Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 198756 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ghefira Nur Imami
"Kepatuhan pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES) berperan penting dalam mencapai aktivitas penyakit yang terkontrol. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi ketidakpatuhan, faktor-faktor yang berhubungan dengan ketidakpatuhan, dan hambatan minum obat pada pasien LES. Data potong lintang diperoleh dari pasien Poliklinik Alergi-Imunologi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo secara konsekutif pada Juli–Agustus 2023. Dilakukan evaluasi terhadap ketidakpatuhan pengobatan (self-report medication-taking behaviour measure for thai patients scale; MTB-Thai), komorbiditas, jumlah obat, aktivitas penyakit (skor MEX-SLEDAI), depresi (Hospital Anxiety and Depression Scale; HADS), dan hambatan lain dalam pengobatan (Identification of Medication Adherence Barriers Questionnaire; IMAB-Q 30). Data kategorik dianalisis dengan uji Chi-square atau Fisher, sedangkan data numerik dianalisis dengan uji Mann-Whitney. Dari 100 pasien LES dewasa, mayoritas merupakan perempuan (97%), dewasa muda (61%), menamatkan pendidikan tinggi (48%), dan memiliki aktivitas penyakit remisi˗ringan (90%). Median (IQR) jumlah obat yang dikonsumsi 6 (5–8). Prevalensi ketidakpatuhan minum obat mencapai 27%. Tingkat pendidikan pasien ditemukan berhubungan dengan ketidakpatuhan (pendidikan menengah vs. pendidikan tinggi, 59,3% vs. 40,7%; p=0,035). Pasien yang tidak patuh memiliki skor hambatan minum obat yang lebih tinggi secara signifikan (p<0,001). Hambatan yang paling banyak dialami pasien yang tidak patuh adalah kekhawatiran terhadap efek samping dan mudah terdistraksi dari mengonsumsi obat-obatan.

Medication adherence among patients with systemic lupus erythematosus (SLE) is essential to achieve controlled disease activity. This study aimed to investigate the prevalence of non-adherence, associated factors, and medication adherence barriers among patients with SLE. Cross-sectional data were obtained from consecutive patients at Allergy-Immunology Clinic Cipto Mangunkusumo Hospital between July–August 2023. Evaluation was conducted on medication non-adherence (self-report medication-taking behavior measure for thai patients scale), comorbidities, number of medications, disease activity (MEX-SLEDAI score), depression (Hospital Anxiety and Depression Scale), and other adherence barriers (Identification of Medication Adherence Barriers Questionnaire-30). Categorical data were analyzed with Chi-square or Fisher test, while numerical data were analyzed with Mann-Whitney test. Of 100 adult SLE patients, most were female (97%), young adult (61%), completed higher education (48%), and had remission˗mild disease activity (90%). The median (IQR) number of medications consumed was 6 (5–8). The prevalence of medication non-adherence was 27%. Patient's educational level was found to be associated with non-adherence (secondary education vs. higher education, 59.3% vs. 40.7%; p=0.035). Non-adherent patients had significantly higher medication adherence barrier scores (p<0.001). The most common barriers experienced by non-adherent patients were concerns about harmful side effects and easily distracted from taking medications."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gestana Andru
"Latar Belakang. Gangguan tidur sering dijumpai pada penyakit autoimun seperti lupus eritematosus sistemik (LES). Tidur yang buruk berdampak pada kualitas hidup yang rendah serta eksaserbasi akut dari inflamasi akibat LES. Penelitian mengenai kualitas tidur yang buruk pada pasien LES serta faktor - faktor yang berhubungan di Indonesia masih terbatas.
Tujuan. Mengetahui proporsi kualitas tidur yang buruk pada pasien LES di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan mengetahui faktor-faktor yang berhubungan.
