Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 130028 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Vivi Putri Rafely
"Penawaran umum perdana koin kripto, atau yang biasa dikenal sebagai Initial Coin Offering (ICO) merupakan mekanisme baru dalam menghimpun modal usaha dari masyarakat sebagai pelanggan koin kripto yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan start up. Mekanisme transaksi koin kripto dalam ICO melibatkan pelaku usaha (yang menerbitkan koin dan mengembangkan koin) dan kemudian koin tersebut ditawarkan kepada masyarakat secara umum. Mekanisme transaksi koin kripto melalui ICO pun tidak luput dari risiko, seperti yang telah terjadi di China dan Vietnam yang mengakibatkan kerugian hingga ratusan miliar rupiah. Namun, hingga saat ini masyarakat tidak bisa melakukan tuntutan ganti rugi. Hal ini dikarenakan tidak adanya regulasi yang mengatur atau melarang praktik ICO. Terdapat kekosongan hukum terkait mekanisme ICO di Indonesia. Di dalam Peraturan Bappebti No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Bappebti No. 8 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyelenggaraan Perdagangan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) di Bursa Berjangka Pasal 2 ayat (3) secara jelas menyebutkan bahwa ketentuan-ketentuan yng diatur di dalam Bappebti tidak mengatur tentang transaksi aset kripto melalui mekanisme ICO. Berkenaan dengan hal tersebut, penting untuk Bappebti agar segera merumuskan regulasi terkait mekanisme transaksi koin kripto dalam ICO, baik dengan cara membuat peraturan baru secara tersendiri yang khusus membahas ICO ataupun dapat membuat Perubahan atas Peraturan Bappebti No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Bappebti No. 8 Tahun 2021 tentang Pedoman Penyelenggaraan Perdagangan Pasar Fisik Aset Kripto (Crypto Asset) di Bursa Berjangka.

Initial Public Offering of crypto coins, or what is commonly known as Initial Coin Offering (ICO) is a new mechanism for raising capital effort from the public as customers of crypto coins carried out by start-up companies. The crypto coin transaction mechanism in an ICO involves business actors (those who issue coins and develop coins) and then the coins are offered to the general public. The crypto coins transaction mechanism by ICO is not free from risk, as has happened in China and Vietnam which resulted in losses of up to hundreds of billions rupiah. However, until now the community has not been able to claim compensation. This is because there are no regulations that regulate or prohibit ICO practices. There is a legal vacum regarding the ICO mechanism in Indonesia. In Bappebti Regulation Number 13 of 2022 about Amandements to Bappebti Regulation Number 8 of 2021 about Guidelines for Organizing Physical Market Trading for Crypto Assets (Crypto Assets) on the Futures Exchange. Article 2 paragraph (3) clearly states that the provisions regulated in Bappebti do not regulate crypto assets transactions through the ICO mechanism. In this regard, it is important for Bappebti to immediately formulate regulations about ICO Mechanism, either by making new regulations separately that specifically talking about ICO mechanism or by making changes to previous regulation, which is Bappebti Regulation Number 13 of 2022 about Amandements to Bappebti Regulation Number 8 of 2021 about Guidelines for Organizing Physical Market Trading for Crypto Assets (Crypto Assets) on the Futures Exchange."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Atha Maulana
"Pendanaan merupakan sebuah proses untuk mengumpulkan dana yang dilakukan oleh sebuah perusahaan maupun organisasi yang berfungsi sebagai pembiayaan kegiatan operasional, investasi, maupun proyek yang sedang dijalani oleh perusahaan maupun organisasi tersebut. Pendanaan merupakan hal yang vital dalam menjalankan sebuah usaha maupun bisnis dan pendanaan dapat memperluas usaha, memperkenalkan produk dari usaha tersebut, ataupun juga pendanaan dapat meningkatkan kapasitas produksi usaha. Selain itu juga, pendanaan dapat digunakan hal membayar utang sebuah perusahaan jika perusahaan tersebut membutuhkan pembiayaan secara cepat. Oleh karena itu, mulai muncul beberapa metode alternatif pendanaan yang dapat dilakukan oleh usaha yang bersangkutan untuk mendapatkan sumber modal dengan cara seperti crowdfunding, peer-to-peer lending, dan juga initial coin offering (ICO). Saat ini banyak perusahaan di luar negeri yang telah menerapkan sumber pendanaan yang berbasis pada ICO yang disebabkan oleh banyaknya peminat pada pasar koin kripto. