Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 176522 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Cathlin Lita Michaelia Br. Manik
"Maraknya praktik job hopping pada generasi Z mencerminkan rendahnya komitmen afektif yang terbentuk pada generasi ini. Mengingat bahwa generasi Z akan segera mendominasi pasar tenaga kerja dan karakteristik mereka yang cenderung tidak ragu untuk berpindah kerja, menjadi penting untuk menguji faktor yang dapat meningkatkan komitmen afektif pada generasi ini. Penelitian ini bertujuan untuk menguji peran kemajuan tujuan karier sebagai moderator dalam hubungan antara pekerjaan layak dan komitmen afektif pada karyawan generasi Z. Penelitian dilakukan pada 346 karyawan berusia 20–29 tahun yang berstatus sebagai karyawan tetap, WNI, dan telah bekerja minimal 3 bulan. Hasil pengujian SPSS Process Hayes menunjukkan bahwa kemajuan tujuan karier terbukti memiliki efek moderasi signifikan pada hubungan antara pekerjaan layak dan komitmen afektif pada karyawan generasi Z di Indonesia (t = 2.123, p = 0.034 < 0.05). Temuan penelitian ini menekankan pentingnya kemajuan tujuan karier dalam meningkatkan komitmen afektif, meskipun pekerjaan layak juga memainkan peran penting bagi karyawan generasi Z. Penelitian ini dapat menjadi acuan bagi perusahaan dalam mengembangkan strategi untuk meningkatkan komitmen afektif karyawan khususnya pada generasi Z, seperti melalui branding mengenai jenjang karier di media sosial, sehingga fenomena job hopping dapat diminimalisasi.

The prevalence of job hopping among Generation Z reflects their low affective commitment. As Generation Z is set to dominate the labor market and tends to frequently change jobs, it is crucial to explore factors that can enhance their affective commitment. This study examines the role of career goal progress as a moderator in the relationship between decent work and affective commitment among Generation Z employees. The study involved 346 employees aged 20–29 who are permanent employees, Indonesian citizens, and have worked for at least 3 months. SPSS Process Hayes moderation testing showed that career goal progress significantly moderates the relationship between decent work and affective commitment in generation Z employees in Indonesia (t = 2.123, p = 0.034 < 0.05). The findings of this study emphasize the importance of career goal progress in increasing affective commitment, although decent work also plays an important role for generation Z employees. This research can serve as a reference for companies in developing strategies to increase the affective commitment of employees, especially in generation Z, such as through branding about career paths on social media, so that the phenomenon of job hopping can be minimized."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farha Nuraqyla Kesuma Wardhana
"Terdapat fenomena yang umum terjadi pada karyawan generasi Z, yaitu job hopping atau sering berpindah-pindah pekerjaan. Fenomena job hopping ini mencerminkan kurangnya komitmen afektif yang dimiliki oleh karyawan, di mana karyawan tidak memiliki keterikatan emosi, identifikasi, dan keterlibatan yang cukup dengan perusahaan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran moderasi persepsi dukungan atasan dalam hubungan antara pekerjaan layak dan komitmen afektif sebagai usaha untuk menghadapi fenomena tersebut. Partisipan yang terlibat dalam penelitian ini adalah 346 orang karyawan generasi Z berusia 20-29 tahun, berwarga negara Indonesia, sudah bekerja selama minimal 3 bulan, berstatus karyawan tetap, dan memiliki atasan langsung di tempat kerja. Uji moderasi Hayes menghasilkan temuan bahwa persepsi dukungan atasan terbukti secara signifikan memoderasi hubungan antara pekerjaan layak dan komitmen afektif (t = 2.665, p = 0.008 < 0.05). Dalam hal ini, persepsi dukungan atasan berperan dalam memperkuat hubungan antara pekerjaan layak dan komitmen afektif. Implikasi penelitian ini menyoroti pentingnya persepsi dukungan atasan untuk meningkatkan komitmen afektif karyawan generasi Z. Selain itu, pekerjaan layak juga berperan penting untuk mengembangkan komitmen afektif yang dimiliki. Melalui usaha ini, diharapkan fenomena job hopping pada karyawan generasi Z dapat diatasi

