Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 71274 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nabila Fatin Aisiah
"Aripiprazol merupakan obat antipsikotik atipikal generasi ke dua yang digunakan pada gejala positif atau negatif skizofrenia, manik akut, gangguan bipolar, serta pengobatan tambahan untuk depresi. Obat ini tersedia dalam bentuk sediaan untuk penggunaan oral maupun injeksi. Penggunaan secara oral memiliki keterbatasan berupa kelarutan obat yang sangat rendah dalam air serta aripiprazol merupakan substrat dari P-gp di sawar darah otak sehingga dapat menghambat masuknya obat ke jaringan otak. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh formula nanosuspensi aripiprazol yang optimal untuk penghantaran intranasal ke otak berdasarkan metode permukaan respon, memperoleh profil disolusi nanosuspensi aripiprazol, dan meningkatkan nilai fluks aripiprazol dengan menggunakan formulasi sediaan nanosuspensi. Optimisasi formula dilakukan dengan menggunakan metode permukaan respon dengan desain eksperimen Box-Behnken untuk melihat pengaruh konsentrasi zat aktif dalam fase pelarut, konsentrasi polimer HPC, dan konsentrasi surfaktan Phospholipon 90G terhadap respon ukuran partikel, PDI, potensial zeta dan kadar nanosuspensi. Hasil percobaan terhadap 15 formula dianalisis menggunakan software Design Expert 13. Berdasarkan hasil optimisasi didapatkan dua formula rekomendasi (FK1 dan FK2) yang selanjutnya dikonfirmasi kesesuaian respon yang didapatkan dengan nilai prediksinya. Kedua formula memiliki karakteristik nanosuspensi yang baik dengan ukuran partikel <100 nm, distribusi ukuran yang homogen (PDI <0,4), nilai potensial zeta > +17 mV dan kadar pada rentang 99 – 100%. Formula FK2 memiliki hasil jumlah kumulatif obat terdisolusi dan terpenetrasi yang lebih tinggi dibandingkan FK1 serta serbuk aripiprazol murni. Oleh sebab itu, nanosuspensi FK2 yang dibuat dengan konsentrasi zat aktif dalam fase organik 18,1 mg/mL, konsentrasi HPC 0,149% dan konsentrasi Phospholipon 90G 1,4% dipilih sebagai formula optimal dan berpotensi untuk penghantaran intranasal ke otak.

Aripiprazole is a second-generation atypical antipsychotic drug used in positive or negative symptoms of schizophrenia, acute manic, and bipolar disorder, as well as a treatment adjunct for depression. This drug is available in oral or injection dosage forms. Oral use has limitations in the form of very low drug solubility in water, and aripiprazole is a substrate of P-gp in the blood-brain barrier, which can inhibit the entry of the drug into brain tissue. This research aims to obtain the optimal aripiprazole nanosuspension formula for nose-to-brain drug delivery based on the response surface method, obtain the dissolution profile of the aripiprazole nanosuspension, and increase the aripiprazole flux value using the nanosuspension formulation. Formula optimization was carried out using the response surface method with a Box-Behnken experimental design to see the effect of drug concentration in the solvent phase, HPC concentration, and Phospholipon 90G concentration on the response of particle size, PDI, zeta potential, and drug content. The experimental results of 15 formulas were analyzed using Design Expert 13 software. Based on the optimization results, two recommendation formulas were obtained (FK1 and FK2), which were then verified to confirm the responses obtained with the predicted values. Both formulas have good nanosuspension characteristics with particle sizes <100 nm, homogeneous size distribution (PDI <0.4), zeta potential values > +17 mV, and concentrations in the range of 99 – 100%. The FK2 formula has a higher cumulative amount of drug dissolution and penetration compared to FK1 and pure aripiprazole dispersion. Therefore, FK2 nanosuspension made with a drug concentration in the organic phase of 18.1 mg/mL, HPC concentration of 0.149%, and Phospholipon 90G concentration of 1.4% was chosen as the optimal formula and has potential for intranasal delivery to the brain."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kwok, Kevin
