Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 133795 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zain Arie Priyanto
"Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan pemaknaan yang dimiliki oleh pendaki amatir dari kalangan anak muda yang melakukan aktivitas pendakian gunung. Selain itu, penelitian ini juga menjelaskan konstruksi identitas pendaki amatir melalui aktivitas pendakian gunung yang dilakukan. Fenomena pendakian gunung oleh pendaki amatir menjadi tren yang berkembang di berbagai kalangan masyarakat di Indonesia belasan tahun terakhir. Studi-studi terdahulu terkait aktivitas pendakian gunung sebagai fenomena sosial banyak membahas terkait dengan motivasi, makna dan konstruksi makna dari aktivitas mendaki gunung. Namun, hingga saat ini belum terdapat penelitian yang menjelaskan bagaimana pemaknaan dan konstruksi makna dalam konteks pendaki amatir di Indonesia. Kemudian, belum terdapat banyak penelitian yang mengkaji bagaimana konstruksi identitas pendaki di Indonesia, khususnya terhadap pendaki amatir sebagai subjek analisisnya. Dengan menggunakan perspektif interaksionisme simbolik dan kerangka teoretis konstruksi identitas dan konsep diri yang disampaikan oleh Erving Goffman sebagai alat analisis, hasil temuan penelitian ini menjelaskan adanya lima kategori makna yang dimiliki pendaki amatir terhadap aktivitas pendakian gunung yang dilakukannya. Kemudian, tipologi konstruksi pemaknaan dari pendaki amatir terhadap aktivitas pendakian gunung juga menjadi hasil dari penelitian ini. Terakhir, temuan dan analisis penelitian ini menjawab bagaimana konstruksi identitas pendaki amatir dari kalangan anak muda di Indonesia berkaitan erat dengan makna tentang upaya memperoleh prestasi diri serta pencarian pengalaman dan sensasi. Penelitian ini menunjukkan bahwa aktivitas pendakian gunung yang dilakukan oleh pendaki amatir dari kalangan anak muda di Indonesia tidak hanya berkaitan dengan tujuan rekreasional melainkan juga merupakan mekanisme memperoleh prestasi diri dan pada akhirnya mengkonstruksikan identitasnya sebagai pendaki gunung. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pengumpulan data menggunakan teknik wawancara mendalam terhadap pendaki amatir di rentang usia muda sebagai subjek penelitiannya.

The purpose of this research is to explain the meanings held by amateur mountaineers from among young people who carry out mountaineering activities. In addition, this research also explains the construction of amateur mountaineers' identities through their mountaineering activities. The phenomenon of mountaineering by amateur mountaineers has become a growing trend in various groups of people in Indonesia in the last dozen years. Previous studies related to mountaineering activities as a social phenomenon have discussed the motivation, meaning and meaning construction of mountaineering activities. However, until now there has been no research that explains how meaning and meaning construction in the context of amateur mountaineers in Indonesia. Furthermore, there have not been many studies that examine how the construction of the identity of mountaineers in Indonesia, especially for amateur climbers as the subject of analysis. By using the perspective of symbolic interactionism and the theoretical framework of identity construction and self-concept presented by Erving Goffman as an analytical tool, the findings of this study explain the existence of five categories of meaning that amateur mountaineers have towards their mountaineering activities. Then, a typology of meaning construction from amateur mountaineers towards mountaineering activities is also the result of this study. Finally, the findings and analyses of this study answer how the identity construction of amateur mountaineers among youth in Indonesia is closely related to the meaning of self-achievement as well as the search for experiences and sensations. This research shows that mountaineering activities carried out by amateur mountaineers from among young people in Indonesia are not only related to recreational purposes but also a mechanism for gaining self-accomplishment and ultimately constructing their identity as mountaineers. This research uses a qualitative method with data collection using in-depth interview techniques with amateur mountaineers in the young age range as the research subject."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jihan Febrianti