There is a common phenomenon among Generation Z employees, known as job hopping or frequently changing jobs. This job hopping phenomenon reflects the lack of affective commitment possessed by employees, where employees do not have sufficient emotional attachment, identification, and involvement with the company. This research aims to examine the moderating role of perceived superior support in the relationship between decent work and affective commitment as an effort to deal with this phenomenon. In this research, the participants involved were 346 generation Z employees aged 20-29 years, Indonesian citizens, had worked for at least 3 months, had permanent employee status, and had a direct supervisor at work. The Hayes moderation test resulted in the finding that perceived superior support was proven to significantly moderate the relationship between decent work and affective commitment (t = 2.665, p = 0.008 < 0.05). In this case, perceived supervisory support plays a role in strengthening the relationship between decent work and affective commitment. The implications of this research highlight the importance of perceived superior support in increasing the affective commitment of generation Z employees. Additionally, decent work also plays an important role in developing their affective commitment. Through this effort, it is hoped that the job hopping phenomenon among generation Z employees can be overcome."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adis Aura Maharani
"Karyawan Generasi Z seringkali dianggap tidak memiliki komitmen organisasi yang tinggi. Meskipun begitu, adanya perilaku job crafting diketahui dapat meningkatkan komitmen afektif karyawan terhadap organisasi. Dengan menggunakan kerangka job characteristic model, penelitian ini bertujuan untuk menguji dan membuktikan peran dari job crafting sebagai mediator dalam hubungan antara kepemimpinan yang memberdayakan dan komitmen afektif pada karyawan Generasi Z. Partisipan penelitian merupakan karyawan di perusahaan swasta dan BUMN di Indonesia dengan minimal 1 tahun bekerja di bawah kepemimpinan atasan langsung (N = 133). Pengambilan data menggunakan teknik convenience dan snowball sampling melalui survei daring. Data dianalisis menggunakan teknik Hayes’ simple mediation model menggunakan PROCESS versi 4.2 pada SPSS v20. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan tidak langsung yang signifikan antara kepemimpinan yang memberdayakan dengan komitmen afektif melalui job crafting. Namun, kepemimpinan yang memberdayakan masih dapat memprediksi komitmen afektif secara signifikan ketika job crafting dikontrol. Dengan demikian, job crafting secara parsial memediasi hubungan antara kepemimpinan yang memberdayakan dan komitmen afektif. Hasil ini dapat menjadi acuan bagi perusahaan untuk mengadopsi gaya kepemimpinan yang memberdayakan yang sesuai dengan karakteristik Generasi Z untuk dapat meningkatkan perilaku job crafting dan komitmen afektif mereka.

Generation Z employees are often seen as not having high organizational commitment. However, job crafting behavior has been shown to increase employee affective commitment to the organization. Using the framework of job characteristic model, this study aims to examine and prove the role of job crafting as a mediator in the relationship between empowering leadership and affective commitment to the organization. Research participants are employees in private and state-owned companies in Indonesia with a minimum of 1 year working under their direct leader (N = 133). Data collection was done using convenience techniques and snowball sampling through online surveys. Data were analyzed using Hayes' simple mediation model technique using PROCESS version 4.2 on SPSS v20. The results showed that there is a significant indirect relationship between empowering leadership and affective commitment through job crafting. However, empowering leadership still significantly predicts affective commitment when job crafting is controlled. Thus, job crafting partially mediates the relationship between empowering leadership and affective commitment. The results of this study can be a reference for companies to adopt an empowering leadership style that is compatible with the characteristics of Generation Z in order to improve their job crafting behavior and affective commitment."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Kinanti Kesuma Dewi
"Generasi Z merupakan generasi termuda yang saat ini mulai memasuki dunia kerja dan diperkirakan jumlahnya akan terus bertambah. Namun, karyawan Generasi Z diketahui memiliki intensi turnover yang tinggi. Dengan menggunakan kerangka teori Conservation of Resources (COR) penelitian ini bertujuan untuk menguji peran komitmen afektif dalam memediasi pengaruh meaningful work terhadap intensi turnover pada karyawan Generasi Z. Partisipan dalam penelitian ini merupakan karyawan Generasi Z (usia 18-28 tahun) dengan masa kerja minimal 1 tahun (N = 203). Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan teknik convenience sampling dengan menyebarkan kuesioner secara daring. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: Turnover Intention Scale, Work and Meaning Inventory, dan Affective Commitment Scale. Data dianalisis dengan menggunakan program PROCESS versi 4.2 Model 4 pada SPSS versi 23. Hasil analisis data menunjukkan bahwa komitmen afektif memediasi penuh pengaruh meaningful work terhadap intensi turnover. Berdasarkan hasil tersebut, implikasi praktis dari penelitian ini adalah organisasi dapat mengurangi intensi turnover dengan menerapkan strategi yang dapat memunculkan meaningful work dan komitmen afektif pada karyawan Generasi Z.

