Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 156385 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Azzura Salsabilla Puspariyan Putri
"Selain membentuk identitas diri, remaja juga mulai membentuk social identity yang dapat diperoleh dengan bergabung dalam peer group. Social identity dalam peer group menjadi salah satu penentu psychological well-being bagi remaja untuk mengatasi stres dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, masih sedikit penelitian yang secara khusus menyoroti social identity pada remaja akhir dalam konteks peer group. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah social identity dalam peer group memiliki hubungan positif yang signifikan dengan psychological well-being pada remaja akhir. Instrumen penelitian yang digunakan adalah Social Identity Scale (SIS) untuk mengukur social identity dalam peer group dan Ryff’s Psychological Well-being Scale (RPWBS) untuk mengukur psychological well-being. Partisipan penelitian ini adalah Warga Negara Indonesia (WNI) berusia 18–20 tahun (M = 19,03, SD = 0,74). Hasil Spearman Correlation menunjukkan bahwa social identity dalam peer group dan psychological well-being memiliki korelasi yang signifikan dengan rs(160) = .138, p = .041, one-tailed. Artinya, semakin tinggi tingkat social identity dalam peer group pada remaja akhir, maka semakin tinggi tingkat psychological well-being.

In addition to forming their self identity, adolescents also begin to form a social identity that can be obtained by joining peer groups. Social identity within peer groups is one of the determinants of psychological well-being for adolescents to cope with stress in daily life. However, there is still limited research that specifically highlights social identity in late adolescents in the context of peer groups. Therefore, this study aims to investigate whether social identity within peer groups has a significant positive relationship with psychological well-being in late adolescents. The research instruments used were the Social Identity Scale (SIS) to measure social identity within peer groups and the Ryff's Psychological Well-being Scale (RPWBS) to measure psychological well-being. The participants in this study were Indonesian citizens aged 18–20 years old (M = 19,03, SD = 0,74). The results of the Spearman Correlation showed that social identity within peer groups and psychological well-being had a significant correlation with rs(160) = .138, p = .041, one-tailed. This means that the higher the level of social identity within peer groups in late adolescents, the higher the level of psychological well-being."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Majolika Syakira Devi
"Eksplorasi identitas dalam transisi ke masa perkembangan dewasa muda pada remaja akhir dapat menimbulkan stres yang menghambat keberfungsian dalam kehidupan sehari-hari, bahkan dapat menimbulkan gejala gangguan psikologis apabila tidak memiliki psychological adjustment yang baik. Social identity merupakan salah satu aspek konsep diri yang terbentuk oleh kelompok sosial, dan menjadi salah satu sumber pengembangan identitas yang penting. Dengan prevalensi peer group yang memiliki peran besar dalam pengembangan identitas pada masa remaja, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara social identity pada remaja akhir dalam kelompok teman sebaya dengan psychological adjustment. Pengambilan data dilakukan dengan metode convenience sampling secara daring dengan menggunakan Social Identity Scale dan BASE-6 pada 160 partisipan dengan rentang umur 18 hingga 20 tahun (N = 160; M = 19,04; SD = 0,751). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara social identity dan psychological adjustment. Dapat disimpulkan dari penelitian ini bahwa psychological adjustment yang baik tidak berhubungan dengan tinggi atau rendahnya social identity remaja akhir dalam kelompok teman sebaya.

Exploration of identity during the transition to young adulthood in late adolescence can lead to stress that hinders daily functioning and may even cause symptoms of psychological disorders if good psychological adjustment is not present. Social identity is an aspect of self-concept formed by social groups and is an important source of identity development. Given the significant role peer groups play in identity development during adolescence, this study aims to examine the relationship between social identity in late adolescence within peer groups and psychological adjustment. Data collection was conducted using convenience sampling online, utilizing the Social Identity Scale and BASE-6, with 160 participants aged 18 to 25 years (N = 160; M = 19,04; SD = 0,751). The results of this study indicate that there is no significant relationship between social identity and psychological adjustment. It can be concluded from this study that good psychological adjustment is not related to the high or low social identity of late adolescents within peer groups."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Titiana Rahma Ramadan
"Banyaknya faktor risiko yang mungkin dialami oleh remaja yang tinggal di panti asuhan, membuat well-being pada mereka penting untuk diperhatikan. Salah satu faktor risiko tersebut adalah mereka tidak tinggal bersama orang tua. Oleh karena itu, peer attachment diasumsikan berperan penting dalam kehidupan mereka.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara peer attachment dan subjective well-being pada remaja panti asuhan di Jakarta. Penelitian ini bersifat korelasional dengan melibatkan responden remaja berusia 12 hingga 18 tahun yang tinggal menetap di panti asuhan, di 5 wilayah di Jakarta N=132, L= 66.
Terdapat tiga instrumen penelitian yang digunakan, yaitu Satisfaction with Life Scale SWLS untuk mengukur kepuasan hidup, Positive and Negative Affect Schedule PANAS untuk mengukur afek positif dan negatif, serta Inventory of Parent and Peer Attachment Revised Version IPPA untuk mengukur peer attachment.
Hasil analisis menunjukan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara peer attachment dan kepuasan hidup ,250, p0,01 serta afek negatif -,025, p>0,01.