"Penelitian ini bertujuan menggali konstruksi identitas pelaku street fashion di kalangan anak muda perkotaan, dan mengidentifikasi apakah mereka merupakan kelompok sosial yang membangun subkultur ditandai dengan simbol-simbol identitas tertentu. Studi-studi sebelumnya mengategorikan pelaku street fashion sebagai subkultur anak muda, sementara di Indonesia tergolong sebagai fenomena budaya baru yang muncul pada pertengahan tahun 2022. Sebab itu, kehadiran pelaku street fashion remaja pinggiran kota menarik untuk diteliti dan dikaji secara sosiologis. Studi oleh Wardhana (2022) atas pelaku Citayam Fashion Week (CFW) hanya melihat potensi ekonomi bagi industri UMKM. Melalui kajian kualitatif ini, menempatkan pelaku CFW sebagai kasus dan diwawancara secara mendalam, serta diobservasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa para pelaku CFW membentuk kelompok yang bersifat cair. Adanya pihak-pihak luar “menginterupsi” upaya mereka berproses menjadi kelompok dan membangun subkultur, dalam hal ini salah satunya termasuk media sosial. Mereka tidak memiliki aturan/norma dan tujuan yang disepakati bersama. Selain itu, tidak ada kegiatan yang terstruktur dan terpola sehingga identitas yang ditampilkan para pelaku bukanlah hasil konstruksi secara kolektif, melainkan lebih individual. Kalaupun ada atribut yang terkesan sebagai ciri khas kelompok, pada dasarnya lebih karena adanya sikap saling meniru. Media sosial menjadi menjadi ruang bagi para pelaku untuk menunjukkan identitas dan seolah merupakan kelompok sosial yang membangun subkultur.

This study aims to explore the identity construction of street fashion doers among urban youth, and identify whether they are a social group that builds a subculture characterized by certain identity symbols. Previous studies have categorized street fashion doers as a youth subculture, while in Indonesia they are classified as a new cultural phenomenon that emerged in mid-2022. Therefore, the presence of suburban youth street fashion doers is interesting to study and study sociologically. Wardhana's (2022) study of Citayam Fashion Week (CFW) doers only looks at the economic potential for the MSME industry. Through this qualitative study, CFW doers were placed as cases and were interviewed in depth, as well as observed. The results of the study show that CFW doers form groups that are fluid. The existence of outsiders "interrupts" their efforts to process into groups and build subcultures, in this case one of which includes social media. They do not have rules/norms and mutually agreed goals. In addition, there are no structured and patterned activities so that the identities displayed by the actors are not the result of collective construction, but are more individual. Even if there are attributes that seem to be the characteristics of a group, basically it is more due to mutual imitating. Social media has become a space for actors to show their identity and as if they are social groups that build subcultures."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andhika Martamelvin Suryaputra
"Penelitian ini menganalisis bagaimana merchandise olahraga Formula One berperan dalam merepresentasikan status sosial individu sebagai konsumernya di media sosial pada kalangan generasi Z. Sudah cukup banyak studi dan literatur sebelumnya yang membahas konsumsi merchandise dalam konteks olahraga, namun, fokus utama umumnya pada aspek konsumsi merchandise sebagai bentuk loyalitas dan dukungan terhadap tim atau atlet secara umum, masih terbatas studi yang membahas merchandise olahraga sebagai representasi status sosial konsumer. Penelitian ini menggunakan teori konsumerisme berdasarkan hasil pemetaan oleh Mike Featherstone (2007) yang mencakup tiga perspektif teori budaya konsumerisme yaitu, mode of consumption, mode of production, dan consuming, dreaming, pleasure, and images. Secara khusus peneliti berfokus pada perspektif teoritik mode of consumption sebagai landasan teori penelitian untuk menganalisis pemaknaan dalam penggunaan merchandise Formula One sebagai representasi status sosial pengguna/konsumer di kalangan generasi Z. Peneliti berasumsi bahwa penggunaan merchandise Formula One merupakan sarana pembeda (distinct) atau alat bagi individu untuk dapat mengekspresikan dan membangun citra dirinya sehingga dapat merepresentasikan status sosial mereka melalui preferensi dalam komoditas budaya populer. Di satu sisi, hal ini penting khususnya bagi generasi Z penggemar Formula One, yang berlatar belakang status sosial menengah ke atas, karena kepemilikan merchandise seringkali dikaitkan dengan eksklusivitas melihat harganya yang tinggi. Di sisi lain, konsumsi atas merchandise yang dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan terhadap komoditas tersebut secara tidak langsung mengukuhkan peran industri yang kapitalistik dalam ranah olahraga Formula One, sehingga terjadi komodifikasi olahraga ini. Dalam melakukan penelitian ini, peneliti menerapkan pendekatan secara kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui observasi dan in-depth interview terhadap Generasi Z sebagai penggemar yang mengonsumsi merchandis formula one.

