Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 114646 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Vien Arina Ridwan
"Latar Belakang: Identifikasi jenis kelamin merupakan langkah awal yang penting dan akan memengaruhi analisis forensik selanjutnya. Pada kasus tertentu, identifikasi jenis kelamin terbatas pada tulang jenazah. Mastoid merupakan bagian tulang yang potensial, didukung dengan dimorfisme seksual tinggi, keutuhan dan simetrisitasnya. Tinggi mastoid konsisten menunjukkan nilai akurasi diskriminasi jenis kelamin yang cukup tinggi. Kombinasinya dengan parameter osteometrik lainnya meningkatkan akurasi hingga 85%. Di Indonesia, penelitian radiologis mengenai estimasi jenis kelamin berdasarkan parameter mastoid masih terbatas, sehingga diperlukan penelitian awal yang dapat mendukung penelitian pada cakupan yang lebih mendalam. Tujuan: Menilai perbandingan rerata pengukuran parameter osteometrik mastoid antara jenis kelamin, serta menentukan akurasi dan model prediksi estimasi jenis kelamin. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian perbandingan potong lintang, menggunakan data sekunder antemortem parameter osteometrik mastoid dari CT scan multiplanar. Tinggi mastoid sejati dan konvensional, diameter oblik dan sagital, serta volume mastoid diukur pada mastoid kanan dan kiri subjek. Jumlah subjek sebanyak masing-masing 105 perempuan dan laki-laki. Analisis komparatif dan penentuan titik potong dengan kurva ROC untuk menentukan akurasi (batas kemaknaan statistik alpha 5%). Model prediksi diperoleh dengan analisis regresi logistik. Hasil: Didapatkan perbedaan bermakna pada seluruh parameter mastoid antara laki-laki dan perempuan (p 0,000). Nilai AUC pada seluruh parameter mastoid berkisar antara 91,1%-96,5% dengan akurasi dalam estimasi jenis kelamin laki-laki berkisar antara 87%-93%. Estimasi jenis kelamin laki-laki menggunakaan kombinasi tinggi mastoid sejati dan konvensional, serta volume mastoid tertinggi dapat mencapai probabilitas sebesar 97%. Kesimpulan: Parameter osteometrik mastoid antara jenis kelamin menunjukkan perbedaan yang signifikan dan akurasi yang tinggi untuk estimasi jenis kelamin.

Background: Gender identification is an initial and essential step for further forensic analysis. In certain cases, gender identification is often restricted to skeletal remains. Mastoid process is potential skeletal remains for gender estimation, considering its sexual dimorphism, strength, and symmetry. Mastoid height demonstrates consistent high accuracy in gender discrimination. Combinated with other mastoid parameters enhances its accuracy for up to 85%. In Indonesia, radiological research on gender estimation using these parameters is limited, requiring initial study to support deeper research scope. Objective: To compare mastoid osteometric parameter measurements between gender, to assess its accuracy and prediction model for gender estimation. Methods: This study was a cross-sectional comparative study using secondary antemortem measurements of mastoid osteometric parameters from multiplanar CT scan, which included bilateral true and conventional mastoid height, oblique and sagittal diameter, and mastoid volume measurements. Measurement datas from 105 male and female subject were analyzed. Comparative analysis and cut-off point were determined using ROC curve analysis to obtain accuracy. Statistical significance threshold used was alpha 5%. Prediction model was obtained from logistic regression analysis. Results: All mastoid osteometric parameters showed significant differences between gender (p 0,000). AUC value from all parameters ranged from 91,1% to 96,5%, with accuracy for male gender estimastion ranged from 87% to 93%. Combination of true and conventional mastoid height, and mastoid volume offered probability of male estimation for up to 97%. Conclusion: Mastoid osteometric parameters in each gender group demonstrated statistically significant differences and highly accurate for gender estimation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Pelangi Wulan
"Latar belakang: Identifikasi forensik dengan parameter sinus sfenoidalis dapat berguna pada bencana massal di mana tubuh korban tidak lengkap, namun di Indonesia belum terdapat data parameter sinus sfenoidalis dan hubungannya dengan dismorfisme seksual pada populasi dewasa.