Metode. Metode yang digunakan adalah studi potong lintang, melibatkan 166 subjek LES berusia minimal 18 tahun yang berobat ke poliklinik Alergi Imunologi RSCM sejak Januari 2019. Subjek mengisi secara mandiri kuesioner kualitas tidur menggunakan Pittsburgh Sleep Quality Index(PSQI) dan kuesioner gejala depresi dan ansietas menggunakan Hospital Anxiety Depression Scale(HADS). Skala nyeri dinilai mengggunakan Visual Analogue Scale(VAS), aktivitas penyakit LES dinilai menggunakan Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index 2000(SLEDAI-2K). Subjek menjalani pemeriksaan imbalans otonom yang dinilai menggunakan rasio Low Frequency/High Frequency (LF/HF) dari Heart Rate Variability(HRV), dan pemeriksaan kadar high sensitivity C-Reactive Protein(hs-CRP).Analisis bivariat menggunakan uji Chi Squaredan analisis multivariat menggunakan regresi logistik.
Hasil. Rerata untuk skor PSQI global pada 166 subjek sebesar 9,36 (3,61) dengan proporsi kualitas tidur buruk sebanyak 82,5%. Pada analisis bivariat didapatkan dua variabel dengan hubungan bermakna dengan kualitas tidur yang buruk yaitu gejala depresi (OR: 5,95; p: 0,03) dan gejala ansietas (OR: 2,44; p: 0,05). Regresi logistik tidak menunjukkan variabel dengan hubungan bermakna dengan kualitas tidur yang buruk.
Simpulan.Proporsi kualitas tidur buruk pada pasien LES sebesar 82,5%. Tidak terdapat faktor yang berhubungan dengan kualitas tidur buruk pada LES.

Background. Sleep disturbances are often seen in systemic lupus erythematosus (SLE). Poor sleep will lead to poor quality of life and frequent exacerbations of SLE. However, studies about poor sleep quality in SLE patients as well as the contributing factors are limited.
Objectives. The aim of this study is to determine the proportion of poor sleep quality in SLE patients in Cipto Mangunkusumo National General Hospital (RSCM) and to assess its contributing factors.
Methods. This study used a cross sectional design involving 166 subjects of SLE patients from Immunology clinic since January 2019. The Pittsburgh Sleep Quality Index was used to assess sleep quality of subjects. Depression and anxiety symptoms was assesed using the Hospital Anxiety Depression Scale (HADS). Pain scale was assesed using Visual Analogue Scale (VAS) and SLE activity was assessed using Systemic Lupus Erythematosus Disease Activity Index 2000 (SLEDAI-2K). Autonomic imbalance was assesed using Low Frequency/High Frequency(LF/HF) ratio from Heart Rate Variability(HRV), and subjects went through high sensitivity C-Reactive Protein(hs-CRP) test. Bivariate analysis using Chi Square test and multivariate analysis using logistic regression.
Result.The mean global score for the PSQI among 166 subjects was 9,36 (3,61). The proportion of poor sleep quality was 82.5%. There were two variables with significant association including depressive symptoms (OR 5.95; p 0.03) and anxiety symptoms (OR 2.44; p 0.05). There were no variable with significant association through logistic regression.
Conclusion. The proportion of poor sleep quality from SLE patients in RSCM was 82.5%. This study did not find any factors associated with poor sleep quality in SLE patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pernanda Selpia S.
"Latar Belakang. Lupus Eritematosus Sistemik merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik kronik yang banyak terjadi pada usia reproduktif. Kehamilan pada LES adalah kehamilan risiko tinggi dengan kemungkinan luaran kehamilan buruk pada maternal dan fetal/neonatal. Belum ada data dalam 5 tahun terakhir di RSCM mengenai proporsi luaran kehamilan buruk tersebut.
Tujuan. Mengetahui proporsi luaran kehamilan buruk maternal dan fetal/neonatal pada pasien LES di RSUPN Cipto Mangunkusumo serta faktor-faktor yang berhubungan
Metode. Dilakukan studi cohort retrospective melalui telaah rekam medis pada pasien LES mulai 1 Januari 2015-Mei 2021. Dilakukan analisis bivariat dengan chi square untuk variabel kategorik. Variabel yang bermakna selanjutnya dilakukan analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan dengan menggunakan SPSS.
