Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 169179 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Asina Grace Ofelia
"Skripsi ini menganalisis perlindungan konsumen terkait penggunaan plastik daur ulang sebagai bahan kemasan pangan oleh pelaku usaha. Belakangan ini, para pelaku usaha industri makanan mulai menggunakan plastik daur ulang sebagai kemasan pangan untuk menerapkan kelestarian lingkungan. Oleh karena itu, pelaku usaha dibebani kewajiban dan tanggung jawab untuk memastikan dan menjamin kualitas kemasan pangan plastik daur ulang sama baik dan amannya bagi konsumen seperti halnya kemasan pangan plastik murni. Selain pelaku usaha, BPOM sebagai otoritas pengawas pangan juga mempunyai tanggung jawab untuk mengawasi keamanan dan mutu kemasan pangan plastik daur ulang. Untuk menganalisis hal tersebut, skripsi ini menggunakan metode penelitian doktrinal yang menelaah data sekunder seperti peraturan perundang-undangan dan berbagai jurnal. Melalui penelitian dan analisis yang dilakukan, terlihat bahwa peraturan perundang-undangan terkait material dan migrasi plastik daur ulang sebagai kemasan pangan di Indonesia cukup komprehensif dan para pelaku usaha telah menjamin kualitas kemasan pangan plastik daur ulangnya melalui berbagai sertifikasi. Namun, masih terdapat pelaku usaha yang kurang tepat dalam mencantumkan logo tara pangan dan kode daur ulang yang wajib dicantumkan dalam kemasan pangan plastik sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 24/M-IND/PER/2010. Dengan tidak mencantumkan logo dan kode dengan benar sebagaimana diatur maka pelaku usaha tidak memberikan informasi yang benar dan jelas kepada konsumen sebagaimana diwajibkan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Di sisi lain, BPOM memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan, menetapkan norma dan peraturan, serta memberikan sanksi terhadap setiap pelanggaran terkait plastik daur ulang sebagai kemasan pangan dalam lingkup bahan dan migrasinya, tetapi tidak terkait pencantuman logo tara pangan dan kode daur ulang. Untuk lebih meningkatkan perlindungan konsumen, sanksi dan pengawasan terhadap penggunaan logo tara pangan dan kode daur ulang perlu diterapkan dengan lebih tegas oleh pemerintah. Pelaku usaha juga harus meninjau kembali kemasan pangan plastik daur ulangnya untuk mencantumkan logo tara pangan dan kode daur ulang yang sesuai.

This thesis analyzes consumer protection concerning the utilization of recycled plastic that is used as material for food packaging by business actors. Recently, business actors in the food industry have begun using recycled plastic as food packaging to implement environmental sustainability. In doing so, business actors are burdened with the obligation and liability to ensure and guarantee that the quality of recycled plastic food packaging is as good and safe for consumers as virgin plastic food packaging. Other than the business actors, BPOM, as the food supervisory authority, also has the responsibility to supervise the safety and quality of recycled plastic food packaging. To analyze this matter, this thesis uses a doctrinal research method that examines secondary data such as statutory regulations and various journals. Through the conducted research and analysis, it can be seen that the laws and regulations concerning the material and migration of recycled plastic as food packaging in Indonesia are quite comprehensive and business actors have guaranteed the quality of their recycled plastic food packaging through various certifications. However, several business actors still have not properly included the food-grade logo and recycling code on recycled plastic packaging as regulated by the Regulation of the Minister of Industry Number 24/M-IND/PER/2/2010. By not putting the logo and code correctly as regulated, business actors are not providing the correct and clear information to the consumers as required by the Consumer Protection Law. On the other hand, BPOM has the authority to supervise, establish norms and regulations, and impose sanctions towards any violations revolving around recycled plastic as food packaging within the scope of its material and migration, but not concerning the use of the food grade logo and recycling code. To further improve consumer protection, sanctions and supervision concerning the proper use of food-grade logo and recycling code need to be more firmly implemented by the government. Business actors must also review their recycled plastic food packaging to include the proper food-grade logo and recycling code."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yudhistira Thufail Iman
"Industri kuliner dan pangan olahan di Indonesia berkembang pesat dan memberikan kontribusi besar pada perekonomian nasional. Namun, seiring pertumbuhan ini, muncul masalah kurangnya informasi tentang kehalalan produk yang dijual, yang berdampak pada kerugian konsumen, terutama konsumen Muslim. Penelitian ini bertujuan mengkaji perlindungan hukum terkait informasi kehalalan produk kuliner dan pangan olahan di Indonesia dengan pendekatan yuridis normatif, menganalisis UU Perlindungan Konsumen dan UU Jaminan Produk Halal beserta peraturan turunannya dilengkapi dengan peraturan perundang-undangan lain yang relevan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumen berhak atas informasi jelas tentang kehalalan produk, dan pelaku usaha berkewajiban memberi informasi akurat sesuai hukum. Label halal dipandang sebagai upaya menyediakan informasi yang cukup dalam konteks jaminan produk halal. Selain itu, kesimpulan penelitian menyarankan bahwa keterangan tidak halal yang terstandarisasi dapat mengurangi potensi misinformasi bagi konsumen. Dengan demikian, untuk memastikan informasi yang cukup terkait kandungan halal sebagai bentuk perlindungan konsumen, pemerintah dapat memaksimalkan penggunaan label halal dan keterangan tidak halal yang terstandarisasi.