Tujuan: Menilai peran parameter sinus sfenoidalis dengan pemeriksaan MSCT untuk penentuan jenis kelamin pada populasi dewasa, dengan membandingkan diameter anteroposterior, laterolateral, kraniokaudal, dan volume sinus sfenoidalis antara laki- laki dan perempuan dewasa lalu menentukan titik potong dan akurasinya dalam menentukan jenis kelamin.
Metode: Penelitian ini dilaksanakan dengan desain potong lintang perbandingan. Terdapat 140 subjek penelitian (70 laki-laki dan 70 perempuan) berusia 20–45 tahun yang menjalani MSCT kepala, sinus, nasofaring, dan wajah pada periode April–Juni 2023. Analisis bivariat dilakukan pada setiap parameter sinus sfenoidalis untuk menentukan hubungannya dengan jenis kelamin.
Hasil: Perbedaan rerata dari seluruh parameter bermakna secara signifikan (p=0,000) antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan, dengan rerata laki-laki lebih besar dari perempuan. Titik potong untuk menentukan jenis kelamin laki-laki pada diameter anteroposterior adalah ≥2,94 cm (akurasi 67,9%), diameter laterolateral ≥3,595 cm (akurasi 62,9%), diameter kraniokaudal ≥2,235 cm (akurasi 73,6%), volume ≥12,265 cm3 (akurasi 69,3%). Kombinasi diameter anteroposterior dan kraniokaudal dapat memprediksi jenis kelamin laki-laki dengan probabilitas hingga 80,38%.
Kesimpulan: parameter sinus sfenoidalis dapat digunakan untuk menentukan luaran jenis kelamin.

Background: Forensic identification using sphenoidal sinus parameters can be helpful in mass disasters where the victim's body is incomplete. However, there is a lack of data regarding sphenoidal sinus parameters and their relationship with sexual dimorphism in the adult population in Indonesia.
Objective: To assess the role of sphenoidal sinus parameters in determining gender within the adult population using MSCT examination. This includes comparing the anteroposterior, laterolateral, craniocaudal diameters, and sphenoidal sinus volume between adult males and females. Additionally, it aims to establish cutoff points and accuracy in determining gender.
Method: A cross-sectional comparative design was employed in the study. The research involved 140 subjects (70 males and 70 females) aged 20–45 years who underwent head, sinus, nasopharynx, and facial MSCT scans between April and June 2023. Bivariate analysis was conducted for each sphenoidal sinus parameter to determine its association with gender.
Results: The mean differences in all parameters were significantly higher in males than in females (p=0.000). The cutoff points to determine male gender were as follows: anteroposterior diameter ≥2.94 cm (accuracy 67.9%), laterolateral diameter ≥3.595 cm (accuracy 62.9%), craniocaudal diameter ≥2.235 cm (accuracy 73.6%), and volume ≥12.265 cm3 (accuracy 69.3%). The combination of anteroposterior and craniocaudal diameters could predict male gender with a probability of up to 80.38%.
