Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 195339 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Deckri Algamar
"Kehadiran UU PDP memperkenalkan (9) sembilan Hak Subjek Data yang ditujukan untuk meningkatkan pelindungan bagi individu saat dilakukan pemrosesan Data Pribadi terhadapnya. Dari berbagai Hak Subjek Data, Hak atas Akses yang ditemukan dalam Pasal 7 UU PDP menjadi salah satu hak utama untuk meningkatkan aspek transparansi dalam pemrosesan Data Pribadi serta mempermudah pelaksanaan Hak Subjek Data seperti Hak atas Rektifkasi, Hak atas Keberatan, dan berbagai hak lain. Tulisan ini akan meneliti  Hak atas Akses disertai prosedur pemenuhan kewajiban tersebut bagi Pengendali Data Pribadi serta mengidentifikasi permasalahan yang muncul dalam pemenuhan Permohonan Akses Subjek Data. Untuk menjawab permasalahan tersebut, tulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif disertai studi komparatif terhadap Hak atas Akses dengan California Consumer Privacy Act dan European Union General Data Protection Regulation sebagai peraturan privasi yang lebih matang pelaksanaannya. Tulisan ini menemukan empat aspek dari ketiga yurisdiksi tersebut yang dapat dibandingkan yaitu a) cakupan permohonan; b) pengajuan permohonan; c) tengggat waktu permohonan; dan d) penolakan permohonan. Berdasarkan temuan tersebut, bagian akhir tulisan ini mengajukan rekomendasi yang dapat diimplementasikan dalam draf Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 Tentang Pelindungan Data Pribadi.

The advent of Indonesia PDP Law introduces (9) nine new Data Subject Rights that aim to provide better protection for individuals when their data are being processed. Amongst others, the Right to Access stipulated under Article 7 UU PDP will become the cornerstone right to increase transparency in Personal Data processing alongside enabling Data Subjects to exercise other rights such as the Right to Rectification, the Right to Object, and others. This paper will analyze the Right to Access, explore the procedure to fulfill the Data Controller's obligation, and identify potential challenges that could arise from the Data Subject Access Request. To provide analysis, this research deploys a juridical normative approach in addition to comparative studies on the Right to Access under the California Consumer Privacy Act as an emerging regulation and the European Union General Data Protection Regulation with more mature developments. The paper found four aspects from the three jurisdictions to compare, which include 1) scope of the request, b) submitting the request, c) the deadline of the request, and d) rejecting the request. From such findings in theory and practice, the final part of this paper prescribes recommendations that can be implemented in Indonesia's Government Regulation Draft on the Implementation of Law No. 27 Year 2022 on Personal Data Protection."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadli Nur Iman Hasbullah
"Perkembangan teknologi dan digitalisasi membuat pemrosesan data pribadi semakin kompleks dan seringkali melibatkan lebih dari satu pihak yang melakukan pemrosesan data. Konsep pengendali data bersama atau Joint Controller hadir untuk mengakomodasi kondisi tersebut dimana para pengendali nantinya berbagi kontrol dalam menentukan tujuan dan cara pemrosesan data. Meskipun konsep ini mengatur adanya pembagian tanggung jawab antara pengendali data tetapi dalam praktiknya masih timbul kerancuan mengenai bagaimana menentukan para pihak termasuk dalam kondisi Joint Controller dan besaran pembagian pertanggungjawaban para pengendali apabila terjadi pelanggaran data. Terdapat contoh kasus di Uni Eropa seperti kasus Fashion ID dan Wirtschaftsakademie yang menunjukkan bahwa pihak yang tidak langsung mengendalikan atau memiliki kontrol terhadap data juga dapat dianggap sebagai Joint Controller meskipun tidak terdapat perjanjian secara eksplisit oleh para pihak dalam menentukan tujuan pemrosesan data. Tentunya, hal ini menimbulkan kerancuan bagi para pihak yang terlibat dalam Joint Controller nantinya. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana menentukan para pihak termasuk dalam Joint Controller dan pembagian pertanggungjawabannya apabila terjadi pelanggaran data. Penelitian ini menggunakan metode doktrinal dan menggunakan studi komparatif yang akan membahas bagaimana konsep dan pertanggungjawaban Joint Controller antara Indonesia dan Uni Eropa merujuk kepada dua kasus yang terjadi di Uni Eropa. Dapat disimpulkan bahwa Indonesia belum memiliki aturan dan penjelasan lebih lanjut terkait konsep pertanggungjawaban Joint Controller apabila dibandingkan di Uni Eropa yang telah memiliki pedoman dan penjelasan lebih lengkap. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia dan lembaga pelindungan data pribadi sepatutnya dapat membentuk suatu pedoman khusus untuk menentukan pihak yang bertanggung jawab dalam konsep Joint Controller dan bagaimana mekanisme pembagian pertanggungjawabannya.

