Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 193275 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Umar Fauzi Shibly
"Sejak lebih dari 25 tahun yang lalu muncul bukti-bukti yang menunjang hipotesis bahwa meningkatnya homosistein plasma merupakan faktor risiko aterosklerosis, Berbagai studi kasus kontrol retrospektif, prospektif maupun intervensi telah dilakukan dan membuktikan bahwa hiperhomosisteinemia merupakan faktor risiko independen PJK. Pada satu meta-analisis dari 15 studi, rasio odds untuk PJK pada subjek dengan hiperhomosisteinemia adalah 1,7. Salah satu risiko penting terjadinya hiperhomosisteinemia adalah rendahnya asupan vitamin yang berperan pada metabolisme homosistein yaitu asam folat, vitamin B12 dan vitamin B6. Telah dilakukan penelitian deskriptif analisis terhadap 70 subyek PJK sebagai kasus dan 36 subyek sebagai kontrol di RS Jantung Harapan Kita dengan tujuan untuk mengetahui gambaran kadar homosistein plasma pada penderita PJK dan kontrol serta hubungannya dengan asam folat dan vitamin B12 yang diketahui berperan mempengaruhi kadar homosistein plasma. Hasil pemeriksaan homosistein plasma, didapatkan rerata kadar homosistein plasma pada kelompok kasus maupun kontrol diatas normal (12,2 6,9 dan 13,1 + 3,6 Umol/L) dan tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok ini. Frekuensi defisiensi vitamin B12 masing-masing didapatkan 30% pada kelompok PJK dan kelompok tanpa PJK. Hal yang sangat menyolok didapatkan pada penelitian ini adalah defisiensi asam folat yang mencapai 82% pada kasus dan 83% pada kelompok kontrol. Korelasi antara homosistein plasma dengan vitamin B12 dan asam folat, didapatkan adanya korelasi negatif lemah yakni masing-masing r=-0,3 (p= 0,0004) dan r= -0,25 (p= 0,0095). Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan.
1. Pada subyek PJK 61% kadar homosistein plasmanya diatas normal dan 80% pada subyek tanpa PJK.
2. Terdapat korelasi negatif lemah antara homosistein plasma dengan vitamin B12 serum dan asam folat.
3. Hal yang menyolok dari hasil penelitian ini adalah tingginya angka defisiensi asam folat pada kelompok PJK (82%) dan 83% pada kelompok tanpa PJK. 4. Pada penelitian ini tidak terdapat perbedaan yang bermakna dalam kadar homosistein antara kasus dengan kelompok kontrol."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57296
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Furqon
"Latar Belakang : Peningkatan kadar homosistein merupakan faktor risiko terjadinya aterosklerosis dan trombogenesis. Baik faktor genetik maupun lingkungan mempunyai pengaruh terhadap kadar plasma homosistein. Pada penelitian ini, kami meneliti gambaran dari homosistein pada populasi PJK di Jakarta dan Malang serta hubungannya dengan enzim MTHFR, Vit. B6, Vil. B12, dan asam folat.
Metode dan Hasil : Penelitian deskriptif ini melibatkan 30 pasien PJK di Jakarta dan 12 pasien di Malang. Subyek yang direkrut di Malang lebih muda, tetapi tidak ada perbedaan dalam jenis kelamin, 1MT, diabetes, dan merokok. Tidak ada perbedaan pada profil lipid diantara dua populasi. Subyek di Malang mempunyai kadar homosistein lebih tinggi (median 18 mmol/dL vs 9,1 mmol/dL; p < 0,001), kadar MTHFR yang lebih rendah (median 0,105 IU vs 0,157 IU; p = 0,019) kadar asam folat yang lebih rendah (median 7,1 vs 11,2 ng/mL; p = 0,005), kadar vit. B12 yang lebih rendah (median 273 ng/mL vs 429,5 ng/mL; p = 0,032). Tidak ada perbedaan pada kadar vit B6. Analisis dari hubungan menunjukkan hubungan yang terbalik antara homosistein dan pit. B12 (r = - 0,43, p = 0,004) dan asam folat (r = -0,39,p = 0,01).
Kesimpulan : Tidak ada perbedaan kadar homosistein, MTHFR, asam folat, dan vitamin B12 pada populasi PJK (Jakarta dan Malang). Terdapat hubungan yang terbalik antara homosistein dan vit. B12 serta asam folat.