Conclusion: Sphenoidal sinus parameters can be utilized to determine gender.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hashila Gemellia
"Novel epistoler disebut sebagai genre sastra yang memiliki kemampuan dalam menyampaikan emosi secara efektif, karena dapat menampilkan sudut pandang subjektif karakternya secara mendalam. Dengan tokoh utama perempuan, novel ini mampu memperlihatkan subjektivitas karakter perempuan tersebut, dan mengaitkannya dengan gerakan feminisme gelombang keempat yang berfokus pada pemberdayaan perempuan. Artikel ini membahas isu mengenai diskriminasi gender yang terjadi pada tokoh-tokoh perempuan dalam novel Un Fils Parfait karya Mathieu Menegaux dan perjuangan mereka memperoleh keadilan. Daphné, seorang ibu dan wanita karir berkeinginan untuk membebaskan kedua putrinya dari suaminya, Maxime, yang diketahui melakukan tindakan agresi seksual pada mereka, meskipun tanpa adanya perlindungan ataupun pembelaan yang adil dari aparat kepolisian dan hukum Prancis. Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan bentuk-bentuk resistensi yang dilakukan oleh tokoh Daphné untuk memperoleh keadilan gender, baik bagi dirinya sendiri maupun kedua putrinya. Dengan metode kualitatif, penelitian ini akan menggunakan teori struktur naratif Roland Barthes untuk membedah struktur teks dan teori resistensi oleh James C. Scott, serta dibantu oleh teori feminisme eksistensial dari Simone de Beauvoir (1949) untuk memahami perlawanan Daphné memperoleh kesetaraan agar tidak terjebak pada determinasi sosial. Hasil analisis mengemukakan bentuk resistensi yang terjadi pada tokoh Daphné adalah resistensi terbuka dan semi-terbuka yang digunakan untuk melawan diskriminasi gender di era modern.

Epistolary novel is a literary genre that has the ability to convey emotions effectively, because it can display the subjective point of view of a character in depth. With a female main character, this novel is suitable to show the subjectivity of that female character, in accordance with the fourth wave feminism movement that focuses on empowering women. This article discusses the issue of gender discrimination that occurs in female characters in Mathieu Menegaux's novel, Un Fils Parfait, and their battle to achieve justice. Daphné, a mother and a career woman, fights to free her two daughters from her husband, Maxime, who is known to have sexually assaulted them, even without any protection or fair defense from the police and the French law. This study aims to describe the forms of resistance carried out by Daphné to obtain gender justice both for herself and her two daughters. With a qualitative method, this research will use Roland Barthes's theory of narrative structure to analyse the structure of the text and the theory of resistance by James C. Scott, as well as the existential feminism theory of Simone de Beauvoir (1949) to understand Daphné's resistance to achieve equality, so that she is not trapped in social determination. The results of the analysis show that the form of resistance that occurs in Daphné's character is open and semi-open resistance which is used to fight gender discrimination in the modern era."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Indonesia as a member of United Nations has received the convention on abolishment of all kinds discrimination toward women. On the 24th of July 1984 Indonesia ratified that convention by enacting no. 7/1984 Law on Legalization of the convention on abolishment of all kinds of discrimination toward women. Article 2 letter (f) of the convention states that all participant nations should make an effort to form exact regulations, including forming laws to revise and abolish discriminative laws, regulation, tradition, and practices toward women. But in reality, making a change of cultural tradition that has existed for a long time shoshuld undergo strict cultural selection."
2004
340 JEPX 24:1 (2004)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rina Fajarwati
"Latar Belakang: Identifikasi jenis kelamin membutuhkan sarana yang terjangkau dengan realibilitas yang baik, terutama pada kondisi jenazah yang terbakar hebat, rusak, atau terdekomposisi. Sinus maksilaris dan kanalis mandibularis merupakan salah satu struktur yang dapat digunakan untuk prakiraan jenis kelamin. Cone Beam Computed Tomography (CBCT) adalah metode non infasif yang dapat memberikan gambaran struktur anatomis maksilofasial termasuk sinus maksilaris dan kanalis mandibularis dengan resolusi yang tinggi, sehingga untuk kepentingan identifikasi forensik dapat memberikan pengukuran dengan akurasi tinggi. Tujuan: Hasil analisis perbedaan ukuran sinus maksilaris dan posisi kanalis mandibularis diharapkan dapat digunakan untuk prakiraan jenis kelamin. Metode: Membandingkan ukuran sinus maksilaris dan posisi kanalis mandibularis antara jenis kelamin menggunakan CBCT.