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa koin kripto adalah sebuah bentuk uang digital yang berbasis pada uang digital yang menggunakan teknologi enkripsi untuk dapat mengamankan transaksi dan mengontrol pembuatan unit-unit baru yang berkaitan. Jika kita melihat ke belakang, token kripto ini hanya ada beberapa saja yang digunakan sebagai alat pembayaran alternatif yang bisa diakses tanpa batasan oleh siapa saja tanpa melalui pihak bank maupun pihak ketiga lainnya. Namun dengan semakin maju perkembangan pasar kripto di dunia, maka kemudian mulai terdapat banyak perusahaan-perusahaan yang menggunakan token kripto untuk dapat menghimpun dana suatu usaha atau dapat dikatakan sebagai project menggunakan teknologi yang bernama blockchain untuk dapat mengembangkan produk suatu perusahaan yang berkaitan dengan bidang keuangan, logistik maupun sektor-sektor lainnya.

Funding is a process for raising funds carried out by a company or organization that functions as financing operational activities, investments, and projects that are being undertaken by the company or organization. Funding is vital in running a business and funding can expand the business, introduce products from the business, or also funding can increase business production capacity. In addition, funding can be used to pay a company's debt if the company needs financing quickly. Therefore, several alternative funding methods have emerged that can be used by businesses to obtain capital sources such as crowdfunding, peer-to-peer lending, and initial coin offering (ICO). Currently, many companies abroad have implemented funding sources based on ICOs due to the large number of enthusiasts in the crypto coin market. As we all know that crypto coins are a form of digital money based on digital money that uses encryption technology to be able to secure transactions and control the creation of new related units. If we look back, there are only a few crypto tokens that are used as alternative means of payment that can be accessed without restrictions by anyone without going through banks or other third parties. However, with the development of the crypto market in the world, there are many companies that use crypto tokens to raise funds for a business or can be said to be a project using blockchain technology to develop a company's products related to finance, logistics and other sectors."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taufiq Akbar Kadir
"Penawaran umum koin kripto yang dikenal dengan Intial Coin Offering yang disingkat ICO adalah mekanisme baru untuk penggalangan modal usaha yang dilakukan oleh perusahaanprusahaan startup. Mekanisme transaksi koin kripto pada ICO ini melibatkan pelaku usaha (founder atau developper) yang menerbitkan koin atau token sebagai koin kripto baru, kemudian koin kripto tersebut ditawarkan kepada masyarakat secara umum disertai dengan dokumen Whitepaper. Mekanisme transaksi koin kripto melalui ICO di beberapa negara menimbulkan banyak masalah seperti praktek-praktek ICO schame atau ICO bodong yang terjadi di Cina dan Vietnam yang mengakibatkan kerugian hingga ratusan miliar, namun sampai saat ini masyarakat tidak bisa menuntut ganti rugi tersebut. Pokok persoalannya adalah tidak adanya regulasi yang mengatur atau melarang praktek ICO, di Indonesia Bappebti membuat Peraturan Bappebti Nomor 9 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Aset Kripto di Bursa Berjangka akan tetapi peraturan tersebut tidak mengatur tentang transaksi koin kripto saat ICO. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian juridis normatif dengan dukungan penelitian empiris, maka metode pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan empiris terkait praktek transaksi jual beli koin kripto pada ICO. Hasil analisis adalah terdapat permasalahan perlindungan konsumen dalam tahapan ICO seperti masalah pelanggaran hak atas informasi dan pelanggaran hak konsumen mendapat ganti rugi. Untuk mencegah terjadinya permalasahan konsumen tersebut di Indonesia, perlu adanya regulasi yang dibuat terkait transaksi koin kripto pada ICO. Regulasi ICO dapat dibuat dengan melakukan pendekatan dan penyesuaian dari peraturan-peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) yang menagatur tentang Initial Public Offering (IPO).