The culinary and processed food industries in Indonesia are rapidly growing and making a significant contribution to the national economy. However, alongside this growth, there is a problem with inadequate information regarding the halal status of products being sold, which has negative implications for consumers, particularly Muslim consumers. This study aims to examine the legal protections related to halal information on culinary and processed food products in Indonesia through a normative juridical approach, analyzing the Consumer Protection Act, the Halal Product Assurance Act, their derivative regulations, and other relevant legislation. The findings indicate that consumers have the right to clear information regarding the halal status of products, and business operators are legally obligated to provide accurate information. The halal label is viewed as an effort to provide sufficient information in the context of halal product assurance. Additionally, the study concludes that a standardized "non-halal" label could be a solution to mitigate potential misinformation for consumers. Thus, to ensure adequate information on halal content as a form of consumer protection, the government can maximize the use of standardized halal and non-halal labeling."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hugo Satryo Mulyono
"Standardisasi dan labelisasi produk pangan olahan termasuk produk susu whey protein merupakan hal yang penting, dikarenakan konsumen dapat memilih sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Tujuan utama dari penelitian ini adalah menjaga keamanan konsumen terhadap pelaku usaha yang memproduksi susu protein lokal maupun import, agar terhindar dari peristiwa yang merugikan konsumen. Selain itu, mengetahui peran BPOM dan BSN serta memastikan kualitas dan kepatuhan pelaku usaha terhadap standar yang ditetapkan, meningkatkan regulasi yang berlaku, serta membandingkan pengaturan dan pengaplikasiannya yang berlaku di negara Amerika Serikat. Metode dalam penelitian ini menggunakan pendekatan doktrinal berdasarkan norma yang berlaku, peraturan di Indonesia, perbandingan pengaturan di Amerika Serikat, serta teori-teori yang relevan dengan fakta yang terjadi. Jenis data yang digunakan adalah jenis data sekunder berupa studi kepustakaan yang mengacu pada hukum positif di Indonesia, diantaranya yaitu KUHPer, UUPK, UU Pangan, UU Kesehatan, dan peraturan terkait lainnya. Adapun hasil dari penelitian ini mengindikasikan bahwa Indonesia tidak mengatur secara khusus terkait dengan labelisasi seperti klaim struktur/fungsi, klaim gizi tambahan, transparansi label, pembaharuan standar terhadap klasifikasi produk susu protein secara spesifik, dan sistem pengawasan terhadap peredaran produk susu protein di pasar dalam negeri yang berbeda dengan Amerika Serikat melalui pengimplementasian regulasi yang lebih spesifik. Oleh karena itu, penulis melalui penelitian ini menyarankan pemerintah, lembaga otoritas, dan pelaku usaha untuk meningkatkan dan mengadopsi regulasi yang berlaku di Amerika Serikat untuk diaplikasikan di Indonesia dengan tujuan masyarakat selaku konsumen teredukasi dan meningkatkan transparansi produk susu protein agar mendapatkan kepercayaan masyarakat serta membuka peluang untuk meningkatkan daya jual produk.