"Pirfenidon yang dihantarkan secara peroral mengalami metabolisme lintas pertama, sehingga memerlukan dosis tinggi dan berpotensi menyebabkan efek samping sistemik. Oleh karena itu, pengembangan rute alternatif bagi pirfenidon perlu dilakukan. Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa sistem penghantaran intrapulmonal berbasis solid lipid nanoparticles (SLN) dapat terdeposit dengan baik pada area alveolus paru-paru. Namun, karakteristik SLN dapat dipengaruhi oleh rasio lipid terhadap obat, jenis dan konsentrasi polimer. Oleh karena itu, optimisasi dengan metode permukaan respon perlu dilakukan untuk memperoleh formula SLN pirfenidon (P-SLN) yang optimal untuk penghantaran intrapulmonal. Lima belas formula disusun berdasarkan desain Box Behnken dengan tiga faktor yaitu, rasio lipid terhadap obat, jenis polimer dan konsentrasi polimer, serta tiga respon, meliputi ukuran partikel, PDI dan efisiensi penjerapan. Formula P-SLN optimal dikarakterisasi meliputi morfologi, kadar lembab, performa aerodinamik, studi disolusi dan stabilitas. Hasil optimisasi menunjukkan bahwa P-SLN optimal tersusun dari rasio lipid terhadap obat 6:1 dan 0,5% Plasdone K-29/32 (FO1). P-SLN FO1 memiliki bentuk sferis dengan ukuran partikel 212,67 nm, PDI 0,39, efisiensi penjerapan 95,02%, dan kadar lembab 1,59%. FO1 memiliki mass median aerodynamic diameter berkisar antara 0,54–12,12 μm. Selain itu, FO1 melepaskan pirfenidon sebanyak 89,61% dan 69,28% dalam medium pH 4,5 dan pH 7,4 selama 45 menit. Sebagai kesimpulan, FO1 terbukti memiliki karakteristik yang sesuai untuk menghantarkan pirfenidon melalui rute intrapulmonal.

Orally administration of pirfenidone undergoes first-pass metabolism, hence requires high dose level and leads to systemic side effects. Therefore, it is necessary to develop an alternative route of administration for pirfenidone. Previous research reported that the solid lipid nanoparticle-based (SLN) intrapulmonary drug delivery system (IPDDS) was deposit well in the alveolar region of the lungs. However, the characteristics of SLN could be influenced by lipid-to-drug ratio, polymer type and concentration. Therefore, optimization using response surface methodology was carried out to obtain the optimized pirfenidon-loaded SLN (P-SLN) formula for IPDDS. Box-Behnken design was applied to create 15 formulas comprising three factors, including lipid-to-drug ratio, type and concentration of polymer and three responses, including particle size, PDI and entrapment efficiency. The optimized P-SLN formula was characterized, including morphology, moisture content, aerodynamic performance, dissolution and stability studies. The optimization results yielded an optimized P-SLN comprised a lipid-to-drug ratio of 6:1 and 0.5% Plasdone K-29/32 (FO1). The P-SLN FO1 had a spherical shape with a particle size of 212.67 nm, PDI of 0.39, entrapment efficiency of 95.02%, and moisture content of 1.59%. FO1 had a mass median aerodynamic diameter ranging from 0.54–12.12 μm. In addition, FO1 release 89.61% and 69.28% pirfenidone for 45 minutes in buffer medium pH 4.5 and pH 7.4. In conclusion, FO1 was proven to have an appropriate IPDDS characteristics for delivering pirfenidone."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Eninta Kartagena
"Pasien yang diberikan terapi antipsikosis dapat mengalami efek samping sehingga diperlukan kombinasi obat. Kombinasi obat dapat menimbulkan risiko terjadinya interaksi obat. Interaksi obat dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan ataupun merugikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran peresepan dan masalah interaksi pada peresepan golongan antipsikotik di Apotek X, Jakarta Timur. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan metode potong lintang. Analisis menggunakan aplikasi Micromedex dan uji Kai Kuadrat. Data diambil dari 436 lembar resep antipsikosis selama bulan Januari sampai dengan Februari 2017. Sebanyak 340 lembar resep 77,98 antipsikosis memiliki interaksi. Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara jumlah obat dalam satu resep dengan banyaknya interaksi yang terjadi. Haloperidol merupakan obat golongan antipsikosis yang paling banyak diresepkan dengan 156 lembar resep 30,29.