The public offering of crypto assets known as the Initial Coin Offering, abbreviated as ICO. The mechanism for crypto asset transactions in this ICO involves business actors (founders or developers) issuing coins as new crypto assets, then these crypto assets are offered to the general public by a Whitepaper. ICOs in several countries has caused many problems, such as ICO schame. The main problem is that there are no regulations that regulate ICO practices, in Indonesia Bappebti issued Regulation Number 9 of 2019 concerning Amendments to Commodity Futures Trading Regulatory Agency Regulation Number 5 of 2019 concerning Technical Provisions for Organizing the Physical Crypto Asset Market on the Futures Exchange, but it does not regulate the ICO. To answer these problems a normative juridical research method is used with statutory approach. The result is that there are consumer protection problems during the ICO stage, such as violations of the right to information and violations of consumer rights to compensation. To prevent this consumer problem, it is necessary to have regulations. ICO regulations can be made by approaching and adjusting to the regulations of the Financial Services Authority (POJK) which regulate Initial Public Offering (IPO)."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Samosir, Jeffry P.
"Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis bentuk perlindungan hukum salah satu APMK yaitu kartu kredit nasabah bank terhadap kejahatan kartu kredit. Adapun permasalahan dalam penelitian ini yaitu: Bagaimanakah ketentuan hukum mengenai kartu kredit di Indonesia dan Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap kejahatan kartu kredit nasabah bank di Indonesia. Dengan tingginya peredaran kartu kredit di Indonesia berpotensi terjadinya permasalahan hukum. Berdasarkan hal tersebut, penelitian bertujuan untuk melakukan analisis terkait dengan bentuk perlindungan hukum terhadap kejahatan kartu kredit di Indonesia. Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu legal/yuridis approach dimana akan diteliti terhadap penerapan azas-azas hukum, sistematika hukum yang telah ada, sinkronisasi hukum yang ada di Indonesia terkait kartu kredit dan perlindungan hukum. Berdasarkan analisis yang dilakukan dalam penelitian ini, diperoleh hasil bentuk perlindungan hukum bagi kartu kredit nasabah bank antara lain: perlindungan secara tidak langsung langsung dan perlindungan secara langsung. Perlindungan hukum secara tidak langsung meliputi UU No. 7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, UU No. 11 tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Informasi & Transaksi Elektronik. Perlindungan hukum secara langsung antara lain Peraturan Bank Indonesia Nomor 22/20/PBI/2020 Tentang Perlindungan Konsumen Bank Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 22/23/PBI/2020 Tentang Sistem Pembayaran, Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/16/DKSP/2014 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Perlindungan Konsumen Jasa Sistem Pembayaran.