Background : Increased homocysleine level is a risk factor for atherosclerosis and thrombogenesis_ Both genetic and environmental factors influence plasma level of homocysteine. In this study, we examine the distribution of homocysteine in population of CAD in Malang and Jakarta and the association between homocysteine, enzyme MTHFR, Vit. B6, Vii. B12, and folic acid.
Methods and Results : This is a descriptive study including 30 CAD patients in Jakarta and 12 in Malang. Subjects recruited in Malang is younger, but no difference in gender, BMI, smoking and diabetes. No difference in lipid profile between both populations. Subjects in Malang have higher level of homocysteine (median 18 mmol/dL vs 9.1 mmol/dL; p <0.001), lower level of MTHFR (median 0.105 IU vs 0.157 IU; p = 0.019), lower level of Folic acid (median 7.1 vs 11.2 ng/mL; p = 0.005), lower level of Vit. B12 (median 273 ng/mL vs 429.5 ng/mL; p = 0.032). There is no difference in level of Vit. B6. Analysis of association showed inverse relationship between homocysteine and vit B12(r - -0.43, p = 0.004) and folic acid (r = -0.39,p =0.01).
Conclusion : There is difference in level of homocysteine, MTHFR, folic acid and vii. B12 between populations coronary artery disease ( Jakarta and Malang). There is inverse relationship between homocysteine and vit B12 and folic acid."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T21433
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Effendi Rustan
"ABSTRAK
Tujuan:
Untuk mengetahui hubungan antara kadar kromium serum dengan kadar insulin, gula darah, HbAlc, profit lipid dan tingkat oklusi koroner pada penderita baru penyakit jantung koroner.
Tempat : Bagian Cath-Lab RS Jantung Harapan Kita.
Bahan dan Cara:
Penelitian dilakukan pada laki-laki di atas usia 35 tahun yang memenuhi kriteria dikumpulkan data mengenai sosio-ekonomi, keadaan kesehatan, gaya-hidup, aktivitas, IMT, asupan makanan, proporsi zat dan pemeriksaan tekanan darah, kadar kromium serum, insulin, gula darah, HbAlc, profil lipid dan tingkat oklusi koroner.
Karakteristik subyek disajikan secara deskriptif, sedangkan analisis dilakukan dengan uji statistik chi kuadrat, t, Mann Whitney, dan uji korelasi Spearman.
Hasil:
Dari 65 subyek penelitian yang diteliti, umur rata-rata 51.17 + 7.44 tahun, terbanyak (60 %) antara 40 - 55 tahun, 73.9% golongan ekonomi menengah atas, prevalensi DM 13.8%, Hipertensi 16.9%, Merokok 69.2%, olahraga 28%, Obese dan gemuk 52.3%, aktivitas ringan 100%. Asupan nutrisi secara kualitatif sesuai dengan anjuran diit Konsensus Nasional Pengelolaan Dislipidemia di Indonesia, secara kuantitatif subyek dengan tingkat oklusi > 50%, mempunyai asupan protein hewani dan kolesterol yang lebih besar secara bermakna (p<0,05) dibandingkan dengan subyek dengan tingkat oklusi < 50%, dan telah jauh di atas AKG. Nilai rata-rata kromium serum 8.08 ug/L. Nilai ini 431 lebih rendah dari nilai normal. Nilai insulin, gula darah puasa dan trigliserida masih berada dalam batas normal. Nilai HbAlc, LDL, HDL dan Total kolesterol berada dalam batas yang diwaspadai. Berdasarkan Triad Lipid 98.5% menderita Dislipidemia.
Berdasarkan tingkat oklusi koroner, didapatkan 44 orang subyek dengan tingkat oklusi >50%, dan 21 orang dengan tingkat oklusi <50% . Subyek dengan tingkat oklusi >50% mempunyai kadar LDL dan total kolesterol yang lebih besar secara bermakna. Kadar kroaium, insulin, gula puasa, HbAlc, trigliserida dan HDL kolesterol tidak berbeda secara bermakna. Pada tingkat oklusi koroner <50%, tidak ada korelasi yang bermakna antara kromium serum dengan faktor-faktor resiko. Pada tingkat oklusi koroner >50% ada korelasi yang bermakna kromium serum dengan gula puasa, trigliserida dan HDL kolesterol.