Hasil: Perbedaan yang bermakna pada ukuran sinus maksilaris, serta jarak dari kanalis mandibularis ke batas inferior mandibula antara laki-laki dan perempuan.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna pada tinggi, panjang, dan lebar sinus maksilaris antara laki-laki dan perempuan, dengan nilai rerata masing-masing laki-laki dan perempuan sebesar 39.4 ± 4.6 dan 33.9 ± 4.8 pada tinggi, 39.9 ± 3.2 dan 37.4 ± 2.4 pada panjang, serta 31.1 ± 4.6 dan 28.6 ± 3.8 pada lebar sinus maksilaris. Terdapat perbedaan bermakna pada jarak dari kanalis mandibularis ke batas inferior mandibula antara laki-laki dan perempuan, dengan nilai rerata pada laki-laki dan perempuan yaitu sebesar 7.7 ± 1.7 dan 6.8 ± 1.5. Berdasarkan ukuran tinggi dan panjang sinus maksilaris, serta jarak dari kanalis mandibularis ke batas inferior mandibula maka didapatkan rumus P = 1/1+e- [-16.613 + (<0.183 x TSM) + (0.204 x PSM) + (0.260 x JIKM)] untuk prakiraan jenis kelamin, dengan nilai ≥ 0.5 pada laki-laki dan < 0.5 pada perempuan.

Background: Gender identification requires a tool which has high reliability, especially in the conditions of the bodies that are severely burned, damaged, or decomposed. The maxillary sinus and mandibular canal are one of the maxillofacial structure that can be used to identify the gender. Cone Beam Computed Tomography (CBCT) is a non-invasive method which can visualize the anatomical of the maxillofacial structure including the maxillary sinus and mandibular canal with high-resolution so that CBCT can provide better measurements for forensic identification.
Aim: The results of the study can show the differences in maxillary sinus size and mandibular canal position which are expected to be used for gender identification.
Methods: Comparing the maxillary sinus size and mandibular canal position between genders using CBCT.
Result: The maxillary sinus sizes and the distance from the mandibular canal to the inferior border of the mandible between men and women were significantly different.
Summary: There were significant differences in the height, length, and width of the maxillary sinus between men and women, with the mean value of men and women, respectively were 39.4 ± 4.6 mm and 33.9 ± 4.8 mm for height, 39.9 ± 3.2 mm and 37.4 ± 2.4 mm for length, and 31.1 ± 4.6 mm and 28.6 ± 3.8 mm for width of the maxillary sinus. There was a significant difference in the distance from the mandibular canal to the inferior border of the mandible between men and women, with a mean value were 7.7 ± 1.7 mm and 6.8 ± 1.5 mm. Based on the height and length of the maxillary sinus, which exclude the width of the maxillary sinus, and the distance from the mandibular canal to the inferior border of the mandible, the formula for gender estimation was P = 1/1+e- [-16.613 + (0.183 x Height of maxillary sinus) + (0.204 x Length of maxillary sinus) + (0.260 x JIKM). The distance from the mandibular canal to the inferior border of the mandible with male values ≥ 0.5 whereas for women when < 0.5.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marisa Puspita Sary
"Konseptualisasi gender menyoroti proses konstruksi sosial mengenai kelaki-lakian dan keperempuanan sebagai kategori-kategori yang berlawanan dengan nilai-nilai sosial yang timpang. Adapun yang menjadi tekanan kuat pada teori-teori gender dalam hal ini adalah kekuasaan sosial, konstruksi persamaan dan perbedaan serta isu-isu dominasi Dominasi ini dibentuk, dirembeskan, dan dipertahankan melalui berbagai institusi dan nilai-nilai dalam masyarakat.
Media massa merupakan salah satu institusi yang secara sadar atau tidak turut andil dalam mengukuhkan keyakinan gender yang sudah tertanam di alam bawah sadar perempuan dari seluruh dunia bahwa mereka 'dikodratkan' menjadi ibu rumah tangga, dalam konteks yang lebih luas menjadi obyek yang inferior di hadapan subyek lad-lad yang superior. Melalui media massa, perspektif gender dapat secara efektif diperkenalkan kepada masyarakat mengingat media massa merupakan pembentuk opini publik yang potensial sehingga diharapkan memiliki peran yang besar dalam menyebarluaskan perspektif gender.
