Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 86495 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mutiah Rusaliyah
"Pengantin pesanan merupakan manifestasi dari kekerasan seksual terhadap perempuan yang dilakukan melalui institusi perkawinan. Penulisan Tugas Karya Akhir ini bertujuan untuk menunjukkan praktik pengantin pesanan yang dialami perempuan Indonesia merupakan bentuk perdagangan perempuan untuk tujuan eksploitasi seksual dan merupakan kekerasan seksual terhadap perempuan. Penulisan ini menggunakan teori feminis radikal dan analisis kualitatif dari putusan pengadilan, video wawancara media massa, dan hasil wawancara penulis dengan SBMI serta Komnas Perempuan. Hasil analisis data menunjukkan bahwa praktik pengantin pesanan terjadi karena serangkaian sistem di dalam struktur masyarakat patriarki yang melanggengkan supremasi laki-laki dan subordinasi perempuan. Perempuan di dalam praktik pengantin pesanan telah diobjektifikasi dan dikomodifikasi sebagai sesuatu objek bernilai yang dapat dipertukarkan. Akibatnya, perempuan dieksploitasi untuk memenuhi hasrat seksual laki-laki, melakukan pekerjaan reproduksi, serta melakukan pekerjaan domestik.

Mail-order brides are a manifestation of sexual violence against women perpetrated through the institution of marriage. This final work aims to show that the practice of mail-order brides experienced by Indonesian women is a form of trafficking in women for the purpose of sexual exploitation and constitutes sexual violence against women. This paper uses radical feminist theory and qualitative analysis of court cases, mass media interview video, and interviews with SBMI and Komnas Perempuan. The result of the data analysis shows that the practice mail-order brides occur due to a series of systems within a patriarchal society structure that perpetuates male supremacy and female subordination. Women in the practice of mail-order brides have been objectified and commodified as objects of value that can be exchanged. As a result, women are exploited to fulfill men’s sexual desires, perform reproductive work, and do domestic work."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wabilia Husnah
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui interseksionalitas latar belakang dan otonomi relasional perempuan dalam pengambilan keputusan menjadi pengantin pesanan dari Indonesia ke Tiongkok. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus, yang menggunakan kerangka analisis interseksionalitas dan otonomi relasional. Studi ini melakukan penelusuran riwayat hidup dua perempuan penyintas asal DKI Jakarta dan wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa korban pengantin pesanan adalah perempuan dengan latar belakang dan pengalaman hidup yang beragam. Terdapat interseksi latar belakang dan pengalaman teropresi perempuan di domain struktural, disiplin, hegemoni dan interpersonal yang memengaruhi pemaknaan konsep pernikahan dalam diri perempuan, serta menyebabkan perempuan tertentu rentan menjadi korban pengantin pesanan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa penyebab utama yang melatari perempuan menjadi korban dalam industri pengantin pesanan ke Tiongkok adalah faktor interseksional, yang meliputi faktor ekonomi, sosial-budaya, hubungan interpersonal serta pengalaman hidup. Semua faktor saling berkelindan satu dengan lainnya, sehingga tidak ada satupun faktor dominan yang menjadi latar belakang perempuan menjadi korban pengantin pesanan. Proses pengambilan keputusan, mulai dari pembentukan keinginan, pembentukan kompetensi untuk menjadi otonom, hingga pengambilan tindakan secara otonom perempuan, dipengaruhi oleh interseksi latar belakang, pengalaman teropresi, nilai-nilai sosial, praktik budaya, karya sastra, serta hubungan sosial perempuan dengan sindikat pengantin pesanan, orang tua, anak, dan significant others. Mereka memiliki otonomi relasional karena memutuskan sendiri untuk menikah dengan laki-laki Tionghoa, berdasarkan pertimbangan interseksionalitas berbagai determinan sosial yang kompleks tersebut.