Patient who are given antipsychotic therapy may have side effects so that combination therapy may be required. Combination of drugs may cause the risk of drug interaction. Drug interaction may occur undesirable or harm effect. This study aim to determine the description of drug prescribing and drug interaction problem in the antipsychotic prescribing at Apotek X, East Jakarta. This study is descriptive analytical research based on the cross sectional method. Analysis using Micromedex application and Chi Square test. Data were taken from 436 antipsychotic prescription during the January February 2017. A total of 340 prescriptions 77,98 proofed to have drug interaction. This study concluded there is significant relationship between the total of drug prescribed with total of interaction. Haloperidol is the most widely prescribed antipsychotic drug with 156 30,29 prescription."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2017
S69395
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zahra Meilia Nisa
"Di Australia, Eropa dan Amerika Serikat, pembawa suspensi untuk pembuatan obat racikan yang diberikan secara oral telah beredar di pasaran dan dikenal dengan nama dagang Ora-Plus. Namun, sediaan Ora-Plus ini belum beredar di Indonesia sehingga perlu dibuat formulasi pembawa sediaan suspensi untuk pembuatan obat racikan. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh formula pembawa sediaan suspensi yang stabil secara fisik dan kimia setelah penambahan zat aktif berupa tablet diltiazem hidroklorida sebagai model obat. Uji stabilitas dilakukan selama 30 hari pada formula pembawa suspensi terpilih, yaitu formula A dan E. Uji stabilitas fisik dilakukan pada suhu kamar dengan pengujian terhadap bau, warna serta pH sediaan. Hasil menunjukkan bahwa suspensi oral diltiazem hidroklorida berwarna putih dan memiliki bau seperti obat, serta pH yang dihasilkan mengalami penurunan yang tidak terlalu jauh selama masa penyimpanan. Uji stabilitas kimia dilakukan pada dua kondisi yang berbeda, yaitu suhu kamar dan suhu 4±2ºC untuk selanjutnya dilakukan penetapan kadar menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Kadar suspensi oral diltiazem hidroklorida mengalami kenaikan dan penurunan selama masa penyimpanan sehingga dapat dikatakan bahwa suspensi oral diltiazem hidroklorida stabil secara fisik namun tidak stabil secara kimia.
In Australia, Europe and the United States, suspending vehicle which is made by the manufactures for extemporaneous compounding in oral medications are known under the Ora-Plus trade name. However, Ora-Plus has not distributed in Indonesia, therefore a suspending vehicle formulation for extemporaneous oral liquid compounding should be formulated. The objective of this research was to obtain the optimum concentration of suspending vehicle and to obtain a physically and chemically stable formulation of diltiazem hydrochloride suspension. Stability test of suspension had been carried out for 30 days in the selected suspending vehicle formulas (Formula A and E). Physical stability test was performed at room temperature and physical properties (odor and color) and pH of suspension was evaluated. The results showed that the oral suspension of diltiazem hydrochloride possessed white and drug-like odor, and the resulting pH decreased less significantly during storage. Chemical stability test was carried out in two different conditions, at room temperature and at 4±2ºC for chemical stability test in suspension using spectrophotometer UV-Vis. Concentration of diltiazem hydrochloride in the oral suspension showed fluctuation during storage period. Based on those results, it can be concluded that the oral suspension of diltiazem hydrochloride was physically stable but not chemically stable during the storage period."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2017
S69334
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vergnaud, Jean-Maurice
New York: Ellis Horwood, 1993
615.19 VER c
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Kardela
"Kerasionalan penggunaan obat berdasarkan indikator WHO merupakan penilaian rasionalitas penggunaan obat berdasarkan indikator peresepan, pelayanan pasien dan fasilitas kesehatan. Perencanaan dan pengadaan obat di Jakarta dilakukan oleh puskesmas kecamatan, sedangkan di kota Depok dilakukan oleh Dinkes Kota Depok. Penelitian ini bertujuan membandingkan kerasionalan penggunaan obat di puskesmas kota Jakarta Selatan dan Depok. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian potong lintang (cross sectional) dilakukan di empat puskesmas yaitu puskesmas Kecamatan dan Kelurahan Tebet Jakarta Selatan serta Kecamatan dan Kelurahan Pancoran Mas Depok pada bulan Maret - Oktober 2011. Kerasionalan penggunaan obat di empat Puskesmas belum cukup baik, terutama untuk rata-rata jumlah obat per-pasien 3.96, rata-rata peresepan antibiotik 47.83%, rata-rata persentase obat dengan pelabelan cukup 48.33% dan rata-rata persentase pasien yang memahami regimen obat 58.33%.