Perspektif gender di media massa khususnya di dunia jurnalistik dapat menimbulkan kepekaan gender (gender sensitivity), sehinggga tercipta suatu kesadaran bahwa fakta yang ada pada dasarnya merupakan hasil dari ketidaksetaraan dan keadilan gender yang berkaitan dengan dominasi kekuatan ekonomi-politik dan sosial budaya yang ada dalam masyarakat. Dengan adanya perspektif gender, media massa juga diharapkan dapat menjadi alat yang bermanfaat menjadi sarana untuk membebaskan dan memberdayakan kelompok-kelompok yang marjinal (khususnya perempuan). Berdasarkan permasalahan tersebut, permasalahan yang dikaji pada penelitian ini adalah : " Bagaimanakah frame jumalisme berperspektif gender terhadap pemberitaan isu-isu gender di Kompas dan Sinar Harapan sepanjang tahun 2003" Metode penelitian yang digunakan dalah metode analisis kualitatif, sedangkan perspektif metodologi penelitian ini adalah perspektif konstruktivisme. Sementara itu, metode analisisnya ialah analisis bingkai model Gamson dan Modigliani.
Subyek yang diteliti ialah berita-berita yang menampilkan isu-isu gender di Kompas dan Sinar Harapan sepanjang tahun 2003.Teori yang digunakan dalam penelitian ini ialah ; teori konstruksi atas realitas dari Berger dan Luckmann, teori Hierarcy of Influence dari Shoemaker dan Reese dan teori feminis yang digunakan dalam penelitian ini. Konsep jurnalisme berperspektif gender merupakan pendekatan yang muncul dari kesadaran bahwa perempuan menjadi warga kelas dua yang dalam segala aspek kehidupan tersubordinat. Pendekatan jurnalisme berperspektif gender merupakan pendekatan yang berdasarkan pandangan kritis. Dalam menganalisis teks berita isu-isu gender di Kompas & Sinar Harapan, penulis menggunakan paradigma konstruktivisme dalam rangka mengamati muatan jurnalisme berperspektif gender yang terdapat dalam teks pemberitaan tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Secara garis besar pemberitaan terhadap isu-isu gender yang ditampilkan Sinar Harapan menunjukkan bahwa untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender di berbagai bidang tidak hanya diperlukan intervensi dari aparat hukum dan pemerintah retapi juga penanganan yang serius terhadap pennasalahan yang menimpa kaum perempuan yang menyebabkan dirinya tertindas dan tersubordinasi.
Kompas lebih menekankan adanya problema kesetaraan gender dalam berbagai bentuk bentuk ketidakadilan perlakuan dan kesempatan terhadap perempuan adalah masalah yang kompleks (complicated). Hal ini disebabkan oleh kurangnya kesadaran perempuan sendiri akan hak-haknya, kondisi sosio cultural yang mengedepankan budaya patriarkis, kebiasaan atau adat dalam keluarga, masyarakat dan sistem pendidikan kita yang masih menerapkan pola asuh yang bias gender dan mendikotomikan ruang publik - ruang domestik, serta negara yang turut berperan seperti yang diharapkan.
Secara umum sensifitas gender telah terlihat pada pemberitaan Isu-Isu gender yang terdapat pada Sinar Harapan dan Kompas. Pemberitaan Isu-isu Gender yang ditampilkan Sinar Harapan dan Kompas terlihat sebagai bentuk idealisme dan kesadaran media terhadap fungsinya sebagai media massa, yaitu sebagai fungsi transmisi media yang strategis, karena menunjukkan kekuatan media massa dalam mempengaruhi masyarakat luas. Melalui fungsi ini media dapat menyampaikan ideologi maupun idealismenya, yang dapat mempengaruhi cara berpikir dan pelrilaku masyarakat untuk memiliki kesadaran terhadap pentingnya keadilan dan kesetaraan gender.