Kesimpulan:
Tidak ada hubungan antara kromium serum dengan kadar gula puasa, profil lipid dan tingkat oklusi koroner. Pada tingkat oklusi > 50% ada korelasi yang bermakna antara kroaium serum dengan gula puasa, trigliserida dan HDL kolesterol."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Riawan
"Latar belakang: Hiperhomosisteinemia merupakan faktor risiko independen penyakit jantung koroner (PJK), stroke dan penyakit pembuluh darah. Kadar homosistein di dalam darah dikendalikan oleh beberapa enzim salah satunya adalah enzim cystathionine synthase (CBS). Enzim ini mengubah homosistein menjadi sistein. Vitamin B6 (pyridoxal phosphate) berfungsi sebagai kofaktor enzim CBS. Defisiensi enzim CBS dan vitamin B6 dapat meningkatkan kadar homosistein. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahu gambaran kadar homosistein, enzim CBS dan vitamin B6 serta menganalisa hubungan antara kadar homosistein dengan kadar enzim CBS serta hubungan kadar homosistein dengan kadar vitamin B6 pada populasi PJK di RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita Jakarta (PJNHK). Metode dan Hasil: Tiga puluh pasien (usia rata-rata 47 tahun = 4,93) yang dilakukan kateterisasi dengan hasil angiografi positif PJK berdasarkan kriteria American College of CardiologylAmerican Heart Association (AHA). Sampel darah vang diambil diperiksa kadar homosistein dengan menggunakan metode High Pressure Liquid Chromatografy (HPLC) sedangkan enzim CBS dan vitamin B6 masing masing mengounakan metode spectrophotometer dan microparticle enzyme immunoassay. Kadar homosistein sebagian besar 83% (24 orang) dalam batas normal 5-15 mmoll, 3% (2 orang) <5 mmoll dan 14% (4 orang) kadarnya> 15mmol. Kadar enzim CBS dalam standar normal 1.27-1,34 IU terdapat pada 50% (15 orang), <1,27 IU pada 20% (6 orang) dan 30 % (9 orang) kadarnya> 1,34 IU. Enam puluh persen subyek (18 orang) kadar vitamin B6 dibawah nilai standar normal < 20 nmol/l, 20% (6 orang) dalam standar normal (20-30 nmol/1,) dan 20% (6 orang) kadanya> 30 nmol. Dari hasil analisa statistik terdapat hubungan negatif yang lemah (r = -0,36; p <0,05) antara kadar homosistein dan kadar enzim CBS dan tidak ada hubungan antara kadar homosistein dan vitamin B6 (r = 0,13; p>0,05). Kesimpulan: Pada populasi PJK yang diteliti sebagian besar kadar homosistein, kadar enzim CBS dalam batas normal tetapi lebih dari 50 % subyek mengalami defisiensi vitamin B6. Terdapat hubungan terbalik antara homosistein dan enzim CBS dan tidak ada hubungan antara homosistein dan vitamin B6."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T58451
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Robert Edward
"Latar Belakang. Gangguan fungsi saraf otonom memberikan kontribusi yang bennakna terhadap terjadinya aritmia ventikular dan kejadian mati mendadak pada penderita penyakit jantung koroner (PlK). Namun usaha untuk meneliti hal tersebut masih belurn banyak dilakukan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sensitifitas barorefleks dan faktor-faktor yang mempengaruhi sensitifitas barorefleks (SBR) pada penderita PIK Metoda. Pasien-pasien PlK yang sedang menjalani tindakan kateterisasi di ruang kateterisasi PJNHK dengan basil stenosis koroner ~ 50%, diberikan nitrogliserin 300mcg intra aorta melalui kateter. Selanjutnya perubahan tekanan darah sistolik dan interval RR dicatat selama lebih kurang 30 denyut setelah pemberian nitrogliserin. Garis regresi linear antara penurunan tekanan darah dan perubahan interval RR dicatat sebagai basil pengukuran sensitivitas barorefleks dengan satuan milidetiklmrnHg. Basil. Jwnlah subjek yang disertakan dalam penelitian ini sebanyak 136 pasien. Usia rata - rata sample penelitian 56.43 ± 7.78 tahun. Seratus dua puluh (120) pasien adalah laki - laki (88.2%) sedangkan enam belas adalah wanita (11.8%). Faktor risiko yang paling banyak ditemukan adalah hipertensi ( 63,2%), dislipidemia (61.80%), diabetes melitus (38.2%), merokok (26.5%) dan riwayat keluarga PlK. (25.7%). Diperoleh nilai rerata SBR 1.5 ± 1.7 milidetiklmmHg. Pada analisis multivariat faktor yang mempengaruhi SBR adalah diabetes melitus dan seeara statistik berrnakna dengan OR 4.2 (95% 0: 1.96-9.1 1; p=O.OOl). Faktor yang cenderung mempengaruhi nilai SBR pada pasien P1K adalah fungsi ventrikel kiri yang rendah OR 1.5 (0.7-3.2) dan merokok.O.5 (0.2-1.0). Kesimpulan. Rerata hasil SBR pada pasien PlK adalah 1.5 ± 1.7 milidetiklmmHg. Ada tidaknya diabetes melitus mempengaruhi nilai SBR"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007
T58821
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Radityo Prakoso
"Latar Belakang: Gangguan fungsi saraf otonom memberikan kontribusi yang bermakna terhadap terjadinya aritmia ventikular dan kejadian mati mendadak pada penderita peyakit jantung koroner (PJK). Namun usaha untuk meneliti hal tersebut masih belum banyak dilakukan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan hubungan sensitivitas barorefleks dengan parameter turbulensi lajujantung pada penderita PJK.