This research analyzes how Formula One sports merchandise represents the social status of individuals as consumers on social media among Generation Z. Numerous studies and previous literature have discussed the consumption of sports merchandise in general, primarily focusing on merchandise consumption as a form of loyalty and support for teams or athletes. However, there is a limited number of studies that explore sports merchandise as a representation of consumer social status. This research employs the consumerism theory as mapped out by Mike Featherstone (2007), encompassing three perspectives of consumer culture theory: mode of consumption, mode of production, and consuming, dreaming, pleasure, and images. Specifically, the researcher will focus on the theoretical perspective of the mode of consumption as the theoretical foundation to analyze the meaning behind the use of Formula One merchandise as a representation of the social status of its users/consumers among Generation Z. The researcher assumes that the use of Formula One merchandise serves as a distinct means for individuals to express and construct their self-image, thus representing their social status through preferences in popular cultural commodities. On one hand, this is particularly significant for Generation Z Formula One fans from upper-middle social backgrounds, as owning merchandise is often associated with exclusivity due to its high price. On the other hand, the continuous and sustained consumption of this merchandise indirectly reinforces the role of capitalistic industries within the realm of Formula One sports, leading to the commodification of the sport. In conducting this research, the researcher applies a qualitative approach, using data collection techniques such as observation and in-depth interviews with Generation Z fans who consume Formula One merchandise."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Kartikawati
"Fokus penelitian ini adalah bagaimanakah konstruksi makna dan identitas hijabers di komunitas hijab Jakarta, Depok dan Bekasi yang dilakukan melalui aktivitas komunikasi kelompoknya. Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme dengan metode kualitatif, menghasilkan lima macam makna yaitu: (1) Hijab adalah untuk hijrah. (2) Hijab adalah kontrol tingkah laku. (3) Hijab adalah alat dakwah (4) Hijab adalah motivator diri sendiri (5) Hijab adalah pelindung muslimah. Pada proses pembentukan identitas hijabers melahirkan ciri hijabers: (1) Hijabers berkegiatan positif.(2) Hijabers kreatif, mandiri, berjiwa entrepreneur. (3) Hijabers berkesadaran mengaji.(4) Hijabers yang bermanfaat (5) Hijabers berkesadaran moral, berjiwa keibuan. Aktivitas komunikasi kelompok untuk menjaga rasa solidaritas anggota.

The focus of this is “How is the Construction of Meaning and Hijabers’ Identities in Hijab Community in Jakarta, Depok, and Bekasi Conducted through Their Group Communication Activities”. By using constructivism paradigm with qualitative method, the research result showed five kinds of meaning, namely: (1) Hijab is for moving. (2) Hijab is behavior control. (3) Hijab is a propaganda tool. (4) Hijab is a self motivator. (5) Hijab is Muslim women’s protector. In the hijabers’ identity formation process reveals special characteristics as hijabers, namely: (1) Hijabers have positive activities. (2) Hijabers are creative, independent, and entrepreneurial. (3) Hijabers are aware of reading and reciting Al-Qur’an. (4) Hijabers are helpful for others. (5) Hijabers are mature and have moral. Overall activities conducted by group communication activities as an effort to keep solidarity among the members
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
D1960
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kamalia
"[ABSTRAK
Kegiatan pendakian gunung di Indonesia saat ini sedang menjadi trend dikalangan anak muda dan dewasa. Namun, sejumlah masalah lingkungan di gunung meningkat seiring dengan peningkatan jumlah pendaki gunung. Banyak penelitian yang menekankan pentingnya memahami nilai personal ketika menjelaskan perilaku pro-lingkungan (Fransson & Garling 1999). Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran nilai personal terhadap perilaku pro-lingkungan pada pendaki gunung. Sebanyak 127 responden mengisi kuesioner alat ukur perilaku pro-lingkungan (Dimensi Perilaku dan New Ecological Paradigm Scale) dan nilai. Pada penelitian ini, hasil penelitian menunjukkan ada dua nilai personal yang memiliki peranan terhadap perilaku pro-lingkungan. Kedua nilai tersebut adalah nilai universalism (F=92,35, p<0,05) dan nilai power (F=46,33, p<0,05). Lebih lanjut diketahui bahwa terdapat perbedaan perilaku pro-lingkungan pada responden anggota kelompok pecinta alam (KPA) dan bukan anggota KPA, responden yang memiliki pengalaman mendaki gunung yang lebih banyak dengan yang lebih sedikit pengalaman, serta responden yang memiliki pengalaman belajar sebelumnya dengan yang tidak memiliki pengalaman belajar sebelumnya.