Generation Z is the youngest generation starting to enter the working world, and the number of Generation Z in the working world will continue to grow. However, Generation Z employees are known to have high turnover intentions. Using the Conservation of Resources (COR) theoretical framework, this study examines the mediating role of affective commitment in the effect of meaningful work towards turnover intentions in Generation Z employees. Participants in this study were Generation Z employees (age 18-28 years) with years of service at least one year (N = 203). Data was collected using a convenience sampling technique by distributing questionnaires online. The instruments used in this study include Turnover Intention Scale, Work and Meaning Inventory, and Affective Commitment Scale. Data were analyzed using the PROCESS program version 4.2 Model 4 in SPSS version 23. The results of the data analysis showed that affective commitment fully mediates the effect of meaningful work towards turnover intention. Based on these results, the practical implication is that organizations can reduce turnover intention by implementing strategies that generate meaningful work and affective commitment in Generation Z employees."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adlina Hardhati Prameswari
"Salah satu kecenderungan generasi Z yang mulai memasuki dunia kerja adalah job-hopping, yaitu berpindah perusahaan dalam waktu singkat, yang dapat dijelaskan oleh rendahnya komitmen organisasi. Beberapa penelitian sebelumnya menemukan adanya hubungan positif antara komitmen organisasi dengan modal psikologis dan kreasi kerja. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara ketiga variabel tersebut serta mengeksplorasi peran kreasi kerja sebagai mediator dalam hubungan antara modal psikologis dan komitmen organisasi pada karyawan generasi Z di Indonesia. Studi kuantitatif ini melibatkan 159 karyawan generasi Z di Indonesia dengan pengalaman minimal satu tahun. Penelitian ini menggunakan metode korelasional dengan alat ukur Organizational Commitment Questionnaire (OCQ), Psychological Capital Questionnaire-12 (PCQ-12), dan Job Crafting Scale (JCS). Hasil penelitian ini menunjukkan adanya korelasi positif antara ketiga variabel dan kreasi kerja memediasi sebagian hubungan antara modal psikologis dan komitmen organisasi. Penelitian ini dapat menjadi dasar organisasi untuk meningkatkan komitmen organisasi karyawan dengan mengadakan pelatihan serta intervensi.

One of the tendencies of Generation Z entering the workforce is job-hopping, or switching companies in a short period of time, that can be explained by low organisational commitment. Previous studies have found positive relationship between organisational commitment, psychological capital, and job crafting. This study aims to examine the relationship between these three variables and explore the role of job crafting as a mediator in the relationship between psychological capital and organisational commitment among Generation Z employees in Indonesia. This quantitative study involved 159 generation Z employees in Indonesia. This study used correlational method with the Organizational Commitment Questionnaire (OCQ), Psychological Capital Questionnaire-12 (PCQ-12), and Job Crafting Scale (JCS). Results showed a positive correlation between the three variables and job crafting partially mediated the relationship between psychological capital and organisational commitment. The research is expected to be a reference for employees to improve organisational commitment by conducting training and interventions."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shafa Salsabila Karim
"Ketika bertransisi dari kuliah ke dunia kerja, Generasi Z ditemukan mengalami kesenjangan soft skills, kurang mengetahui potensi diri dan minat karier, dan khawatir tidak bisa mendapat pekerjaan yang diinginkan. Fenomena tersebut mengindikasikan bahwa mereka belum memiliki adaptabilitas karier yang baik. Adaptabilitas karier adalah sumber daya psikososial yang dapat membantu Generasi Z untuk menghadapi masa transisi dan tantangan dalam berkarier. Kepribadian proaktif adalah faktor yang kritis dalam pembentukkan adaptabilitas karier dan dapat membantu Generasi Z untuk bertahan dalam lingkungan kerja yang tidak terprediksi. Selain itu, agar Generasi Z bisa terus memenuhi tuntutan dunia karier yang kompleks, kemampuan self-directed learning (SDL) menjadi penting untuk dimiliki. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran SDL dalam memediasi hubungan antara kepribadian proaktif dan adaptabilitas karier. Partisipan penelitian adalah 131 lulusan baru Generasi Z yang sudah bekerja atau magang selama maksimal 1 tahun. Hasil analisis regresi dengan Hayes Macro PROCESS menunjukkan bahwa SDL memediasi parsial hubungan antara kepribadian proaktif dan adaptabilitas karier. Artinya, SDL tidak sepenuhnya menjelaskan hubungan antara kepribadian proaktif dan adaptabilitas karier. Penelitian ini merekomendasikan Generasi Z agar memanfaatkan kepribadian proaktifnya yang tinggi untuk mengoptimalkan adaptabilitas kariernya. Penyedia kerja dapat menyediakan mentoring karier atau coaching untuk memfasilitasi pengembangan adaptabilitas karier Generasi Z.