Hasil. Dari 173 subjek dengan 150 kehamilan, didapatkan luaran kehamilan buruk maternal sebanyak 47,4% (flare 43,3%, preeklamsia/eklamsia 12,1%, kematian maternal 3,6%). Luaran kehamilan buruk fetal/neonatal 65,3% (kelahiran prematur 31,2%, BBLR 32%, still birth 8,1%, SGA 34%, IUGR 16,2%, abortus 19,5%). Berdasarkan analisis multivariat terdapat 2 faktor yang berhubungan dengan kejadian luaran kehamilan buruk maternal yaitu aktivitas LES tinggi OR: 2,25 (IK95% [1,199-4,225], p=0,012) dan hipertensi OR 3,007 (IK95% [1,425-6,341), p=0,004). Sedangkan hasil analisis multivariat pada luaran kehamilan buruk fetal/neonatal, ditemukan aktivitas LES tinggi OR: 2,40 (IK95% [1,041-5,534], p=0,040) dan hipertensi OR: 5,988 (IK95% [1,640-21,870], p=0,007) berhubungan dengan kejadian luaean kehamilan buruk fetal/neonatal.
Kesimpulan. Proporsi luaran kehamilan buruk maternal dan fetal/neonatal pada pasien LES di RSUPN Cipto Mangunkusumo cukup tinggi. Aktivitas LES tinggi dan hipertensi merupakan faktor yang berhubungan dengan luaran kehamilan buruk maternal dan fetal/neonatal.

Background. Systemic Lupus Eritematosus is a chronic systemic inflamatory disease found in reproductive age. Pregnancy in SLE patients is a high risk pregnancy mainly with the possibility of adverse outcome in maternal and fetal/neonatal. There is no data in last 5 years about proportion of adverse pregnancy outcome at Cipto Mangunkusumo Hospital.
Aim. To determine proportions of adverse pregnancy outcomes of maternal and fetal/neonatal in Systemic Lupus Eritematosus patients at Cipto Mangunkusumo Hospital and it’s related factors.
Method. A retrospective cohort study was done through medical records study in medical record installation at SLE Patient from 1 January 2015 to Mei 2021. Bivariate analysis was done with chi square for categorical variable. Statistically significant variable then analyzed with multivariate analysis with logistic regression analysis. Bivariat and Multivariate analysis was done using SPSS.
Result. Of the 173 subjects with 150 pregnancies, the maternal outcome was 47.4% (43.3% flare, 12.1% preeclampsia/eclampsia, 3.6%). Fetal/neonatal poor pregnancy outcome was 65.3% (31.2% premature birth, 32% LBW, 8.1% still birth, 34% SGA, 16.2% IUGR, 19.5% abortion). Based on multivariate analysis, there were 2 factors associated with maternal adverse pregnancy outcomes, namely high LES activity OR: 2.25 (CI 95% [1.199-4.225], P = 0.012) and hypertension OR 3.007 (CI 95% [1.425-6.341), p =0.004). Meanwhile, the results of multivariate analysis on the outcome of poor fetal/neonatal pregnancy, found high LES activity OR: 2.40 (CI 95% [1.041-5.534], P=0.040) and hypertension OR: 5.988 (CI 95% [1.640-21.870], p= 0.007) associated with fetal/neonatal pregnancy outcome.
Conclusion. The proportion of maternal and fetal/neonatal adverse pregnancy outcomes in SLE patients at Cipto Mangunkusumo General Hospital is quite high. High SLE disease activity and hypertension are factors associated with poor maternal and fetal/neonatal outcomes.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamid Faqih Umam
"Lupus Eritematosus Sistemik LES merupakan penyakit autoimun kronik yang ditandai dengan adanya autoantibodi yang menyerang antigen sendiri. Kasus LES setiap tahunnya mengalami peningkatan. LES pada anak berkontribusi sebesar 15-20 dari keseluruhan penderita. Penyakit ini dapat menyerang berbagai sistem organ. Komplikasi endokrinopati berupa gangguan pubertas yang cukup sering terjadi pada anak. Hingga saat ini belum ada penelitian mengenai gangguan pubertas pada anak LES di Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya amenore pada anak LES. Penelitian dilakukan menggunakan desain potong lintang pada pasien anak perempuan usia 11-18 tahun di Poliklinik Alergi dan Imunologi dan Poliklinik Endokrinologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Kiara. Terdapat 25 subjek yang diikutsertakan.