This research aims to examine the intersectional background and women's relational autonomy in making decision to become mail-order bride from Indonesia to China. This is qualitative research with a case study approach, which uses intersectionality and relational autonomy analysis framework. This study traces the life history of two women survivors from Jakarta and in-depth interviews. The results show mail-order bride victims are women with diverse backgrounds and life experiences. Therefore, there is no single dominant factor that leads the women to become victims. There is an intersection of the background and oppressive experience of women in the structural, disciplinary, hegemonic, and interpersonal domains that influence their meaning of the concept of marriage and cause certain women are vulnerable to becoming victims. This research concludes that the main factor that causes women to become victims in the mail-order bride industry is intersectional factors, which include economic, socio-cultural, interpersonal relationships, and life experiences. All factors are intertwined with one another, therefore there is no single dominant factor that causes them to become victims of mail-order bride. In the decision-making process, women are not passive victims. The decision-making process, from the formation of desires, the formation of competencies to be autonomous, to the autonomous action of women, is influenced by the intersection of backgrounds, oppressive experiences, social values, cultural practices, literature work, and women's social relations with the mail-order bride syndicate, parents, children, and significant others. They have relational autonomy because they decided on their own to marry Chinese men, based on considerations of the intersection of various complex social determinants."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kristoforus Fajar Tri Hananto
"Fenomena Mail Order Brides (MOB) atau pengantin pesanan merupakan sebuah fenonomena sosial yang marak di Eropa. Bentuk dan mekanismenya berubah, seiring dengan perkembangan jaman dan teknologi. Tesis ini merupakan penelitian tentang bagaimana Uni Eropa dan Republik Federasi Rusia memiliki perspektif yang berbeda tentang fenomena ini. Rusia hingga saat ini menjadi negara pengirim pengantin pesanan terbanyak di dunia, meskipun negara tersebut telah meratifikasi Protokol PBB tahun 2000 untuk mencegah, menanggulangi trafiking terhadap manusia, khususnya perempuan dan anak-anak (CTOC). Hal ini menunjukan bahwa Rusia tidak melihat MOB sebagai suatu praktek human trafficking. Terbukti dengan meratifikasi CTOC jumlah perempuan yang terlibat dalam MOB di Rusia tidak menurun. Sementara itu, dalam perspektif Uni Eropa fenomena ini merupakan salah satu bentuk human trafficking. Uni Eropa bahkan mencanangkan berbagai berbagai program untuk mencegah terjadinya MOB. Penelitian ini mengeksplorasi lebih dari 200 situs web yang memuat konten serta informasi terkait jasa penyedia calon pengantin perempuan

The phenomenon of Mail Order Brides (MOB) is a social fenonomena that happening in Europe. The shape and the mechanism changes, along with development of the era and technology. This thesis is a study of how the European Union and the Republic of the Russian Federation has a different perspective on this phenomenon. Russia recently become the highest mail order brides sending country in the world, although although Russia has ratified the United Nations Protocol to Prevent 2000, Eradicate Trafficking in Persons, especially women and children (CtoC). This shows that the Russians do not see MOB as a practice of human trafficking. It Proven with a ratification of CTOC by Russia, the number of women involved in the MOB in Russia has not decreased. Meanwhile, in the perspective of the European Union this phenomenon is a form of human trafficking. EU even launched various programs to prevent MOB. This study explores more than 200 web sites that contain content and related information about MOB services"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2015
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dararima Sani
"Konser musik underground (MUG), sebagai ruang alternatif bagi individu yang menentang budaya arus utama, belum menjadi ruang aman dan bebas dari kekerasan seksual bagi perempuan. Skripsi ini bertujuan untuk memahami kontrol tubuh dan seksualitas yang dilakukan terhadap perempuan dalam konser MUG melalui kekerasan seksual oleh laki-laki. Teori yang digunakan adalah teori feminisme radikal dan carnival of crime. Data dikumpulkan dengan metode penelitian wawancara mendalam,focus group discussion, observasi partisipan, dan studi literatur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konser MUG mempertahankan nilai patriarkis melalui superioritas laki-laki, stereotip gender, dan hegemoni maskulinitas sebagai transgresi maskulin yang memarjinalkan, mensubordinasikan, dan mengobjektifikasi perempuan. Hal tersebut menciptakan rape culture di mana kekerasan seksual oleh laki-laki menjadi alat kontrol sosial yang menanamkan rasa takut dan membebankan tanggung jawab untuk menghindari kekerasan seksual pada perempuan. Kontrol terhadap tubuh dan seksualitas perempuan tersebut menimbulkan perlukaan pada perempuan dan membangkitkan resistensi oleh perempuan. Dengan begitu, kontrol tubuh dan seksualitas yang dilakukan laki-laki melalui kekerasan seksual terhadap perempuan dalam konser MUG memengaruhi perbedaan pengalaman perempuan dalam konser MUG.