The development of technology and digitalisation has made the processing of personal data more complex and often involves more than one party performing data processing. The concept of joint controller exists to accommodate this condition where the controllers will share control in determining the purposes and means of data processing. Although this concept regulates the sharing of responsibility between data controllers, in practice there is still confusion about how to determine the parties included in the Joint Controller condition and the amount of responsibility sharing of the controllers in the event of a data breach. There are examples of cases in the European Union such as the Fashion ID and Wirtschaftsakademie cases that show that parties that do not directly control or have control over data can also be considered as Joint Controllers even though there is no explicit agreement by the parties in determining the purpose of data processing. Of course, this creates confusion for the parties involved in the Joint Controller later. Therefore, this research aims to analyse how to determine the parties included in the Joint Controller and the division of liability in the event of a data breach. This research uses the doctrinal method and uses a comparative study that will discuss how the concept and liability of the Joint Controller between Indonesia and the European Union refer to two cases that occurred in the European Union. It can be concluded that Indonesia does not have further rules and explanations regarding the concept of Joint Controller liability when compared to the European Union which has more complete guidelines and explanations. Therefore, the Government of Indonesia and personal data protection institutions should be able to form a special guideline to determine the responsible party in the Joint Controller concept and how the mechanism for sharing responsibility."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maula Yusuf Ibrahim
"Transfer data pribadi merupakan salah satu bentuk dari pemrosesan data pribadi berupa perpindahan, pengiriman, atau penggandaan data pribadi. Terdapat tantangan dalam pelaksanaan transfer ini berkenaan dengan ketiadaan standar global mengenai pelindungan data pribadi yang menyebabkan adanya ketimpangan hukum. Akibatnya, berbagai negara menerapkan berbagai syarat agar sebuah data dapat ditransfer ke luar negeri, satunya adalah dengan prinsip kesetaraan. Prinsip ini menyatakan bahwa data hanya bisa ditransfer ke negara yang dianggap memiliki perlindungan data pribadi yang setara. Penelitian ini membahas apa yang dimaksud dengan kesetaraan dan bagaimana melakukan penilaiannya dan syarat-syarat transfer lain selain prinsip kesetaraan serta tantangan penerapannya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian doktrinal dengan pendekatan kualitatif dan studi komparasi. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa ketiadaan standar global menyebabkan berbagai negara memiliki instrumen perlindungan data pribadi yang berbeda-beda. Kondisi ini menyebabkan kemungkinan ketimpangan hukum antar dua negara yang melaksanakan transfer data, termasuk dalam menerapkan prinsip kesetaraan. Untuk mengatasi hal ini, baik Indonesia maupun Uni Eropa memberikan sejumlah syarat transfer selain prinsip kesetaraan.. Dalam menjaga data pribadi Indonesia ditengah keberagaman instrumen hukum data pribadi yang dimiliki berbagai negara ini, Indonesia dapat menerapkan sanksi administratif berupa penghapusan data pribadi yang penegakannya dapat dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Data Pribadi atau Jaksa Pengacara Negara.

