Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 29518 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Regina Talitha Rosa
"

Latar belakang: Angiofibroma nasofaring belia (ANB) adalah tumor fibrovaskular yang langka. Tingkat kekambuhan ANB diketahui memiliki angka yang tinggi. Kekambuhan tidak jarang dikaitkan dengan faktor genetik dan salah satunya adalah beta-catenin. Ekspresi beta-catenin telah diidentifikasi dapat memengaruhi pertumbuhan ANB, namun hubungannya dengan kekambuhan ANB masih perlu diteliti lebih lanjut. Metode: Penelitian ini merupakan studi analitik observasional dengan pendekatan kasus kontrol terhadap pasien ANB yang menjalani ekstirpasi tumor di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo antara tahun 2013 dan 2022. Data mengenai demografi, karakteristik tumor, prosedur pre-ekstirpasi, pendekatan bedah, dan perdarahan intraoperatif dikumpulkan melalui rekam medis. Pemeriksaan imunohistokimia dilakukan untuk mengetahui ekspresi beta-catenin. Hasil: Didapatkan 33 pasien ANB (18 termasuk kelompok tidak kambuh dan 15 dalam kelompok kambuh). Seluruh pasien merupakan laki-laki berusia antara 9 hingga 28 tahun, dengan rata-rata usia 16,2 tahun. Kelompok usia ≤18 tahun memiliki risiko kekambuhan ANB 8,91 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok usia >18 tahun (p=0,046). Ekspresi beta-catenin tinggi (≥124,2) memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menyebabkan kekambuhan dibandingkan dengan ekspresi beta-catenin rendah (<124,2) pada pasien ANB (p=0,000). Kesimpulan: Pasien ANB dengan ekspresi beta-catenin tinggi memiliki risiko kekambuhan yang lebih tinggi.


Background: Juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA) is a rare fibrovascular tumor known for its high recurrence rate. Recurrence is often linked to genetic factors such as beta-catenin. Although beta-catenin expression has been identified as influencing JNA growth, its relationship with JNA recurrence requires further investigation. Methods: This research employs an observational analytical study design with a case-control approach, focusing on JNA patients who underwent tumor extirpation at Cipto Mangunkusumo General Hospital between 2013 and 2022. Data on demographics, tumor characteristics, pre-extirpation procedures, surgical approaches, and intraoperative bleeding were collected from medical records. Immunohistochemical examination was conducted to determine beta-catenin expression. Results: Among the 33 JNA patients (18 were in the non-recurrent group and 15 were in the recurrent group). All patients were male, aged between 9 and 28 years, with an average age of 16.2 years. The age group ≤18 years had an 8.91 times higher risk of JNA recurrence compared to the age group >18 years (p=0.046). High beta-catenin expression (≥124.2) was associated with a higher risk of recurrence compared to low beta-catenin expression (<124.2) in ANB patients (p=0.000). Conclusion: JNA patients with high beta-catenin expression has a higher risk of recurrence."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susworo
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1987
616.21 SUS k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
"Adanya kuman patogen di daerah nasofaring merupakan faktor risiko untuk pnemonia. Menurut badan kesehatan sedunia (WHO), di komunitas, untuk melakukan uji resistensi terhadap berbagai antimikroba, sebaiknya spesimen diambil dengan apus nasofaring. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola bakteri yang ada di nasofaring balita penderita pnemonia dan resistensi kuman terhadap kotrimoksasol. Penelitian ini dilaksanakan di 4 Puskesmas di Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Indonesia. Semua anak dengan batuk dan /atau kesulitan bernafas dan diklasifikasikan sebagai pnemonia tidak berat menurut pedoman WHO, diikut sertakan pada penelitian. Apus nasofaring (sesuai pedoman CDC/WHO manual) dilakukan oleh dokter yang terlatih dan spesimen ditempatkan ke dalam media Amies transport, dan disimpan dalam termos, sebelum kemudian dibawa ke laboratorium untuk pemeriksaan selanjutnya, pada hari yang sama. Selama 9 bulan terdapat 698 anak dengan gejala klinis pnemonia tidak berat, yang diikut sertakan dalam penelitian. Sebanyak 25,4% (177/698) spesimen menunjukkan hasil isolat positif, 120 (67,8%) positif untuk S pneumoniae, masing-masing 21 untuk S epidermidis dan alpha streptococcus, 6 untuk Hafnia alvei, 5 untuk S aureus, 2 (1,13%) untuk B catarrhalis dan masing-masing 1 (0,6%) untuk H influenzae dan Klebsiella. Hasil uji resistensi S pneumonia terhadap kotrimoksasol menunjukkan 48,2% resisten penuh dan 32,7% resisten intermediate. Hasil ini hampir sama dengan penelitian lain di Asia. Tampaknya H influenzae tidak merupakan masalah, akan tetapi penelitian lebih lanjut perlu dilakukan. (Med J Indones 2002; 11: 164-8)