Underground music (MUG) concerts, as an alternative space for individuals who oppose mainstream culture, have not yet become safe spaces free from sexual violence for women. This thesis aims to understand the control of women's bodies and sexuality in MUG concerts through sexual violence by men. The theories used are radical feminism and the carnival of crime. Data were collected using research methods such as in-depth interviews, focus group discussions, participant observation, and literature studies. The research findings indicate that MUG concerts uphold patriarchal values through male superiority, gender stereotypes, and the hegemony of masculinity as a masculine transgression that marginalizes, subordinates, and objectifies women. This creates a rape culture where sexual violence by men becomes a tool of social control that instills fear and places the responsibility for avoiding sexual violence on women. Control over women's bodies and sexuality causes harm to women and provokes resistance from women. Thus, the control of women's bodies and sexuality by men through sexual violence at the MUG concert affects the differing experiences of women at the MUG concert.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Mazumah
"Tulisan ini membahas tentang konsep restitusi bagi korban tindak pidana kekerasan seksual sebelum dan sesudah peraturan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). UU TPKS hadir dalam rangka memberikan jaminan pencegahan, pelindungan, akses keadilan, dan pemulihan, serta pemenuhan hak-hak korban secara komprehensif yang selama ini tidak pernah didapatkan oleh korban kekerasan seksual yang kerap kali menjadi korban kembali dalam sistem hukum di Indonesia. Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana pemenuhan hak korban kekerasan seksual, terutama restitusi, dalam sistem hukum di Indonesia. Data yang dipergunakan dalam tulisan ini diperoleh melalui metode penelitian yang bersifat sosiolegal. Hal ini dilakukan dengan menganalisis implementasi peraturan perundang-undangan tentang restitusi berdasarkan penerapannya sebagaimana disampaikan dalam wawancara pendamping dari Women Crisis Center (WCC) Dian Mutiara Malang dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Sementara itu, analisisnya menggunakan teori restoratif dan teori hukum feminis.
Hambatan penelitian ini adalah Penulis tidak banyak menemukan praktik restitusi bagi korban kekerasan seksual baik sebelum atau setelah UU TPKS disahkan pada 2022 lalu. Kelemahan penerapan restitusi sebagai pidana pokok bagi pelaku kekerasan seksual yang diancam pidana penjara 4 (empat) tahun masih terjadi. Dalam implementasinya, restitusi masih belum menjadi hak korban yang harus dipenuhi oleh pelaku tindak pidana. Sebagai hak, korban juga memiliki kewenangan menolak atau menerima dengan beragam alasan. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pemenuhan hak korban kekerasan seksual belum optimal, khususnya restitusi. Kemudian terdapat tantangan pula berupa perspektif Aparat Penegak Hukum yang masih beragam dalam implementasi restitusi sebagai hak korban sehingga dibutuhkan layanan terpadu antar pihak agar restitusi menjadi hak bagi korban dalam upaya pemenuhan pemulihan akibat dari kasus yang dialami.

This paper discusses the concept of restitution for victims of sexual violence before and after the regulation of the Law Number 12 of 2022 on the Crime of Sexual Violence. The Crime of Sexual Violence Law is present in order to provide guarantees of prevention, protection, access to justice, and recovery, as well as the comprehensive fulfillment of victims' rights that have never been obtained by victims of sexual violence who often become victims again in the legal system in Indonesia. This research wants to find out how the fulfillment of the rights of victims of sexual violence, especially restitution, in the legal system in Indonesia. Data used in this paper was obtained through sociolegal research method. This is done by analyzing the implementation of laws and regulations on restitution based on its implementation as conveyed in an accompanying interview from the Women Crisis Center (WCC) Dian Mutiara Malang and the Witness and Victim Protection Agency (LPSK). Meanwhile, the analysis uses restorative theory and feminist legal theory.