Metoda: Penderita PJK yang sedang menjalani tindakan kateterisasi di ruang kateterisasi PJNHK dengan hasil stenosis koroner 2: 50%, diberikan induksi ventricle extra systole (VES) melalui temporary pacemaker (TPM) yang dihubungkan dengan Programmable Stimulator Medtronic sebanyak 3 kali dan dihitung onset turbulensi dan kemiringan turbulensinya. Kemudian diberikan nitrogliserin 300 mikrogram intra aorta melalui kateter, yang selanjutnya dihitung sensitivitas barorefleksnya.
Hasil: Karakteristik subjek yaitu terdiri atas 22 orang laki-Iaki (84,6%) dan 4 orang wanita (15,4%), usia berkisar 56.81±9.04 tahun. Sebagian besar subjek memiliki faktor risiko dislipidemia (57,7%) kemudian diikuti faktor risiko lainnya seperti merokok (46,2%), hipertensi (42,3%), dan hanya 3 subjek (11,5%) yang memiliki faktor risiko diabetes melitus. Jumlah subjek penelitian yang pemah mengalami infark miokard sebanyak 11 orang (42,5%) hampir setara dengan jumlah subjek yang belum pemah mengalami infark miokard. Dari semua subjek penelitian, obat-obatan yang dipakai paling banyak antara lain clopidogrel sebanyak 25 orang (96,2%), aspirin sebanyak 22 orang (84,6%), sedangkan penyekat beta dan nitrat juga banyak dipakai (14 orang, 53 ,8% dan 15 orang, 57,7%). Tidak terdapat hubungan antara nilai onset turbulensi dan sensitivitas barorefleks (koefisien korelasi r=0,15 dan p=O,456). Korelasi antara kemiringan turbulensi dan sensitivitas barorefleks menunjukkan koefisien korelasi yang tidak bermakna (r=0,361, p=0,07), namun masih terdapat kecenderungan hubungan nilai KT dan sensitivitas barorefleks.
Simpulan: Pada pasien PJK terdapat nilai sensitivitas barorefleks menunjukkan kecenderungan sebanding dengan kemiringan turbulensi."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007
T59023
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novita Lianasari
"Penyakit Jantung Koroner PJK adalah penyakit pada jantung yang terjadi karena otot jantung mengalami penurunan suplai darah. Kurangnya pengetahuan pasien mengenai faktor risiko penyakit jantung koroner berkaitan dengan terjadinya serangan jantung berulang yang akan berdampak pada meningkatnya biaya perawatan dan psikologis pasien yaitu depresi, bahkan dapat menyebabkan komplikasi ataupun kematian. Penelitian ini menggunakan desain deskriptif komparatif dengan pendekatan cross- sectional. Sampel penelitian berjumlah 67 orang dengan diagnosis penyakit jantung koroner. Pengambilan sampel dengan metode non- probability sampling yaitu consecutive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan faktor risiko penyakit jantung koroner dengan serangan jantung berulang p= 0,43, 0,05. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan faktor risiko penyakit jantung koroner dengan frekuensi serangan jantung berulang p=0,57, 0,05 . Penelitian ini merekomendasikan pemberian edukasi yang disertai dengan motivasi kepada pasien untuk dapat mengubah perilaku sehingga memiliki kesadaran yang tinggi untuk mengontrol faktor risiko dengan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari agar terhindar dari serangan jantung berulang.