Hasil uji statistik Mann-Whitney menunjukan ada perbedaan bermakna (p<0.05) indikator peresepan dan pelayanan pasien. Rata-rata waktu penyiapan obat Puskesmas Kecamatan Tebet lebih tinggi dari pada Kecamatan Pancoran Mas. Peresentase antibiotik Puskesmas Kecamatan Tebet lebih tinggi dari pada Kelurahan Tebet Timur. Rata-rata waktu konsultasi Puskesmas Kelurahan Tebet Timur lebih tinggi dari pada Kecamatan Tebet, sedangkan untuk rata-rata waktu penyiapan obat lebih rendah. Rata-rata waktu konsultasi Puskesmas Kecamatan Pancoran Mas lebih rendah dari pada Kelurahan Depok Jaya. Tersedianya DOEN / Formularium disetiap puskesmas dan ketersediaan obat penting sebesar 98.75%."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T39374
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"There are unique challenges in the formulation, manufacture, analytical chemistry, and regulatory requirements of low-dose drugs. This book provides an overview of this specialized field and combines formulation, analytical, and regulatory aspects of low-dose development into a single reference book. It describes analytical methodologies like dissolution testing, solid state NMR, Raman microscopy, and LC-MS and presents manufacturing techniques such as granulation, compaction, and compression. Complete with case studies and a discussion of regulatory requirements.
"
Hoboken, New Jersey: John Wiley & Sons, 2009
e20393924
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Wijaya
"ABSTRAK
Antipsikotika adalah golongan obat psikotropika yang digunakan sebagai terapi utama penatalaksanaan skizofrenia. Antipsikotika di bagi menjadi dua golongan yaitu antipsikotika generasi pertama (Tipikal) dan antipsikotika generasi kedua (atipikal). Di Indonesia, hingga saat ini sedikit penelitian yang membahas mengenai pola penggunaan obat, khususnya mengenai rasionalitas penggunaan antipsikotika sesuai indikasi pada pasien skizofrenia. Penelitian retrospektif ini bertujuan untuk menganalisis survai penggunaan antipsikotika pada pasien skizofrenia yang di rawat inap meliputi karakteristik pasien, karakteristik klinis dan rasionalitas penggunaan antipsikotika. Data di ambil dari rekam medik pasien skizofrenia yang masuk ruang rawat inap Departemen Kesehatan Jiwa RSCM periode Juli 2014 hingga Juni 2015. Pada penelitian ini, dari 113 pasien yang di analisis, terdapat sebagian besar pemberian antipsikotika pasien skizofrenia yang di rawat tidak rasional (73,4%). Multifaktorial yang menyebabkan pengobatan tidak rasional menurut analisis penelitian seperti ketidaktepatan indikasi, tidak monoterapi, kombinasi yang tidak tepat, dan terjadinya efek samping pemberian antipsikotika pada pasien tersebut. Adanya hubungan antara keluaran klinis dengan frekuensi rawat inap, lama rawat inap dengan mono atau kombinasi terapi dan rasionalitas penggunaan antipsikotika dengan jaminan kesehatan pasien.

