Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 113512 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rahardjo
Jakarta: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 1976
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Indria Anggraini
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan: Prevalensi xerosis pada lanjut usia (lansia) berkisar antara
30-85%. Tatalaksana xerosis yang tidak adekuat dapat menimbulkan komplikasi. Urea
sebagai humektan dan lanolin 10% dalam petrolatum yang bersifat oklusif dan emolien
mampu memperbaiki hidrasi kulit. Penelitian ini bertujuan membandingkan efektivitas
dan efek samping krim yang mengandung urea 10% dengan lanolin 10%/petrolatum
pada pengobatan xerosis lansia.
Metode: Penelitian uji klinis acak tersamar ganda dilakukan pada 35 orang penghuni
suatu panti lansia di Jakarta. Evaluasi skin capacitance (SC), specified symptoms sum
score (SSRC), dan derajat gatal dilakukan pada awal terapi, minggu kedua dan keempat.
Setelah prakondisi selama dua minggu, setiap subjek penelitian mendapatkan pelembap
yang berbeda secara acak pada kedua tungkai bawah.
Hasil: Persentase peningkatan nilai SC setelah empat minggu lebih besar pada tungkai
yang mendapat krim urea 10% dibandingkan lanolin 10%/petrolatum (64,54% vs.
58,98%; p=0,036). Persentase penurunan SSRC setelah empat minggu tidak berbeda
antara kedua kelompok perlakuan (100%; p=0,089). Derajat gatal pada minggu kedua
menurun pada kedua kelompok, hingga menjadi tidak gatal pada seluruh SP (100%)
setelah minggu keempat. Efek samping rasa lengket lebih banyak ditemukan pada
kelompok krim urea 10% daripada lanolin10%/petrolatum, tetapi tidak bermakna secara
statistik.
Kesimpulan: Pelembap yang mengandung urea 10% meningkatkan SC lebih besar
secara bermakna daripada lanolin 10%/petrolatum setelah empat minggu pengolesan
pada tungkai lansia yang xerotik. Efek samping tersering adalah rasa lengket yang lebih
sering ditemukan pada lanolin 10%/petrolatum, tetapi tidak berbeda antar kelompok perlakuan.ABSTRACT Background and objectives: The prevalence of xerosis among elderly is 30-85%.
Inadequate treatment may result in complications. Urea as a humectant and 10% lanolin
in petrolatum as an occlusive agent and emollient can restore skin hydration. This study
aimed at comparing the efficacy and side effects of cream containing 10% urea and 10%
lanolin/petrolatum in the treatment of xerosis in elderly
Methods: A randomized, double blind clinical trial was conducted in 35 elderly from a
nursing home in Jakarta. Evaluation of skin capacitance (SC), specified symptoms sum
score (SSRC), and pruritic degree were measured at baseline, week-2 and -4 after the
start of therapy. Following a 2-week precondition period, each subject received a
random moisturizer for each limb, to be applied twice daily.
Results: The percentage of SC increase at week-4 was significantly higher in limb
receiving cream containing 10% urea than 10% lanolin/petrolatum (64.54% vs. 58.98%;
p=0.036). The percentage of SSRC decrease at week-4 did not differ between groups
(100%; p=0.089). Pruritus was equally improved in both groups at week-2, and
completely diminished at week-4. Sticky feel was more frequent in
lanolin10%/petrolatum than 10% urea cream, although not statistically significant.