Kecenderungan ideologi gender yang dominan mewarnai pemberitaan isu-isu gender di Sinar Harapan dan Kompas untuk isu perempuan di pentas politik ialah ideologi feminisme, untuk isu kekerasan terhadap perempuan adalah feminisme radikal, sedangkan untuk isu perempuan dan pendidikan adalah feminisme liberal. Dari hasil penelitian ini dapat terlihat bahwa pendekatan jurnalisme berperspektif gender dapat dijadikan acuan bagi para akademisi dan praktisi media untuk mendeteksi sensifitas gender media dalam memberitakan isu-isu gender."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T14105
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Nurfirman
"Dominasi kelompok laki-laki terhadap perempuan dalam masyarakat menimbulkan diskriminasi gender di tempat kerja. Ketimpangan gender menunjukkan bagaimana perempuan tidak mampu berbicara lantang karena dibungkam oleh kelompok dominan. Akibat dari dominasi oleh laki-laki di tempat kerja adalah wanita tidak dapat mengekspresikan diri mereka dengan bebas. Jika wanita mencoba untuk menyuarakan suara mereka, akan menghambat efektifitas kerja dan berujung pada mengundurkan diri dari pekerjaan. Kejadian ini menunjukan Teori Muted Group yang berfokus pada kurangnya suara dan juga perlawanan terhadap pembungkaman. What Men Want (2019) adalah film produksi Amerika yang disutradarai oleh Adam Shankman yang menggambarkan diskriminasi gender di tempat kerja. Penelitian ini menggunakan analisis film naratif, yang bertujuan untuk menghubungkan teori Muted Group dengan keadaan lingkungan kehidupan nyata yang digambarkan dalam film What Men Want (2019). Studi ini digunakan untuk menunjukkan bahwa laki-laki terus mendominasi tempat kerja yang menghambat wanita untuk berkembang dalam pekerjaanya dan hal ini digambarkan dalam perfilman Amerika. Studi ini menemukan bahwa perempuan dianggap sebagai kelompok bisu karena perempuan tidak mendapatkan kesempatan promosi yang sama seperti laki-laki yang digambarkan dalam film What Men Want (2019) karena kebisuan dan ketidakmampuan mereka untuk tampil sesuai dengan pikiran dan bahasa mereka mengakibatkan diskriminasi di tempat kerja. oleh laki-laki. Film ini menggambarkan karakter perempuan sebagai sosok yang tidak berdaya di tempat kerja ketika pendapat mereka tidak didengar selama proses pengambilan keputusan karena laki-laki membungkam mereka sebagai kelompok dominasi. Untuk rekapitulasi, dominasi dan diskriminasi laki-laki terhadap perempuan di tempat kerja mengakibatkan pelecehan, penghinaan, dan merendahkan perempuan, seperti yang digambarkan dalam What Men Want (2019).

The domination of men over women in society creates gender discrimination in the workplace. Gender imbalance shows how women are unable to speak out loud because they are silenced by the dominant group. The result of domination by men in the workplace is that women cannot express themselves freely. If women try to voice their voices, it will hinder work effectiveness and lead to resigning from work. This would result in Muted Group Theory focuses on lack of voice as well as resistance to silencing. What Men Want (2019) is an American film directed by Adam Shankman that depicts gender discrimination in the workplace. This study uses narrative film analysis, which aims to connect Muted Group theory to the real-life environmental circumstance portrayed in the film What Men Want (2019). This study is used to show that men continue to dominate the workplace, which hinders women from developing in their jobs and this is depicted in American cinema. This study found that women are regarded as the muted group as women do not get equal promotion opportunities as men portrayed in the film What Men Want (2019) because of their silence and incapacity to perform in line with their thoughts and language results in workplace discrimination by males. The film illustrates women characters as powerless undervalued in the workplace when their opinion is unheard during the decision-making process because men are muting them as the domination group. To recapitulate, men's domination and discrimination towards women at work resulted in harassment, humiliation, and undervaluing women, as depicted in What Men Want (2019)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Nurfirman