Pathogens in nasopharynx is a significant risk factor for pneumonia. According to WHO, isolates to be tested for antimicrobial resistance in the community should be obtained from nasopharyngeal (NP) swabs. The aim of this study is to know the bacterial patterns of the nasoparynx and cotrimoxazole resistance in under five-year old children with community acquired pneumonia. The study was carried out in 4 primary health clinic (Puskesmas) in Majalaya sub-district, Bandung, West Java, Indonesia. All underfive children with cough and/or difficult breathing and classified as having non-severe pneumonia (WHO guidelines) were included in the study. Nasopharyngeal swabs (CDC/WHO manual) were collected by the field doctor. The swabs were placed in Amies transport medium and stored in a sterile jar, before taken to the laboratory for further examination, in the same day. During this nine month study, 698 children with clinical signs of non-severe pneumonia were enrolled. About 25.4% (177/698) of the nasopharyngeal specimens yielded bacterial isolates; i.e. 120 (67.8%) were positive for S pneumoniae, 21 for S epidermidis and alpha streptococcus, 6 for Hafnia alvei, 5 for S aureus, 2 for B catarrhalis, and 1(0.6%) for H influenzae and Klebsiella, respectively. The antimicrobial resistance test to cotrimoxazole showed that 48.2% of S pneumoniae strain had full resistance and 32.7% showed intermediate resistance to cotrimoxazole. This result is almost similar to the other studies from Asian countries. It seems that H influenzae is not a problem in the study area, however, a further study is needed. (Med J Indones 2002; 11: 164-8)"
Medical Journal of Indonesia, 11 (3) July September 2002: 164-168, 2002
MJIN-11-3-JulSep2002-164
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Aini Hanifiah
"Latar belakang: Tingginya prevalensi kejadian kekambuhan kanker nasofaring (KNF) di negara dengan insidensi tinggi merupakan tantangan utama bagi klinisi dalam penganganan KNF kambuh karena angka mortalitasnya yang tinggi. Penilaian faktor-faktor untuk memprediksi kejadian kekambuhan KNF penting untuk diketahui agar bisa memprediksikan lebih awal dan memberikan strategi penanganan yang tepat bagi pasien KNF.
Tujuan: Mengetahui prevalensi, disease-free survival 60 bulan, dan faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya kekambuhan kanker nasofaring.
Metode: Studi kohort retrospektif dilakukan terhadap 350 subjek yang didiagnosis KNF dan dinyatakan remisi dari tahun 2015-2019 dan diamati selama 60 bulan setelah remisi. Dilakukan analisis bivariat antara usia, jenis kelamin, ukuran tumor, keterlibatan kelenjar getah bening, hasil histopatologi, komorbid, dan terapi definitif menggunakan cox regression dan dilakukan analisis kesintasan dengan Kaplan Meier. Analisis multivariat menggunakan cox regression.
Hasil: Dari 350 subjek, didapatkan 127 (36,3%) mengalami KNF kambuh selama 60 bulan dengan median kesintasan adalah 25 bulan. Faktor-faktor prediktor yang berperan terhadap kejadian kekambuhan kanker nasofaring adalah jenis histopatologi, ukuran tumor, dan keterlibatan KGB dengan masing-masing HR 5,561 (2,324 — 13,305, p<0,001), 2,17 (1,00 — 4,69, p=0,049) dan HR 3,82 (1,99 — 7,29, p<0,001) berturut-turut.
Kesimpulan: Prevalensi kekambuhan KNF di studi ini termasuk tinggi dan faktor-faktor yang berperan penting sebagai prediktor kekambuhan KNF yaitu jenis histopatologi, ukuran tumor dan keterlibatan KGB.

Background: The high prevalence of recurrent nasopharyngeal cancer (NPC) in high incidence countries is major problem of recurrent NPC management due to its high mortality rate. Analysis of the predicting factors to recurrent NPC has an important role to improve treatment outcome.