This research was conducted to analysis the form legal protection either APMK, namely credit cards of bank customers against credit card crimes. Now problems in this research: How are the legal provisions regarding credit cards in Indonesia and How are legal protections against credit card crimes bank customers in Indonesia. With the high circulation of credit cards in Indonesia, there is the potential for legal problems. Based on this, the research aims to conduct an analysis related to the form of legal protection against credit card crimes in Indonesia. Type of research used in this study is the legal/juridical approach, which will examine the application of legal principles, existing legal systems, synchronization of existing laws in Indonesia regarding credit cards and legal protection. Based on the analysis conducted in this research, the results obtained from the form of legal protection for bank customer credit cards include: indirect protection and direct protection. Legal protection indirectly includes Law No. 7 of 1992 as amended by Law No. 10 of 1998 concerning Banking, Law No. 8 of 1999 concerning Consumer Protection, the Criminal Code, Law no. 11 of 2008 as amended by Law No. 19 of 2016 concerning Information & Electronic Transactions. Direct legal protection includes Bank Indonesia Regulation Number 22/20/PBI/2020 concerning Bank Indonesia Consumer Protection, Bank Indonesia Regulation Number 22/23/PBI/2020 concerning Payment Systems, Regulation of the Minister of Communications and Information Technology of the Republic of Indonesia Number 20 of 2016 concerning Protection of Personal Data in Electronic Systems, Circular Letter of Bank Indonesia Number 16/16/DKSP/2014 concerning Procedures for Implementation of Consumer Protection for Payment System Services."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggie Fauziah Dwiliandari
"Perkembangan ekonomi global mendorong ekosistem bisnis meningkatkan kesempatan perusahaan dalam mengembangkan dan mengekspansi usahanya. Dinamika pasar modal menghendaki turut berkembangnya mekanisme penawaran umum saham di bursa efek dalam rangka penyelenggaraan perdagangan efek. Perkembangan mekanisme penawaran umum tersebut menjadi salah satu upaya bagi perusahaan untuk memperbaiki struktur finansial perusahaan hingga memperluas jangkauan pasar. Berkaitan dengan hal tersebut, penawaran umum melalui Special Purpose Acquisition Company (SPAC) sebagai salah satu alternatif penawaran umum perdana yang tengah berkembang di pasar modal internasional, yang utamanya akan mendukung perusahaan rintisan (startup) dan teknologi, serta pelaku UMKM untuk dapat memasuki pasar modal Indonesia dan meningkatkan daya saing di antaranya. Struktur SPAC memiliki similaritas dengan struktur perusahaan cek kosong dan perusahaan cangkang, tetapi konsepsi SPAC memiliki kerangka regulasi yang lebih komprehensif, meskipun tidak menghilangkan risiko-risiko unik dari pelaksanaannya. Penelitian ini akan mengkaji konsepsi, karakteristik, dan pelaksanaan SPAC berdasarkan common wisdom praktik pasar modal. Penelitian ini kemudian menganalisis pelaksanaan SPAC sebagai alternatif penawaran umum perdana di Bursa Efek Indonesia dengan melihat komparasi terhadap praktik pelaksanaannya di Amerika Serikat, Malaysia, dan Singapura melalui pendekatan yuridis-normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bursa efek ketiga negara tersebut telah mengatur SPAC sebagai alternatif penawaran perdana pada bursa mereka dengan berbagai bentuk perlindungan hukum terhadap risiko-risiko yang dihadapi pemegang saham publiknya. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Indonesia perlu memperdalam kajian teknis dan kesiapan instrumen hukum untuk menerapkan SPAC di Bursa Efek Indonesia, serta memberikan berbagai bentuk perlindungan hukum yang optimal bagi pemegang saham publik dengan memerhatikan prinsip Good Corporate Governance, prinsip keadilan (fairness principle), dan prinsip keterbukaan informasi.