Coronary Artery Disease (CAD) is a disease caused by an imbalance between blood supply and heart muscle oxygen demand. Insufficient knowledge about risk factors contributing to CAD is associated with higher recurrence of heart attack, causing the rise of the hospitalitation cost, depression, others complications even death. This study employed comparative descriptive design with cross sectional method, involving a consecutive sample of 67 patients with CAD as their primary diagnosis. Our study showed that there was no relationship between knowledge of CAD risk factors with the recurrence of heart attacks p 0,43, 0,05. Similarly, the study revealed that there was no relationship between risk factors for coronary heart disease and the frequency of heart attack's recurrence p 0,57 0,05 . This study suggested nurses to provide health education along with continuous and effective motivation in order to help patients controlling their risk factors in order to avoid the recurrence of heart attack."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
S68824
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Elvi
"Tujuan: Mengetahui hubungan antara asupan asam lemak tak jenuh tunggal (ALTJT) serta faktor-faktor lainnya dengan kadar kolesterol high density lipoprotein (HDL) plasma penderita penyakit jantung koroner (PJK).
Tempat: Rumah Sakit Jantung Harapan Kita.
Metodologi: Penelitian ini merupakan penelitian kasus-kontrol tanpa berpasangan, yang telah disetujui oleh panitia tetap penilai etik penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sebanyak 134 orang penderita PJK diikut sertakan dalarn penelitian ini, terdiri dari 67 orang kelompok kasus (kadar kolesterol HDL plasma <35 mg/dL) dan 67 orang kelompok kontrol (kadar, kolesterol HDL plasma (35 mg/dL). Pengambilan subyek penelitian dilakukan dengan metode consecutive sampling. Data yang dikumpulkan meliputi: karakteristik demografi, asupan zat gizi makro dengan metode tanya ulang 1x24 jam dan food frequency questionnaire (FFQ) semikuantitatif 3 bulan terakhir, kebiasaan olahraga, merokok, minum alkohol, indeks massa tubuh (IMT) dan rasio lingkar pinggang/lingkar panggul (rasio Lpi/Lpa).
Hasil: Berdasarkan karakteristik demografi, kelompok kasus dan kontrol setara. Asupan ALTJT kelompok kontrol lebih tinggi dibandingkan kelompok kasus namun tidak berbeda bermakna. IMT kedua kelompok berada pada kategori obes I dan tidak berbeda bermakna. Terdapat hubungan yang bermakna antara rasio Lpi/Lpa dengan kadar kolesterol HDL plasma (p=0,034;OR=2,55; 95%CI=1,06-6,15). Didapatkan korelasi positif yang bermakna antara asupan ALTJT dengan kadar kolesterol HDL pada kelompok kontrol Terdapat korelasi negatif yang bermakna antara rasio Lpi/Lpa dengan kadar kolesterol HDL plasma pada kelompok kontrol (p=0,03;r=0.23). Tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara variabel-variabel lain yang diteliti dengan kadar kolesterol HDL plasma.
Kesimpulan:
1. Terdapat korelasi positif yang bermakna antara asupan ALTJT dengan kadar kolesterol HDL plasma pada kelompok control.
2. Terdapat korelasi negatif yang bermakna dari rasio Lpi/Lpa dengan kadar kolesterol HDL plasma pada kelompok kontrol.
3. Terdapat hubungan yang bermakna antara rasio Lpi/Lpa dengan kadar kolesterol HDL plasma.
4. Hubungan antara asupan ALTJT (15% dari kalori total dengan kadar kolesterol HDL plasma, pada penelitian ini belum dapat dibuktikan.)

Objective: The aim of this study was to determine the relationship between of mono unsaturated fatty acid (MUFA) intake and other factors with plasma high density lipoprotein (HDL) cholesterol level on coronary heart diseases (CHD) patients.
Place: Rumah Sakit Jantung Harapan Kita.
Method: The design was unmatched case- control study, which has been approved by ethical committee Faculty of Medicine University of Indonesia. One hundred and thirty four patients with CHD as subjects of the study, consist two groups. 67 subjects as case (plasma HDL cholesterol < 35 mg/dL) and 67 subjects as control group (plasma HDL cholesterol (35 mg/dL) respectively. Consecutive sampling method was used to obtain the subjects. Data collected were demographic characteristics, macronutrient intake using 24 hours recall and semiquantitative food frequency questionnaire (FR)) method in the last three month, smoking habit, alcohol consumption, exercise, body mass index (BMI), and waist hip ratio (WHR) measurements.