Objective: To identify the prevalence, 60-month disease-free survival, and predictive of recurrent of nasopharyngeal cancer.
Methods: A retrospective cohort study was conducted on 350 subjects diagnosed with NPC and observed for 60 months after remission. Bivariate analysis of age, gender, tumor size, lymph node involvement, histopathological type, comorbidities, and definitive therapy was performed using the cox regression and survival analysis using Kaplan Meier. Multivariate analysis was performed using cox regression.
Results: Of the 350 subjects, 127 (36,3%) experienced recurrent NPC within 60 months with a median survival of 25 months. The predictive factors that played a role in the recurrent nasopharyngeal cancer were histopathological type, tumor size, and lymph node involvement with HR 5,561 (2,324 — 13,305, p<0,001), 2,17 (1,00 — 4,69, p=0,049) dan HR 3,82 (1,99 - 7,29, p<0,001) respectively.
Conclusion: The prevalence of recurrent NPC in this study is relatively and the important factors as predictors of recurrent NPC are histopathological type, tumor size and lymph node involvement.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Cahyanti
"Latar Belakang: Salah satu masalah dalam tatalaksana karsinoma nasofaring (KNF) adalah masih tingginya angka rekurensi pascaterapi. Hingga saat ini, biomarker yang digunakan di klinik untuk mengevaluasi hasil terapi definitif pada KNF adalah melalui CT scan nasofaring. Overekspresi Rad51 berhubungan dengan peningkatan resistensi sel tumor terhadap radiasi dan kemoterapi. Oleh karena rekurensi pascaterapi berhubungan dengan resistensi sel-sel tumornya, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menilai korelasi antara ekspresi Rad51 pada biopsi nasofaring sebelum terapi dengan penyusutan massa tumor pascaterapi yang diukur dengan metode unidimensional.
Bahan dan Metode: Studi potong lintang dilakukan pada 15 kasus KNF. Ekspresi Rad51 dinilai dari biopsi nasofaring sebelum terapi. Evaluasi hasil terapi dilihat dari penyusutan massa tumor, berdasarkan CT scan nasofaring sebelum dan setelah terapi definitif. Cara yang digunakan untuk mengukur penyusutan massa tumor adalah dengan mengukur diameter terpanjang (unidimensional).
Hasil: Ekspresi dari pewarnaan Rad51 yang dinilai berdasarkan skor-H menunjukkan hubungan bermakna dan korelasi yang kuat dengan penyusutan massa tumor. Diperoleh nilai p = 0,005 dan koefisien korelasi r = - 0,64.
Kesimpulan: Ekspresi Rad51 memiliki korelasi negatif dengan penyusutan massa tumor karsinoma nasofaring.

Background: The remain challenging problem in the management of nasopharyngeal carcinoma (NPC) is its higher rate of recurrency. Untill now, CT scan is the most common use biomarker to evaluate the treatment response after the definitive therapy. There’s a significance association between Rad51 overexpression and the increasing of resistancy to irradiation and chemotherapy in tumor cells and the resistancy of tumor cells correlates to its recurrency after therapy. Therefore, this study was conducted to evaluate the correlation between Rad51 expression level and the tumor’s shrinkage with unidimensional measurement. Material and
Methods: Fifteen cases of NPC were analyzed by a cross-sectional study. The expression of Rad51 were taken from the pretreatment of nasopharyngeal biopsy. The treatment response was evaluated from the nasopharyngeal CT scan, before and after definitive therapy, using the unidimensional measurement based on the change in sum longest diameter.
Result: The expression of Rad51 immunostaining assessed by the H-score were strongly correlate with the regression of the tumor mass which represent the treatment response. The p value is 0,005 and the correlation’s coefficient is -0,64.
Conclusion: There is significant correlation with negative magnitude between the expression of Rad51 with the shrinkage of tumor mass in nasopharyngeal carcinoma.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Samuel Raymond Rumantir Wardhana
"Latar belakang: Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma (JNA) merupakan tumor jinak nasofaring yang bersifat hipervaskular, agresif lokal, dan destruktif. Pencitraan sebelum pembedahan untuk menentukan ukuran dan perluasan tumor, serta embolisasi preoperatif dapat mempengaruhi jumlah perdarahan intraoperatif, yang merupakan salah satu faktor morbiditas pada pasien JNA. Penelitian ini bertujuan untuk menilai pengaruh karakteristik tumor antara lain ukuran tumor, staging, dan pembuluh darah yang memperdarahi tumor, serta efek dari embolisasi preoperatif terhadap jumlah perdarahan intraoperatif.