Conclusion: After four-week application, moisturizer containing 10% urea gave higher
percentage of SC increase than 10% lanolin/petrolatum in the xerotic limbs of the
elderly. Sticky feeling was more frequently found in 10% lanolin/petrolatum group, but statistically not significant."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adhi Baskoro
"Paduan AC2B yang setara dengam AA 319.0 merupakan paduan hypoeutectic aluminium-silikon, termasuk dalam kelompok paduan aluminium seri 3XX hasil proses pengecoran yang banyak digunakan dalam industri otomotif Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa 0,01 wt. % Sn pada paduan A1-1,7Cu (at. %) yang mengalami proses pengerasan pengendapan akan menghasilkan endapan Al2Cu yang sangat halus dan tersebar merata sehingga terjadi peningkatan paduan yang signifikan. Namun pengaruh Sn befum pernah diteliti untuk paduan yang Iebih kompleks sepertf AC2B. Penelitian ini melakukan proses pengerasan pengendapan pada paduan AC2B dengan penambahan 0, 0,1, 0,5, 1 dan 2 wt. % Sn. Hasil dari proses pengerasan pengendapan tersebur dikarakterisasi dengan melakukan pengujian kekerasan, kekuatan tarik dan pengamatan struktur mikro. Hasil penelitian menunjukkan penambahan Sn ke dalam paduan AC2B as cast akan meningkatkan kekerasan sebesar 5 % hingga penambahan 0,5 wt. % Sn dan kekerasan kembali turun dengan penambahan Iebih besar. Kekerasan sampel cetakan pasir dan cetakan Iogam hasil proses penuaan meningkat dengan rata-rata 26 % dan 24 % pada temperatur penuaan 90 C selama 688 jam, meningkat dengan rata-rata 45 % dan 38 % pada temperatur penuaan 150 °C selama 24 sampai 96 jam dibandingkan dengan kekerasan hasil pengecoran (sebelum perlakuan panas). Penambahan Sn paling baik untuk paduan as cast adalah pada rentang 0,1 - 0,5 wt. % Sn. Penambahan Sn paling baik untuk proses penuaan adalah pada rentang 0,02 - 0,1 wt. % Sn."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2005
S41385
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"[Deteksi dini kelainan vaskularisasi pada flap kulit memerlukan metode pemantauan yang konstan dan dapat diandalkan. Evaluasi melalui fotografi digital dapat menjadi solusi apabila didapatkan foto dengan spesifikasi seragam. Tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan prototipe studio foto portable yang mampu memberikan kualitas foto standard yang disebut sebagai Mini Mobile Medical Photo Studio (MiniMoPS) kemudian dilakukan analisa foto untuk memperoleh data dasar warna dan tekstur kulit hidup dan kulit kadaver. Pembuatan MiniMoPS dilakukan melalui studi literatur dan percobaan yang sesuai dengan kaidah foto studio. MiniMoPS kemudian digunakan untuk pengambilan sampel foto. Studi pendahuluan ini melibatkan 32 foto punggung tangan yang terdiri dari 16 foto kulit sehat dan 16 foto kulit kadaver. Hasil foto digital ini kemudian dianalisa menggunakan Adobe® Photoshop CS6 and ImageJ® freeware untuk mendapat nilai hue, saturasi, kecerahan, masing-masing komponen warna (merah, hijau dan biru) serta tekstur. Hasil foto tersebut menunjukkan nilai untuk kulit hidup adalah hue 33o, saturasi 13.75%, kecerahan 49.5%, Total Digital Number (TDN) 121.58 dan indeks tekstur 120 sementara kulit kadaver memiliki nilai hue 32.813o, saturasi 31.063%, kecerahan 68.188%, TDN 153.95 dan indeks tekstur 155.41. Hasil analisa menunjukkan kulit hidup memiliki warna lebih terang dan tekstur lebih homogen dibandingkan dengan kulit kadaver.
, Flap vitality monitoring remains a challenge for microvascular surgeons. Photo evaluation is potential but should produce a standard photo quality. This study propose the use of a portable photo studio called the Mini Mobile Medical Photo Studio (MiniMoPS) to produce consistent photographs and further analysed the photos to obtain a benchmark data of living and cadaveric skin colour and texture. The MiniMoPS was developed through a preliminary study to accommodate the basics elements of a photo studio. A pilot study was done, with 32 photographs of the dorsum of the hand, 16 from healthy samples and 16 from cadaveric samples. The digital photographs were analyzed using Adobe® Photoshop CS6 and ImageJ® freeware to obtain a quantification of hue, saturation, brightness, colour component (red, green and blue) and texture. Average value of living skin is hue 33o, saturation 13.75%, brightness 49.5%, Total Digital Number (TDN) 121.58 and 120 texture index while cadaveric skin has the following values; hue 32.813o, saturation 31.063%, brightness 68.188%, TDN 153.95 and 155.41 texture index. A significant difference was found between the two groups except for hue. Cut off points for TDN are generated with the range of 122–150. Analysis revealed that living skin gives a comparatively lighter colour and less coarse texture than cadaveric skin. The author proposed a TDN cut off point of 140 for validation in further studies.