The well being of orphanage adolescents is important to be considered as there are numbers of risk factors that they may experience throughout their life. One of those risk factors is that they do not live with their parents. Therefore, peer attachment is assumed to take an important role in their life.
The aim of this study is to find out whether there is a relationship between peer attachment and subjective well being of orphanaged adolescents in Jakarta. This is a correlational study with adolescents from age 12 to 18 years living in orphanage in 5 area in Jakarta as a respondents N 132.
Instruments used in this study are, Satisfaction with Life Scale SWLS to measure life satisfaction, Positive and Negative Affect Schedule PANAS to measure positive and negative affect, and Inventory of Parent and Peer Attachment Revised Version IPPA to measure peer attachment.
The results show that there is a positive and significant relationship between peer attachment and life satisfaction ,250, p0,01 and negative affect ,025, p 0,01.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusrina Ilmia Rosa
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara penerimaan kelompok teman sebaya dan kesejahteraan psikologis pada remaja dari keluarga miskin kota. Kesejahteraan psikologis sendiri didefinisikan Ryff (1989) sebagai apa saja yang dibutuhkan individu untuk sehat secara psikologis dengan memenuhi enam dimensi yang ada. Sedangkan penerimaan kelompok teman sebaya didefinisikan Hurlock (1993) didefinisikan sebagai keberadaan seseorang dinilai menyenangkan dan memberikan positive reinforcement bagi sekelompok teman sebayanya. Kesejahteraan psikologis diukur menggunakan Ryff's Psychological Well-Being (1989) yang merupakan hasil adaptasi dari penelitian sebelumnya oleh Fitri (2012). Kemudian variabel penerimaan kelompok teman sebaya diukur menggunakan alat ukur Penerimaan Peer yang dibuat oleh Ningrum (2009) serta dikonstruk berdasarkan teori Asher dan William (1987). Penelitian ini dilakukan kepada 122 partisipan dan berdomisili di Jakarta, Bogor, Depok, dan Tangerang. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara penerimaan kelompok teman sebaya dan kesejahteraan psikologis pada remaja yang berasal dari keluarga miskin perkotaan yang berarti bahwa semakin tinggi penerimaan kelompok teman sebaya maka remaja juga cenderung memiliki kesejahterann psikologis yang tinggi.

