangguan mental, kesadaran compos mentis dan tidak terpasang ventilasi mekanik. Hasil penerapan EBN menunjukkan penerapan kombinasi cold therapy dan intervensi musik secara signifikan efektif terhadap nyeri pada pasien yang dilakukan pencabutan selang dada (P< 0.000, ?=0.05). Kombinasi cold therapy dan terapi musik dapat dijadikan pedoman dalam manajemen nyeri nonfarmakologis pada pasien yang dilakukan pencabutan selang dada.

Chest tubes were often placed in patients who have undergone cardiac or thoracic surgery to maintain cardiorespiratory function and hemodynamic stability. Chest tube removal was a painful procedure that was felt by almost patients. Chest tube removal often caused a pull on the endothelial tissue attached to the chest tube, stimulating the intercostal nerves and inflaming the pleura. Based on evidence based the combination of cold therapy and music therapy could reduce pain in patients during chest tube removal. The purpose of this EBN application was to determine the effectiveness of providing a combination of cold therapy and music therapy on pain in patients with chest tube extraction. The sample size was 20 people with the inclusion criteria of patients aged> 18 thn, attached chest tube (WSD), no hearing and vision impairment, no mental disorders, compos mentis consciousness and not installed mechanical ventilation. The results of the application of EBN showed that the application of a combination of cold therapy and music intervention was significantly effective on pain in patients with chest tube removal (P < 0.000, ? = 0.05). The combination of cold therapy and music therapy can be used as guideline in nonpharmacological pain management chest tube removal."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Dhayanti Wisnuwardhani
"Pendahuluan: Sindrom Vena Kava Superior (SVKS) merupakan kegawatan onkologi yang membutuhkan penanganan segera, walaupun belum ada hasil histologi. Sebagian besar pasien dengan SVKS dapat ditangani dengan radioterapi. Metode penelitian: Penelitian ini menggunakan metode kohort retrospektif. Kami mengumpulkan data dari catatan rekam medis pasien keganasan rongga toraks dengan SVKS setelah radioterapi-segera di Rumah Sakit Persahabatan dalam jangka waktu Maret 2009 sampai Februari 2012. Analisis Kaplan-Meier digunakan untuk menilai angka tahan hidup pasien. Hasil Penelitian: Seluruh subjek berjumlah 104 orang. Subjek penelitian sebagian besar laki-laki (83,7%) dengan sebagian besar usia di atas 51 tahun (52,9%). Sebanyak 86 kasus merupakan kanker paru dengan jenis histologi terbanyak adenokarsinoma (61,5%), disusul dengan karsinoma sel skuamosa sebanyak 10 subjek (9,6%). Germ cell dan limfoma ditemukan masing-masing sebanyak 8 subjek (7,7%) dan 6 subjek (5,8%). Kesimpulan: Angka tahan hidup 1 tahun pasien keganasan rongga toraks dengan SVKS pasca radioterapi-segera sebesar 27%, dengan masa tengah tahan hidup (MTTH) 11 minggu, masa tahan hidup (MTH) 125 minggu, dan rerata lama hidup 13,3 minggu. Jenis kelamin perempuan, jenis keganasan tumor mediastinum dan kemoterapi merupakan faktor prognosis yang baik. Tidak ada perbedaan bermakna angka tahan hidup antara pasien kanker paru dengan jenis histologi adenokarsinoma dan non-adenokarsinoma.
Introduction: The superior vena cava syndrome (VCSS) is considered to be an oncologic emergency that requires immediate therapeutic action, even before a histologic diagnosis is obtained. Most patients with VCSS can be successfully managed with medical or radiation therapy. Methods: This study used the retrospective cohort method. We collected the data from medical records of thoracic malignancy with VCSS patients after cito-radiotherapy in Persahabatan Hospital, within March 2009 until February 2012. The Kaplan-Meier analysis was done to obtain patients survival rate. Results: Subjects in this study were mostly male (83,7%) with predominant age group of over 51 years old (52,9%). Lung carcinoma were 86 cases with predominant histopathologic type of adenocarcinoma (61,5%), squamous cell carcinoma were 10 subjects (9,6%), germ cell were 8 subjects (7,7%) and lymphoma were 6 subjects (5,8%). Conclusion: The 1-year survival rate of thoracic malignancy patients with VCSS after radiotherapy-cito in Persahabatan Hospital was 27%, with median survival time of 11 weeks, survival time of 125 weeks and mean survival time of 13,3 weeks. We found that sex of female, mediastinum tumor and chemotheraphy were good prognostic factors. There is no significant difference survival rate between adenocarcinoma and non-adenocarcinoma."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arini Purwono
"Latar Belakang: Efusi pleura ganas menunjukkan prognosis yang buruk sehingga sitologi cairan pleura berperan penting dalam mempersingkat waktu diagnosis. Teknik barbotage diketahui bermanfaat dalam meningkatkan nilai diagnostik sitologi pada karsinoma urotelial, namun belum diketahui perannya pada keganasan rongga toraks. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan deteksi sel ganas dan hitung jumlah sel tumor antara pungsi pleura konvensional dan dengan teknik barbotage pada keganasan rongga toraks.
