Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 189622 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Amira Indriani Cahyadewi
"Internet memegang peranan signifikan dalam perkembangan remaja saat ini, sehingga tidak menutup kemungkinan akan adanya risiko yang mengikutinya. Salah satunya adalah penggunaan internet yang bermasalah. Penggunaan internet bermasalah memiliki kaitan erat dengan berbagai masalah psikologis, salah satunya adalah distres psikologis. Strategi coping yang digunakan oleh remaja diharapkan dapat menjelaskan hubungan antara penggunaan internet bermasalah dan distres psikologis. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran strategi coping sebagai mediator dalam hubungan antara penggunaan internet bermasalah dan distres psikologis pada populasi remaja. Penelitian dilakukan pada 323 remaja berusia 15-18 tahun (M = 16.38) yang merupakan pengguna internet aktif. Penggunaan internet bermasalah diukur menggunakan instrumen Generalized Problematic Internet Use-II (GPIUS-II), distres psikologis diukur menggunakan instrumen Depression, Anxiety, and Scale-21 (DASS-21), dan strategi coping diukur dengan instrumen Brief COPE. Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi coping venting, denial, behavioral disengagement, dan self-blame memediasi secara parsial hubungan antara penggunaan internet bermasalah dan distres psikologis pada remaja. 

The internet plays a significant role in the development of today's adolescents, which inevitably brings associated risks. One such risk is problematic internet use. Problematic internet use is closely related to various psychological issues, one of which is psychological distress. Coping strategies employed by adolescents are expected to explain the relationship between problematic internet use and psychological distress. This study aims to examine the role of coping strategies as mediators in the relationship between problematic internet use and psychological distress among adolescents. The research was conducted on 323 adolescents aged 15-18 years (M = 16.38) who are active internet users. Problematic internet use was measured using Generalized Problematic Internet Use-II (GPIUS-II), psychological distress was measured using Depression, Anxiety, and Stress Scale-21 (DASS-21), and coping strategies were measured using the Brief COPE instrument. The results showed that venting, denial, behavioral disengagement, and self-blame coping strategies partially mediated the relationship between problematic internet use and psychological distress among adolescents.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hana Lazuardy Rahmani
"Populasi remaja di era saat ini tumbuh dengan paparan penggunaan internet yang sangat masif sehingga meningkatkan resiko munculnya perilaku penggunaan internet bermasalah. Penggunaan internet bermasalah dijelaskan sebagai adanya gejala kognitif dan perilaku penggunaan internet yang berdampak pada berbagai konsekuensi negatif, salah satunya munculnya distres psikologis. Disisi lain, studi menunjukkan bahwa dukungan sosial diduga dapat berperan sebagai salah satu faktor protektif dari kemunculan distres psikologis sebagai dampak dari penggunaan internet yang bermasalah. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran dukungan sosial sebagai moderator hubungan antara penggunaan internet bermasalah dengan distres psikologis pada remaja. Penelitian dengan desain kuantitatif dilakukan pada 323 remaja berusia 15-18 tahun dengan menyebarkan instrumen kuesioner Generalized Problematic Internet Use Scale-II (GPIUS-II), Depression, Anxiety, and Stress Scale-21 (DASS-21), dan Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS). Hasil menunjukkan bahwa dukungan sosial, khususnya yang bersumber dari keluarga, berperan sebagai moderator dalam hubungan antara penggunaan internet bermasalah dan distres psikologis remaja. Temuan ini memperkuat pentingnya peran dukungan sosial sebagai salah satu faktor yang dapat menurunkan dampak negatif dari penggunaan internet bermasalah.