The objective of this study is to examine the relationship between peer group acceptance and psychological well-being among adolescents from poor urban family. Psychological well-being itself was defined by Ryff (1989) as what it means to be in good psychological health by accomplish six dimension of psychological well-being, while Hurlock (1993) defined peer group acceptance as the extent to which the presence of a person judged to be fun and provide positive reinforcement for their peer. Psychological well-being was measured using Ryff's Psychological Well-Being (1989) which was adapted from previous study by Fitri (2012). Then peer group acceptance's variable was measured with Penerimaan Peer measuring instrument by Ningrum (2009) which is constructed based on Asher and William's theory (1987). This study was conducted to 122 participants who lived in Jakarta, Bogor, Depok and Tangerang. The result of this study shows that there is a positively significant relationship between peer group acceptance and psychological well-being among adolescents from poor urban family, it means that when the peer group acceptance in adolescents are high, the psychological well being in adolescents will be high too."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S45514
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Hanny Kurniawan
"Peer attachment pada masa remaja awal merupakan salah satu faktor penting untuk kesehatan dan kesejahteraan (well-being) baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Perkembangan teknologi memudahkan remaja mencari hiburan saat pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat guna menekan penyebaran COVID-19 salah satunya dalah untuk mengakses musik K-Pop. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara peer attachment dan well-being pada remaja dengan relasi parasosial penggemar K-Pop. Hipotesis utama pada penelitian ini adalah terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara peer attachment dan well-being. Analisis pada penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan melihat nilai besaran korelasi Pearson pada 615 remaja penggemar K-Pop WNI berusia 15–19 tahun. Instrumen yang digunakan untuk mengukur variabel peer attachment adalah Inventory of Parent and Peer Attachment (IPPA) dan EPOCH (Engagement, Perseverance, Optimism, Connectedness, dan Happiness) untuk well-being. Kuesioner disebarkan secara daring menggunakan Google Form. Hasil menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara peer attachment dan well-being pada remaja penggemar K-Pop dengan relasi parasosial. Berdasarkan hasil tersebut, diketahui hasil penelitian ini mendukung hipotesis yang sudah disusun. Implikasi penelitian ini adalah sebagai pengembangan dan penambahan pengetahuan terkait hubungan peer attachment dan well-being.

Peer attachment in early adolescence is an important factor for health and well-being in bot.h the short and long term. Technological developments make it easier for teenagers to find entertainment when restrictions on community activities are imposed to suppress the spread of COVID-19, one of which is to access K-Pop music. This study aims to look at the relationship between peer attachment and well-being in adolescents with K-Pop fans' parasocial relationships. The main hypothesis in this study is that there is a significant and positive relationship between peer attachment and well-being. The analysis in this study used a quantitative method by looking at the value of the Pearson correlation in 615 young Indonesian K-Pop fans aged 15–19 years. The instruments used to measure peer attachment variables are the Inventory of Parent and Peer Attachment (IPPA) and EPOCH (Engagement, Perseverance, Optimism, Connectedness, and Happiness) for well-being. The questionnaire was distributed online using the Google Form. The results show that there is a significant and positive relationship between peer attachment and well-being in young K-Pop fans with parasocial relationships. Based on these results, it is known that the results of this study support the hypotheses that have been prepared. The implication of this research is to develop and add knowledge regarding the relationship between peer attachment and well-being"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yasmin Firoh
"Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara religious coping dan psychological well-being pada remaja panti asuhan di Jakarta. Banyaknya pengalaman negatif yang dialami oleh remaja panti asuhan, membuat remaja tidak berdaya yang berpengaruh pada kesejahteraan psikologis. Oleh karena itu, penting bagi remaja panti asuhan untuk mampu melakukan coping yang efektif agar psychological well-being mereka menjadi lebih baik, salah satunya dengan penggunaan religious coping. Penelitian ini bersifat korelasional dengan menggunakan sampel remaja panti asuhan usia 12 - 20 tahun dan telah menetap setidaknya selama satu tahun di panti asuhan N = 138, laki-laki = 70. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian adalah Ryffs Scales of Psychological Well-Being untuk mengukur psychological well-being dan Brief RCOPE untuk mengukur religious coping. Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara positive religious coping dan psychological well being r = .397, p < .01, dan hubungan negatif yang signifikan antara negative religious coping dan psychological well-being r = -.194, p < .05.

The purpose of this study is to find out the relationship between religious coping and psychological well being in adolescents at orphanages in Jakarta. The number of negative experiences happened to adolescents in orphanages, it makes them helpless and affects their psychological well being. Therefore, it is important for them to be able in performing effective coping to enhance their psychological well being, one of the way by the use of religious coping. This study was correlational by using a sample of adolescents orphans aged 12 to 20 years and has been living for at least one year in an orphanage N 138, male 70. The instruments used in this study were Ryff 39 s Scales of Psychological Well Being to measure psychological well being and Brief RCOPE to measure religious coping. The result of correlation analysis shows that there is a significant positive correlation between positive religious coping and psychological well being r .397."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Priskila Hilary
"ABSTRAK
Pemusik orkestra memiliki tuntutan dan tantangan yang tinggi untuk selalu menampilkan permainan musik yang sempurna. Hal ini membuat mereka memaksa diri dalam berlatih dan memiliki toleransi yang rendah terhadap kekurangan dan kesalahan diri. Hal ini membuat pemusik orkestra memerlukan self-compassion agar tidak melakukan hal yang destruktif terhadap diri mereka. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara self-compassion dan psychological well-being pada pemusik orkestra. Penelitian ini menggunakan metode korelasi. Pengukuran self?compassion menggunakan alat ukur Self-Compassion Scale (Neff, 2003) dan alat ukur Ryff?s Scale of Psychological Well-Being (Ryff , 1989). Partisipan penelitian adalah sebanyak 104 pemusik orkestra. Hasil penelitian menunjukan bahwa hipotesis null penelitian ditolak (rs=0.465 dan p=0.000), yang berarti terdapat hubungan positif yang signifikan antara self-compassion dan psychological well-being pada permusik orkestra. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk merancang intervensi pelatihan self-compassion bagi pemusik orkestra agar dapat meningkatkan psychological well-being.