Standardization and labeling of processed food products including whey protein milk products are important, because consumers can choose according to their own needs. The main objective of this research is to maintain consumer safety against business actors who produce local and imported protein milk, in order to avoid events that harm consumers. In addition, knowing the role of BPOM and BSN and ensuring the quality and compliance of business actors with established standards, improving applicable regulations, and comparing the regulation and its application that applies in the United States. The method in this research uses a doctrinal approach based on applicable norms, regulations in Indonesia, regulatory comparisons in the United States, and theories relevant to the facts that occur. The type of data used is secondary data in the form of literature studies that refer to positive law in Indonesia, including the Civil Code, Consumer Protection Act, Food Law, Health Law, and other related regulations. The results of this study indicate that Indonesia does not regulate specifically related to labeling such as structure/function claims, additional nutrition claims, label transparency, standard updates to the specific classification of protein milk products, and a supervisory system for the circulation of protein milk products in the domestic market which is different from the United States through the implementation of more specific regulations. Therefore, the author through this research suggests that the government, authority institutions, and business actors improve and adopt regulations that apply in the United States to be applied in Indonesia with the aim of educating the public as consumers and increasing the transparency of protein milk products in order to gain public trust and open up opportunities to increase product marketability."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zahra Nadisha Puteri
"Kemajuan teknologi dan perdagangan bebas memudahkan konsumen untuk mendapatkan barang dan/atau jasa namun menyebabkan posisi konsumen menjadi lemah karena tidak diiringi oleh kesadaran konsumen akan haknya. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur beberapa hal mengenai hak konsumen terhadap informasi produk yang dikonsumsinya. Konsumen Indonesia, secara khusus, memiliki hak atas informasi terhadap produk pangan yang mereka beli dan konsumsi.
Skripsi ini membahas mengenai penerapan pengawasan terhadap peredaran produk pangan olahan impor, pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam peredaran produk pangan olahan impor, serta pengaturan mengenai tindakan hukum yang dapat dilakukan apabila masih ada pelaku usaha yang masih mengedarkan produk pangan olahan impor.
Hasil penelitian menyarankan bahwa dilakukan peningkatan pengawasan antara BPOM dan instansi terkait lainnya; diadakan edukasi dan sosialisasi mengenai produk pangan olahan impor; lebih berhati-hati dalam menjaga kualitas produk; mengutamakan pembelian produk dalam negeri dan mencerdaskan diri dengan pengetahuan mengenai perlindungan konsumen dan produk yang akan dikonsumsi.

Improvement in technology and free trade facilitate consumer to obtain the goods and/or services but causing the consumer?s position becomes weak because it is not accompanied by consumer?s awareness of their rights. The Law No. 8 Year 1999 on Consumer Protection set up a few things about consumer rights to product information that are consumed. Indonesian consumers, in particular, have the right to information on the food products they purchase and consume.
This thesis discusses about the application of the supervision of the circulation of imported processed food products, the violations committed by businesses in the circulation of imported processed food products, as well as setting the legal action that can be done if there are businesses that are still distribute imported processed food products.
Results of the study suggest that improving surveillance conducted between BPOM and other relevant agencies; held education and socialization of imported processed food products; more careful in maintaining the quality of products; priority to the purchase of domestic products and educate ourselves with knowledge about consumer protection and product to be consumed.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S58735
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shakina Amri Ghiffara
"Kertas bekas sering digunakan oleh pelaku usaha pangan untuk mengemas makanan seperti gorengan padahal kertas bekas tidak seharusnya digunakan sebagai kemasan makanan, karena terdapat tinta tercetak yang mengandung timbal Pb yang mencemari makanan yang dikemasnya dan dapat menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan jika terakumulasi dalam tubuh sehingga dapat merugikan konsumen yang mengonsumsi makanan tersebut.
Skripsi ini membahas mengenai pengaturan kemasan pangan secara umum dan juga kertas bekas sebagai kemasan makanan, aspek hukum pelindungan konsumen apa saja yang terkait dengan penggunaan kertas bekas sebagai kemasan makanan berdasarkan Undang Undang ndash; Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang ndash; Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2004, dan peran pemerintah terkait dengan pengawasan penggunaan kertas bekas tersebut.