]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Erly Arkasan Dzahwan
"Indonesia memiliki potensi besar dalam memproduksi silikon karena memiliki deposit pasir silika yang melimpah di seluruh wilayahnya. Belum ada industri di Indonesia yang mampu mereduksi silika menjadi silikon. Hingga saat ini metode yang umum digunakan untuk mereduksi pasir silika menjadi silikon adalah dengan menggunakan metode karbotermik. Alternatif metode reduksi yang dapat digunakan di antaranya adalah metode reduksi magnesiotermik yang mampu menurunkan kebutuhan temperatur menjadi pada kisaran 500-950℃. Metode ini dilakukan dengan mereaksikan pasir silika (SiO2) dengan magnesium (Mg) pada temperatur terkontrol. Penelitian ini dilakukan dengan melakukan magnesiotermik terhadap sampel Mg-Si dalam bentuk serbuk padat dalam tungku selama 4 jam dan variasi temperatur 600℃, 700℃, dan 800℃. Sampel hasil pembakaran kemudian dilakukan pelindian menggunakan larutan HCl 6M di atas magnetic stirrer dengan kecepatan 650rpm dan suhu 80℃ selama 4 jam. Hasil pelindian kemudian disaring dan sampel dikarakterisasi menggunakan XRD, XRF, dan SEM-EDS. Data XRF yang menunjukkan adanya keberadaan silikon dalam sampel akhir mengindikasikan berhasilnya proses reduksi. Karakterisasi XRD pada sampel akhir menunjukkan kadar silikon dan bahwa temperatur optimum untuk mereduksi pasir silika adalah 600℃ dengan silikon 65,3%. Kemudian dengan didukung pengujian SEM-EDS, variabel temperatur 600℃ memiliki kehalusan lebih tinggi dan tingkat homogenitas tertinggi secara visual dibandingkan dengan hasil mikrostruktur sampel lainnya.

Indonesia has great potential in silicon production due to abundant deposits of silica sand throughout the country. However, the processing of silica sand into silicon for solar cell applications is still rare in Indonesia due to the high energy requirement of the process. Currently, the most common method used to reduce silica sand into silicon is the carbothermic method. An alternative reduction method that can be used is the magnesiothermic reduction method, which can significantly lower the temperature required to the range of 500-950°C. This method involves the reaction of silica sand (SiO2) with magnesium (Mg) at controlled temperatures. This research focuses on conducting magnesiothermic reduction on Mg-Si samples in the form of solid powder in a furnace for 4 hours at various temperatures of 600°C, 700°C, and 800°C. The resulting burned samples are then subjected to leaching using a 6M HCl solution with the assistance of a magnetic stirrer operating at 650 rpm and a temperature of 80°C for 4 hours. The leached samples are subsequently filtered and characterized using XRD, XRF, and SEM-EDS techniques. The XRF data indicates the presence of silicon in the final sample, indicating the success of the reduction process. XRD characterization of the final sample reveals the silicon content, and the optimum temperature for reducing silica sand is found to be 600°C silicon content of 65.3%. Supported by SEM-EDS analysis, the 600°C temperature variable exhibits higher fineness and the highest level of visual homogeneity compared to other sample microstructures."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stella Vania