Metode: Penelitian dilakukan pada pasien JNA yang menjalani embolisasi preoperatif dan operasi pengangkatan tumor di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo sejak tahun 2018 hingga Maret 2022. Dilakukan penilaian ukuran tumor dan staging, serta identifikasi feeding artery menggunakan CT/MRI dan juga DSA embolisasi preoperatif, kemudian dilakukan analisis perbandingan dan korelasi terhadap jumlah perdaran intraoperatif.
Hasil: Terdapat 21 pasien JNA yang menjalani embolisasi preoperatif dan pengangkatan tumor. Didapatkan perbedaan jumlah perdarahan intraoperatif yang bermakna antara pasien JNA stadium III dibandingkan dengan stadium I-II (p=0,006). Jumlah perdarahan intraoperatif lebih banyak pada tumor yang berukuran lebih besar, namun didapatkan korelasi yang lemah (R=0,43; p=0,051). Jumlah perdarahan intraoperatif juga berbeda bermakna pada tumor JNA dengan feeding artery dari kedua sisi arteri maksilaris interna dengan tumor JNA yang mendapatkan feeding artery satu sisi arteri maksilaris interna saja (p=0,009), serta keterlibatan feeding artery dari cabang arteri karotis interna (p=0,023). Persentase pembuluh darah yang dilakukan embolisasi preoperatif, juga mengurangi jumlah perdarahan intraoperatif (R=-0,36; p=0,113).
Kesimpulan: Pencitraan preoperatif pada pasien JNA memegang peranan penting dalam menentukan perluasan tumor (staging), ukuran tumor, dan feeding artery yang berpengaruh terhadap jumlah perdarahan intraoperatif pada pasien JNA. Tindakan embolisasi preoperatif juga memiliki peranan penting dalam mengurangi jumlah perdarahan intraoperatif

Background: Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma (JNA) is a benign tumor of the nasopharynx that is hypervascular, locally aggressive, and destructive. Imaging before surgery to determine the size and extent of the tumor, as well as preoperative embolization can affect the amount of intraoperative bleeding, which is one of the morbidity factors in JNA patients. This study aimed to assess the effect of tumor characteristics such as tumor size, staging, and blood vessels supplying the tumor, as well as the effect of preoperative embolization on the amount of intraoperative bleeding.
Methods: The study was conducted on JNA patients who underwent preoperative embolization and surgical removal of tumors at the Cipto Mangunkusumo National General Hospital from 2018 to March 2022. Tumor size and staging were assessed, as well as identification of feeding arteries using CT/MRI and DSA preoperative embolization, then we performed a comparative and correlation analysis of the amount of intraoperative bleeding.
Results: There were 21 JNA patients who underwent preoperative embolization and tumor removal. There was a significant difference in the amount of intraoperative bleeding between patients with stage III JNA compared to stage I-II (p = 0.006). The amount of intraoperative bleeding was higher in larger tumors, but a weak correlation was found (R=0.43; p=0.051). The amount of intraoperative bleeding was also significantly different in JNA tumors with feeding arteries from both sides of the internal maxillary artery compared to JNA tumors with feeding arteries on one side of the internal maxillary artery only (p=0.009), and the involvement of feeding arteries from the internal carotid artery branch (p=0.023). The percentage of vessels that underwent preoperative embolization also reduced the amount of intraoperative bleeding (R=-0.36; p=0.113).
Conclusion: Preoperative imaging in JNA patients plays an important role in determining tumor expansion (staging), tumor size, and feeding arteries that affect the amount of intraoperative bleeding in JNA patients. Preoperative embolization also have an important role in reducing the amount of intraoperative bleeding.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yoseph Adi Kristian
"Latar Belakang: Ekspresi PD-L1 sering ditemukan pada keganasan yang terkait dengan virus Epstein-Barr (EBV) seperti karsinoma nasofaring. Studi terbaru menunjukkan bahwa keganasan terkait EBV memiliki tingkat ekspresi PD-L1 yang tinggi. Tetapi mekanisme yang mendasari regulasi PD-L1 dan EBV terhadap ekstensi tumor masih kurang dipahami. Beberapa literatur menghubungkan parameter ini dengan tumor stadium lanjut dan prognosis buruk. Studi ini akan menilai konsentrasi PD-L1 dan DNA EBV pada jaringan tumor, pada pasien kanker nasofaring di populasi Indonesia yang dikumpulkan secara konsekutif dan dikorelasikan dengan ekstensivitas tumor. 