Hasil penelitian dilakukan analisis statistik menggunakan uji Chi-square dan uji Fisher. Prevalensi pubertas terlambat terjadi pada satu subjek 4 ; IK95 = -0,04-0,12 dan amenore terjadi pada dua belas subjek 48 ; IK95 = 0,27-0,69. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara amenore dengan durasi penyakit p=1,000; PR=1,05, aktivitas penyakit p=1,000; PR=0,86, durasi kortikosteroid p=0,673; PR=1,23, dan jenis terapi p=0,198; PR=0,55.
Hasil penelitian tidak bermakna karena besar sampel tidak memenuhi jumlah minimal. Dari hasil tersebut, belum dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara amenore terhadap durasi penyakit, aktivitas penyakit, durasi kortikosteroid, dan jenis terapi.

Systemic Lupus Erythematosus SLE is a chronic autoimmune disease characterized by autoantibodies that attack self antigen. The case of SLE each year has increased. SLE in children contributes 15 20 of all patients. This disease can attack various organ systems. Complications of endocrinopathy in the form of pubertal disorders are quite common in children. Until now, there has been no research on pubertal disorders in children with SLE in Indonesia.
This study aims to determine the prevalence and associated factors of amenorrhea in children with SLE. This study was a cross sectional study in girls aged 11 18 years at Allergy and Immunology Polyclinic and Endocrinology Polyclinic of Cipto Mangunkusumo Kiara Hospital. There are 25 subjects included.
The result of the research was statistical analysis using Chi square test and Fisher test. The prevalence of delayed puberty occurs in one subject 4 IK95 0,04 0,12 and amenorrhea occurs in twelve subjects 48 IK95 0,27 0,69. There was no significant association between amenorrhea with disease duration p 1,000 PR 1,05, disease activity p 1,000 PR 0,86, corticosteroid duration p 0,673 PR 1,23, and type of therapy p 0,198 PR 0,55.
The results were not significant because the sample size did not meet the minimum amount. From these results, it can not be concluded yet that there is no association between delayed puberty and amenorrhea with disease duration, disease activity, corticosteroid duration, and type of therapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Maula Utrujah
"Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) merupakan penyakit kronis yang dapat dirasakan oleh pasien dengan SLE seumur hidup. Manifestasi klinis dari SLE berbeda-beda pada tiap individu, sehingga dibutuhkan perawatan yang tepat agar komplikasi yang parah dapat diminimalisasi. Discharge planning merupakan solusi untuk perawatan anak ketika sudah pulang ke rumah. Discharge planning bertujuan untuk memberikan  pembekalan perawatan di rumah sehingga orangtua atau keluarga dapat merawat pasien secara mandiri. Karya Ilmiah ini ditulis dengan tujuan memberikan informasi tentang hasil implementasi discharge planning pada anak dengan SLE. Metode yang digunakan untuk oenulisan karya ilmiah ini menggunakan studi kasus pada anak dengan SLE yang diberikan intervensi discharge planning sejak pasien pertama kali masuk dan dilakukan pemantauan selama lima hari  dengan pemberian asuhan keperawatan. Hasil discharge planning menunjukkan peningkatan keterampilan orangtua dan keluarga dalam merawat anak dengan SLE yang dibuktikan dengan hasil observasi selama masa perawatan. Sehingga, discharge planning tepat digunakan untuk pasien dengan SLE dalam perawatan lanjutan di rumah sehingga pasien dengan SLE dapat meningkatkan kualitas hidupnya dan mencegah kejadian eksaserbasi berat dan komplikasi yang parah. Discharge planning yang dilakukan memberikan dampak yang positif bagi pasien dan keluarga.

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) is a chronic disease. Clinical manifestations of SLE vary in each, so proper care is needed so that severe complications can be minimized. Discharge planning is a solution for childcare when they have returned home. Discharge planning aims to provide debriefing at home so parents or families can take care of patients independently. This Scientific Work was written to provide information about the results of discharge planning implementation in children with SLE. The method used for writing scientific papers uses case studies on children with SLE who are given discharge planning intervention since the patient first entered and monitored for five days with the provision of nursing care. The discharge planning results show an increase in parental and family skills in caring for children with SLE as evidenced by the results of observation during the treatment period. Thus, discharge planning is appropriate for patients with SLE in continuing care at home so that patients with SLE can improve their quality of life and prevent severe exacerbations and complications. Discharge planning carried out had a positive impact on patients and families.