Global economic development encourages the business ecosystem to broaden the corporate’s opportunity to develop and expand its business. The capital market dynamics generate the equity public offering mechanism growth in the stock exchange for securities trading. The growth of public offering mechanism becomes one of the corporate’s attempts to fix its financial structure and widen its market reach. In this regard, public offering through a Special Purpose Acquisition Company (SPAC) as a growing initial public offering alternative in the international capital market practices, particularly will support startups and technology business sectors and the MSMEs actors to enter Indonesia’s capital market and increase the business competition within the market. The structure of SPAC has some similarities with the structure of blank check companies and shell companies in general, but the SPAC conception has a more comprehensive regulatory framework, although it does not eliminate the unique risks of its implementation. This research will examine the conception, characteristics, and implementation of SPAC based on the common wisdom of capital market practices. This research then analyzes SPAC as an initial public offering alternative on Indonesia Stock Exchange (IDX) by observing the comparison with the practice of its implementation in the United States, Malaysia, and Singapore, with a normative-juridical approach. This research determines that stock exchanges in the United States, Malaysia, and Singapore have regulated SPACs as an alternative to initial offerings on their exchanges with various forms of legal protection against the risks their public shareholders face. This research concludes that needs to conduct more extensive technical research and readiness of legal instruments to implement SPAC on IDX, as well as provide various forms of optimal legal protection to public shareholders by taking into account Good Corporate Governance, fairness, and disclosure principle."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tiara Nuswantari
"Yayasan merupakan badan hukum yang terdiri atas harta kekayaan yang dipisahkan dengan tujuan social, keagamaan dan kemanusiaan. Dengan diundangkannya Undang-undang nomor 16 Tahun 2001 juncto Undang-undang nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan, sudah seharusnya yayasan dijalankan dengan prinsip non-profit oriented. Pokok Permasalahan yang dibahas dalam penulisan tesis ini adalah perlindungan hukum terhadap harta kekayaan yayasan yang tidak berstatus sebagai badan hukum, perlindungan terhadap harta kekayaan yayasan yang telah berstatus sebagai badan hukum dan perlindungan terhadap harta kekayaan yayasan berdasarkan Undang-undang nomor 16 Tahun 2001 juncto Undang-undang nomor 28 Tahun 2004,serta penerapan asas keterbukaan dan akuntabilitas dalam pengelolaan harta kekayaan yayasan.
Penulisan ini menggunakan metode yuridis normative yaitu menitikberatkan pada peraturan yang berlaku, referensi dan literature-literatur serta pelaksanaan peraturan dalam prakteknya. Dari hasil penelitian ini ditemukan dalam praktek bahwa dengan diundangkannya Undang-undang nomor 16 tahun 2001 juncto Undang-undang nomor 28 Tahun 2004 sebenarnya harta kekayaan yayasan mendapatkan perlindungan hukum dari Undang-undang Yayasan tersebut. Untuk itu masih dibutuhkan peran aktif yang terkait kepada masyarakat dan juga kepada instansiinstansi yang terakut dengan permasalahan ini agar amanat Undang-undang dapat tercapai.

The Foundation is a legal entity consisting of separated assets with social purpose, religious and humanitarian. With the promulgation of Law No.16 Year 2001 Jo. Act No.28 of 2004 on Foundation, it has become a necessity that the foundation should be opearated using the principle of non-profit oriented. Subject to be discussed in this writing is about legal protection of Foundation?s assets as a non legal entity, as a legal entity and based on Law No.16 Year 2001 Jo. Act No. 28 of 2004 on Foundation.
This writing method is using the judicial normative which focuses on promulgation of Law No.16 Year 2001 Jo. Act No. 28 of 2004 on Foundation, Foundation?s assets actually get the legal protection of the Laws that apply Foundation. For it is still needed a very active role of government to socialize the law Foundation and other regulations related to society, to the agencies associated with the foundation so that the mandates of the Law can be achieved.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T31404
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Fauza
"Penelitian ini menganalisis bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen atas praktik penyalahgunaan dana konsumen dalam transaksi jual beli properti dengan sistem pre-project selling di Indonesia, serta norma pengaturan yang ideal terhadap penyalahgunaan dana konsumen dalam transaksi jual beli properti dengan sistem pre-project selling agar dapat memberikan perlindungan hukum bagi konsumen di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan tipologi penelitian deskriptif-analitis. Hasil penelitian ini menemukan Pengaturan yang ada saat ini belum dapat memberikan perlindungan yang maksimal terhadap konsumen atas praktik penyalahgunaan dana konsumen oleh pengembang dalam transaksi pembelian properti dengan sistem pre-project selling di Indonesia. Idealnya terdapat pengaturan secara khusus dalam UU Perlindungan Konsumen yang menegaskan bahwa pelaku usaha bertanggungjawab terhadap dana konsumen dalam transaksi jual beli dengan sistem pesanan sampai dengan diterimanya barang atau jasa oleh konsumen sesuai yang disepakati dengan pelaku usaha, serta adanya perluasan makna terhadap ketentuan Pasal 143 dan 160 UU Perumahan dan Kawasan Permukiman yang saat ini masih bersifat limitatif. Diperlukan pula penerapan pencairan kredit secara bertahap berdasarkan penilaian perkembangan proyek oleh bank kepada pengembang guna meminimalisir terjadinya penyalahgunaan dana pencairan kredit oleh pengembang yang dapat menyebabkan terhambatnya pembangunan proyek.