"Kulit sebagai organ terbesar dan terluar dari tubuh manusia yang langsung berhadapan dengan lingkungan luar menjadi pertahanan fisik lini pertama sekaligus tempat kolonisasi mikrobiota komensal dalam mencegah invasi patogen. Identifikasi komposisi mikrobiota kulit menarik dilakukan untuk mengetahui interaksi antar mikrobiota sehingga mikrobiota kulit komensal yang bersifat probiotik dapat dikembangkan menjadi bahan aktif terapeutik mikrobioma kulit untuk menjaga kesehatan kulit. Keberagaman mikrobiota kulit dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah faktor etnis. Penelitian ini mempelajari pengaruh faktor etnis pada dewasa muda pria dan wanita yang mewakili etnis Papua, Jawa, dan keturunan Tionghoa terhadap profil mikrobioma kulit. DNA genomik mikrobiota dari sampel kulit wajah diekstraksi dan disekuens dengan metode Next Generation Sequencing lalu dilakukan analisis diversitas alfa dan beta. Berdasarkan analisis alfa dengan indeks OTU yang dterobservasi, Shannon, dan Faiths PD, diversitas dalam grup tertinggi terdapat pada grup etnis Papua dan terendah pada grup etnis keturunan Tionghoa, namun diversitas alfa ketiga grup tidak berbeda signifikan secara statistik. Analisis beta dilakukan berdasarkan kualitatif dan kuantitatif menunjukkan pengaruh faktor etnis pada profil mikrobioma kulit antar etnis yang signifikan secara statistik serta pengelompokkan yang baik berdasarkan hasil PCoA pada indeks Jaccard, disimilaritas Bray Curtis, Unweighted, dan Weighted. Bakteri yang bersifat komensal dan dominan selanjutnya dapat dikembangkan menjadi bacterial cocktail maupun formula postbiotik untuk terapi mikrobiota kulit dengan pertimbangan interaksi komposisi mikrobiota kulit pada etnis terkait.

Skin as the largest and the outermost part of human body that directly exposed to the outer environment serves as the first physical barrier and colonised by commensal bacteria to prevent pathogen invasion. Identifying composition of commensal skin microbiota is interesting to know the interaction between the microbiota so the commensal skin microbiota who has probiotic effect can be developed as active substance of skin microbiome therapeutic to maintain skin health. The skin microbiome diversity is influenced by several factors, one of them is ethnicity. This study shows the influence of ethnicity factor in Papuans, Javanese, and Chinese descent young adults on skin microbiome profiles. The microbiota genomic DNA are extracted from the face skin samples and sequenced with Next Generation Sequencing method to be further analysed on its alpha and beta diversity. According to alpha diversity analysis with observed OTU, Shannon, and Faiths PD indices, the greatest alpha diversity shown in Papuans, while the smallest is shown in the Chinese descent group, but alpha diversity differences between three groups are not statistically significant. Beta diversity was assessed by the use of Jaccard index, Bray Curtis dissimilarity, Unweighted and Weighted Unifrac with PCoA shows the difference skin microbiome profiles according to ethnicity and is statistically significant between ethnic group. The characterised commensal and dominant bacteria can be further developed as bacterial cocktail and postbiotic formula as skin microbiome therapeutic with interaction between skin microbiota composition within each ethnicity taking into account."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Napitupulu, Taruli Olivia Agustina
"Latar belakang. Kulit kering merupakan keluhan yang sering dihadapi pasien kusta, akibat kerusakan saraf otonom atau terapi yang didapat.
Tujuan. Membandingkan efikasi vaselin album dengan urea 10% sebagai terapi kulit kering pasien kusta.
Metode. Uji klinis acak tersamar ganda. Subjek penelitian dibagi dua kelompok, yaitu kelompok urea 10% dan kelompok vaselin album. Evaluasi dilakukan dalam 2 dan 4 minggu terapi dengan mengukur transepidermal waterloss (TEWL) dan skor kulit kering (SRRC) pada tungkai bawah.