In transitioning from college to the workforce, Generation Z was found to experience soft skills gaps, lack of self-potential and career interests understanding, and worry about securing their desired job. This phenomenon indicates that they do not have good career adaptability. Career adaptability is a psychosocial resources that can help Generation Z to face transitions and challenges in their careers. Proactive personality is a critical factor affecting the formation of career adaptability and can help Generation Z to survive in an unpredictable work environment. In addition, self-directed learning (SDL) skills are important for Generation Z to meet the demands of a complex career world. This study aims to determine how SDL mediates the relationship between proactive personality and career adaptability. The participants of this study are 131 Generation Z fresh graduates with working or internship experience for a maximum of 1 year. The regression analysis result using Hayes Macro PROCESS shows that SDL partially mediates the relationship between proactive personality and career adaptability. In other words, SDL does not fully explain the relationship between proactive personality and career adaptability. This research recommends Generation Z utilize their proactive personality to continue optimizing their career adaptability. Job providers can facilitate Generation Z with career mentoring or coaching to advance their career adaptability."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anastasia Putri Astiningsih
"Saat ini, perekonomian Indonesia cukup diuntungkan dengan semakin berkembangnya perusahaan rintisan dari berbagai sektor usaha. Namun, perusahaan rintisan juga mengalami beberapa permasalahan, salah satunya tingginya tingkat turnover karyawan. Fenomena ini dapat berawal dari adanya intensi karyawan untuk berpindah pekerjaan dan keluar dari perusahaan. Terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi tingkat intensi turnover karyawan yaitu kepemimpinan kewirausahaan serta tingkat komitmen afektif yang dimiliki oleh karyawan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran hubungan antara kepemimpinan kewirausahaan dengan intensi turnover yang dimediasi oleh faktor komitmen afektif yang dimiliki oleh karyawan generasi Z. Jumlah partisipan dalam penelitian ini sebanyak 137 karyawan generasi Z yang bekerja di perusahaan rintisan, Instrumen yang digunakan adalah ELQ, Turnover Intention Scale, dan Skala Komitmen Afektif. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis mediasi sederhana model 4 dengan software program PROCESS Hayess SPSS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan tidak langsung (indirect effect) yang signifikan antara kepemimpinan kewirausahaan, komitmen afektif, dan intensi turnover (c = -0.122, p < 0.01) dan hubungan langsung (direct effect) yang signifikan antara kepemimpinan kewirausahaan dan intensi turnover (c’ =-0.131, p < 0.01). Oleh karena itu, komitmen afektif dapat berperan sebagai mediator secara parsial pada pengaruh kepemimpinan kewirausahaan terhadap intensi turnover.