Skripsi ini menggunakan metode penelitian normatif yuridis. Pelaku usaha yang menggunakan kertas bekas sebagai kemasan makanan telah melanggar ketentuan ndash; ketentuan terkait dengan pelindungan konsumen dan keamanan pangan dari segi kemasan pangan. Meski begitu, peraturan ndash; peraturan yang ada belum cukup untuk menjatuhkan sanksi kepada pelaku usaha yang melanggar tersebut, begitu pula dengan pengawasan yang telah dilakukan oleh Pemerintah. Maka dari itu perlu adanya penegasan penegakkan hukum, pengaturan khusus, dan keaktifan peran pemerintah terhadap penggunaan kertas bekas sebagai kemasan makanan.Kata Kunci : Pelindungan Konsumen; Kemasan Pangan; Kertas Bekas.

Used paper is often reused by food sellers to package foods such as fried foods when used paper should not be reused as food packaging, because there is ink printed there that contains lead Pb which can contaminate the packed food and can give negative impact on health if it accumulates in the body so, it could harm the consumers who consume the food.
This thesis discusses about food packaging regulations in general and used paper as food packaging in particular, consumer protection law aspects on the use of used paper as food packaging based on Consumer Protections Act No. 8 of 1999, Food Act No. 18 of 2012 and Government Regulation No. 28 of 2004 on Safety, Quality, and Nutrient of Food and also the government 39 s role related to the supervision of the use of used paper as a food packaging.
This thesis using normative juridical research methods. Food sellers who use used paper as a food packaging has violated the provisions related to consumer protection and food safety in terms of food packaging. Even so, the rules that exist is not enough to impose the sanctions for the food businessmen who offend, as well as the supervision done by the Government. Thus, it rsquo s needed affirmation of law enforcement, more particular regulations, and more active participation from government against the use of used paper as food packaging. Keywords Consumer Protection Food Packaging Used Paper."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vina Rahmita Safira
"Pangan olahan beku merupakan pangan risiko tinggi yang memerlukan penanganan khusus pada seluruh rantai pangannya, baik pada produksi, pengolahan, distribusi, sampai produk berada di tangan konsumen. Penjualan yang tinggi selama pandemi COVID-19, khususnya secara online, tentunya menjadikan risiko konsumen akan produk pangan olahan beku yang tidak terjamin keamanannya semakin terbuka. Padahal dengan adanya pandemi COVID-19 penerapan persyaratan sanitasi dan higiene serta protokol kesehatan dalam rantai pangan harus diperketat. Dengan menggunakan metode penelitian normatif-yuridis, skripsi ini akan meninjau ketentuan hukum produksi dan penjualan pangan olahan beku secara online pada masa pandemi COVID-19, pengawasannya, serta pertanggungjawaban hukum pelaku usaha. Tidak dipenuhinya persyaratan sanitasi dan higiene oleh pelaku usaha dalam memproduksi dan mengedarkan produk pangan olahan beku menjadi pintu bagi pelanggaran-pelanggaran hukum lainnya. Produk yang belum terjamin keamanannya seharusnya tidak dapat beredar di masyarakat, termasuk beredar secara online. Oleh karenanya perlu upaya tegas BPOM selaku unsur pemerintah dan kepatuhan pelaku usaha termasuk penyedia platform online dalam bersama-sama menghasilkan produk yang aman dan berkualitas demi melindungi kepentingan konsumen.