"Dominasi kelompok laki-laki terhadap perempuan dalam masyarakat menimbulkan diskriminasi gender di tempat kerja. Ketimpangan gender menunjukkan bagaimana perempuan tidak mampu berbicara lantang karena dibungkam oleh kelompok dominan. Akibat dari dominasi oleh laki-laki di tempat kerja adalah wanita tidak dapat mengekspresikan diri mereka dengan bebas. Jika wanita mencoba untuk menyuarakan suara mereka, akan menghambat efektifitas kerja dan berujung pada mengundurkan diri dari pekerjaan. Kejadian ini menunjukan Teori Muted Group yang berfokus pada kurangnya suara dan juga perlawanan terhadap pembungkaman. What Men Want (2019) adalah film produksi Amerika yang disutradarai oleh Adam Shankman yang menggambarkan diskriminasi gender di tempat kerja. Penelitian ini menggunakan analisis film naratif, yang bertujuan untuk menghubungkan teori Muted Group dengan keadaan lingkungan kehidupan nyata yang digambarkan dalam film What Men Want (2019). Studi ini digunakan untuk menunjukkan bahwa laki-laki terus mendominasi tempat kerja yang menghambat wanita untuk berkembang dalam pekerjaanya dan hal ini digambarkan dalam perfilman Amerika. Studi ini menemukan bahwa perempuan dianggap sebagai kelompok bisu karena perempuan tidak mendapatkan kesempatan promosi yang sama seperti laki-laki yang digambarkan dalam film What Men Want (2019) karena kebisuan dan ketidakmampuan mereka untuk tampil sesuai dengan pikiran dan bahasa mereka mengakibatkan diskriminasi di tempat kerja. oleh laki-laki. Film ini menggambarkan karakter perempuan sebagai sosok yang tidak berdaya di tempat kerja ketika pendapat mereka tidak didengar selama proses pengambilan keputusan karena laki-laki membungkam mereka sebagai kelompok dominasi. Untuk rekapitulasi, dominasi dan diskriminasi laki-laki terhadap perempuan di tempat kerja mengakibatkan pelecehan, penghinaan, dan merendahkan perempuan, seperti yang digambarkan dalam What Men Want (2019).
The domination of men over women in society creates gender discrimination in the workplace. Gender imbalance shows how women are unable to speak out loud because they are silenced by the dominant group. The result of domination by men in the workplace is that women cannot express themselves freely. If women try to voice their voices, it will hinder work effectiveness and lead to resigning from work. This would result in Muted Group Theory focuses on lack of voice as well as resistance to silencing. What Men Want (2019) is an American film directed by Adam Shankman that depicts gender discrimination in the workplace. This study uses narrative film analysis, which aims to connect Muted Group theory to the real-life environmental circumstance portrayed in the film What Men Want (2019). This study is used to show that men continue to dominate the workplace, which hinders women from developing in their jobs and this is depicted in American cinema. This study found that women are regarded as the muted group as women do not get equal promotion opportunities as men portrayed in the film What Men Want (2019) because of their silence and incapacity to perform in line with their thoughts and language results in workplace discrimination by males. The film illustrates women characters as powerless undervalued in the workplace when their opinion is unheard during the decision-making process because men are muting them as the domination group. To recapitulate, men's domination and discrimination towards women at work resulted in harassment, humiliation, and undervaluing women, as depicted in What Men Want (2019).
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Discrimination is an attitude and behavior that violates human rights. Discrimination can also be interpreted as a treatment for individuals differently based on race, religion, or gender . Any harassment, restriction or exclusion to race religion, or gender includes discriminatory actions. The theme of discrimination experienced by many women made the writer want to examine it from literature point of view, especially Japanese literature. The problem in this paper is gender discrimination experienced by the main character in novel Ginko. In Ginko novel written by Junichi Watanabe, the theme of discrimination against women is very strong, as experienced by the main character named Gin Ogino. This study used feminist standpoint research with the assumption that gender discrimination in society in the novel cannot be separated from women's real experiences perceived by the author. In addition to stand on or derived from real experiences from the first woman doctor in Japan, which with all her efforts to break away from discrimination against women endured throughout her life: before marriage, divorce, attending medical school to become a doctor even after she was graduated from medical school, she still experienced gender discrimination. This study found that gender discrimination experienced by Ginko because she is a woman, in which at that time (the Meiji era) there were clear boundaries between men and women. Difficulty and discrimination experienced are because Ginko's ideals were considered impossible, because she wanted to become a doctor. Her ability and cleverness were obstructed just because she is a woman. It can be concluded in the Meiji era, there was discrimination against women reflected in the Novel Ginko."