Personal data transfer is a form of personal data processing that involves the movement, transmission, or duplication of personal data. There are challenges in carrying out such transfers due to the absence of global standards for personal data protection, which results in legal disparities. Consequently, various countries impose different requirements for transferring data abroad, one of which is the principle of adequacy. This principle states that data can only be transferred to countries that are deemed to have equivalent personal data protection. This research discusses what is meant by adequacy and how it is assessed, as well as other transfer requirements besides the adequacy principle and the challenges in its implementation. The research employs doctrinal legal research methods with a qualitative approach and comparative studies. The findings of the research indicate that the lack of global standards has led to different personal data protection instruments across countries. This situation creates the potential for legal disparities between two countries involved in data transfers, including the application of the adequacy principle. To address this, both Indonesia and the European Union provide a number of transfer conditions beyond the adequacy principle. To safeguard personal data in Indonesia amid the diversity of personal data protection instruments held by various countries, Indonesia could implement administrative sanctions, such as the deletion of personal data, which could be enforced by the Personal Data Protection Authority or the Attorney General's Office."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alif Farhan Dipolaksono
"Seiring dengan berkembangnya teknologi, pemrosesan terhadap data pribadi menjadi semakin diperlukan, termasuk terhadap data pribadi tentang anak. Meningkatnya penggunaan teknologi informasi oleh anak-anak menyebabkan anak-anak kerap kali menjadi subjek data dari kegiatan pemrosesan data pribadi. Namun, tidak seperti orang dewasa, anak masih memiliki keterbatasan untuk memahami implikasi kegiatan pemrosesan terhadap data pribadi tentang mereka. Anak-anak juga memiliki keterbatasan untuk mengendalikan peredaran data pribadi tentang mereka. Dalam menyikapi hal ini, perlu penerapan pelindungan data pribadi anak. Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi telah mengatur bahwa pemrosesan data pribadi anak diselenggarakan secara khusus. Namun, tidak ada pengaturan atau penjelasan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan secara khusus itu selain dari perlunya persetujuan orang tua. Hal ini menyebabkan adanya keperluan untuk pengaturan pelindungan data pribadi anak secara lebih lanjut. Dari sejumlah negara, hukum pelindungan data pribadi anak di Amerika Serikat dan Inggris cukup menarik untuk diperhatikan karena keduanya telah memiliki aturan terkait dan pengalaman dalam penegakan hukumnya. Selain itu, pendekatan yang diterapkan di antara kedua negara itu cukup berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah anak-anak memerlukan pelindungan data pribadi yang lebih khusus dibanding orang dewasa, bagaimana hukum pelindungan data pribadi anak diterapkan di Indonesia, dan hal-hal apa saja yang dapat diterapkan Indonesia dalam pelindungan data pribadi anak dari perbandingan pengaturan pelindungan data pribadi anak di Amerika Serikat dan Inggris. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yang menitikberatkan pada penelitan terhadap perbandingan hukum, yakni dengan membandingkan struktur atau kerangka hukum, substansi hukum, dan budaya hukum terkait pelindungan data pribadi anak di Indonesia, Amerika Serikat, dan Inggris tersebut.