At present, the Indonesian economy is quite benefiting from the growing development of startups from various business sectors. However, start-up companies also experience several problems, one of which is high turnover rates employees. This phenomenon can originate from the intention of employees to change jobs and leave the company. There are several factors that can affect the level of turnover intention employees, namely entrepreneurial leadership and the level of affective commitment possessed by employees. This study aims to describe the relationship between entrepreneurial leadership and turnover intention which is mediated by affective commitment factors owned by generation Z employees. The number of participants in this study were 137 generation Z employees who worked in startup companies. The instrument used was ELQ, Turnover Intention Scale, and the Affective Commitment Scale. The analysis technique used in this study is a simple mediation analysis technique model 4 with software the PROCESS Hayess SPSS program. The results showed that there was an indirect relationship (indirect effect) significant relationship between entrepreneurial leadership, affective commitment, and turnover intention (c = -0.122, p < 0.01) and a direct relationship (direct effect) significant relationship between entrepreneurial leadership and turnover intention (c’ = -0.131, p < 0.01). Therefore, affective commitment can act as a mediator partially on the effect of entrepreneurial leadership on turnover intention."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gwyneth Caroline Imbar
"Peristiwa yang terjadi selama pandemi Covid-19 telah mengubah dinamika kerja, dengan karyawan Generasi Z. Dengan itu, penting untuk memahami penyesuaian sistem pekerjaan untuk Generasi Z dalam memaksimalkan strengths use karyawan guna memberikan dampak positif terhadap dirinya sendiri dan organisasi. Berdasarkan berbagai penelitian, Generasi Z sangat mempertimbangkan work flexibility dan meaningful work sebagai cara untuk meningkatkan strengths use mereka. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi peran meaningful work sebagai mediator dalam hubungan antara work flexibility dan strengths use pada karyawan Generasi Z. Partisipan penelitian ini terdiri dari 357 karyawan Generasi Z, berusia 21-29 tahun, dengan komposisi 193 laki-laki dan 164 perempuan. Metode yang digunakan adalah kuantitatif non-eksperimental dengan desain within-subject posttest, menggunakan kuesioner yang dianalisis melalui uji korelasi dan regresi mediasi dengan PROCESS Macro (Model 4) di SPSS versi 27. Hasil penelitian menunjukkan meaningful work tidak signifikan dalam memediasi hubungan antara work flexibility dan strengths use (p < 0.05). Namun, work flexibility menunjukkan efek negatif signifikan pada strengths use di kategori WFH, WFO, dan working time flexibility tinggi. Hasil ini menunjukkan bahwa pengaruh work flexibility terhadap strengths use bervariasi tergantung pada kondisi tempat dan waktu kerja, dan peran mediasi meaningful work tidak terbukti signifikan. Berdasarkan hasil penelitian ini, penting untuk perusahaan menyeimbangkan fleksibilitas dan rigiditas sistem pekerjaan.

The events that occurred during the Covid-19 pandemic have changed the dynamics of work, especially for Generation Z employees. Therefore, it is important to understand the adjustment of work systems for Generation Z to maximize their strengths use, thereby providing positive impacts for both themselves and the organization. Based on various studies, Generation Z highly values work flexibility and meaningful work as ways to enhance their strengths use. This study aims to explore the role of meaningful work as a mediator in the relationship between work flexibility and strengths use among Generation Z employees. The participants of this study consisted of 357 Generation Z employees, aged 21-29 years, with 193 males and 164 females. The method used was a non-experimental quantitative design with a within-subject posttest design, using questionnaires analyzed through correlation and mediation regression tests with PROCESS Macro (Model 4) in SPSS version 27. The results showed that meaningful work was not significant in mediating the relationship between work flexibility and strengths use (p < 0.05). However, work flexibility showed a significant negative effect on strengths use in the categories of WFH, WFO, and high working time flexibility. These results indicate that the influence of work flexibility on strengths use varies depending on the conditions of place and time of work, and the mediating role of meaningful work was not proven significant. Based on these findings, it is important for companies to balance flexibility and rigidity in work systems."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meira Annisa Humaira
"Transisi angkatan kerja ke generasi Z membuat perusahaan perlu memperhatikan karakteristik unik yang dimiliki generasi Z dibandingkan generasi sebelumnya. Gen Z berani untuk berperilaku sesuai nilai yang diprioritaskannya, salah satunya adalah well-being. Hal ini berkaitan erat dengan fenomena quiet quitting. Quiet quitting merupakan karyawan yang tidak berhenti bekerja secara resmi namun tidak melampaui batas dasar kewajiban mereka. Salah satu faktor yang berhubungan dengan terjadinya quiet quitting adalah employee well-being yang rendah. Kebebasan dan kemandirian melalui job crafting berpotensi menekan perilaku quiet quitting. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran moderasi dari job crafting dalam memperlemah hubungan employee well-being dan quiet quitting. Partisipan penelitian ini berjumlah 268 karyawan generasi Z yang sedang bekerja, sudah melewati tahap probation (3 bulan), dan memiliki atasan. Pengambilan partisipan menggunakan metode convenience sampling dengan menyebarkan kuesioner secara daring. Analisis moderasi dilakukan dengan menggunakan macro process Hayes model 1. Hasil analisis data hipotesis mempunyai nilai (p) 0.170 > 0.05. Hal ini berarti tidak ada efek moderasi job crafting yang memperlemah hubungan employee well-being dan quiet quitting pada karyawan generasi Z. Hasil penelitian ini memberikan inisiatif penting bagi perusahaan untuk meningkatkan employee well-being sebagai upaya mengurangi perilaku quiet quitting.