The obstacle for this research is that the author did not find many restitution practices for victims of sexual violence both before and after the Crime of Sexual Violence Law was passed in 2022. The weak application of restitution as the main punishment for perpetrators of sexual violence who are sentenced to 4 (four) years imprisonment still occurs. In its implementation, restitution is still not a victim's right that must be fulfilled by the perpetrator of the crime. As a right, victims also have the authority to refuse or accepts for various reasons. The results of this study conclude that the fulfillment of the rights of victims of sexual violence has not been optimal, especially restitution. Then there are also challenges in the form of perspectives of law enforcement officials that are still diverse in the implementation of restitution as a victim's right, hence integrated services are needed between parties so that restitution becomes a right for victims in an effort to fulfill recovery from the cases they experience.
"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meyzia Ellena Ayuningtyas
"Tesis ini membahas mengenai pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja oleh pemberi kerja setelah berlakunya Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 88 Tahun 2023 dimana pemberi kerja wajib untuk membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja, namun perlu dilakukan penelitian lebih lanjut bagaimana implementasi Keputusan Menteri ini pada pelaksanaannya. Tesis ini bertujuan untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kekerasan seksual, dampaknya terhadap korban, dan bagaimana implementasi Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 88 Tahun 2023. Metode penelitian yang digunakan adalah doktrinal dan non-doktrinal. Setiap pekerja memiliki hak atas perlindungan terhadap moral dan juga kesusilaan serta diperlakukan sebagaimana harkat dan martabat manusia dan juga nilai-nilai agama, namun tindak kekerasan seksual dapat terjadi kepada siapa pun sehingga penting untuk dibentuk pihak yang khusus untuk menangani pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di tempat kerja.

This thesis discusses the formation of a Task Forces for the Prevention and Handling of Sexual Violence Within the Workplace by employers after the issuance of the Minister of Manpower Decree Number 88 of 2023 where employers are required to form a Task Forces for the Prevention and Handling of Sexual Violence Within the Workplace, but further research needs to be done on how the implementation of this Ministerial Decree is implemented. This thesis aims to find out what is meant by sexual violence, its impact on victims, and how the the Minister of Manpower Decree Number 88 of 2023 is implemented. The research methods used are doctrinal and non-doctrinal. Every worker has the right to protection of morals and decency and to be treated according to human dignity and religious values, however sexual violence can happen to anyone so it’s important to establish a special party to handle the prevention and handling of sexual violence in the workplace."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yoga Febrianto
"Tugas karya akhir ini membahas pelecehan seksual yang dialami perempuan pekerja dalam ruang kerja online saat work from home pada masa pandemi COVID-19. Dengan menggunakan teori feminis radikal, tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana terjadinya kekerasan seksual berbasis jenis kelamin/gender yang difasilitasi teknologi terhadap perempuan pekerja selama WFH, apa yang menjadi latar belakangnya, dan menjelaskan perbedaan kekerasan seksual berbasis sex/gender di ruang fisik dengan ruang cyber. Tugas karya akhir ini menggunakan secondary data analysis untuk menganalisis data dari Never Okay Project dan South East Asia Freedom of Expression Network (2020) dan ditemukan bahwa kekerasan seksual berbasis gender terhadap perempuan pekerja dalam ruang cyber memiliki penyebab dasar yang sama dengan yang terjadi di ruang fisik karena teknologi mereproduksi hubungan hierarki gender. Meski begitu, pelecehan seksual yang dialami perempuan pekerja dalam ruang cyber saat pandemi COVID-19 menghasilkan dampak, kerentanan, dan ketidakberdayaan yang lebih buruk daripada pelecehan seksual yang terjadi di tempat kerja fisik pada umumnya.