As technology develops, processing of personal data becomes increasingly necessary, including personal data about children. The increasing use of information technology by children means that children often become data subjects from personal data processing activities. However, unlike adults, children still have limitations in understanding the implications of processing activities for personal data about them. Children also have limited control over the circulation of personal data about them. In responding to this, it is necessary to implement the protection of children's personal data. The Personal Data Protection Act has regulated that the processing of children's personal data shall be conducted in a special arrangement. However, there are no further provisions or explanations regarding this special arrangement apart from the need for parental approval. This causes the need for further regulation of the protection of children's personal data. From a number of countries, the law on the protection of children's personal data in the United States and the United Kingdom is quite interesting to note because both of them already have relevant regulations and experience in enforcing the law. In addition, the approaches used between the two countries are quite different. This study aims to find out whether children should receive more special personal data protection measures compared to adults, how the law on the protection of children's personal data is implemented in Indonesia, and what can Indonesia implement in protecting children's personal data from a comparison of child personal data protection regulations in the United States and the United Kingdom. This research is a normative juridical research that focuses on comparative legal research, namely by comparing the structure or legal framework, legal substance, and legal culture related to the protection of children's personal data in Indonesia, the United States and the United Kingdom"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ariq Irsyad Maulana
"

Skripsi ini membahas mengenai ketentuan data pribadi sebagai kekayaan debitur pailit dan dibandingkan dengan ketentuan yang terdapat pada Amerika Serikat. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normative, sehingga penelitian skripsi ini menggunakan pendekatan pada peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Data pribadi adalah semua data yang berhubungan dengan orang-perorangan yang teridentifikasi dan dapat diidentifikasi. Dikarenakan pesatnya perkembangan teknologi dan semakin banyaknya perusahaan-perusahaan berbasis teknologi yang menyimpan data pribadi masyarakat, mengakibatkan data pribadi memiliki nilai ekonomis yang memberikan kekayaan bagi perusahaan-perusahaan yang menyimpan data. Apalagi saat ini belum terdapat perlindungan terkait data pribadi apabila perusahaan penghimpun dan/atau pengelola data tersebut dinyatakan pailit. Hasil penelitian menyarankan bahwa diperlukan perubahan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau menerbitkan undang-undang terkait perlindungan data pribadi; Membatasi penjualan data hanya sebatas pada data yang telah diolah atau dianalisis tanpa mengungkapkan data pribadi konsumen dan melarang penjualan data pribadi; Mengawal dan membatasi setiap praktik-praktik penjualan data yang dilakukan; Mendirikan ombudsman perlindungan data atau memberikan wewenang pada Ombudsman Republik Indonesia dalam rangka melindungi data pribadi konsumen.

 


The focus of this study discuss about the provisions of personal data as the asset of debtors and compared with the provisions in the United States. This study use normative juridical research methods, and use an approach to the laws and regulations and court decisions. Personal data is all data relating to individuals that are identified and can be identified. Due to the rapid development of technology and the increasing number of technology-based companies that collect personal data, resulting in personal data has an economic value that gave income to companies that collect data. Moreover, currently there are no protection related to personal data if the collecting companies and/or data managers are declared bankrupt. The results of the study suggest that changes to Law Number 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Payment or issuing laws related to personal data protection; Limiting data sales is limited to data that has been processed or analyzed without revealing consumer personal data and prohibits the sale of personal data; Supervise and limit any data sales practices that are carried out; Establish a data protection ombudsman or authorize the Ombudsman of the Republic of Indonesia in order to protect consumers personal data.

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosalia Valentin Margareta
"ABSTRAK
Perlindungan Data Pribadi telah diatur dalam perundang-undangan Republik Indonesia. Peraturan tersebut melindungi dari pelanggaran data pribadi tidak terkecuali pada layanan ojek daring. Namun saat ini masih terdapat pelanggaran perlindungan data pribadi yang menyebabkan kerugian pelanggan. Di samping itu, isu pentingnya perlindungan data pribadi juga masih sedikit dibahas di Indonesia. Perlu diketahui persepsi perlindungan data pribadi oleh pelanggan digunakan untuk melihat bagaimana pengaruhnya terhadap keinginan atau niat pelanggan untuk memberikan data pribadinya pada saat menggunakan aplikasi ojek daring agar penyedia ojek daring dapat mengambil tindakan yang tepat dalam memenuhi kewajibannya untuk melindungi data pelanggan.
