Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 191856 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arristo Herbawono
"Tidak dapat dipungkiri, bahwa kelompok minoritas gender merupakan kelompok yang rentan terhadap viktimisasi. Kerentanan ini dapat dilihat dengan jelas manakala kelompok minoritas gender ini menunjukkan eksistensinya di dalam masyarakat yang memiliki kultur heteronormatif. Di Indonesia sendiri adanya kultur heteronormatif ini dipengaruhi oleh keberadaan agama-agama samawi, khususnya Islam sebagai agama yang paling banyak dianut oleh masyarakat Indonesia. Kelompok Bissu yang merupakan bagian dari tradisi lima gender di dalam kebudayaan Bugis telah terbukti mengalami viktimisasi yang terjadi hingga saat ini. Hal tersebut dikarenakan Bissu yang eksis pada saat ini adalah mereka yang dahulunya adalah seorang Calabai (laki-laki berjiwa perempuan), walaupun pada hakikatnya semua bentuk gender dapat menjadi seorang Bissu. Secara historis, eksistensi Bissu sebagai salah satu kelompok minoritas gender telah mengalami pergolakan sejak fase pertama kali Islam masuk di Sulawesi Selatan hingga fase revitalisasi yang berlangsung hingga saat ini. Hal ini tidak terlepas dari kultur heteronormatif yang juga dibawa oleh Islam pada saat penyebarannya di Indonesia. Bissu yang sudah menjadi tradisi Masyarakat Bugis selama ratusan tahunpun terancam eksistensinya dan dikhawatirkan mengalami kepunahan. Namun, eksistensi Bissu yang dapat dijumpai hingga saat ini menunjukkan bahwa Bissu melakukan resistensi atas viktimisasi yang mereka alami. Penelitian ini ingin membuktikan apakah viktimisasi yang dialami Bissu berpengaruh terhadap kehidupan Bissu dan apakah viktimisasi tersebut memiliki hubungan dengan diskriminasi terhadap kelompok minoritas gender melalui studi kualitatif-partisipatoris.

It is undeniably that gender minority groups are vulnerable to victimization. This vulnerability becomes evident when these gender minority groups assert their existence in societies with a heteronormative culture. In Indonesia, the presence of this heteronormative culture is influenced by the existence of Abrahamic religions, particularly Islam, which is the most widely practiced religion in Indonesian society. The Bissu community as part of the five-gender tradition in Bugis culture, has been proven to experience victimization that persists to this day. This is because the current Bissu individuals were formerly Calabai (feminine men), although, in essence, individuals of any gender can become Bissu. Historically, the existence of Bissu as one of the gender minority groups has undergone turmoil since the early phases of Islam's entry into South Sulawesi, continuing through the ongoing revitalization phase. This is closely tied to the heteronormative culture brought by Islam during its spread in Indonesia. The Bissu, a tradition in Bugis society for centuries, is now at risk of extinction due to the heteronormative influences. However, the continued existence of Bissu individuals indicates their resistance to the victimization they face. This research aims to prove whether the victimization experienced by Bissu has an impact on their lives and whether this victimization is related to discrimination against gender minority groups through a qualitative-participatory study."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agil Mustaqiim
"Artikel ini mengkaji diskriminasi institusional yang dihadapi oleh kelompok minoritas gender di Singapura dalam mengakses perumahan publik. Diskriminasi ini dimungkinkan terjadi setelah amandemen Pasal 156 Konstitusi pada tahun 2023. Amandemen tersebut melindungi kebijakan dengan definisi pernikahan heteroseksual dari gugatan hukum. Berdasarkan kasus tersebut, penelitian ini akan melihat bagaimana Amandemen Pasal 156 Konstitusi pada tahun 2023 memungkinkan terjadinya diskriminasi institusional terhadap kelompok minoritas gender di Singapura dalam mengakses perumahan publik. Penelitian ini didasarkan pada konsep diskriminasi institusional oleh Fred L. Pincus mengenai bagaimana kelompok dominan membuat kebijakan yang mencederai hak kelompok minoritas. Kemudian, kajian ini menggunakan teori empat dimensi kekuasaan Mark Haugaard untuk memahami bagaimana kekuasaan dalam proses amandemen membuka peluang praktik diskriminasi. Penulis menggunakan pendekatan kualitatif untuk memahami serta menjelaskan makna peristiwa dengan mengelola data spesifik menjadi tema umum. Berdasarkan penelusuran, peneliti menemukan bahwa Pemerintah Singapura menggunakan kekuasaan otoritasnya untuk menjaga nilai dan membentuk opini publik. Selain itu, kekuasaan milik kelompok minoritas gender tidak setara dengan pemerintah dan fokus pada dekriminalisasi membuat amandemen dianggap menjadi kompromi yang baik.