Hasil. Sebanyak 48 subjek penelitian (SP) mengikuti penelitian, 24 SP mendapat vaselin album dan 24 SP mendapat krim urea 10%. Nilai TEWL pada kedua kelompok menurun secara bermakna sebelum dan sesudah terapi. Penurunan tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok, (6,53 kelompok vaselin album versus 6,45 kelompok urea 10%). Skor SRRC menurun secara bermakna pada kedua kelompok sebelum dan sesudah terapi 2 dan 4 minggu. Penurunan skor SRRC tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok, (2,5 dan 3,5 pada kelompok vaselin album versus 3 dan 3 pada kelompok urea).
Kesimpulan. Kedua pelembab mampu menurunkan TEWL dan SRRC pasien kusta secara bermakna. Tetapi perubahan nilai tersebut tidak berbeda bermakna antara kelompok pengguna salap vaselin album ataupun krim urea 10%.

Background. Dry skin is a common problem in leprosy patient, due to destruction of autonom nerve or side effect of therapy.
Aim. Compare the efficacy of urea 10% cream versus petrolatum ointment on leprosy patient with dry skin.
Method. Double blinded randomnized controlled study participant were divided into two group, either received petrolatum ointment or urea 10% cream. Evaluation was done after 2 and 4 weeks treatment by measuring transepidermal waterloss (TEWL) and dry skin score (SRRC).
Result. 48 participant enrolled in the study, 24 received urea 10% cream while 24 received petrolatum.TEWL value in both groups were reduced significantly before and after medication. The difference was not significant in both groups (6.53 in vaselin group and 6.45 in urea group). SRRC score in both groups were reduced significantly before and after 2 and 4 weeks medication. The difference was also not significant in both groups (2,5 and 3,5 in vaselin group versus 3 and 3 in urea group).
Conclusion. Both moisturizers significantly reduce TEWL and dry skin score. There was no significantly difference in reduction between vaselin album ointment and urea 10% cream.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Daniaty
"Latar belakang: Hampir sebagian besar pasien kanker akan memiliki keluhan kulit, rambut, dan kuku (KRK) terkait efek samping kemoterapi yang diberikan. Antrasiklin merupakan kemoterapi yang banyak digunakan pada pasien kanker. Meskipun jarang mengancam nyawa, kelainan KRK dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup. Berbagai faktor risiko berpengaruh terhadap kelainan tersebut. Waktu timbulnya manifestasi kelainan KRK pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi berbasis antrasiklin juga beragam munculnya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara usia, penyakit penyerta sistemik, status gizi, ECOG, dan anemia dengan manifestasi klinis KRK pada pasien kanker yang menjalani dua siklus kemoterapi berbasis antrasiklin.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan kohort prospektif yang diikuti dalam dua siklus pertama kemoterapi berbasis antrasiklin. Sebesar 65 pasien kanker berusia di atas 18 tahun yang mendapatkan kemoterapi siklus pertama berbasis antrasiklin di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Semua SP dilakukan anamnesis, pemeriksaan dermatovenereologikus, dan dokumentasi klinis sampai sebelum kemoterapi siklus ke-3. Pencatatan faktor risiko, jenis, dan waktu timbulnya kelainan dilakukan apabila ditemukan manifestasi KRK.
Hasil: Kelainan kulit terbanyak berupa xerosis dan hiperpigmentasi. Anagen effluvium ditemukan pada 89,2% pasien kemoterapi. Melanonikia dan xanthonikia ditemukan pada 87,7% pasien. Xerosis ditemukan dengan median (minimum-maximum) 7 (2-56) hari, anagen effluvium timbul dalam median (minimum-maximum) 13(1-27 hari), dan melanonikia dengan median (minimum-maximum) 23(1-65) hari. Tidak terdapat hubungan antara usia, penyakit penyerta sistemik, status gizi, status performa ECOG, dan anemia dengan manifestasi KRK pada pasien kanker yang menjalani dua siklus kemoterapi berbasis antrasiklin.