ABSTRACT
Antipsychotics are the class of psychotropic drugs that are used as primary therapy treatment of schizophrenia. Antipsychotics divided into two groups, first generation typical) and second generation (atypical). In Indonesian, recent data few studies discussing the patterns of drug use, especially regarding the use antipsikotika rationality as indicated in schizophrenic patients. This retrospective study aimed to analyze the survey antipsychotics use in schizophrenic patients were hospitalized include patient characteristics, clinical characteristics and rationality antipsychotics. Data were obtained from the medical records of patients with schizophrenia who came to Department of psychiatry RSCM during the period of July 2014 to June 2015. In this study, out of 113 patients evaluated, the frequency is higher treated schizophrenia patients are not rational (73.4%). Multifactorial causes irrational treatment according to the imprecision of the analysis as inaccuracies indication, not monotherapy, inaccuracies combination, and the occurrence of adverse reactions. The relationship between clinical output with a frequency of hospitalization, duration of hospitalization with mono or combination therapy and rationality antipsychotics use by healthcare patients.
"
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ana Hulliyyatul Jannah
"Penggunaan Obat Anti-Epilepsi (OAE) jangka panjang merupakan strategi terapi yang optimal setelah diagnosis epilepsi. Kepatuhan terhadap pengobatan merupakan salah satu masalah utama dalam keberhasilan terapi jangka panjang pada pasien epilepsi. Salah satu faktor yang berpotensi kuat mempengaruhi kepatuhan adalah adanya Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD). Epilepsi Lobus Temporal (ELT) merupakan tipe epilepsi fokal yang paling banyak; lebih dari 80% pasien ELT berpotensi resisten obat. Penelitian ini bertujuan untuk melihat ROTD OAE pada pasien ELT dan hubungannya dengan kepatuhan pengobatan. Metode penelitian yang digunakan adalah cross sectional study yang membandingkan ada/tidaknya ROTD menggunakan kuisioner Liverpool Advesre Event Profile (LAEP) dengan tingkat kepatuhan menggunakan kuisioner Morisky Adherence Questionaire (MAQ). Subyek penelitian adalah pasien ELT di Unit Rawat Jalan Departemen Neurologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo periode Agustus-Oktober 2019.
Hasil penelitian menunjukkan dari 88 pasien, 78.40% mengalami kejadian ROTD dan sebanyak 47.73% pasien memiliki tingkat kepatuhan sedang-rendah. Terdapat hubungan yang signifikan antara kejadian ROTD dan tingkat kepatuhan (p=0.039;OR 4.313). Hasil ini menunjukan pasien ELT yang mengalami kejadian ROTD memiliki kecenderungan untuk tidak patuh terhadap pengobatannya. Faktor lain yang berpengaruh secara signifikan terhadap kepatuhan pengobatan pasien yaitu jenis OAE (p=0,011; OR 0,249)). Jenis OAE yang memperlihatkan hubungan yang signifikan terhadap tingkat kepatuhan pengobatan adalah jenis OAE kombinasi (generasi lama dan generasi baru). Perlu dilakukan intervensi konseling secara berkala oleh farmasis untuk meningkatkan pemahaman mengenai ROTD yang terjadi selama penggunaan OAE dan edukasi terkait pentingnya kepatuhan pengobatan pasien.

The long-term use of Anti-Epileptic Drugs (AED) is an optimal therapeutic strategy after the diagnosis of epilepsy. Adherence to treatment is one of the main problems in the long-term success of therapy in epilepsy patients. One factor that has the potential to strongly influence adherence is the presence of Adverse Drug Reaction (ADR). Temporal Lobe Epilepsy (TLE) is the most common type of focal epilepsy; more than 80% of TLE patients are potentially drug resistant. This study aimed to explore the ADR of AED in TLE patients and its correlation with medication adherence. The research method used was a cross sectional study comparing the presence of ADR using the Liverpool Adverse Event Profile (LAEP) questionnaire with the level of compliance using the Morisky Adherence Questionaire (MAQ). The research subjects were TLE patients in the Outpatient Unit of the Department of Neurology, Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, August-October 2019.