"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Marantika, Fajar Wati
"Di Indonesia, belum ada data pasti mengenai angka insidens dan jumlah kasus penyakit Lupus Eritematosus Sistemik. Penelitian ini bertujuan untuk dijelaskannya analisis spasial lupus eritematosus sistemik di provinsi DKI Jakarta dan kota Depok, Jawa Barat dan identifikasi faktor lingkungan fisik (kawasan industri, suhu, kelembapan, curah hujan, kecepatan angin dan lamanya penyinaran matahari) terhadap jumlah kasus di kota/kabupaten yang memiliki jumlah kasus terbanyak. Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan studi ekologi yang menggunakan analisis univariat, uji korelasi dan analisis spasial. Hasil penelitian ini menemukan tidak ditemukan adanya hubungan signifikan faktor lingkungan fisik pada kejadian lupus eritematosus sistemik tahun 2014-2018. Yayasan Lupus Indonesia atau yayasan autoimun lainnya dapat memberikan edukasi kepada masyarakat awam dan odapus terkait gambaran angka insidens kejadian lupus dan faktor lingkungan yang dapat menjadi pencetus. Selain itu, peneliti lain dapat menggunakan penelitian ini sebagai data dasar dan disarankan untuk memperkecil unit analisis agar mendapatkan hasil yang lebih komprehensif. Serta untuk pemilik industri harus memperhatikan dampak lingkungan, karena dapat mempengaruhi perubahan lingkungan yang berdampak pada tercetusnya penyakit di masyarakat.

In Indonesia, there are no data regarding the incidence rate and the number of cases of Systemic Lupus Erythematosus. This study aims to explain the spatial analysis of systemic lupus erythematosus in DKI Jakarta province and Depok city, West Java and identify physical environmental factors (industrial area, temperature, humidity, rainfall, wind speed and duration of solar radiation) to the number of cases in cities/districts which has the highest number of cases. This study uses secondary data with ecological studies using univariate analysis, correlation testing and spatial analysis. The results of this study found there was no significant association physical environmental factors with the incidence rate of systemic lupus erythematosus. The Indonesian Lupus Foundation or other autoimmune foundations can provide education to ordinary people and lupus patients regarding the count of lupus incidence and environmental factors that can trigger it. In addition, other researchers can use this research as baseline data and are advised to reduce the analysis unit in order to obtain more comprehensive results. And for industry owner must pay attention to environmental impacts, because it can affect environmental changes that have an impact on the emergence of diseases in the community."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahajeng Dewantari
"Ketaatan minum obat dalam penanganan HIV/AIDS dengan pengobatan ARV merupakan faktor yang penting dalam menentukan keberhasilan terapi. Di Indonesia belum ada data yang menyebutkan angka pasti ketaatan minum obat ARV pada ODHA. Ketaatan minum obat ARV dipengaruhi oleh adanya faktorfaktor psikologis (stigma diri dan fungsi kognitif) dan non psikologis yang terdiri dari faktor demografi (umur, waktu tempuh tempat tinggal ke rumah sakit, akses berobat, tingkat pendidikan, pekerjaan, tinggal sendiri atau bersama orang lain, pembiayaan berobat, penggunaan NAPZA) dan faktor obat dan penyakit (kompleksitas regimen obat, adanya infeksi oportunistik, sumber transmisi HIV).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi ketaatan minum obat ARV pada ODHA yang berobat di UPT HIV RSUPN Cipto Mangunkusumo adalah 67,7%, stigma diri memiliki hubungan yang bermakna dengan ketaatan minum obat ARV, sedangkan faktor non psikologis yang diteliti dan fungsi kognitif tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan ketaatan minum obat ARV.

Adherence to ARV is an important factor in determining the success of HIV/AIDS treatment. There has been no data about adherence to ARV in plwh in indonesia. Adherence to ARV is influenced by psychological factors (self-stigma and cognitive function) and non-psychological factors consisting of demographic (age, travel time between living place and hospital, access to treatment, level of education, occupation, living alone or with others, treatment payment, illicit drugs use), disease and treatment factor (treatment regimen complexity, opportunistic infections, source of HIV transmission).