he adolescent population in the current era is growing with extensive exposure to internet usage, which is increasing the risk of problematic internet use behaviors. Problematic internet use is characterized by cognitive and behavioral symptoms that lead to various negative consequences, including psychological distress. On the other hand, social support is suspected to act as a protective factor against the psychological distress resulting from problematic internet use. This study aims to examine the role of social support as a moderator in the relationship between problematic internet use and psychological distress in adolescents. A quantitative research design was conducted with 323 adolescents aged 15-18 years, utilizing Generalized Problematic Internet Use Scale-II (GPIUS-II), Depression, Anxiety, and Stress Scale-21 (DASS-21), and Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS). Results show that social support, especially from family, significantly moderated the relationship between problematic internet use and psychological distress in adolescents. These findings highlight the crucial role of social support to reduce the negative impacts of adolescents’ problematic internet use."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Justine Elisse
"Tingginya penggunaan internet di kalangan remaja Indonesia menyebabkan mereka rentan terhadap penggunaan internet bermasalah. Penggunaan internet yang bermasalah ini dapat memicu berbagai masalah psikologis, termasuk distres psikologis. Salah satu faktor yang berkaitan dengan penggunaan internet bermasalah dan distres psikologis adalah pola pengasuhan orang tua. Oleh sebab itu, penelitian bertujuan untuk melihat bagaimana peran pola pengasuhan positif orang tua dalam memoderasi hubungan penggunaan internet bermasalah dengan distres psikologis pada remaja di Indonesia. Penelitian kuantitatif non-eksperimental ini dilakukan pada 305 remaja berusia 15-18 tahun yang merupakan pengguna internet aktif dan diasuh oleh orang tua. Penggunaan internet bermasalah diukur menggunakan instrumen Generalized Problematic Internet Use-II (GPIUS-II), distres psikologis diukur menggunakan instrumen Depression, Anxiety, and Scale-21 (DASS-21), dan pola asuh positif diukur menggunakan instrumen Parent as Social Context Questionnaire (PSCQ). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola asuh positif tidak berperan secara signifikan sebagai moderator hubungan antara penggunaan internet bermasalah dan distres psikologis remaja, walaupun ditemukan arah hubungan yang melemahkan. Peneliti menyarankan pentingnya meneliti faktor-faktor lain dalam memoderasi hubungan antara penggunaan internet bermasalah dan distres psikologis pada remaja, mengingat penelitian ini juga menemukan adanya hubungan positif antara penggunaan internet bermasalah dengan distres psikologis. Salah satu faktor yang dapat dipertimbangkan adalah peran pola asuh negatif.

The high internet usage among Indonesian adolescents makes them vulnerable to problematic internet use. This problematic use of the internet can lead to various psychological problems, including psychological distress. One factor related to problematic internet use (PIU) and psychological distress is parenting style. This study aims to examine the moderating role of positive parenting style in the relationship between PIU and psychological distress among adolescents in Indonesia. This nonexperimental quantitative study involved 305 adolescents aged 15-18 years, who are active internet users and live with their parents. PIU was measured using the Generalized Problematic Internet Use-II (GPIUS-II), psychological distress was measured using the Depression, Anxiety, and Stress Scale-21 (DASS-21), and positive parenting style was measured using the Parent as Social Context Questionnaire (PSCQ). The results showed that positive parenting style did not significantly moderate the relationship between PIU and psychological distress, although a weakening direction was observed. This study suggests the importance of investigating other factors that may moderate the relationship between problematic internet use and psychological distress in adolescents, as a positive relationship between PIU and psychological distress was also found. One factor that could be considered is the role of negative parenting."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mifta Sugesti
"Pandemi COVID-19 memiliki dampak yang besar di seluruh dunia, termasuk menjadi pemicu munculnya distress psikologis pada remaja karena berbagai perubahan yang terjadi. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi distress psikologis adalah intolerance of uncertainty (IU), yaitu reaksi individu pada situasi yang tidak pasti dan tidak dapat diprediksi. Variabel yang diduga dapat memoderasi hal tersebut adalah resiliensi. Penelitian ini ingin melihat bagaimana hubungan antara IU dengan distress psikologis pada remaja dapat dimoderasi oleh resiliensi. IU diukur menggunakan skala IUS-12, distress psikologis diukur menggunakan skala K-10, serta resiliensi menggunakan RS-14. Sebanyak 396 remaja usia 11-19 (x̄ = 15.5 tahun) di Indonesia berpartisipasi mengisi alat ukur secara daring melalui GoogleForm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa resiliensi dapat memoderasi hubungan antara IU dengan distress psikologis secara signifikan pada remaja di masa pandemi COVID-19 (t = -2.125, p < 0.05). Hal ini berarti bahwa, semakin tinggi tingkat resiliensi yang dimiliki remaja, maka akan semakin dapat meminimalisir distress psikologis yang ditimbulkan akibat IU.