Results: Demographic characteristic of both groups were similar. MUFA intake in the control group was higher than case, but no significant difference was found between groups. No significant difference was found in term of the BMI between case and control group. There was significant relationship between WHR and plasma HDL cholesterol (p0.034; OR=2,55; 95%CI= 1,06-6,15). Significant positive correlation between MUFA intake and plasma HDL cholesterol in the control group was found (p=O,Ol;r~,29). There was significant negative correlation between WHR and plasma HDL cholesterol in the control group (p=),03;r=-0,23). Other variables did not show any relationship with plasma HDL cholesterol.
Conclusion:
1. There was significant positive correlation between MUFA intake and plasma HDL cholesterol and negative correlation between WHR and plasma HDL cholesterol in the control group.
2. There was significant relationship between WHR and plasma HDL cholesterol. Relationship between of MUFA intake (l5% total calorie and plasma HDL cholesterol has not been proved yet.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T12362
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nita Dwi Octavianie
"Skripsi ini menjelaskan tentang faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kejadian penyakit jantung koroner pada wanita. Penelitian dilakukan menggunakan desain cross-sectional dan data sekunder berasal dari rekam medis di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Dari 224 responden yang diteliti, variabel penelitian berupa status obesitas, merokok, konsumsi alkohol, umur, pendidikan dan status pekerjaan ternyata tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap kejadian penyakit jantung koroner yang dialami pasien wanita di Rumah Sakit tersebut. Untuk aktivitas fisik tidak dapat diteliti karena data yang dibutuhkan tidak tersedia.

This thesis describes the factors that influence the incidence of coronary heart disease in women. This study uses a cross-sectional study design with secondary data derived from medical records at the National Cardiovascular Center Harapan Kita. The number of samples studied was 224 inpatients in that hospital. The study found that there was not a significant relationship between variables (obesity, smoking, alcohol consumption, and sociodemographic) with the incidence of coronary heart disease in women. For physical activity can not be investigated because the required data was not available."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
S44658
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Budiono
"Shear stress tinggi terbukti berkaitan dengan penglepasan dan peningkatan sintesa EDRF, khususnya nitrogen monoksida (NO). Telah diketahui bahwa konsep respon endotil terhadap shear stress mendasari perbaikan fungsi endotil pada penelitian in vitro maupun in vivo. Penelitian mengenai efek olah raga terhadap fungsi endotil pada binatang percobaan maupun penderita gagal jantung, menjelaskan dugaan bahwa stimulus peningkatan aliran darah yang berlangsung lama, dapat merangsang pemulihan disfungsi endotil. Adanya peningkatan aliran darah (shear stress) juga telah dibuktikan pada penderita yang menjalani enhanced external counterpulsation (EECP), sehingga diduga akan menimbulkan respon yang mirip dengan aktivitas olah raga, yaitu pelepasan NO oleh sel endotil. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan apakah terdapat peningkatan kadar NO plasma pada penderita penyakit jantung koroner yang mendapat perlakuan EECP. Dilakukan penelitian eksperimental dengan desain pra-pasca pada 20 penderita penyakit jantung koroner (PJK), di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita selama periode Mei - Juli 1999. Seluruh penderita berjenis kelamin laki koronerangiografi dengan hasil 9 (47,4%) penderita dengan penyempitan di tiga pembuluh koroner utama, 5 (26,3%) penderita dengan penyempitan laki, dengan rerata umur 58,1 ± 7,72 tahun, telah menjalani pemeriksaan dua pembuluh koroner utama dan 5 (26,3%) penderita dengan penyempitan pada satu pembuluh