The transition of the workforce to generation Z made companies need to pay attention to the unique characteristics that generation Z had compared to previous generations. Gen Z dared to behave according to their prioritized values, one of which was well-being. This was closely related to the phenomenon of quiet quitting. Quiet quitting was an employee who did not officially stop working but did not exceed the basic limits of their obligations. One of the factors associated with quiet quitting was low employee well-being. Freedom and independence through job crafting had the potential to suppress quiet quitting behavior. This study aimed to examine the moderating role of job crafting in weakening the relationship between employee well-being and quiet quitting. The participants of this study amounted to 268 generation Z employees who were currently working, had passed the probation stage (3 months), and had a supervisor. Participants were collected using a convenience sampling method by distributing questionnaires online. Moderation analysis was conducted using macro process Hayes model 1. The results of the hypothesis data analysis had a value (p) of 0.170 > 0.05. This meant that there was no moderating effect of job crafting that weakened the relationship between employee well-being and quiet quitting in generation Z employees. The results of this study provided important initiatives for companies to improve employee well-being as an effort to reduce quiet quitting behavior."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naditya Azzarina Nastiti Binuko
"Meningkatnya perusahaan start-up di Indonesia menarik banyak perhatian masyarakat untuk bekerja di perusahaan ini. Namun, perusahaan start-up masih belum stabil perkembangannya, sehingga karyawan diberikan tuntutan pekerjaan tinggi dan beban kerja berlebihan sehingga dapat mengarah pada burnout. Kreasi kerja diketahui dapat mengurangi burnout akibat tuntutan pekerjaan kuantitatif. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara tuntutan pekerjaan kuantitatif dengan burnout, kreasi kerja dengan burnout, serta peran kreasi kerja sebagai moderator pada tuntutan pekerjaan kuantitatif dan burnout. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode korelasional dan moderasi dengan melibatkan 136 karyawan start-up. Alat ukur yang digunakan adalah Copenhagen Psychosocial Questionnaire (COPSOQ), Oldenburg Burnout Inventory (OLBI), dan Job Crafting Scale (JCS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara tuntutan kerja kuantitatif dan burnout, terdapat hubungan negatif yang signifikan antara kreasi kerja dengan burnout, dan kreasi kerja ditemukan tidak memoderasi efek tuntutan kerja kuantitatif terhadap burnout.

The rise of start-up companies in Indonesia has attracted a lot of attention from the public to work in these companies. However, start-up companies are still not stable in their development, so employees are given high job demands and excessive workloads that can lead to burnout. Job crafting is known to reduce burnout due to quantitative job demands. This study aims to look at the relationship between quantitative job demands and burnout, job crafting and burnout, and the role of job crafting as a moderator on quantitative job demands and burnout. This study is a quantitative study with correlational and moderation methods involving 136 start-up employees. The measuring instruments used were Copenhagen Psychosocial Questionnaire (COPSOQ), Oldenburg Burnout Inventory (OLBI), and Job Crafting Scale (JCS). The results showed that there is a significant positive relationship between quantitative work demands and burnout, there is a significant negative relationship between job crafting and burnout, and job crafting was found not to moderate the effect of quantitative work demands on burnout."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>