Untuk mengetahui pengaruh persepsi pelanggan terhadap perlindungan data pribadi pada ojek daring di Indonesia, dilakukan analisis dengan metode kuantitatif dan menggunakan Partial Least Square-Structural Equation Modeling (PLS-SEM). Variabel yang digunakan untuk mengetahui pengaruh persepsi pelanggan terhadap perlindungan data pribadi pada ojek daring di Indonesia, terdiri dari privacy violation experiences (pengalaman pelanggaran perlindungan data pribadi), privacy concern (kepedulian perlindungan data pribadi), risk beliefs (potensi kerugian yang dirasakan), trusting beliefs (kepercayaan terhadap penyedia layanan), dan behavioral intention (keinginan memberikan data pribadi). Dari hasil pengolahan data, diketahui bahwa pengalaman pelanggaran data pribadi tidak berpengaruh negatif terhadap kewaspadaan pelanggan dalam perlindungan data pribadi. Kewaspadaan pelanggan dalam perlindungan data pribadi tidak berpengaruh negatif pada tingkat kepercayaan pelanggan dan keinginan memberikan data pribadi. Namun hal tersebut berpengaruh positif pada potensi risiko yang dirasakan. Penelitian ini memberikan rekomendasi penyedia layanan ojek daring untuk mengembangkan inovasi TI perlindungan data yang lebih konkret, memperbaiki kebijakan privasi agar lebih muddah dimengerti, dan memberikan akses kontrol pelanggan."
2018
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gizscha Vivi Zhalsya Billa
"Perkembangan pesat teknologi dan informasi dalam era digital telah menghubungkan dunia melalui jaringan komputer yang dikenal sebagai Internet. Pertukaran data, termasuk data pribadi, menjadi hal yang umum terjadi. Namun, perlindungan terhadap data pribadi menjadi urgensi yang harus diatur melalui hukum. Data pribadi termasuk dalam hak privasi yang diakui secara internasional. Konsep privasi melibatkan hak individu untuk menikmati kehidupan dan mendapatkan perlindungan hukum terhadap informasi pribadi mereka. Di Indonesia, peraturan yang mengatur perlindungan data pribadi masih belum lengkap. Namun, pada September 2022, Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi disahkan oleh DPR sebagai landasan perlindungan data pribadi di Indonesia. Penulisan ini bertujuan untuk memahami konsep Konsen/persetujuan (Consent) yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang relevan dan memberikan perlindungan yang memadai kepada subjek data pribadi.

The rapid development of technology and information in the digital era has connected the world through a computer network known as the Internet. Exchange of data, including personal data, is common. However, protection of personal data is an urgency that must be regulated through law. Personal data falls under internationally recognized privacy rights. Privacy privacy involves the right of individuals to enjoy life and obtain legal protection of their personal information. In Indonesia, regulations governing the protection of personal data are still incomplete. However, in September 2022, the Law on Personal Data Protection was passed by the DPR as the foundation for personal data in Indonesia. This writing aims to understand the concept of Consent regulated in the relevant laws and regulations and provide adequate protection to personal data subjects."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sherina Sya'bania
"Pelindungan data pribadi bertujuan mencegah pencurian dan penyalahgunaan data untuk transaksi ilegal. Berangkat dari perumusan masalah tersebut, undang-undang pelindungan data pribadi dibutuhkan sebagai solusi agar tidak terjadi permasalahan tersebut. Namun, dalam pembentukannya, undang-undang pelindungan data pribadi memiliki beberapa permasalahan. Salah satu isu utamanya adalah perbedaan pendapat antara eksekutif (pemerintah) dan legislatif (DPR) mengenai kedudukan lembaga pengawas data pribadi. Penelitian ini berfokus untuk mengidentifikasi dan menganalisis mengapa kedudukan lembaga otoritas pengawas PDP dianggap sangat penting sehingga diperebutkan dan mengakibatkan pembentukan UU PDP memakan waktu tiga tahun. Penelitian ini berlandaskan pada teori kebijakan publik yang dikemukakan oleh Islamy (2000) yang memiliki empat langkah dalam proses pembentukan kebijakan publik, yaitu perumusan masalah, agenda kebijakan, alternatif kebijakan, dan penetapan kebijakan. Penelitian ini berargumen bahwa kedudukan lembaga otoritas pengawas PDP merupakan lembaga yang sangat penting dan dianggap sebagai motor penggerak dari undang-undang ini dan menjadi sebuah alternatif dalam kebijakan, sehingga kedudukannya pun diperebutkan oleh berbagai lembaga. Penelitian ini menemukan bahwa kedudukan lembaga otoritas pengawas ini memang diperebutkan oleh kedua lembaga yaitu pemerintah dan DPR karena alasan-alasan tertentu, DPR menginginkan kedudukan lembaga tersebut berdiri secara independen karena untuk mencegah timbulnya konflik kepentingan, perlu adanya pengawasan terhadap pengendali data, tidak hanya terbatas pada lembaga privat, tetapi juga melibatkan lembaga publik. Sementara, pemerintah menginginkan lembaga tersebut berdiri dibawah kementerian karena alasan efisiensi dan efektivitas. Kesimpulan yang didapat adalah melihat pentingnya lembaga otoritas pengawas sehingga diperdebatkan kedudukannya oleh para aktor tersebut membuat kedudukan lembaga otoritas pengawas diserahkan atau diamanatkan ke Presiden dengan mengacu pada praktik di negara lain yang memiliki lembaga sejenis dan tertulis di Bab IX Pasal 58 bahwa lembaga pengawas tersebut akan ditetapkan oleh Presiden dan akan bertanggung jawab oleh Presiden.