koroner utama. Satu orang penderita dikeluarkan dari penelitian karena akan operasi tumor paru. Seluruh penderita tersebut mendapat perlakuan EECP satu jam perhari sampai tiga puluh enam kali, minimal lima kali seminggu. Setelah puasa 12 jam, pengambilan sampel darah dari vena kubiti dilakukan sesaat sebelum EECP pertama dimulai dan sesaat sesudah EECP pertama selesai. Pengambilan sampel darah berikutnya dilakukan sesaat sebelum dan sesudah EECP ke tiga puluh enam. Kadar NO plasma diukur secara tidak langsung memakai reagen Griess. Analisa statistik dilakukan dengan uji non parametrik Wilcoxon sign rank test untuk distribusi tidak normal atau paired t test bila distribusi sampel normal, menggunakan perangkat Sigma Stat Jandel Scientific Software 1994. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antara kadar NO sebelum dan sesudah EECP ke-1 (p-0,046), sebelum EECP ke-1 dan sebelum EECP ke-36 (p=0,003) dan kadar NO sesudah EECP ke-36 dan sebelum EECP ke-1 (p=0,002). Sedangkan efek langsung peningkatan kadar NO pada EECP ke-36 tidak signifikan (p=0,181). Dari analisa statistik, kelompok umur < 60 tahun, memiliki peningkatan signifikan kadar NO3 dibanding dengan NO (p= 0,043) dibanding dengan kelompok umur ≥ 60 tahun (p= 0,077). Data tersebut memperlihatkan bahwa pada kelompok usia < 60 tahun memiliki respon lebih baik terhadap perlakuan EECP kumulatif dibandingkan dengan kelompok usia > 60 tahun. Keadaan ini sejalan dengan konsep bahwa proses penuaan berpengaruh terhadap fungsi endotil. Pengelompokan berdasar jumlah vessel disease memperlihatkan adanya peningkatan signifikan rerata kadar NO3 dibandingkan dengan NO (p=0,04) dan NO4 dengan NO1 (p=0,015) pada kelompok 1-2 vessel disease, sedangkan kelompok 3 vessel disease hanya terjadi peningkatan signifikan kadar NO4 dibandingkan dengan NO, (p=0,021). Peningkatan kadar NO yang belum signifikan, sekalipun telah mendapat perlakuan EECP 35 kali, mencerminkan bahwa perlakuan tersebut belum cukup adekuat untuk meningkatkan kemampuan memproduksi NO. Hal ini sesuai dengan penelitian Neunteufl dkk, yang mengatakan bahwa luasnya stenosis arteri koroner sebanding dengan luasnya disfungsi endotil sistemik. Seperti halnya pada organ lain, proses pemulihan fungsi akan sangat dipengaruhi oleh seberapa berat gangguan fungsi yang dihadapi. Secara umum hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilaporkan oleh Daisuke Masuda, dkk. Mereka, menggunakan tehnik pemeriksaan kadar NO dengan reagen Griess, melaporkan bahwa pada 11 pasien PJK yang dilakukan EECP selama 35 kali mengalami kenaikan rerata kadar NO dari 50 ± 26 menjadi 108 ± 9 uMolar/ L. Penelitian yang dilakukan oleh Giu-Fu Wu dkk, juga melaporkan terjadinya kenaikan rerata kadar NO secara signifikan pada 43 pasien PJK sejak jam pertama (1,26 ±0,06 menjadi 1,48 0,06 mg/ L, (1 pg/ul = 1μM)) dan kenaikan kadar NO tertinggi terjadi setelah EECP ke-36 (2,11 ± 0,20 mg/l). Kenaikan kadar NO diikuti penurunan kadar endotelin-1 sehingga rasio endotelin-1/ NO turun bermakna dari 96,37 5,95 menjadi 35,15 ± 4,39. Pada populasi penelitian kami, kadar basal NO lebih rendah. Populasi penelitian Masuda memiliki rerata kadar basal NO pra EECP 50 ± 26 Mol/L, sedangkan populasi penelitian kami 12,30 ± 6,82 µMol/L. Kadar NO basal yang lebih rendah mungkin menggambarkan kondisi disfungsi endotil yang lebih berat. Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan diantaranya ialah; 1. Jumlah sampel kecil. 2. Tidak dilakukan pemeriksaan pada beberapa hal yang dapat mempengaruhi respon endotil terhadap stimulus shear stress seperti kadar gula darah dankadar kolesterol. KESIMPULAN:
1. Terjadi peningkatan kadar NO pada penderita PJK yang diberi perlakuan EECP
2. Pada kelompok usia kurang dari 60 tahun terjadi peningkatan kadar NO yang lebih tinggi daripada kelompok usia lebih dari 60 tahun.
3. Pada kelompok 2 vessel disease terjadi peningkatan kadar NO yang lebih tinggi daripada kelompok 3 vessel disease."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57279
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>