LINCUL 8:1 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Wahid Wartabone
"Norma merupakan salah satu konsep kunci dalam Ilmu Hubungan Internasional yang secara umum didefinisikan sebagai standar perilaku yang memengaruhi aktor politik sesuai dengan identitas dan posisinya dalam sistem sosial dan internasional. Salah satu norma global adalah The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) yang secara khusus menyoroti diskriminasi dan kekerasan berbasis gender utamanya terhadap perempuan serta menetapkan agenda-agenda nasional untuk mencapai kesetaraan gender. Sejak CEDAW diadopsi oleh PBB pada tahun 1979, kesetaraan gender kian mengemuka dan menjadi agenda politik yang krusial untuk dibahas, baik secara akademis maupun praksis. Oleh karena itu, tulisan ini berupaya memetakan dan meninjau pembahasan mengenai norma kesetaraan gender dalam konteks politik global. Dengan menggunakan metode taksonomi, tulisan ini meninjau 23 literatur akademik dan menghasilkan tiga temuan utama. Pertama, makna norma kesetaraan gender bersifat dinamis dan kontekstual. Kedua, norma kesetaraan gender disebarkan oleh berbagai aktor politik dengan mekanisme dan strategi yang beragam serta tidak terjadi dalam proses satu arah global-ke-lokal saja, melainkan dengan berbagai dinamika di level domestik—dinamika inilah yang masih jarang dikaji dalam literatur-literatur yang ada. Ketiga, sebagian besar literatur hanya menyoroti peran aktor transnasional sehingga peran aktor lokal dan kelompok akar rumput cenderung terpinggirkan. Adapun hasil refleksi penulis terhadap literatur-literatur yang dikaji adalah bahwa kajian mengenai norma kesetaraan gender masih didominasi oleh akademisi dari Barat. Selain itu, pembahasan norma kesetaraan gender turut memiliki irisan dengan perspektif dari bidang ilmu lainnya. Pada bagian akhir tinjauan literatur ini, penulis merekomendasikan penelitian selanjutnya untuk mengkaji dinamika dan proses yang terjadi di level domestik serta peran aktor lokal dalam difusi norma kesetaraan gender.

Norm is one of the key concepts in International Relations which is generally defined as a standard of behavior that influences political actors according to their identities and positions in the social and international system. One of the global norms is The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) which specifically highlights gender-based discrimination and violence primarily against women and establishes national agendas to achieve gender equality. Since its adoption by the United Nations in 1979, gender equality has increasingly come to the fore and has become a crucial political agenda to be discussed, both academically and practically. Therefore, this paper seeks to map out and review discussions on gender equality norms in the context of global politics. Using the taxonomic method, this paper reviews 23 academic literatures and produces three main findings. First, the meaning of gender equality norms is dynamic and contextual. Second, gender equality norms are diffused by a constellation of political actors with various mechanisms and strategies and do not occur in a one-way process, global-to-local, but with various dynamics at the domestic level—these dynamics are rarely studied in the existing literatures. Third, most of the literatures only focus on the role of transnational actors so that the role played by the local actors and grassroots groups tends to be marginalized. As for the author's reflection on the existing literatures, studies on gender equality norms are still dominated by scholars from the West. In addition, the discussion on gender equality norms also has intersections with perspectives from other fields of science. Finally, at the end of this literature review, the authors recommend further research to explore the dynamics and processes that occur at the domestic level and the role of local actors in the diffusion of gender equality norms."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>