Kesimpulan: Semua pasien memiliki kelainan KRK. Kelainan yang paling cepat timbul adalah xerosis, diikuti anagen effluvium, dan melanonikia. Tidak ditemukan hubungan antara usia, penyakit penyerta sistemik, status gizi, status performa ECOG, dan anemia dengan manifestasi KRK pada pasien kanker yang menjalani dua siklus kemoterapi berbasis antrasiklin.

Background: Nearly most cancer patients experience skin, hair, and nail complaints due to chemotherapy side effects. Anthracycline-based chemotherapy is widely utilized in cancer care. While rarely life-threatening, cutaneous, hair, and nail alterations can significantly impact quality of life. Several risk factors influence these disorders. The onset timing of skin, hair, and nail manifestations varies among cancer patients undergoing anthracycline-based chemotherapy. This study analyses the association between age, systemic comorbidities, nutritional status, ECOG performance status, and anaemia with clinical manifestations of skin, hair, and nails in cancer patients undergoing two cycles of anthracycline-based chemotherapy.
Methods: This is an analytical descriptive study involving a prospective cohort followed during the first two cycles of anthracycline-based chemotherapy. A total of 65 cancer patients aged above 18, receiving the first cycle of anthracycline-based chemotherapy at RSUPN dr. Ciptomangunkusumo, were enrolled. All subjects underwent anamnesis, dermatovenereological examination, and clinical documentation before the third chemotherapy cycle. Risk factors, type, and onset time of abnormalities were recorded upon detection of skin, hair, and nail manifestations.
Results: All patients presented with skin, hair, or nail abnormalities. The most rapidly occurring abnormalities were xerosis, followed by anagen effluvium and melanonychia. No correlation was found between age, systemic comorbidities, nutritional status, ECOG performance status, and anaemia with skin, hair, and nail manifestations in cancer patients undergoing two cycles of anthracycline-based chemotherapy. Conclusions: The most frequent skin abnormalities observed were xerosis and hyperpigmentation. Anagen effluvium was detected in 89.2% of chemotherapy patients. Melanonychia and xanthonychia were found in 87.7% of patients. Xerosis had a median (min-max) onset of 7 (2-56) days, anagen effluvium manifested within a median (min- max) of 13 (1-27) days, and melanonychia with a median (min-max) onset of 23 (1-65) days. There was no association found between age, systemic comorbidities, nutritional status, ECOG performance status, and anaemia with skin, hair, and nail manifestations in cancer patients undergoing two cycles of anthracycline-based chemotherapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arya Tjipta Prananda
"LATAR BELAKANG. Makalah ini memberikan gambaran kualitatif dari tampilan histologis dan perubahan yang terjadi di tandur kulit manusia yang disimpan pada suhu 4oC
dalam berbagai pengawet selama 1 minggu. Selama waktu penyimpanan, perubahan terlihat di semua lapisan epidermis dan dermis. Fitur awal yang paling terlihat adalah pembengkakan dan pleomorfisme nucleus dan seluler. Setelah 7 hari susut nucleus dan seluler, pembentukan halo dan pyknosis menjadi jelas. Fitur histologis yang paling mengkhawatirkan adalah terjadinya blebs dermoepidermal. Ini adalah terbukti dengan hari ke 7 dan akhirnya pemisahan lengkap dari epidermis dari dermis.
METHODS. Tandur kulit manusia yang telah diambil ini akan disimpan dalam bentuk gulungan dan didalam suhu 4OC yang kemudian akan menunjukkan perbedaannya. Dan akan dibagi dalam dua kelompok yakni grup control dengan NaCL 0,9% dan grup percobaan dengan Gliserol 80%.
Penelitian ini dilakukan secara prospektif, kemudian dinilai perbedaan secara histologisnya, dihitung sel pada grup NaCl dan gliserol. Kemudian hasil yang didapat akan dibandingkan dengan menggunakan Chi-Square (data kategorik dengan melihat terjadinya dermoepidermal blebs, halo formation, cellular pyknosis, nuclear dan cellular shrinkage pada hari ke-7).