Metode: Penelitian ini merupakan uji kesesuaian dengan desain potong lintang yang dilakukan di IGD, poli intervensi paru dan ruang rawat inap RSUP Persahabatan pada bulan November 2022 – Juni 2023. Subjek penelitian adalah pasien keganasan rongga toraks dengan EPG yang dipilih sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Sitologi cairan pleura diperiksa menggunakan pewarnaan Papanicolaou dan Giemsa dari sampel pungsi pleura konvensional dan barbotage pada subjek yang sama. Data karakteristik klinis, radiologis, laboratorium dan histopatologis diambil dari rekam medis.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan sebanyak 34 dari 84 subjek EPG menunjukkan sitologi positif pada keseluruhan teknik (40,5%). Teknik konvensional dan barbotage menunjukkan hasil serupa yaitu 39,3%. Deteksi sel ganas dengan teknik konvensional dan barbotage menunjukkan kesesuaian sangat baik yang bermakna (ĸ=0,950; p<0,001). Deteksi sel ganas dengan pewarnaan Papanicolaou dan Giemsa juga menunjukkan kesesuaian sangat baik (ĸ=0,899 dan 0,924; p<0,01). Hitung jumlah sel tumor antara kedua teknik dengan masing-masing pewarnaan menunjukkan kesesuaian cukup (ĸ=0,556 dan 0,520; p<0,01). Analisis multivariat menunjukkan bahwa lokasi lesi primer di paru (OR 4,61; IK 95% 1,33 – 16,03) dan cairan pleura yang keruh (OR 3,41; IK 95% 1,19 – 9,83) memengaruhi hasil sitologi positif cairan pleura.
Kesimpulan: Studi ini merupakan studi pertama yang meneliti mengenai penggunaan teknik barbotage pada tindakan pungsi pleura. Pungsi pleura dengan teknik barbotage merupakan alternatif diagnostik yang secara umum aman dan setara dengan teknik konvensional.

Background: Malignant pleural effusion is a predictor of poor prognosis, therefore pleural fluid cytology is an important tool to shorten the time of diagnosis. Barbotage technique is known to increase diagnostic value in urothelial malignancy, but its role in thoracic malignancies is still unknown. This study aims to compare pleural fluid cytology positivity and tumour cell count between thoracentesis with conventional and barbotage technique in thoracic malignancies.
Methods: This study is a measurement of reliability using a cross-sectional design which was carried out in emergency department, pulmonary intervention clinic and ward of National Respiratory Center Persahabatan Hospital in November 2022 – June 2023. The subjects of this study were thoracic malignancy patients with MPE who met the inclusion and exclusion criterias. Pleural fluid cytology was examined using Papanicolaou and Giemsa stains from conventional and barbotage thoracentesis samples taken on the same subject. Clinical, radiological, laboratory and histopathology data were collected from medical records.
Results: Pleural fluid cytology using both techniques was diagnostic in 34 of 84 (40,5%) MPE patients and 39,3% in each conventional and barbotage technique. Thoracentesis with both techniques showed significantly almost perfect agreement in malignant cell detection (ĸ=0.950; p<0,001). Papanicolaou and Giemsa stains also showed significantly almost perfect agreement in malignant cell detection (ĸ=0.899 and 0.924; p<0.001). Tumour cell count between both techniques using each stain showed significantly moderate agreement (ĸ=0.556 and 0.520; p<0.01). Multivariate analysis showed that primary lesion in the lung (OR 4.61; 95% CI 1.33 – 16.03) and cloudy pleural fluid (OR 3.41; 95% CI 1.19 – 9.83) increased the odds of positive pleural cytology.
Conclusion: To the best of our knowledge, this is the first study to evaluate thoracentesis with barbotage technique. Thoracentesis with barbotage technique is a generally safe alternative procedure and equivalent to conventional technique.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai pengaruh anestesia epidural torasik pada perfusi splanknik, translokasi bakteri, dan perubahan histopatologi organ-organ splanknik pada renjatan perdarahan eksperimental pada beruk (Macaca nemestrina). Enam belas Macaca nemestrina ditentukan secara acak masuk ke dalam salah satu dari dua kelompok, yaitu kelompok lidokain (n = 8), yang mendapat anestesia umum ditambah anestesi epidural torasik lidokain; dan kelompok salin, yang mendapat anestesia umum saja (n = 8) sebagai kontrol. Renjatan perdarahan dibuat dengan mengeluarkan darah hewan secara bertahap sampai tekanan darah arteri rerata (TAR) mencapai 40 mm Hg, dan dipertahankan selama 60 menit. Hewan kemudian diresusitasi dengan memberikan darahnya kembali disertai cairan ringer laktat (RL). Setelah resusitasi, diberikan lidokain 2% epidural pada kelompok lidokain dan salin pada kelompok kontrol. Resusitasi yang dilakukan setelah satu jam renjatan perdarahan, dengan variabel hemodinamik dan luaran urin kembali normal, menunjukkan bahwa pada kelompok salin tidak ada perbaikan perfusi splanknik. PgCO2, P(g-a)CO2, dan pHi menetap pada nilai kritis dan cenderung memburuk pada kelompok salin. Berlawanan dengan kelompok salin, pada kelompok lidokain perfusi splanknik cenderung membaik. Keadaan ini didukung dengan dijumpainya translokasi bakteri yang lebih sedikit dan perubahan histopatologi organ splanknik yang lebih baik. Penelitian ini menyimpulkan bahwa anestesia epidural torasik lidokain memperkecil hipoperfusi splanknik pasca-resusitasi renjatan perdarahan pada Macaca nemestrina.