The result of this study showed that prevalence of adherence to ARV in plwh coming to HIV integrated service unit Cipto Mangunkusumo hospital is 67,7%, that self-stigma had significant relation with adherence to ARV, while psychological factors and cognitive function had no significant relation with adherence to ARV.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizqi Amaliah
"Latar belakang: Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun sistemik yang 10-20% kasusnya memiliki awitan sejak masa kanak. Kesintasan anak dengan LES di negara maju maupun berkembang jauh meningkat sejak beberapa dekade terakhir. Meskipun kesintasannya meningkat, tidak semua anak dan remaja LES dapat memasuki masa dewasa dengan baik. Layanan transisi remaja merupakan jembatan penghubung antara layanan kesehatan anak dan dewasa yang mulai banyak dikembangkan untuk remaja dengan kebutuhan medis khusus seperti LES.
Metode: Studi pre-eksperimental pada remaja LES berusia 15 tahun hingga 17 tahun 6 bulan dilakukan di RSUPNCM dalam kurun waktu antara Desember 2022 hingga Mei 2023. Dalam studi ini seluruh subyek diikutkan dalam modul transisi remaja yang kegiatannya dilakukan secara daring maupun luring. Kegiatan daring meliputi 3 kali pemaparan materi dan diskusi interaktif dengan tema LES, masa remaja, dan layanan kesehatan di klinik dewasa. Kegiatan luring dilakukan melalui bermain peran menyerupai suasana saat melakukan kunjungan mandiri di layanan kesehatan dewasa yang dilakukan pada akhir penelitian. Luaran modul transisi dinilai dengan membandingkan rerata skor TRAQ 6.0 Bahasa Indonesia sebelum dan sesudah mengikuti modul transisi.
Hasil: Terdapat 36 remaja LES yang mengikuti modul transisi, namun hanya 32 subyek yang mengikuti ≥75% kegiatan. Rerata skor TRAQ 6.0 Bahasa Indonesia sebelum mengikuti modul adalah 3,4 (0,6). Rerata tersebut meningkat menjadi 3,8 (0,6) setelah mengikuti modul (p=0.001). Tidak ada hubungan antara lama sakit, derajat aktivitas penyakit, dan kunjungan mandiri terhadap skor TRAQ 6.0 Bahasa Indonesia sebelum mengikuti modul transisi.
Simpulan: Modul transisi remaja terbukti dapat meningkatkan kesiapan transisi remaja dengan LES berusia 15-17 tahun.

Background: Systemic lupus erythematosus (SLE) is a systemic autoimmune disease in which 10-20% of cases have an onset in childhood. The survival of children with SLE in both developed and developing countries has increased greatly in the last few decades. Although survival has increased, not all children and adolescents with SLE can enter adulthood well. Adolescent transition services are a bridge between child and adult health services which have begun to be developed for adolescents with special medical needs such as SLE.
Methods: The pre-experimental study on LES adolescents aged 15 to 17 years 6 months was conducted at Cipto Mangunkusumo General Hospital from December 2022 to May 2023. In this study, all subjects were included in the adolescent transition module, whose activities were carried out both online and offline. Online activities include 3 presentations of material and interactive discussions on the themes of LES, adolescence, and health services in adult clinics. Offline activities are carried out through role playing, resembling the atmosphere during independent visits to adult health services carried out at the end of the study. The main outcome of the transition module was assessed by comparing the average Indonesian TRAQ 6.0 score before and after participating in the transition module.
Results: There were 36 LES adolescents who took part in the transition module, but only 32 subjects took ≥75% of the activities. The average Indonesian TRAQ 6.0 score before taking the module was 3.4 (0.6). The mean increased to 3.8 (0.6) after participating in the module (p=0.001). There is no relationship between disease duration, degree of disease activity, and independent visits to the Indonesian TRAQ 6.0 score before joining the transition module.