ABSTRACT
Mountaineering activities in Indonesia is currently a trend among young people and adults. However, a number of environmental problems in the mountains increases with increasing number of mountaineers. Many studies emphasize the importance of understanding personal values when explaining pro-environmental behavior (Fransson & Garling 1999). The aim of this research is to examine the role of personal value toward pro-environmental behavior among mountaineer. A total of 127 respondents complete questionnaires on pro-environmental behavior (Dimension of behavior and New Ecological Paradigm Scale) and value. In this research, the result indicates that two personal values have roles on pro-environmental behavior, those values are universalism (F=92,35, p<0,05) and power (F=46,33, p<0,05). Furthermore, the result points out that there are differences in pro-environmental behavior among respondents who are members of nature lovers? group and who are not, among respondents with more mountaineering experience and with less experience, and also among respondents who have previous learning experience and who have no prior learning experience.
, Mountaineering activities in Indonesia is currently a trend among young people and adults. However, a number of environmental problems in the mountains increases with increasing number of mountaineers. Many studies emphasize the importance of understanding personal values when explaining pro-environmental behavior (Fransson & Garling 1999). The aim of this research is to examine the role of personal value toward pro-environmental behavior among mountaineer. A total of 127 respondents complete questionnaires on pro-environmental behavior (Dimension of behavior and New Ecological Paradigm Scale) and value. In this research, the result indicates that two personal values have roles on pro-environmental behavior, those values are universalism (F=92,35, p<0,05) and power (F=46,33, p<0,05). Furthermore, the result points out that there are differences in pro-environmental behavior among respondents who are members of nature lovers’ group and who are not, among respondents with more mountaineering experience and with less experience, and also among respondents who have previous learning experience and who have no prior learning experience.
]"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S61983
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Iqbal
"Ada berbagai macam dan bentuk dalam praktek menggunakan jilbab dikalangan perempuan muslim di Indonesia. Keragaman bentukpraktek berjilbab dilatarbelakangi bagaimana konstruksi akan pemaknaan praktek berjilbab terbentu. Berbagai hal mempengaruhi proses konstruksi akan pemaknaan terhadap jilbab terbentuk. Melalui analisa konstruksi sosial, penelitian ini melihat bagaimana konstruksi makna parktek berjilbab berproses didalam diri perempuan berjilbab. Berbagai makna yang terbentuk itu sebagai respon terhadap apa yang ada dilingkungan sosial perempuan berjilbab. Selain itu, jilbab juga hadir sebagai simbol puritan religiusitas, ekonomi, eksistensi diridan simbol daya tarik perempuan dalam konteks Indonesia yang populasi terbesar warga negaranya adalah umat Islam.

There are various kinds and forms in the practice of wearing veil among Muslim women in Indonesia. These diversity is a construction of meaning of those various kinds of veil wearing. There are a lot of things that influence the construction of meaning. Through the social construction analysis, this research see how the process of meaning is formed within muslim women. Those meanings are formed as a response to social environment in which they are apart of. Moreover, veil is also seen as a symbol of religious-purity, economy, self-existance, and an attractive symbol of muslim women in Indonesia, where most of the population are muslims."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuni Cahaya Hati
"Indonesia merupakan bangsa polietnik yang terdiri dari keberagaman suku bangsa. Salah satu kelompok minoritas yaitu suku bangsa Tionghoa masih menjadi perdebatan mengenai penerimaannya sebagai bagian dari masyarakat Indonesia. Beberapa pihak menyatakan tidak setuju jika kelompok Tionghoa dianggap bagian masyarakat asli Indonesia. Orang Tionghoa kini mencari identitas diri dan mengartikan Tionghoa dalam kehidupan mereka. Keluarga merupakan agen yang penting mengenalkan identitas sebagai Tionghoa. Penguatan identitas terjadi ketika berinteraksi dengan orang di luar kelompoknya khususnya di sekolah. Mengamati orang muda di Belitung dalam pemaknaan identitas dari cara mereka menjalankan tradisi Tionghoa dalam kehidupan sehari-hari. Perkembangan zaman membawa pengaruh terhadap pandangan pemuda Tionghoa mengenai identitas kesukubangsaan dan identitas nasional. Kondisi sosial, ekonomi, dan politik setempat turut mempengaruhi pemaknaan identitas suatu kelompok. Pemuda Tionghoa di Belitung menyadari posisi mereka sebagai warga negara Indonesia namun tidak melupakan asul usul nenek moyang serta tradisi yang diwariskan. Menjadi Tionghoa bukan sebuah pilihan melainkan didapatkan dari keluarga. Proses sosialisasi yang terus menerus dilakukan menghasilkan pemaknaan identitas diri oleh orang muda Tionghoa Belitung.