This research analyzes the legal protection for consumers from misappropriation of consumer’s fund in property purchase transactions that is conducted using the pre-project selling system, as well the ideal regulatory norms for protecting consumer’s funds in property purchase transactions in order to give legal protection for consumers in Indonesia. This research uses normative research methods with a descriptive-analytical typology of research. The results of this research found that the current regulations have not been able to provide maximum protection for consumers from the practice of misappropriation of consumer funds by property developers in property purchase transactions that is conducted using the pre-project selling system in Indonesia. Ideally, there is a regulation within the Indonesian Consumer Protection law that emphasizes that business actors are responsible of consumer funds in purchase transactions that is conducted using the pre-project selling system until the consumer receives goods and services accordingly, as well as an expansion of the meaning of the provisions of Articles 143 and 160 of the Housing and Settlement Areas Law. It is also necessary to apply credit disbursement from bank to developers in stages based on the bank’s assessment of the project’s progress in order to minimize misappropriation of credit disbursement funds by developers which can cause problems in the project development."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Yulianto
"Hubungan bisnis antara induk dan anak perusahaan sudah sering terjadi, salah satunya dibidang ketenagakerjaan yaitu dengan melakukan pemindahan pekerja antar induk dan anak perusahaan. Salah satu upaya pemindahan pekerja antar perusahaan adalah dengan cara penugasan pekerja, yaitu dengan cara menugaskan pekerja dari perusahaan asal untuk bekerja pada perusahaan penerima tanpa mengakhiri perjanjian kerja dari pekerja yang ditugaskan dengan perusahaan asal. Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia belum ada ketentuan yang mengatur bagaimana pelaksanaan pemindahan pekerja antar perusahaan, sehingga dalam tulisan ini terdapat tiga rumusan masalah yaitu bagaimana ketentuan mengenai penugasan pekerja antar induk perusahaan dan anak perusahaan, bagaimana perlindungan hukum terhadap pekerja yang ditugaskan selama penugasan antar induk perusahaan dan anak perusahaan, serta bagaimana ketentuan yang ideal mengenai pemindahan pekerja antar induk perusahaan dan anak perusahaan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian doktrinal yang memberi penjelasan secara sistematis mengenai penugasan pekerja antar perusahaan dengan cara menganilisis hubungan antar peraturan yang relevan dan memprediksi perkembangannya. Dalam penugasan pekerja antar induk perusahaan dan anak perusahaan melibatkan tiga subyek hukum yaitu perusahaan asal, perusahaan penerima, serta pekerja yang ditugaskan. Hubungan kerja serta hak dan kewajiban antara subyek hukum dalam penugasan harus dipastikan dalam perjanjian penugasan. Karena penugasan antar perusahaan tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, untuk memberikan perlindungan hukum kepada pekerja yang ditugaskan, maka ketentuan mengenai penugasan pekerja antar induk perusahaan dan anak perusahaan harus diatur dalam kaidah otonom yang melibatkan pekerja dalam pembentukannya yaitu Perjanjian Kerja Bersama (PKB), agar terwujud hubungan industrial yang harmonis.