Conclusion: The transition module has been proven to increasing transition readiness of adolescents aged 15 to 17 years with SLE.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dequarta Splinaria Umar
"Latar Belakang: Ketidaktaatan pengobatan pada orang dengan skizofrenia merupakan masalah di seluruh dunia dan merupakan aspek paling menantang dalam menangani pasien dengan skizofrenia. Ketaatan pengobatan merupakan faktor penting untuk memberikan luaran yang baik pada pasien dengan skizofrenia. Terdapat beberapa perbedaan hasil dari berbagai penelitian terhadap faktor yang menyebabkan ketidaktaan pengobatan, namun ketidaktaatan pengobatan tetap merupakan masalah yang konsisten dalam pengobatan skizofrenia. kasus di RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo cenderung kompleks. Sehingga penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor terkait yang menyebabkan ketidaktaatan pengobatan di RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo.
Metode: Penelitian dilakukan secara potong lintang. Sebanyak 1440 subjek berasal dari pasien rawat jalan dengan skizofrenia di poliklinik psikiatri RS dr. Cipto Mangunkusumo. yang ditentukan dengan cluster konsekutif. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara terstruktur menggunakan Positive and Negative Symptom of Schizophrenia (PANSS). Penilaian efek samping ekstrapiramidal mengunakan extrapyramidal symptom rating scale (ESRS). Data ketidaktaatan pengobatan diambil dengan menggunakan instrumen self-report medication adherence rating scale (MARS) data yang diperoleh kemdian dilakukan analisis dengan metode regresi logistik.
Hasil: Ditemukan proporsi ketidaktaatan pengobatan pada pasien dengan skizofrenia di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo sebesar 21,4%. Tilikan, fungsi kognitif, status ekonomi, keparahan gejala, gejala depresi, efektivitas pengobatan ditemukan memengaruhi ketidaktaan pengobatan. Melalui analisis multivariat hanya tilikan (p 0,003 ; OR = 5,437 ; CI95% 1,752-16,868) dan fungsi kognitif (p = 0.035 ; OR = 3,294 ; CI95% 1,089-9,967) yang menunjukkan pengaruh bermaknak terhadap ketidaktaatan pengobatan.

Introduction: Medication non-adherence in people with schizophrenia is a worldwide problem and is the most challenging aspect of managing patients with schizophrenia. Adherence to medication is an important factor to provide a good outcome in patients with schizophrenia. There are differences in the results of various studies on the factors that lead to medication non-adherence, but medication adherence remains a consistent problem in the treatment of schizophrenia. the case at dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital tends to be more complex. So this research was conducted to determine the related factors that led to medication non-adherence at dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital.
Methods: we conducted in a cross-sectional research. The sample size was 140 subjects from outpatients with schizophrenia in psychiatric polyclinic at dr. Cipto Mangunkusumo hospital and selected by consecutive clusters. Data were collected by structured interviews using Positive and Negative Symptoms of Schizophrenia (PANSS). Extrapyramidal side effect assessment using extrapyramidal symptom rating scale (ESRS). Medication adherence data were taken using the instrument self-report medication adherence rating scale (MARS). The data obtained were analyzed using logistic regression methods.
Results: The Proportion of medication non-adherence in patients with schizophrenia of 21.4% was found at dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital. Insight, cognitive function, economic status, symptom severity, depressive symptoms, and effectiveness of treatment were found to be significant related to medication non-adherence. Multivariate analysis shown only insight (p 0.003; OR = 5.437; 95% CI 1.752-16.868) and cognitive function (p = 0.035; OR = 3.294; 95% CI 1.089-9.967) were found were found significant related to medication non-adherence.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Angie Shabira Permata H