ABSTRAK
Orchestra musicians have a lot of demands and high challenges to always perform in a perfect way. These things make them hard on themselves when practicing and make them have a low tolerance on their inadequacies and failure. They need to be self-compassionate to themselves so that they will not do a destructive action to themselves. This study aims to look at the relationship between self-compassion and psychological well-being of orchestra musicians. This study uses correlation method. Self-compassion was measured using Self-Compassion Scale (Neff ,2003). Psychological well-being was measured using Ryff?s Scale of Psychological Well-Being (Ryff, 1989). The respondents of the study are 104 orchestra musicians. There is significant evidence to reject the null hypothesis (rs=0.465 dan p=0.000), which can conclude that there is a positive and significant relationship between self-compassion and psychological well-being of orchestra musicians. These results are hoped to be useful in planning interventions self-compassion training, so that they can promote their psychological well-being."
2016
S63689
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zahrotul Mufidah Rahiyan
"Penggemar budaya industri K-Pop semakin banyak bermunculan dari berbagai kalangan, tidak terkecuali remaja. Fenomena terkini menunjukkan bahwa penggemar K-Pop memiliki well-being yang baik. Salah satu faktor yang memengaruhi well-being adalah self-eficacy. Self-eficacy individu dapat berbeda-beda pada setiap domain spesifik dalam kehidupan mereka, salah satunya domain sosial. Penelitian ini melihat hubungan antara social self-eficacy dan well-being menggunakan metode kuantitatif. Karakteristik partisipan penelitian ini adalah remaja berusia 15–19 tahun dan penggemar K-Pop (N = 579). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Self-Ef icacy Questionnaire for Children dan EPOCH Measure of Adolescents Well-Being. Hasil analisis korelasi Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara social self-ef icacy dan well-being (r(579) = .523). Hubungan positif yang signifikan juga ditemukan antara social self-ef icacy dan engagement (r(579) = .184), perseverance (r(579) = .368), optimism (r(579) = .325), connectedness (r(579) = .428), serta happiness (r(579) = .432). Implikasi dari penelitian ini adalah remaja dan orang dewasa di sekitarnya perlu bekerja sama untuk berpartisipasi dalam membangun self-ef icacy pada diri remaja karena semakin baik tingkat self-ef icacy pada domain sosial, maka akan semakin baik pula well-being mereka, dan sebaliknya.
Fans of the South Korean pop music industry’s culture are increasingly emerging from various backgrounds, including teenagers. Recent phenomena show that K-Pop fans have good well-being. One of the factors that influence well-being is self-efficacy. Individual self-efficacy can vary in each specific domain in their life. This study looks at the relationship between social self-efficacy and well-being using quantitative methods. The participants in this study were adolescents aged 15–19 years and K-Pop fans (N = 579). The instruments used in this study were the Self-Efficacy Questionnaire for Children and the EPOCH Measure of Adolescents Well-Being. The results of the Pearson correlation analysis show that there is a significant positive relationship between social self-efficacy and well-being (r(579) = .523). Significant positive relationship also found between social self-efficacy and engagement (r(579) = .184), perseverance (r(579) = .368), optimism (r(579) = .325), connectedness (r(579) = .428), also happiness (r(579) = .432). The implication of this research is that adolescents and adults around them need to work together to participate in building self-efficacy in adolescents because the better the level of social self-efficacy, the better their well-being will be, and vice versa."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elizabeth Edith
"Individu dalam usia dewasa muda akan memasuki dunia pekerjaan dan menghadapi berbagaitekanan psikologis. Tekanan tersebut mengakibatkan tingginya tingkat kecemasan dan stress pada pekerja. Pekerja membutuhkan kreativitas untuk menurunkan tingkat stress sehingga psychological well-being dapat tercapai. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara persepsi kreativitas diri dalam pekerjaan dengan psychological well being pada dewasa muda. Penelitian ini dilakukan pada 173 partisipan. Kreativitas dalam pekerjaan diukur menggunakan self-perception of creativity(Reiter-Palmon, Robinson-Morral, Kaufman, & Santo, 2012), sedangkan Psychological Well-Being Scale (Ryff, 1989) digunakan untuk mengukur psychological well-being.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kreativitas dalam pekerjaan dan psychological well-being (rs= 0,388; p= 0.000, signifikan pada L.o.S 0.01). Penelitian selanjutnya diharapkan memperhatikan data kontrol seperti usia partisipan pada jenis kreativitas tertentu serta menggunakan pengukuran kreativitas yang lebih objektif.