Indonesia is a polytethnic nation that is very rich in ethnic diversities. One of the minority groups is ethnic Tionghoa that is still in a debate regarding the approval as a ethnic group of Indonesian. Some groups in Indonesia refuse to accept the ethnic Tionghoa group as a part of the Indonesian people circle. The Tionghoa people in Indonesia have been searching for their identities and meanings of being a 'Tionghoa' in their daily lives. Family is an important agent to introduce and nurture someone's identity as a 'Tionghoa'. Confirmation of 'Tionghoa' as an identity occurs whenever they interact with someone with different ethnic background. This social phenomenon especially happens in school. This paper highlights how 'Tionghoa' as a social identity is always in the process of lsquo meaning making'regarding their lived tradition among the daily lives of Tionghoa youth in the context of modernity that clearly influences their perspectives about ethnic identity and national identity. Besides that, the social, economic and political conditions in a local context also influence the lsquo meaning making'of a group's idenity. The Tionghoa youth in Belitung realizes their position as Indonesian citizens, yet they also do not forget their ancestors and tradition. Due to the continuous socialization process from the family that influences them to interpret their social identity, being a 'Tionghoa' is not a choice, but it is inherited.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S66016
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khanifah
"Dakwah nikah muda di media sosial Instagram melibatkan akun dakwah @gerakannikahmuda dan para selebgram pelaku nikah muda seperti @alvin_411, @larissachou, @natta_reza, dan @wardahmaulina_ yang memiliki pengikut ribuan sampai jutaan. Penelitian ini memetakan bagaimana identitas religius anak muda muslim dikonstruksi melalui narasi-narasi dakwah digital di media sosial baik oleh akun dakwah @gerakannikahmuda maupun akun-akun selebgram pelaku nikah muda sebagai religious influencer. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif melalui etnografi digital dengan pendekatan cultural studies untuk melihat bagaimana keterkaitan antara dakwah digital dengan konstruksi identitas religius anak muda muslim masa kini. Ditemukan bahwa dakwah nikah muda dalam akun @gerakannikahmuda dilakukan dengan strategi membangun rasa takut dan meromantisisasi nikah muda yang menunjukkan praktik digital religion. Sementara identitas religius anak muda muslim urban dikonstruksi melalui narasi kesalihan berupa penolakan terhadap pacaran dan dukungan terhadap nikah muda, serta Islamisasi gaya berpakaian perempuan dan domestikasi perempuan dinegosiasikan oleh aktor-aktor yang terlibat dalam arus dakwah nikah muda di Instagram sehingga pemaknaannya pun tidak tunggal, baik oleh para selebgram pelaku nikah muda maupun anak muda muslim sebagai audiens yaitu ada yang mengafirmasi dan ada yang menolak narasi dakwah tersebut. 