Personal data protection aims to prevent data theft and misuse for illegal transactions. Departing from the formulation of the problem, the personal data protection law is needed as a solution to prevent these problems from occurring. However, in its formation, the personal data protection law has several problems. One of the main issues is the difference of opinion between the executive (government) and legislative (DPR) regarding the position of the personal data supervisory institution. This research focuses on identifying and analyzing why the position of the PDP supervisory authority is considered so important that it was contested and resulted in the formation of the PDP Law taking three years. This research is based on the theory of public policy proposed by Islamy (2000) which has four steps in the process of public policy formation, namely problem formulation, policy agenda, policy alternatives, and policy determination. This research argues that the position of the PDP supervisory authority is a very important institution and is considered as the driving force of this law and an alternative in policy, so its position is contested by various institutions. This research found that the position of the supervisory authority was indeed contested by both the government and the DPR for certain reasons, the DPR wanted the institution to stand independently because to prevent conflicts of interest, it was necessary to supervise data controllers, not only limited to private institutions, but also involving public institutions. Meanwhile, the government wants the institution to stand under a ministry for reasons of efficiency and effectiveness. The conclusion is that seeing the importance of the supervisory authority institution so that its position is debated by these actors, the position of the supervisory authority institution is submitted or mandated to the President by referring to the practices in other countries that have similar institutions and written in Chapter IX Article 58 that the supervisory institution will be determined by the President and will be responsible by the President."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adrian Musyaffa Satrio
"Kasus pelanggaran keamanan data pribadi marak terjadi di Indonesia beberapa tahun belakangan. Akibat kasus tersebut menimbulkan berbagai kerugian terhadap Subjek Data Pribadi baik berbentuk materiil atau non-materiil. Terjadinya kebocoran data pribadi yang merugikan masyarakat ini sejatinya merupakan pelanggaran atas hak privasi serta mengancam hak konstitusional warga negara. Subjek Data Pribadi memiliki hak untuk dipulihkan dan menuntut ganti rugi atas kerugian yang timbul akibat kebocoran data. Namun, terdapat kesulitan dalam hal membuktikan dan menilai besaran nilai ganti rugi terutama kerugian non-materiil akibat kasus pelanggaran keamanan data pribadi ini. Indonesia sudah memiliki regulasi khusus di bidang pelindungan data pribadi melalui Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 (UU PDP). Akan tetapi UU PDP tidak mengatur secara jelas dan teknis mengenai tata cara pengenaan ganti rugi dan upaya pemulihan tersebut. Dengan begitu, pengaturan hukum atas upaya pemulihan dan hak menuntut ganti rugi akibat kasus pelanggaran keamanan data pribadi ini dapat merujuk peraturan perundang-undangan lain seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU Informasi dan Transaksi Elektronik, dan UU Perlindungan Konsumen. Terkait implementasinya di Indonesia, peraturan pelindungan data pribadi ini masih baru berlaku sehingga belum ditemukan adanya praktik yang terjadi. Jika dibandingkan dengan di Uni Eropa dan Negara Inggris, implementasi atas pemenuhan hak ganti rugi selain dilakukan melalui gugatan perdata juga dapat dilakukan diluar pengadilan seperti melalui mediasi dan arbitrase. Selain itu, gugatan ganti rugi terhadap pengelola data yang melanggar hukum juga sering dilakukan melalui mekanisme Gugatan Kelompok. Penelitian ini dilakukan melalui metode studi komparasi dengan membandingkan regulasi dan implementasi atas upaya pemulihan dan ganti rugi akibat kebocoran data pribadi di Uni Eropa dan Negara Inggris. Terhadap hasil penelitian ini, disarankan kepada Pemerintah untuk segera membentuk Peraturan Pelaksana atas UU PDP, segera membentuk Lembaga Pengawas Pelindungan Data Pribadi, serta kepada penelitian selanjutnya untuk membahas lebih tentang mekanisme gugatan secara kelompok atas kasus pelanggaran keamanan data pribadi.