Business relationships between parent and subsidiary companies often occurred, including in the field of employment, especially transferring workers between parent and subsidiary companies. One way to transfer workers between companies is by assigning employees from the original company to work at the host company without terminating the work agreement between workers and the original company. It's called employee secondment. There are no provisions governing how to carry out employee secondment between companies in Indonesian regulations, so in this paper there are three problem formulations, first of all, what are the provisions regarding employee secondment between parent companies and subsidiaries? Secondly, what is the legal protection for employee secondment during intercompany secondment? And the third, what are the ideal provisions regarding the employee secondment? The research method used in this research is doctrinal research, which provides a systematic explanation of employee second-met between companies by analyzing the relationship between relevant regulations and predicting their development. The second employee meeting between parent companies and subsidiaries involves three legal subjects, namely the originating company, the receiving company, and the assigned workers. The employment relationship as well as the rights and obligations between legal subjects in the secondment must be confirmed in the secondment agreement. Intercompany secondment is not regulated by Indonesian laws and regulations, so to provide legal protection for the secondee, provisions regarding employee secondment must be regulated by autonomous rules that involve employees in its formation. The Collective Labor Agreement is the best autonomous rule in order to realize harmonious industrial relations."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardian Hananto Seto
"Tulisan ini menganalisis mengenai bagaimana keabsahan perjanjian pinjam meminjam online ilegal, upaya perlindungan hukum terhadap debitur yang menggunakan aplikasi pinjaman Online ilegal dan upaya pemerintah dalam memberantas peredaran pinjaman Online ilegal di Indonesia, perlindungan hukum debitur melibatkan data pribadi (undang-undang), serta upaya preventif dan represif dari pemerintah. Pada dasarnya, kontrak elektronik atau digital ialah perjanjian antar pihak yang dibuat melalui sarana yang berbeda, khususnya sistem elektronik. Dengan mempergunakan metode penelitian doktriner, sumber data diperoleh dari data sekunder. Pasal 1320 KUH Perdata mengatur syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, yang berdampak pada sahnya perjanjian pinjam meminjam online. Perjanjian online dengan demikian sah apabila dianggap sah karena diatur di KUH Perdata, khususnya Pasal 1320 dan 1338 KUH Perdata yang mengatur tentang perjanjian. Akan tetapi, Perjanjian melalui pinjaman online Ilegal tidak sah menurut hukum perjanjian dan hukum nasional. Hal itu disebabkan pinjaman online Ilegal banyak melanggar peraturan hukum nasional seperti melakukan pemerasan sesuai Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan melanggar UU ITE serta perlindungan konsumen. Pemerintah telah melakukan edukasi literasi keuangan, sosialisasi hukum, dan analisis data pinjaman online ilegal. Tindakan represif termasuk larangan, penyelidikan, identifikasi situs berbahaya, rekomendasi tindakan, dan bantuan hukum bagi debitur yang mengalami kerugian.