Metode: Kami menggunakan imunohistokimia dan ELISA untuk menilai PD-L1 dan reaksi rantai polimerase (PCR) juga dilakukan untuk menilai konsentrasi DNA EBV (EBNA-1 sebagai primer). Delineasi tumor dilanjutkan dengan perhitungan volumetrik menggunakan Eclipse Treatment Planning System. Semua pemeriksaan dilakukan pra terapi. Kami memperoleh data kuantitatif dan kualitatif. Kurva korelasi didapatkan menggunakan uji korelasi Pearson.  
Hasil: Tidak ada korelasi antara DNA EBV dan ekstensivitas kanker nasofaring dengan ekspresi PD-L1 positif (p = 0,371). Lebih lanjut, tidak ada korelasi antara DNA EBV dan PD-L1.  
Kesimpulan: Berapapun banyaknya tumor viral load DNA EBV dan konsentrasi PD-L1 tidak akan berpengaruh pada ekstensivitas tumor. Ini adalah studi pendahuluan.

Background: PD-L1 expression is often found in malignancies associated with Epstein-Barr virus (EBV) such as nasopharyngeal carcinoma. Recent studies shown that EBV-related malignancies have high levels of PD-L1 expression. But the mechanism underlying the regulation of PD-L1 and EBV DNA against tumor extension is still poorly understood. Some literature links this parameter with advanced tumors and poor prognosis. This study will assess tumor tissue PD-L1 and EBV DNA concentrations in nasopharyngeal cancer patients in the Indonesian population collected consecutively and correlate with tumor extensivity. 
Methods: We used immunohistochemical and ELISA to assess PD-L1 and polymerase chain reaction is also performed to assess the EBV DNA concentrations (EBNA-1 as primary). Tumor volume delineation continued with volumetric calculation using Eclipse treatment planning system. All examinations were carried out pre therapy. Quantitative and qualitative data was obtained. Correlation curves were estimated using the Pearson correlation test. 
Results: There was no correlation between EBV DNA and nasopharyngeal cancer extension with positive PD-L1 expression (p = 0.371). Furthermore, there is also no correlation existed between the EBV DNA copy and PD-L1. 
Conclusion: No matter how much tumor EBV DNA viral load and PD-L1 concentrations had no effect on tumor extensivity. This is a preliminary study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Latar belakang: Karsinoma Nasofaring (KNF) adalah keganasan dengan distribusi etnis dan geografis yang khas. KNF memiliki karakteristik yang berbeda dari kanker kepala dan leher lainnya, seperti perilaku pertumbuhan yang cepat, kecenderungan yang tinggi untuk bermetastasis ke kelenjar getah bening (KGB) regional dan organ jauh. E-cadherin memainkan peran penting dalam pemeliharaan adhesiantar sel-sel epitel. Perubahan molekul adhesi sel E-cadherin yang dimediasi oleh sel-sel kanker berkontribusi untuk peningkatan penyebaran sel tumor dan pembentukan metastasis. Tujuan: Untuk mengetahui perbedaan ekspresi E-cadherin pada KNF yang telah bermetastasis dengan KNF yang belum bermetastasis. Metode: Desain penelitian adalah studi kasus-kontrol. Subjek penelitian adalah blok parafindari pasien KNF yang telah menjalani biopsi. Blok dari pasien KNF yang telah bermetastasis dikategorikan sebagai kelompok kasus, sementara yang tidak bermetastasis sebagai kelompok kontrol. Sampel dari keduakelompok diperiksa dengan metode imunohistokimia (IHK) menggunakan antibodi E-cadherin. Hasil:Sampel 48 blok parafin, masing-masing kelompok terdiri dari 24 blok. Terdapat perbedaan yang signifikan ekspresi E-cadherin dengan p<0,001 dan Odds Ratio (OR) 87,4 (95% interval kepercayaan 10,15-2653,26). Terdapat pula hubungan yang signifikan antara penurunan ekspresi E-cadherin dengan status KGB leher(p<0,001), metastasis jauh (p=0,001), dan stadium penyakit (p=0,001). Kesimpulan: Terdapat perbedaan yang signifikan antara ekspresi E-cadherin pada kelompok KNF yang telah bermetastasis dibandingkan kelompok KNF yang belum bermetastasis."