The pandemic of COVID-19 has created major changes in daily life worldwide, causing the rise of psychological distress among adolescents. One of significant factors that contribute to Psychological Distress during pandemic was Intolerance of Uncertainty (IU), defined as an individual reaction to uncertain and unpredictable situations. Resilience is predicted to be potential variable that could safeguard the impact of IU toward Psychological Distress. This research investigated the role of resilience as moderator between IU and psychological distress among adolescents. IU was measured using IUS-12, Psychological Distress scaled using K-10, and Resilience was measured by RS-14. 396 Indonesian adolescents aged 11-19 (x̄ = 15.5 years old) participated by filling out the scales online through GoogleForm. The result showed that Resilience could act as moderator between IU and Psychological Distress significantly (t = -2.125, p < 0.05). Hence, the higher level of resilience in youth could minimize the impact of IU on Psychological Distress."
Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutapea, Chelsea Dimeitri Angelica
"Masyarakat miskin dan kelompok usia emerging adulthood rentan mengalami distres psikologis. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara optimisme dan distres psikologis emerging adults miskin di DKI Jakarta. Optimisme diukur dengan Life Orientation Test-Revised (LOT-R) dan distres psikologis diukur dengan Hopkins Symptoms Checklist-25 (HSCL-25). Partisipan penelitian ini berjumlah 261 orang dengan rentang usia 18-29 tahun, terdiri dari 92 (35,2%) laki-laki dan 169 (64,8%) perempuan. Dengan analisis Pearson Correlation, ditemukan hasil bahwa optimisme memiliki hubungan yang signifikan dengan distres psikologis (r(259) = -0,161, p = 0,009, two-tailed) dan r2 = 0,026.

The poor and emerging adults groups are vulnerable to psychological distress. This study aim to examine the relationship between optimism and psychological distress among poor emerging adults in DKI Jakarta. Optimism was measured by the Life Orientation Test-Revised (LOT-R) and psychological distress measured by Hopkins Symptoms Checklist-25 (HSCL-25). The participants in this study were 261 with age range of 18-29 years old, consisting of 92 (35,2%) man and 169 (64,8%) women. With Pearson Correlation analysis, it was found that optimism had a significant relationship with psychological distress (r(259) = -0,161, p = 0,009, two-tailed) and r2 = 0,026."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ani Rakhmaningrum
"Pandemi COVID-19 memberikan dampak psikologis pada individu di seluruh level usia termasuk remaja. Di masa ini remaja rentan mengalami distres psikologi yang kemudian dapat berdampak buruk pada kondisi kesehatan mentalnya. Dengan sumber distres yang tidak terhindarkan di masa pandemi ini, kajian untuk melihat faktor protektif yang dapat bertindak sebagai buffer hubungan distres psikologi dengan kesehatan mental remaja dirasa perlu untuk dilakukan. Salah satu faktor yang diduga berperan dalam hal ini adalah resiliensi. Penelitian ini melihat peran resiliensi terhadap hubungan antara distres psikologi dan kesehatan mental pada remaja. Penelitian ini merupakan menggunakan desain korelasional dan kuantitatif dengan teknik non probability sampling dengan target partisipan adalah remaja berusia 11-19 tahun. Penelitian dilakukan dengan menyebarkan kuesioner untuk mengukur kesehatan mental (Mental Health Continuum - Short Form), distres psikologi (K10), dan resiliensi (Resilience Scale – 14) secara onlinemelalui google form dengan jumlah sampel yang didapatkan sebanyak 390 orang. Hasil analisis multiple regression menunjukkan bahwa distres psikologi dan resiliensi memiliki sumbangan sebesar 40,5 persen terhadap kesehatan mental remaja setelah mengontrol jenis kelamin, usia, dan domisili. Analisis moderasi menggunakan PROCESS menemukan bahwa resiliensi secara signifikan memoderasi hubungan antara distres psikologi dengan kesehatan mental pada remaja (t = 2,038 dan p = < 0,05).

The COVID-19 outbreak has psychological impact on individuals at all ages including adolescents. At this very time, adolescents are prone to experiencing psychological distress which has a negative impact on their mental health. With a potential source of stress that cannot be avoided during this pandemic, a study to look at protective factors that can act as a buffer for the relationship between psychological distress and adolescent mental health during this pandemic is deemed necessary. One factor presumed to play a role is resilience. The aim of this study is to look at the role of resilience in the relationship between psychological distress and mental health in adolescents. This research uses correlational and quantitative design with non-probability sampling techniques, the target participants are adolescents aged 11-19 years. The research was conducted by distributing questionnaires to assess mental health (Mental Health Continuum - Short Form), psychological distress (K10), and resilience (Resilience Scale - 14) via google form and obtained 390 samples. Multiple regression analysis showed that psychological distress and resilience contributed 40,5 percent to adolescent mental health after controlling for gender, age, and domicile. Moderation analysis using PROCESS found that resilience significantly moderated the relationship between psychological distress and mental health in adolescents (t = 2.038 and p = <0.05)."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sherin Nindyta Puteri
"Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat apakah perceived social support dan penggunaan social networking sites (SNS) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap distres psikologis. Penelitian dilakukan terhadap Mahasiswa (n=681). Untuk mengumpulkan data digunakan alat ukur Kessler Psychological Scale (K10), The Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS), dan Social Media Use Integration Scale (SMUIS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perceived social support secara signifikan berpengaruh dalam mengurangi tingkat distres psikologis mahasiswa (p < 0,001), sedangkan penggunaan SNS secara signifikan berpengaruh dalam meningkatkan distres psikologis pada mahasiswa (p < 0,001). Jika dibandingkan, perceived social support terbukti lebih kuat untuk mengurangi tingkat distres psikologis.