The work of this final paper discusses sexual harassment experienced by women workers in the online workspaces when working from home during the COVID-19 pandemic. Using radical feminist theory, this paper aims to explain how technology-facilitated gender/gender-based sexual violence occurs against women workers during WFH, what is the background, and also explain the difference between sex/gender-based sexual violence in physical space and cyberspace. This final paper uses secondary data analysis to analyze the data from Never Okay Project and South East Asia Freedom of Expression Network (2020) and it is found that gender-based sexual violence against women workers in cyberspace has the same basic causes as those that occur in physical space because technology reproduces hierarchical gender relations. Even so, the sexual harassment experienced by women workers in cyberspaces during the COVID-19 pandemic resulted in a worse impact, vulnerability and helplessness that sexual harassment that occurred in the physical workplace in general."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kirana Paramesti Putri Widiyanto
"Artikel ini membahas peran media sosial dalam mendukung dan membela korban kekerasan seksual secara virtual. Pada Januari 2024, terdapat 139 juta pengguna media sosial aktif di Indonesia. Angka ini setara dengan 49.9% dari total penduduk Indonesia (We Are Social, 2024). Sejalan dengan itu, seiring bertambahnya jumlah pengguna media sosial di Indonesia, konstruksi budaya partisipatif masyarakat semakin kokoh. Anggota budaya partisipatif percaya bahwa kontribusi mereka penting dan mereka mengedepankan hubungan sosial satu sama lain (Jenkins et al., 2009). Memanfaatkan teori budaya partisipatif Jenkins dan mengaitkannya dengan keterlibatan pengguna aktif media sosial di Indonesia, khususnya Instagram, kajian ini membahas tentang dukungan dan pembelaan komunitas daring terhadap korban kekerasan seksual. Artikel ini berpendapat bahwa budaya partisipatif pengguna Instagram di Indonesia menyediakan edukasi bagi para korban kekerasan seksual, yang secara tidak langsung mendukung dan membela korban kekerasan seksual secara virtual.
This article discusses the role of social media in virtually supporting and defending victims of sexual violence. In January 2024, there are 139 million active social media users in Indonesia, which amounts to 49.9% of Indonesia’s population (We Are Social, 2024). Accordingly, as the number of social media users in Indonesia grows, the construction of a participatory culture in society becomes more robust. Participatory culture is where members believe their contributions matter and feel some degree of social connection with one another (Jenkins et al., 2009). Utilizing Jenkins’ participatory culture theory and connecting it to the engagement of active users of social media in Indonesia, particularly Instagram, this study concerns the online community’s support and defense for victims of sexual violence. This article argues that the participatory culture of Instagram users in Indonesia provides education for victims of sexual violence, indirectly supporting and defending victims of sexual violence virtually."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Ripa Oktari
"Perempuan korban pelecehan seksual sering mengalami victim blaming yaitu tindakan menyalahkan korban terhadap sesuatu yang menimpa dirinya seperti menyalahkan pakaian korban yang terbuka dan ketat sehingga dapat mengundang nafsu para pelaku untuk melakukan tindakan pelecehan seksual. Disisi lain, perempuan dituntut untuk selalu tampil menarik dan menjalankan multi perannya sebagai pengurus rumah tangga dan karier. Terdapat berbagai peran yang diharapkan oleh masyarakat sudah melekat pada laki-laki dan perempuan menyebabkan terciptanya laki-laki maskulin dan perempuan feminitas yang dapat melahirkan dominsasi laki-laki terhadap perempuan. Hal tersebut dapat menjadi pemicu adanya adanya persepsi bahwa pelecehan seksual yang dialami oleh perempuan merupakan hal normal seperti catcalling. Melalui teori viktimologi, peneliti mengungkapkan adanya konstruksi gender menempatkan perempuan menjadi korban. Sehingga perlu adanya upaya pencegahan pelecehan seksual dengan melihat persepsi pelecehan seksual siswa perempuan yang dipengaruhi budaya patriarki dan pengalaman viktimisasi terhadap bentuk-bentuk pelecehan seksual yang pernah dialami. Melalui tahap perhitungan proportioned stratified randomg sampling, diperoleh sampel penelitian siswi perempuan 67 orang. Peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif, berupaya mengukur pengaruh budaya patriarki dan pengalaman viktimisasi terhadap persepsi pelecehan seksual. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat pengaruh signifikan budaya patriariki sebesar 0,520 arah hubungan negatif artinya semakin tinggi budaya patriarki yang dimiliki maka persepsi pelecehan seksual akan semakin menurun dan nilai korelasi pengalaman viktimisasi sebesar 0,558 dengan nilai positif artinya semakin tinggi pengalaman viktimisasi maka persepsi pelecehan seksual akan semakin meningkat. Sisanya dapat berpengaruh terhadap persepsi pelecehan seksual dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak terdapat pada penelitian ini.