Abstract
The purpose of present study was to assess the effects of thoracic epidural anesthesia on splanchnic perfusion, bacterial translocation and histopathologic changes in experimental hemorrhagic shock in short-tailed macaques (Macaca nemestrina). Sixteen Macaca nemestrinas were randomly assigned to one of two groups i.e. the lidocaine group (n = 8), receiving general anesthesia plus lidocaine thoracic epidural anesthesia; and the saline group (n = 8), receiving general anesthesia alone as control. Hemorrhagic shock was induced by withdrawing blood gradually to a mean arterial pressure (MAP) of 40 mm Hg, and maintained for 60 minutes. Animals were then resuscitated with their own blood and ringer lactate solution (RL). After resuscitation, epidural lidocaine 2% was given in the lidocaine group and saline in the control group. Resuscitation that was performed after one hour hemorrhagic shock, with hemodynamic variables and urine output returned to normal, revealed there was no improvement of splanchnic perfusion. PgCO2, P(g-a)CO2, and pHi remained in critical value and tended to deteriorate in the saline group. Contrast to saline group, splanchnic perfusion in lidocaine group tended to improve. This condition was supported by the finding of less bacterial translocation and better histopathologic changes in lidocaine thoracic epidural anesthesia group than in saline group. This study concludes that lidocaine thoracic epidural anesthesia attenuates splachnic hypoperfusion in post-resuscitation hemorrhagic shock in Macaca nemestrina."
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2008
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Summary:
This comprehensive text explains how to interpret chest radiographs and how to report that information in day-to-day practice using case examples, over 400 radiographs, drawings and specimen photographs, straightforward explanations of findings, and the collective experience of its expert authors"
New York: Thieme, 2010
618.921 CHE
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Dradjat Noerwasana
"Perhitungan besarnya hamburan dari pasein dalam pesawat fluoroskopi dengan tabung di atas merupakan sesuatu yang penting dalam proteksi radiasi. Sebuah user kode Monte Carlo yaitu DOSXYZnrc digunakan untuk menghitung rasio hamburan terhadap entrance surface dose (ESD). Hasil perhitungan kemudian dibandingkan dengan pengukuran untuk menunjukkan adanya hamburan dalam fluoroskopi tersebut. Pemodelan dalam DOSXYZnrc dan pengukuran dilakukan dengan menggunakan sebuah pesawat fluoroskopi, phantom, dan lithium fluoride thermoluminescent dosimeter (TLD). TLD ditempatkan pada jarak 50 cm dengan sumbu berkas sinar-x dalam beberapa sudut dari pusat phantom dan juga pada tubuh staf yaitu di dekat mata, leher, dada, pinggang dan kaki pada saat melakukan tindakan.
Radiasi hambur pada jarak 50 cm dari sumbu berkas diperkirakan menyebar tertinggi pada sudut 1400 dari tubuh pasien atau jika staf yang memiliki tinggi 160 cm akan pada bagian matanya. Selanjutnya dosis akan berkurang untuk sudut yang lebih kecil atau bagian yang lebih ke bawah yaitu leher, dan dada. Pada pengukuran TLD dosis pada kaki meningkat karena pengaruh dari hamburan balik dari permukaan lantai. Bagian mata untuk staf dengan tinggi 160cm dan arah sudut 1400 menerima dosis paling tinggi karena radiasi hambur dan kaki menerima dosis yang lebih karena adanya tambahan hamburan balik dari permukaan lantai.

Calculation of scattering from a patient in fluoroscopy with upper tube is an important part on determining the radiation protection requirements. A software based on Monte Carlo Method named DOSXYZnrc was used to calculate the percentage of scatter radiation from entrance surface dose (ESD). Calculations have been compared with measurements to show that simulation result are representative of scatter found in fluoroscopy. Modeling in DOXYZnrc and measurement were performed using a X-ray fluoroscopy, some phantom, and some lithium fluoride thermoluminescent dosimeter (TLD). TLD's were placed at 50 cm from x-ray beam axis in some angle of phantom center and also on the staff's body near to eyes, neck, chest, waist and legs.
The radiation scattered at the distance of 50 cm from the beam axis with the highest predicted spread angle 140° of the patient's body or if the 160 cm staff tall will be in the eye. Furthermore, the dose will be reduced in a smaller angle or decreased on neck, and chest. In the TLD dose measurement in legs was increased because of the back-scattering influence from the surface of the floor behind. The eye in the 160cm staff tall and direction on the angle of 140° receiving the highest dose due to the scattering from a patient, and then feet receive higher doses because of the additional back-scattering from the surface of the floor behind.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2010
T28838
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>