The purpose of this study is to examine the effect of perceived social support and social networking sites use on psychological distress. The respondents of this study are university students (n=681). This study uses Kessler Psychological Scale (K10), The Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS), and Social Media Use Integration Scale (SMUIS) as instruments to gather data(s). The result of this study shows that theres a significant role of perceived social support in decreasing students psychological distress (p < 0,001) and theres a significant role of SNS Use in increasing students on psychological distress (p < 0,001)."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Zhafira
"Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara empati dan distres psikologis pada remaja di masa pandemi Covid-19. Peneliti menggunakan definisi empati dari Cohen & Strayer (1996) yang membagi empati menjadi dua komponen, yaitu empati afektif dan empati kognitif serta definisi distres psikologis dari Mirowsky & Ross (2002). Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan desain korelasional. Sampel pada penelitian ini berjumlah 651 remaja berusia 15-18 tahun dengan 390 perempuan dan 291 laki-laki. Alat ukur yang digunakan adalah Basic Empathy Scale (Jollife & Farrington, 2006) dan Kessler Psychological Distress Scale - 10 Items (Kessler, 2002) yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Hasil pengujian korelasi menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara empati afektif dan distres psikologis (r(651) = 0.174 , p <0.05, r² = 0.03, one tail), namun hubungan antara kedua variabel lemah. Tidak ditemukan adanya hubungan antara empati kognitif dan distres psikologis. Selain itu, perempuan memiliki skor distres psikologis, empati afektif, dan empati kognitif yang lebih tinggi secara signifikan dibanding laki-laki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa distres psikologis hanya berhubungan dengan kemampuan individu untuk turut merasakan emosi orang lain secara kongruen, yang merupakan komponen afektif dari empati.

This study aims to test the relationship between empathy and psychological distress among adolescents in times of Covid-19 pandemic. Researcher used the definition of empathy from Cohen & Strayer (1996) who classified empathy to two components, affective empathy and cognitive empathy, while the reference of psychological distress is from Mirowsky & Ross (2002). This study was conducted with quantitative method and correlational design. A total of 651 adolescents (390 girls and 291 boys) ranging from 15 – 18 years old participated in this study. The instruments used in this study are Basic Empathy Scale (Jollife & Farrington, 2006) and Kessler Psychological Distress Scale - 10 items (Tran et al., 2019) that are adapted to Bahasa. The results showed that there is a positive significant correlation between affective empathy and psychological distress, however the effect size is small (r(651) = 0.174, p <0.05, r² = 0.03, one tail). There is no significant correlation between cognitive empathy and psychological distress. Furthermore, girls reported higher psychological distress, affective empathy, and cognitive empathy than boys. From this study, it is known that psychological distress only correlated with the affective components of empathy."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Putu Putri Puspitaningrum
"Pandemi COVID-19 menuntut adaptasi yang cepat bagi para remaja sehingga rentan memunculkan distres psikologis. Resiliensi dinilai berpotensi untuk memoderasi hubungan antara distress psikologis dengan kesehatan mental sehingga dalam kondisi yang menekanpun, peran sehari-hari masih bisa dijalankan. Studi 1 dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran resource dan vulnerability index of resiliency sebagai moderator hubungan antara distres dan kesehatan mental. Studi 2 bertujuan untuk melihat fisibilitas penggunaan aplikasi Bounce Back pada smartphone yang dikembangkan oleh peneliti dalam mengembangkan resiliensi, menurunkan distres, dan meningkatkan kualitas kesehatan mental remaja selama pandemi. Partisipan diminta untuk menggunakan fitur-fitur di dalam aplikasi Bounce Back selama 14 hari. Alat ukur yang digunakan adalah Mental Health Continuum – Short Form (MHC-SF), Hopkins Symptom Checklist (HSCL), dan Resilience Scale for Children and Adolescent (RSCA). Dari 111 partisipan dari studi 1, 52 di antaranya mengikuti studi 2 dan dibagi menjadi kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hasil yang diperoleh menunjukkan resource index berperan sebagai moderator hubungan distres dan kesehatan mental remaja (β = -0,016). Kemudian, aplikasi Bounce Back fisibel digunakan untuk remaja selama pandemi, khususnya dalam menurunkan distres (F = 11,29). Kelompok eksperimen juga menunjukkan peningkatan skor resource index dan kualitas kesehatan mental yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontrol.