Young marriage da’wa on Instagram involved da’wa accounts @gerakannikahmuda and young married celebgram couples like @alvin_411, @larissachou, @natta_reza, and @wardahmaulina_ who have thousands and millions followers. This research described how muslim youth religious identity is constructed through digital da’wa narration in social media da’wa accounts like @gerakannikahmuda and young married couples as religious influencers. The methode used in this research is qualitative method using digital ethnography with cultural studies approach to understand how digital da’wa and muslim youth identity construction are related. The research finds that there are two strategies used by @gerakannikahmuda in their da’wa that shows digital religion practices. Those strategies are building fear and romanticizing young marriage. Meanwhile, urban muslim youth religious identity is constructed through piety narration that condemn courthsip and encourage young marriage, islamization on women’s clothing style, and the domestication of women. Those are being negotiated by young married couples and da’wa audiences so the interpretation is vary: either affirming or disavowing the da’wa."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bunga Insyirah Wijaya
"Fenomena Arab Spring telah berlangsung selama lebih dari 10 tahun dan berdampak pada beberapa revolusi di negara-negara Timur Tengah lainnya, termasuk Suriah. Karena konflik berkepanjangan di Suriah, kondisi ekonomi dan sosialnya pun ikut terdampak, menciptakan krisis pangan dan hilangnya rasa aman. Warga yang terkena dampak berat harus bermigrasi, baik secara paksa maupun sukarela, agar dapat hidup lebih aman. Migrasi ini mempengaruhi para migran, terutama remaja muda, pada pembentukan konsep identitas dan kepemilikan mereka. Menggunakan novel fiksi berlatar konflik Suriah berjudul Other Words for Home (2019), artikel ini menerapkan konsep ruang dan identitas untuk menganalisis cara tokoh utama dalam mendefinisikan identitasnya di ruang yang bervariasi. Artikel ini juga menggunakan metode penelitian Wee (2019) yang menggunakan tiga skala spasial, yaitu ruang publik, ruang institusional, dan ruang kamar, untuk menganalisis bagaimana imigran berinteraksi dan membangun identitasnya di setiap ruang. Hipotesis dari artikel ini adalah bahwa hubungan ruang dan identitas saling mempengaruhi satu sama lain dalam konteks konstruksi identitas imigran muda. Temuan artikel menunjukkan bahwa konstruksi identitas imigran muda terjadi sesuai dengan situasi spasial yang ada, karena cara imigran berinteraksi di setiap ruang berbeda satu sama lain.

The Arab Spring phenomenon has been going on for more than 10 years and has had an impact on several revolutions in other Middle East countries, including Syria. Due to the prolonging conflict in Syria, the economic and social situations are affected, creating food crisis and the loss of security. The citizens who are heavily affected have to migrate, whether it is forcibly or voluntarily, in order to live more securely. This migration affected the migrants, especially the young adolescent, on their concept of identity and belonging. Using a fiction novel set in the Syrian conflict, titled Other Words for Home (2019), this article uses the concept of the space and identity to analyze the main character‟s way in defining her identity in the moving spaces. The article also models Wee (2019)‟s research by using the three spatial scales, which are public spaces, institutional spaces, and room spaces, in order to analyze how the immigrant interact and construct her identity on each space. The hypothesis of the article is that space and identity relation are mutually reciprocated in the context of young immigrants' identity construction. The finding of the article suggests that identity construction of young immigrants is spatially situated, as the immigrant‟s way of interacting in each space differs from one to another."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rara Anggraini
"Fenomena hubungan Friends With Benefit (FWB) yang terjadi terutama di kalangan Anak muda Indonesia sedang dibahas dan dilakukan selama hampir beberapa tahun tahun terakhir. Penelitian ini bertujuan untuk melihat mengapa hubungan FWB sering terjadi terkait dengan hal-hal yang mengarah pada seksualitas dan juga ingin menggambarkan
bagaimana orang-orang muda ini memaknai hubungan yang mereka jalani. Penelitian ini menggunakan wawancara mendalam dengan enam orang muda yang memiliki atau terlibat dalam hubungan FWB. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengalaman remaja mendapatkan manfaat yang berbeda-beda, bisa berupa seks dan non-seksualitas. Makalah ini kemudian melihat bahwa hubungan FWB dapat dinyatakan
berbeda tergantung individunya.
The phenomenon of the Friends With Benefit (FWB) relationship that occurs especially among young Indonesians is being discussed and carried out for almost the last few years. This study aims to see why FWB relationships often occur related to things that lead to sexuality and also want to describe how these young people define their relationships. This study uses in-depth interviews with six young people who have or are involved in FWB relationships. The results of this study indicate that the experience of adolescents getting different benefits, can be in the form of sex and non-sexuality. This paper then sees that the FWB relationship can be expressed
different depending on the individual."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>