The results showed that of 88 patients, 78.40% experienced ADR and 47.73% of patients had moderate-low adherence. There is a significant correlation between the incidence of ADR and the level of compliance (p = 0.031;OR = 4.35). Another factor that significantly affected patient adherence was type of AED (p = 0.011; OR 0.249). The type of AED that shows a significant relationship to the level of medication adherence is combination of old and new generation AED. These findings indicate that patients who experience ADR have a tendency to disobey their treatment. Interventions programmed by pharmacists need to be done to increase the understanding of ADR that occurs during AED use and education related to the importance of medication adherence.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
T55347
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karenna
"Nanoemulsi donepezil yang dihantarkan dari hidung ke otak dapat menjadi alternatif untuk meningkatkan akumulasi donepezil di otak dan menghindari efek samping di saluran cerna. Namun, penelitian sebelumnya masih menggunakan konsentrasi surfaktan yang dapat menimbulkan sitotoksisitas. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan nanoemulsi donepezil dengan droplet berukuran di bawah 200 nm, nilai potensial zeta lebih besar dari 30 mV, indeks polidispersitas kurang dari 0,3, pH mendekati pH fisiologis nasal, serta fluks permeasi in vitro yang lebih tinggi dari kontrol. Nanoemulsi m/a yang mengandung donepezil, asam oleat, Tween 80, PEG 400, BHT, dan air demineralisata dibentuk dengan metode homogenisasi kecepatan tinggi dan ultrasonikasi. Parameter organoleptis, ukuran, indeks polidispersitas, potensial zeta, pH, permeasi in vitro melalui mukosa nasal kambing, dan stabilitas tiga formula nanoemulsi yang mengandung 3%, 4%, dan 5% surfaktan dinilai dan dibandingkan. Ketiga nanoemulsi memiliki ukuran droplet di bawah 110 nm, potensial zeta mencapai -29,77 mV, indeks polidispersitas kurang dari 0,3, pH masih ditoleransi mukosa nasal, dan stabil dalam penyimpanan pada suhu 30 ± 2 °C maupun 5 ± 2 °C selama sebulan. Melalui studi ini disimpulkan bahwa nanoemulsi F2 memiliki karakteristik fisik yang baik dan fluks permeasi terbaik (9,51 ± 2,64¼g/cm2.jam) sehingga berpotensi digunakan untuk meningkatkan akumulasi donepezil di otak.

Donepezil nanoemulsion delivered via the nose to brain route can be an alternative to increase donepezil accumulation in the brain and avoid gastrointestinal side effects. However, previous study still used high surfactant concentrations which can cause cytotoxicity. This study aims to produce donepezil nanoemulsions with droplet sizes below 200 nm, zeta potential values greater than 30 mV, polydispersity index less than 0.3, pH nearing nasal physiological pH, and higher in vitro permeation compared to control. An o/w nanoemulsion comprising of donepezil base, oleic acid, Tween 80, PEG 400, BHT, and demineralized water was formed by high-speed homogenization and ultrasonication. Organoleptic, size, polydispersity index, zeta potential, pH, in vitro permeation through goat nasal mucosa, and the stability of three formulas containing 3%, 4%, and 5% surfactant were compared. All three nanoemulsions had droplet sizes below 110 nm, zeta potential up to -29.77 mV, polydispersity index less than 0.3, pH tolerated by nasal mucosa, and stable in storage at 30 ± 2 °C and 5 ± 2 °C for a month. This study concludes that the F2 nanoemulsion had good physical characteristics and the best permeation flux (9,51 ± 2,64¼g/cm2.hour), thus having potential to increase donepezil accumulation in the brain."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>