Frozen food is a high-risk food that requires special handling throughout the food chain, whether in production, processing, distribution, until the product is in the hands of consumers. High sales during the COVID-19 pandemic, especially online, exposed consumers to the greater risk of unsafe frozen food. In fact, with the COVID-19 pandemic, the implementation of sanitation and hygiene requirements also health protocols in the food chain must be stricter. With the normative-juridical research method, this thesis will review the legal provisions for producing and distributing online frozen food products during the COVID-19 pandemic, the supervision, and the legal responsibilities of business actors. The non-fulfillment of sanitation and hygiene requirements by business actors in producing and distributing frozen food is a door for other violations of law. Products that have not been guaranteed safety should not be distributed in the community, including distributing online. Therefore, there is a need for assertive efforts by BPOM as the government and the compliance of business actors, including online platform providers, jointly in producing safe and quality products to protect the consumers’ interests."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Larasati Putri
"Berkembangnya bisnis makanan hewan peliharaan yang tidak diikuti dengan kejelasan regulasi terkait makanan hewan peliharaan, salah satunya mengenai ketentuan label pada makanan hewan peliharaan menimbulkan isu yang signifikan. Hal tersebut dimanfaatkan oleh pelaku usaha makanan hewan peliharaan yaitu tidak mencantumkan label apa pun pada makanan hewan peliharaan yang dijual sehingga banyak hewan sakit karena adanya kandungan yang tidak cocok, makanan telah kadaluwarsa, atau makanan yang palsu. Berbeda dengan Indonesia, Jepang telah memiliki regulasi yang sangat ketat terkait makanan hewan peliharaan. Dengan metode penelitian doktrinal menggunakan metode perbandingan, penelitian ini akan membahas bagaimana pelindungan hukum terkait label pada makanan hewan peliharaan di Indonesia dan Jepang apabila dibandingkan dengan Indonesia. Dapat disimpulkan bahwa Indonesia belum memiliki pelindungan hukum yang cukup terkait pelabelan pada makanan hewan peliharaan apabila dibandingkan dengan Jepang yang memiliki aturan yang sudah sangat komprehensif. Oleh sebab itu, Pemerintah Indonesia sebaiknya menyempurnakan peraturan yang ada dengan menambahkan ketentuan yang secara spesifik mengatur makanan hewan peliharaan sebagaimana telah diatur di Jepang karena dengan ketentuan yang jelas, hak konsumen untuk mendapatkan produk yang terjamin keamanannya meningkat.

The growth of the pet food business in Indonesia, not accompanied by clear regulations regarding pet food, particularly in terms of labeling, has raised significant issues. This situation is exploited by pet food business operators who do not include any labels on the pet food they sell. This has led to many pets getting sick due to inappropriate content, expired food, or counterfeit products. In contrast, Japan has stringent regulations regarding pet food. Using a doctrinal research method with a comparative approach, this study aims to discuss how legal protection related to labeling on pet food in Indonesia compares to that in Japan. It can be concluded that Indonesia does not yet have sufficient legal protection concerning the labeling of pet food, especially when compared to Japan, which has comprehensive regulations. Therefore, the Indonesian government should refine existing regulations by adding specific provisions that govern pet food, similar to what is already established in Japan. With clear regulations, consumer rights to receive products with guaranteed safety will enhance."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Humairoh Balqis
"Penggunaan bahan tambahan pangan pada makanan merupakan hal yang lazin dilakukan oleh pelaku usaha di bidang pangan. Ketentuan mengenai bahan tambahan pangan oleh Pemerintah kini diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 033 Tahun 2012 Tentang Bahan Tambahan Pangan. Namun sayangnya, masih ditemukan pelaku usaha yang melanggar ketentuan penggunaan bahan tambahan pangan tersebut. Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, hal tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak-hak konsumen, namun sayangnya banyak konsumen yang tidak mengetahui hak-haknya tersebut. Sehingga, penggunaan zat yang yang dinyatakan dilarang dan berbahaya sebagai bahan tambahan pangan pada makanan dapat dikatakan sebagai sebuah perbuatan melanggar hukum yang dapat dikenakan sanksi.

The use of food additives in foods is a common habit do by the food entrepreneurs. Provisions regarding addictives by the Government now is set in a regulation of the Minister of health no. 033 in 2012 About Food Additives. But unfortunately, still found entrepreneurs that violates the terms of use of the food additives. In terms of Act No. 8 of 1999 on the protection of consumers, it is a violation of the rights of consumers, but unfortunately there are still consumers who do not know the rights they have. Thus, the use of substances that are declared prohibited and dangerous as food additives in foods can be declared as an illegal act that must be subject to the lebal sanctions.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S56874
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Pasa Deda
"ABSTRAK
Standardisasi berfungsi membantu menjembatani kepentingan konsumen dan pelaku
usaha dengan menetapkan standar produk yang tepat yang dapat memenuhi
kepentingan dan mencerminkan aspirasi kedua belah pihak. Dengan adanya
standardisasi produk ini akan memberi manfaat yang optimum pada konsumen dan
produsen, tanpa mengurangi hak milik dari konsumen. Standardisasi ini berkaitan
erat dengan keamanan dan keselamatan konsumen, yaitu berkaitan dengan
kelayakan suatu produk untuk dipakai atau dikonsumsi. Barang yang tidak
memenuhi syarat mutu, khususnya makanan, dapat menimbulkan malapetaka bagi
konsumen, selain merugikan konsumen dari segi finansial dapat pula mengancam
keamanan dan keselamatan masyarakat umum. pengaturan tentang standardisasi
produk pangan memang merupakan hal penting bagi konsumen. Sampai saat ini
ketentuan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengatur masalah standardisasi
produk pangan antara lain seperti dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1996 tentang Pangan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan
sebagainya. Pengaturan tentang standardisasi produk pangan yang tertuang dalam
peraturan-peraturan tersebut di atas sudah memperhatikan kepentingan perlindungan
konsumen. Dengan adanya pengaturan tersebut akan memberikan manfaat yang
optimium pada konsumen dan produsen, tanpa mengurangi hak milik dari
konsumen, yaitu berkaitan dengan kelayakan suatu produk untuk dipakai atau
dikonsumsi. Dengan adanya pengaturan seperti itu, sudah seharusnya pelaku usaha
mentaati standar terhadap suatu produk pangan, kekurangtaatan pelaku usaha akan
peraturan tersebut akan mengakibatkan kerugian kepada konsumen, yang berakhir
kepada adanya pertanggungjawaban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha.