This article analyze the validity of illegal online lending and borrowing agreements, legal protection efforts for debtors who use illegal online loan applications and the government's efforts to eradicate the distribution of illegal online loans in Indonesia, legal protection of debtors involving personal data (law), as well as efforts preventive and repressive measures from the government. Basically, electronic or digital contracts are agreements between parties made through different means, especially electronic systems. By using doctrinal research methods, data sources are obtained from secondary data. Article 1320 of the Civil Code regulates the conditions for the validity of an agreement, which has an impact on the validity of online lending and borrowing agreements. Online agreements are therefore valid if they are inline with the Civil Code, specifically Articles 1320 and 1338 of the Civil Code which regulate agreements. However, agreements via illegal online loans are invalid according to contract law and national law. This is because illegal online loans often violate national legal regulations, such as committing extortion in accordance with Article 368 of the Criminal Code (KUHP) and violating the ITE Law and consumer protection. The government has carried out financial literacy education, legal outreach, and data analysis of illegal online loans. Repressive measures include prohibitions, investigations, identification of dangerous sites, recommendations for action, and legal assistance for debtors who experience losses."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Joshua Gabriel Marcellio
"Skripsi ini membahas tentang permasalahan 1) perlindungan hukum bagi pemegang polis terhadap tindakan Twisting dan Churning di Indonesia dan Inggris; dan 2) perbandingan perlindungan hukum bagi pemegang polis terhadap tindakan tindakan Twisting dan Churning di Indonesia dengan Inggris. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan penggunaan data primer berupa wawancara dengan pihak yang berpengalaman di bidang asuransi, serta data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian ini adalah 1) di Indonesia, bentuk perlindungan hukum terhadap tindakan Twisting dan Churning adalah dengan memberikan tanggung jawab atas penggantian kerugian kepada perusahaan asuransi, hak untuk melakukan pengaduan ke perusahaan asuransi, BPKN, LPKSM dan BPSK, kewajiban perusahaan asuransi untuk melakukan pengendalian internal dalam rangka pencegahan tindakan Twisting dan Churning, kewenangan OJK untuk memerintahkan perusahaan asuransi memberhentikan perjanjian keagenan, penyelesaian sengketa melalui LAPS SJK, BPSK, dan pengadilan umum, serta pemberian sanksi kepada agen asuransi; sedangkan di Inggris, bentuk perlindungan hukum terhadap tindakan Twisting dan Churning adalah dengan memberikan tanggung jawab atas penggantian kerugian kepada perusahaan asuransi, hak untuk melakukan pengaduan ke perusahaan asuransi dan FOS, serta penyelesaian sengketa melalui mediasi FOS, arbitrase, dan county courts; 2) Perbandingan antara Indonesia dan Inggris terkait perlindungan hukum bagi pemegang polis terhadap tindakan Twisting dan Churning adalah adalah tidak adanya kewajiban bagi perusahaan asuransi untuk melakukan pengendalian internal dalam rangka pencegahan tindakan Twisting dan Churning di Inggris, tidak ada penyelesaian sengketa berupa arbitrase atau konsiliasi FOS, tidak ada penindaklanjutan dari FCA, serta tidak ada mekanisme pemberian sanksi kepada agen asuransi secara eksplisit di Inggris. Selanjutnya, saran dari Penulis adalah dibuatnya pengaturan perudangan mengenai masa tunggu yang wajib dilalui agen asuransi setelah pindah ke perusahaan asuransi yang baru.

This thesis discusses the problems of 1) legal protection for policyholders against act of Twisting and Churning in Indonesia and the UK; and 2) comparison of legal protection for policyholders against acts of Twisting and Churning in Indonesia and the UK. The research method used is normative juridical with the use of primary data in the form of interviews with parties experienced in the field of insurance, as well as secondary data in the form of primary, secondary, and tertiary legal materials. Data analysis is done qualitatively. The results of this study are 1) in Indonesia, the form of legal protection against Twisting and Churning actions is by providing responsibility for compensation of losses to insurance companies, the right to make complaints to insurance companies, BPKN, LPKSM and BPSK, the obligation of insurance companies to carry out internal controls in order to prevent Twisting and Churning actions, OJK's authority to order insurance companies to terminate agency agreements, dispute resolution through LAPS SJK, BPSK, and general courts, as well as sanctions against insurance agents; while in the UK, the form of legal protection against Twisting and Churning is to provide liability for compensation to the insurance company, the right to complain to the insurance company and the FOS, as well as dispute resolution through FOS mediation, arbitration, and county courts; 2) The comparison between Indonesia and the UK regarding legal protection for policyholders against Twisting and Churning is that there is no obligation for insurance companies to carry out internal controls in order to prevent Twisting and Churning in the UK, there is no dispute resolution in the form of FOS arbitration or FOS conciliation, no follow-up from the FCA, and there is no mechanism for sanctioning insurance agents explicitly in the UK. Furthermore, the author's suggestion is to make a regulation regarding the waiting period that must be passed by insurance agents after moving to a new insurance company."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>