ORLI 45:1 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Hamida Hayati Faisal
"Kanker Nasofaring KNF merupakan salah satu kasus keganasan paling sering di Indonesia dengan karakteristik yang unik secara epidemiologi, patologi dan klinis. Faktor prognosis KNF telah menjadi fokus penelitian yang cukup penting dalam sejumlah studi yang telah dilakukan. Penelitian ini bertujuan mengetahui karakteristik pasien KNF yang terdiagnosis di Poli THT RSCM serta angka kesintasan dengan melakukan analisis terhadap faktor yang berperan terhadap prognosis. Penelitian ini merupakan suatu penelitian kohort retrospektif dengan subjek penelitian bersifat total sampling pasien KNF yang terdiagnosis di Poli THT. Sebanyak 561 subjek penelitian ini, pria memiliki prevalensi sebanyak 2.8 kali daripada wanita. WHO tipe 3 dan WF tipe A menjadi jenis histopatologi paling dominan. Stadium IV A didapatkan pada 30.1 subjek dan 18.9 subjek sudah berada dalam kondisi metastasis jauh. Nilai tengah untuk waktu tunggu radiasi adalah 91 12-344 hari dengan durasi radiasi 53 39-95 hari. Stadium IVC, p= 0,000 , N3 p= 0,018 , metastasis jauh p= 0,000 , dan drop out atau tidak mendapat terapi p= 0,000 menjadi faktor yang memberikan kesintasan lebih buruk pada penelitian ini.

Nasopharyngeal Cancer NPC is one of the most frequent cancer in Indonesia which has a unique characteristic in epidemiology, pathology and clinical features. Prognostic factors are recently became the most important research foci, and a large number of investigation in this area have been performed. The objective of this study is to know the characteristics of NPC patients that have been diagnosed in ENT Department of RSCM and analyzed some factors that might have role in overall survival. This is the retrospective cohort study with total sampling subject. From 561 subjects, Male has 2.8 higher prevalence than female. WHO type 3 92,3 and WF type A 97,1 are the majority hisopathological result. Stage IV A is found in 30,1 subjects and 18,9 subjects were already in metastatic state. The median value of radiation waiting time was 91 12 344 days, duration time of radiation was 53 39 95 days. Stage IVC p 0,000 , N3 p 0,018 , distant metastatic p 0,000 , and drop out or no treatment p 0,000 are found to be the factors that give a negative impact in overall survival.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ucip Sucipto
"ABSTRAK
Kanker nasofaring (KNF) merupakan tumor daerah leher dan kepala dengan
penyebab yang kompleks. Pengobatan KNF mempunyai bebera pa metode
pengobatan salah satu diantaranya adalah dengan kemoradiasi. Kemoradiasi
merupakan pemberian kemoterapi yang diberikan secara besama-sama dengan
radioterapi. Tujuan penelitian ini untuk menggali pengalaman pasien KNF setelah
menjalani kemoradiasi. Metode penelitian dengan desaian kualitatif pendekatan
studi fenomenologi. Penelitian ini melibatkan sebelas partisipan. Pengambilan
data mengguakan wawancara mendalam, analisis data menggunakan Colaizzi.
Tiga tema teridentifikasi pada penelitian ini yaitu xerostomia adalah keluhan fisik
utama partisipan, penurunan interaksi sosial, dan adanya support system yang
adekuat dari keluarga. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengidentifik.asi
secara dini gejala xerostomia akibat efek samping kemoradiasi sehingga pasien
dapat beradaptasi dengan respon yang adaptif.

ABSTRACT
Nasopharyngeal cancer is a tumor of the head and neck with a complex cause.
treatment has several methods of treatment one of them is by chemoradiation.
Chemoradiation is a given of chemotherapy given jointly with radiotherapy. The
purpose of this study was to explore the experience of head and neck patients
who has underwentchemoradiation. Research method with qualitative design of
phenomenology study approach. The study involved eleven participants. Data
collection use in-depth interviews, data analysis using Colaizzi. Three themes
identified in this study are xerostomia arc the main physical complaints of
participants, decreased social interaction, and adequate support system from the
family. The results of this study are expected to identify early symptoms of
xerostomia due to the side effects of chernoradiation so that patients can adapt to
adaptive responses."
2017
T48300
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>