Pemerintah dan lembaga non pemerintah yang bergerak di bidang perlindungan
konsumen juga pihak yang sangat penting untuk menjaga dan mengawasi agar
produk pangan yang beredar telah sesuai dengan standar yang ditentukan."
2006
T36921
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hikari Kepartono
"Perkembangan teknologi informasi yang terjadi di dalam era globalisasi ini membawa pengaruh yang besar di dalam sektor perdagangan sehingga mengakibatkan terjadinya peralihan pola perilaku transaksi masyarakat ke sistem transaksi elektronik. Dalam melakukan transaksi elektronik ini, online marketplace merupakan salah satu jenis platform yang paling sering digunakan oleh pihak penjual dan pembeli. Di sisi lain, dengan bertambahnya jumlah transaksi yang dilakukan melalui online marketplace, bertambah pula jumlah pelaku usaha yang menjual produk-produk yang tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu jenis produk terlarang yang akhir-akhir ini banyak beredar melalui online marketplace adalah suplemen kesehatan palsu yang tentunya membahayakan keselamatan dan juga mengakibatkan kerugian materiil secara langsung bagi pihak konsumen. Pengaturan mengenai permasalahan ini sebenarnya sudah diatur di dalam beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia. Namun, kedudukan konsumen di dalam transaksi elektronik ini masih sangatlah lemah apabila dibandingkan dengan kedudukan pelaku usaha. Selain itu, peran pemerintah khususnya BPOM dan pihak online marketplace juga masih belum maksimal dalam menangani permasalahan ini. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif dalam menganalisa berbagai peraturan terkait permasalahan peredaran suplemen kesehatan palsu melalui online marketplace. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlu adanya pengaturan yang jelas dan adil mengenai kedudukan pelaku usaha dan konsumen di dalam sebuah transaksi elektronik melalui online marketplace. Selain itu, dibutuhkan juga peran lebih dan juga kerjasama dari pihak pemerintah khususnya BPOM dan juga pihak online marketplace dalam menanggulangi permasalahan peredaran suplemen kesehatan palsu di online marketplace ini. 

The advancement of information technology in this era of globalization has had a significant impact on the trade sector, resulting in a shift in the pattern of people's transaction behavior toward an electronic transaction system. The online marketplace is one of the most common types of platforms used by sellers and buyers in conducting these electronic transactions. On the other hand, as the number of transactions conducted through the online marketplace grows, so does the number of business actors selling products that do not comply with the provisions of the applicable laws. Counterfeit health supplements are one type of prohibited product that has recently circulated through online marketplaces, endangering consumers' safety and resulting in direct financial losses. Regulations on this subject have been incorporated into several laws and regulations in Indonesia. However, when compared to the position of business actors, consumers' position in this electronic transaction remains very weak. Furthermore, the government's role in dealing with this problem, particularly BPOM and the online marketplace, is still suboptimal. In this study, the author employs a normative juridical research method to examine various regulations related to the problem of counterfeit health supplements being circulated through the online marketplace. According to the findings of this study, there is a need for clear and equitable arrangements regarding the position of business actors and consumers in an electronic transaction via an online marketplace. Furthermore, more roles and cooperation from the government, particularly the BPOM, and online marketplace parties are required in addressing the problem of counterfeit health supplements circulating in this online marketplace."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>