Personal data breaches in Indonesia have been rampant in recent years. As a result, there have been various damages to Personal Data Subjects, both material and non-material. The occurrence of personal data breaches that harm society is actually a violation of the right to privacy and threatens the constitutional rights of citizens. Personal Data Subjects have the right to be restored and to claim compensation for losses arising from data breaches. However, there are difficulties in proving and assessing the amount of compensation, especially non-material damages, due to this case of violation of personal data security. Indonesia already has regulations for data protection through Law Number 27 of 2022 (UU PDP). However, UU PDP does not clearly and technically regulate the procedures for imposing compensation and remedies. Thus, the legal regulation of remedies and the right to claim compensation due to cases of personal data security breaches can refer to other laws and regulations such as the Civil Code, ITE Law, and Consumer Protection Law. Regarding its implementation in Indonesia, there is no practice for the remedies and claiming compensation yet. Compared to the implementation in European Union and the United Kingdom, the execution of the right to compensation besides being carried out through civil lawsuits, can also be carried out outside the court, such as through mediation. In addition, compensation claims against data controllers who violate the law are often carried out through the Class Action mechanism. This research is conducted through a comparative study method by comparing the regulation and implementation of remedies and compensation efforts due to personal data breaches in the European Union and the United Kingdom. Based on the results of this research, it is recommended that the Government immediately form an Implementing Regulation of the PDP Law, immediately form a Personal Data Protection Supervisory Agency, and regulate in more detail the mechanism for class actions in cases of violations of personal data security"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aqil Athalla Reksoprodjo
"Saat ini data pribadi sering digunakan oleh perusahaan untuk keperluan bisnis mereka. Namun, kelalaian mengenai keamanan data dapat menciptakan peluang untuk pelanggaran data yang dapat menyebabkan penyalahgunaan data pribadi. Untuk meningkatkan upaya perlindungan data pribadi, perlu adanya sistem keamanan data yang mumpuni. Pemilihan kerangka kerja penting dalam upaya meningkatkan perlindungan data pribadi. Penelitian ini dimaksudkan untuk menentukan pilihan pertama kerangka kerja alternatif perlindungan data pribadi. Pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP) digunakan untuk menentukan bobot kriteria seleksi dan Technique for Order of Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS) untuk menentukan peringkat alternatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ISO 27701:2019 merupakan pilihan utama untuk kerangka kerja perlindungan data pribadi bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia.

Nowadays personal data is often used by companies for their business purposes. However, negligence regarding the security of the data may create an opportunity for data breaching that could lead to misuse of the personal data. To improve personal data protection efforts, it is necessary to have a qualified data security system. The selection of a framework is important in efforts to improve personal data protection. This research is intended to determine the first choice of framework alternative for personal data protection. An Analytical Hierarchy Process (AHP) approach is used to determine the weight of selection criteria and the Technique for Order of Preference by Similarity to Ideal Solution (TOPSIS) for ranking the alternatives. The results show that ISO 27701 is the first choice for the framework for personal data protection for companies in Indonesia."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>