A person in early adulthood is filled with many changes and developments. In Indonesia, early adults are concerned with career selection and career longevity. They will facing various psychological strains especially at work. That strains resulted in high levels of anxiety and stress on workers in Indonesia. Workers need creativity to reduce the level of stress caused by continuously psychological strains, so that psychological well-being can be achieved. This study aim to find correlation between self-perceptions of creativity at work and psychological well-being in early adulthood. 173 people participated in this study. Self-percetion of creativity at work was measured using Self-perception of creativity (Reiter-Palmon, Robinson-Morral, Kaufman, & Santo, 2012), and Psychological Well-Being Scale (Ryff, 1989) used for measuring psychological well-being.
Result of this study showed that there is a significant positive relationship between self-pereption of creativity at work and psychological well-being(rs= 0,388; p= 0.000, significant at L.o.S 0.01). Further research should consider the control data such as the age of the participants in a particular kind of creativity and using more objective instrument for measuring creativity.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S63444
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Binarti Farliani
"Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara parental attachment, peer attachment, dan psychological well-being pada mahasiswa tahun pertama di Universitas Indonesia. Mahasiswa tahun pertama yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mahasiswa angkatan 2011 dari dua belas fakultas dan program vokasi (D3) yang ada di Universitas Indonesia. Penelitian ini menggunakan kuesioner sebagai alat pengambil data yang kemudian diolah dengan menggunakan Pearson Correlations. Alat ukur parental dan peer attachment yang digunakan adalah Inventory of Parent and Peer Attachment Revisited (IPPA-R) dari Armsden dan Greenberg (2009), sedangkan alat ukur psychological well-being yang digunakan adalah Ryff`s Scales of Psychological Well-Being (RPWB) yang diadaptasi dari penelitian sebelumnya oleh Yorikedesvita dan Puspa (2012). Dengan menggunakan partisipan sebanyak 169 mahasiswa, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara parental attachment dan peer attachment dengan psychological well-being. Artinya, semakin tinggi parental dan peer attachment yang dimiliki seseorang, maka semakin tinggi pula psychological well-being yang ia miliki. Selain itu, ditemukan juga bahwa terdapat perbedaan mean yang signifikan dari nilai parental attachment, peer attachment, dan psychological well-being berdasarkan data kontrol partisipan.

This research was conducted to find the correlation between parental attachment, peer attachment, and psychological well-being of first year students in Universitas Indonesia. First year students in this research was class of 2011 students from twelve faculties and vocational program in Universitas Indonesia. This research used questionnaires to collect the data and then analyzed it with Pearson Correlations. Parental and peer attachment was measured by the Inventory of Parent and Peer Attachment Revisited (IPPA-R) from Armsden and Greenberg (2009), while the psychological well-being was measured by Ryff?s Scales of Psychological Well-Being (RPWB) that modified from previous research by Yorikedesvita and Puspa (2012). Involving 169 students, the results of this study show that there is a significant positive correlation between parental and peer attachment to the psychological well-being. This results indicate that the higher the parental and peer attachment a person have, the higher the psychological well-being that he has. In addition, it was found that there are significant differences in mean values of parental attachment, peer attachment, and psychological well-being based on participants demographic data.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>