Female victims of sexual harassment often experience victim blaming, which is the act of blaming the victim for something that happened to her, such as blaming the victim's revealing and tight clothing that can invite the perpetrators' lust to commit sexual harassment. On the other hand, women are required to always appear attractive and carry out their multiple roles as housekeepers and careers. There are various roles that are expected by society to be attached to men and women, causing the creation of masculine men and feminine women which can give birth to male dominance over women. This can trigger the perception that sexual harassment experienced by women is normal, such as catcalling. Through the theory of victimology, researchers reveal the existence of gender construction that places women as victims. So it is necessary to make efforts to prevent sexual harassment by looking at the perception of sexual harassment of female students which is influenced by patriarchal culture and the experience of victimization of forms of sexual harassment that have been experienced. Through the proportioned stratified random sampling calculation stage, a research sample of 67 female students was obtained. Researchers used a quantitative approach, trying to measure the influence of patriarchal culture and the experience of victimization on the perception of sexual harassment. The results of the study showed that there was a significant influence of patriarchal culture of 0.520 in the direction of a negative relationship, meaning that the higher the patriarchal culture owned, the perception of sexual harassment would decrease and the correlation value of victimization experience was 0.558 with a positive value meaning that the higher the experience of victimization, the perception of sexual harassment would increase. The rest can affect the perception of sexual harassment influenced by other variables not included in this study."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sekar Putrinara
"Persoalan victim blaming terhadap perempuan korban kekerasan seksual dipicu oleh stereotip tentang perempuan dalam masyarakat patriarki. Budaya patriarki mengonstruksi stereotip tentang perempuan yang menjadi dasar penilaian seorang perempuan. Cerpen “Kuping” karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie menggambarkan isu victim blaming yang dialami oleh perempuan. Penelitian ini bertujuan untuk menguraikan perilaku victim blaming dan diskriminasi yang terjadi pada tokoh perempuan dalam cerpen “Kuping”. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan sosiologi sastra. Hasil penelitian menunjukkan bahwa victim blaming pada perempuan korban kekerasan seksual terjadi karena masyarakat patriarkis lebih percaya dengan pernyataan dari laki-laki serta adanya stereotip tentang perempuan. Perlakuan diskriminatif yang diterima oleh perempuan korban kekerasan seksual berupa pengucilan dan pengabaian. Melalui cerpen ini, pengarang memperlihatkan bahwa victim blaming dan diskriminasi merupakan persoalan yang memberikan penderitaan bagi korban kekerasan seksual. Dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa perempuan korban kekerasan seksual mendapatkan perlakuan diskriminasi berlapis dan masyarakat patriarkis yang tidak dapat memberikan keadilan bagi mereka. Karya ini juga menunjukkan pandangan dan kritik pengarang tentang victim blaming dan diskriminasi yang dapat menyadarkan masyarakat tentang dampak yang ditimbulkan dari persoalan sosial tersebut.
Blaming the victim towards female victim of sexual violence is stimulated by stereotypes about women in a patriarchal society. Patriarchal culture constructs stereotypes and become the basis for judging women. The short story “Kuping” by Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie contains the issue of victim blaming experienced by women. This study aims to describe victim blaming and discriminatory behavior that occurs to female characters in the short story “Kuping”. This study uses a qualitative method with a sociology of literature approach. The results of this study indicate that the victim blaming towards female victim of sexual violence occurs because of patriarchal society that believes more in men and there are stereotypes about women. The discriminatory treatment received by female victims of sexual violence is exclusion and disregard. Through the short story, the author shows that victim blaming cause suffering to victims of sexual violence. From this study, it can be concluded that women victims of sexual violence receive multiple forms of discrimination and patriarchal society unable to provide justice for them. This short story also shows the author’s point of view and criticisms about victim blaming and discrimination which can raises an awareness about the impacts of these social issues.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2025
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>