RESULTS. Hasil dengan menggunakan uji chi-square Asymp.Sig (2-sided) dengan nilai 0.001, p < 0.05. Hipotesis 0 ditolak, and hipotesis 1 diterima yang artinya ada perbedaan significant antara penggunaan NaCl 0.9% dibandingkan dengan glycerol 80% pada terjadinya dermoepidermal blebs, halo formation, cellular pyknosis, nuclear dan cellular shrinkage pada hari ke-7 penyimpanan tandur kulit. Tandur kulit yang disimpan dengan Gliserol 80% pada hari ke-7 mempunyai 4.25 resiko lebih besar terjadinya dermoepidermal blebs, halo formation, cellular pyknosis, nuclear dan cellular shrinkage dibandingkan dengan NaCl 0,9% dengan P = 0.001
(significant). Kami menyimpulkan viabilitas kulit akan semakin meningkat jika tandur kulit disimpan dalam bentuk gulungan dan dalam suhu 4OC serta dengan menggunakan gliserol 80%.
Kata Kunci: Tandur kulit split-thickness, Pengawet, gliserol 80%

BACKGROUND. This paper provides a qualitative description of the histological appearances and changes occurring in human split skin grafts stored at 4oC in various configurations over a 1-week period. During the storage time, changes were seen in all layers of the epidermis and dermis. The most notable early features were nuclear and cellular swelling and pleomorphism. After 7 days nuclear and cellular shrinkage, halo formation and pyknosis became evident. The most worrying histological feature was the development of dermoepidermal blebs. These were evident by day 7 and progressed to cleavage off and ultimately complete separation of the epidermis from the dermis.
METHODS. A comparison of these features in human split skin grafts stored as sheets stored rolled, at either strictly or roughly 4oC revealed differences. And consist in two preservant group, the control is using NaCl 0,9%, and the trial is using glycerol 80%. The study was conducted prospectively, see the state or characteristic of the early skin graft preservation and preservation day 7 between the use of 0.9% NaCl solution and 80% glycerol solution. Comparing the results using chisquare test (categorical data with categorical that the use of 0.9% NaCl and 80% glycerol to the occurrence or non-occurrence of the dermoepidermal blebs, halo formation, cellular pyknosis, nuclear and cellular shrinkage on day 7)
RESULTS. This research use a chi-square test. Results seen as Asymp.Sig (2-sided) with a value of 0.001, meaning meets p < 0.05. Hypothesis 0 is rejected, and Hypothesis 1 is accepted which means that there are significant differences between the use of NaCl 0.9% compared with 80% glycerol on the incidence dermoepidermal blebs, halo formation, cellular pyknosis, nuclear and cellular shrinkage on day 7 skin graft preservation. Skin grafts that were preserved using 0.9% NaCl on day 7 had a 4.25 times greater risk for experiencing dermoepidermal blebs, halo formation, cellular pyknosis, nuclear and cellular shrinkage compared with the preserved skin graft using glycerol 80% at day 7 with P = 0.001 (significant). We conclude that the viability of stored skin is improved if it is stored at a uniform 4oC as rolled sheets and preserved with glycerol 80%.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui adanya pengaruh penggunaan minyak
kelapa terhadap kerusakan integritas kulit pada pasien tirah baring total karena stroke.
Sampel diambil dengan menggunakan desain purposive sampling. Pengumpulan data
diperoleh berdasarkan hasil observasi selama treatment masase menggunakan minyak
kelapa dan dibandingkan dengan masase menggunakan vasseline. Penelitian ini
merupakan penelitian jenis Quasi eksperimen dengan menggunakan design pre and
past treatment. Hasil penelitian menunjukkan pada tingkat kepercayaan 95%, alpa
0,05 dan P value 0,1700 tidak ada perbedaan penggunaan masase minyak kelapa
dengan masase vasseline terhadap pencegahan integritas kulit dekubitus pada pasien
tirah baring total karena stroke."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2006
TA5505
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>