The COVID-19 pandemic that needs rapid adaptation is prone to causing psychological distress for adolescents. Resilience has potential to moderate the relationship between psychological distress and mental health. Study 1 in this research aims to determine the role of resource and vulnerability index of resilience as a moderator of the relationship between distress and mental health. Study 2 aims to see the feasibility of using the Bounce Back apps to develop resilience, reduce distress, and improve the quality of mental health for adolescents during the pandemic. Participants use features in the Bounce Back application for 14 days. The measuring instruments used were the Mental Health Continuum - Short Form (MHC-SF), the Hopkins Symptom Checklist (HSCL), and the Resilience Scale for Children and Adolescents (RSCA). There are 111 participants in study 1, and 52 of them attended study 2. Resource index found can be the moderator for the relationship between distress and adolescent mental health (β = -0.016). Then, the Bounce Back application is feasible for adolescents during the pandemic, especially in reducing distress (F = 11.29). The experimental group also showed a more significant increased resource index scores and mental health than the control group."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adinda Tsana Dhia
"K-Pop merupakan fenomena global yang marak di Indonesia, terutama selama beberapa tahun terakhir. Penelitian ini bertujuan melihat hubungan prediktif distress psikologis terhadap celebrity worship serta peran maladaptive daydreaming sebagai mediator. Penelitian sebelumnya menemukan bahwa distress psikologis memiliki hubungan yang signifikan dengan celebrity worship dan maladaptive daydreaming berperan sebagai mediator (Zsila et al., 2019). Meskipun telah diteliti, penelitian ini dilakukan khusus pada penggemar K-Pop (N = 252) kalangan usia emerging adulthood, yaitu 18-25 tahun (M = 21.04, SD = 1.713). Celebrity worship diukur menggunakan Celebrity Attitude Scale oleh Maltby et al. (2002), sedangkan distress psikologis diukur dengan The Kessler Psychological Distress Scale (K10) oleh Kessler et al. (2002). Maladaptive Daydreaming Scale-16 (MDS-16) oleh Somer et al. (2017b) digunakan untuk mengukur Maladaptive Daydreaming. Analisis mediasi dilakukan menggunakan fitur PROCESS Versi 4.0 dari SPSS Versi 24. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan langsung antara distress psikologis dan celebrity worship (𝛽 = -.0289, > .05). Namun, penelitian ini membuktikan bahwa maladaptive daydreaming berperan sebagai mediator dalam hubungan distress psikologis dan celebrity worship (𝛽 = .20, BootSE = .06, Cl 95% [.08, .34]). Apabila distress psikologis naik, maladaptive daydreaming juga akan naik. Seiring dengan kenaikan maladaptive daydreaming, celebrity worship pun akan mengalami kenaikan.

K-Pop ia  a rising global phenomenon in Indonesia, especially the last several years. This study aims to evaluate the predictive relationship between psychological distress and celebrity worship, also the role of maladaptive daydreaming as mediator. Previous studies found that psychological distress has a significant relationship with celebrity worship and maladaptive daydreaming is one of the mediator (Zsila et al., 2019). However, this study specifically aimed to emerging adult K-Pop fans (N = 252) age 18-25 years old (M = 21.04, SD = 1.713). Celebrity worship measured by Celebrity Attitude Scale (CAS) by Maltby et al. (2002) and psychological distress used The Kessler Psychological Distress Scale (K10) by Kessler et al. (2002). Maladaptive Daydreaming Scale-16 (MDS-16) by Somer et al. (2002) used for maladaptive daydreaming. Mediation was analyzed using PROCESS 4.0 from SPSS version 24. This study found that psychological distress has no direct effect on celebrity worship (𝛽 = -.0289, p > .05). However, maladaptive daydreaming was found as a mediator (𝛽 = .20, BootSE = .06, Cl 95% [.08, .34]). In conclusion, an increase in psychological distress is followed by an increase in maladaptive daydreaming then an increase in maladaptive daydreaming is followed by an increase in celebrity worship."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>