"Latar belakang : Nefritis lupus (NL) memiliki renal outcome yang buruk meliputi, doubling serum kreatinin, atau penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) ≥ 50% terhadap baseline, atau gagal ginjal terminal. Baik penyakit ginjal kronik maupun gagal ginjal terminal berdampak pada masalah kesehatan global, mortalitas, hospitalisasi, dan beban pembiayaan kesehatan. Identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi renal outcome yang buruk pada nefritis lupus diharapkan meningkatkan pengelolaan pasien NL dan mencegah perburukan fungsi ginjal. Tujuan : Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi renal outcome yang buruk pada pasien NL di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Metode : Studi kohort retrospektif dengan penelusuran rekam medis pasien nefritis lupus yang berobat ke RSCM periode Januari 2011-Juni 2019. Analisis bivariat dilakukan pada faktor anemia, proteinuria, fungsi ginjal, aktivitas penyakit LES baseline, rerata mean arterial pressure (MAP), obesitas, histopatologi, remisi, dan relaps terhadap renal outcome yang buruk pada nefritis lupus selama 3 hingga 5 tahun paska terdiagnosis, menggunakan metode Chi-square. Analisis multivariat dilakukan dengan metode binary regresi terhadap variabel dengan nilai p < 0,25 pada analisis bivariat. Hasil : Didapatkan subjek sebanyak 128 pasien untuk diteliti. Renal outcome yang buruk berupa doubling serum kreatinin, atau penurunan LFG ≥ 50% terhadap baseline, atau gagal ginjal terminal selama follow-up didapatkan sebesar 25% dengan status obesitas (31,6%), rerata MAP ≥ 100 mmHg (45,2%), serum kreatinin baseline ≥ 0,9 mg/dl (21,4%), proteinuria baseline ≥ 3,5 g/24 jam (38,5%), anemia baseline (23,7%), gagal remisi (78,3%), relaps (48%), aktivitas penyakit LES derajat berat (25,9%), NL proliferatif (32,1%), indeks aktivitas ≥ 12 (80%), dan indeks kronisitas ≥ 4 (45,5%). Faktor-faktor yang memengaruhi renal outcome yang buruk pada pasien NL di RSCM meliputi rerata MAP ≥ 100 mmHg, proteinuria baseline ≥ 3,5 g/24 jam, dan gagal remisi dengan RR (IK 95%) masing-masing 2,241 (1,468-3,419), p < 0,001, 1,756 (1,283-2,403), p < 0,001, dan 5,438 (3,268-9,047), p < 0,001. Kesimpulan: Persentase renal outcome yang buruk pada pasien NL di RSCM sebesar 25% yang dipengaruhi rerata MAP ≥ 100 mmHg, proteinuria baseline ≥ 3,5 g/24 jam, dan, gagal remisi.

Background : Lupus nephritis (LN) is associated with poor renal outcomes, such as doubling serum creatinine, or reduced estimated glomerular filration rate (eGFR) ≥ 50% from baseline, or end-stage renal disease. Either chronic kidney disease or end-stage renal disease (ESRD) affect the global health problem, mortality, hospitalization, and medical expenses. Identification of factors that influence poor renal outcome in lupus nephritis might increase the awareness in management of patient with lupus nephritis to reduce health burden due to worsening renal outcome. This study aims to identify factors that influence poor renal outcome in patient with lupus nephritis in an Indonesian tertiary hospital. Methods: Retrospective cohort study tracing medical records in patients with lupus nephritis during January 2011-June 2019. Chi-squared bivariate analysis was conducted among influencing factors; baseline anemia, proteinuria, renal function, disease activity, the time average of mean arterial pressure (MAP), obesity, histopathology, achieving remission, and the occurence of relapse. Binary regression is used in multivariate analysis for variables with p ≤ 0,25 in bivariate analysis. Results: This study consists of 128 patients with lupus nephritis. Poor renal outcome was defined by doubling serum creatinine or reduced eGFR ≥ 50% from baseline or end-stage renal disease. During the follow-up, poor renal outcome was found 25% among obesity (31,6%), the time average of mean arterial pressure (MAP) ≥ 100 mmHg (45,2 %), baseline serum creatinine ≥ 0,9 mg/dl (21,4%), baseline proteinuria ≥ 3,5 g/24 h (38,5%), baseline anemia (23,7%), failure to achieve remission (78,3%), renal relapse (48%), severe disease activity (25,9%), proliferative histopathology (32,1%), activity index ≥ 12 (80%), and chronicity index ≥ 4 (45,5%). The time average of MAP ≥ 100 mmHg, baseline proteinuria 3,5 g/24 h, and failure to achieve remission influenced poor renal outcome in patients with LN consecutively with RR (95% CI) 2,241 (1,468-3,419), p < 0,001, 1,756 (1,283-2,403), p < 0,001, and 5,438 (3,268-9,047), p < 0,001. Conclusion: Poor renal outcome in LN patients in the Indonesian tertiary hospital was 25 % that influenced by the time average of MAP ≥ 100 mmHg, baseline proteinuria ≥ 3,5 g/24 h, and failure to achieve remission. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>