This article examines the institutional discrimination faced by gender minorities in Singapore in accessing public housing. This discrimination was enabled following the amendments of Article 156 in Singapore Constitution in 2023 which protects policies with a definition of heterosexual marriage from legal challenges. Based on this case, this research will be focused on how the amendment of Article 156 of the Constitution in 2023 enables institutional discrimination against gender minorities in Singapore in accessing public housing. This research is based on the concept of institutional discrimination by Fred L. Pincus which highlights how dominant groups make policies that harm minority groups. Then, this study also uses Mark Haugaard's four dimensions of power theory to understand how power was exercised in the amendment process which perpetuates discrimination. The author used a qualitative approach to examine the meaning of events with reasoning that organizes specific data into general themes. This research then found that the Singapore Government used its authority to maintain the values it believes in and shape public opinion. In addition, the power held by gender minorities is kept to a minimum in comparison to that held by the ruling government. The focus on decriminalization makes the amendment considered as political bargaining."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lisa Riana Laurenza
"Artikel ini mengulas persoalan ragam gender Bugis. Gender itu dinamis bukan statis, pemahaman gender Bugis sebagai representatif yang mumpuni untuk menggambarkan ragam gender yang plural, fleksibel, dan toleran. Gender Bugis yang dikaji, digunakan sebagai kritik terhadap esensialisme gender yang tidak dapat membahasakan diskursus ragam gender Bugis. Artikel ini menggunakan data yang diambil dari teks-teks dan dokumenter yang membahas gender Bugis. Metode feminis dan analisis kritis secara dekonstruksi terhadap esensialisme gender, dan teori performativitas gender Butler sebagai cara untuk membedah pemahaman gender Bugis. Dari proses rekognisi menghasilkan pandangan baru dalam proses menciptakan dan membangun identitas gender melalui bentuk performativitas gender. Tubuh bukan sebagai ekspresi melainkan menjadi konfigurasi pelengkap atas perempuan dan laki-laki. Gender tidak dipandang permanen, tetapi secara ilusi. Performativitas berguna dalam menangani gender di Bugis karena menunjukkan bagaimana norma dominan membentuk gender. Selain itu, performativitas gender sebagai upaya untuk mengembangkan identitas gender melalui upaya pengenalan dan pelestarian ragam gender serta nilai Bugis lewat berbagai media.

This article examines the issue of Bugis gender diversity. Gender is dynamic, not static, the understanding of Bugis gender as a capable representative to describe a plural, flexible, and tolerant gender diversity. The Bugis gender study is used to critique gender essentialism which cannot discuss the Bugis gender diversity discourse. This article uses data taken from texts and documentaries that discuss Bugis's gender. Feminist methods and deconstructive critical analysis of gender essentialism, and Butler's theory of gender performativity as a way to dissect Bugis gender understanding. The recognition process produces new views in creating and building gender identity through the form of gender performativity. The body is not an expression but a complementary configuration of women and men. Gender is not seen as permanent but illusory. Performativity helps deal with gender in Bugis because it shows how dominant norms shape gender. In addition, gender performativity is an effort to develop gender identity through efforts to identify and preserve gender diversity and Bugis values ​​through various media."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Roberto
"Skripsi ini menelusuri realita pengalaman dan kehidupan sehari-hari yang dialami kelompok gay dan lesbian. Biseksualitas juga akan dibahas secara ringkas dalam tulisan ini. Ancaman kekerasan fisik serta kekerasan verbal berupa mikroagresi dan pesan tersembunyi yang disampaikan kepada individu dengan homoseksualitas ditelusuri dan dilihat sebagai pengalaman hidup kelompok marginal. Keberadaan stigma dan proses passing sebagai proses manajemen stigma ditelusuri sebagai realita kehidupan. Heteroseksisme hukum yang mengatur dan menciptakan lingkungan ini ditelusuri dan dikritik sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi homofobia. Rezim HAM dalam hukum juga ditelusuri untuk dilihat kemungkinannya sebagai titik tolak perlindungan.

This study will explore the experiential reality of lesbians and gays. Bisexualty will also be explored, though to a limited extent. Risks of violence and experienced violence, both physical and verbally expressed through microagressions is explored as an everyday reality for homosexual individuals. Stigma and its management is expressed as an everyday experience for marginalized society. Heterosexism of the legal system of Indonesia as a contributing factor to homophobia will be critiqued and explored. The human rights regime as law and its basis for protection of marginalized society is evaluated as a stepping stone for progress.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S61489
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Catharina Theresia Indirastuti
"ABSTRAK
Penelitian ini mempelajari bagaimana calabai, istilah Bugis untuk waria atau
transgender woman, menegosiasikan subjektivitas gendernya agar dapat
memperoleh posisi dalam masyarakat Bugis masa kini. Eksistensi dan peran
calabai telah diakui dalam tradisi Bugis selama beratus tahun. Perubahan sistem
sosial dalam masyarakat Bugis, terutama masuknya Islam dengan sistem seks/
gender yang dikotomis, pendidikan modern dan berubahnya sistem politik
membawa perubahan mendasar dalam konteks hidup calabai. Sebagian calabai
bertahan pada peran tradisionalnya, sedangkan lainnya memasuki peran nontradisional
dalam konteks sosial dengan sistem gender yang lebih dikotomis.
Penelitian kualitatif ini mempelajari kehidupan 12 calabai dalam beragam peran.
Dengan mengadopsi sudut pandang Michel Foucault mengenai sistem kuasa,
Judith Butler tentang performativitas gender, serta Patricia Hill Collins tentang
opresi interseksional, ditemukan bahwa subjektivitas gender dinegosiasikan secara
cair sepanjang hidup calabai. Negosiasi subjektivitas gender calabai memiliki
bentuk yang sangat beragam, tidak kaku dan linier tetapi cair dan berubah-ubah
dalam konteks hidup yang berkelindaan relasi kuasa yang beragam serta terus
terjadi dalam tahapan hidup yang berbeda-beda. Subjektivitas gender calabai
dibangun dengan tujuan yang beragam, tidak ada satu tujuan yang ideal dan stabil,
namun berwarna-warni.

ABSTRACT
The research studied how calabai, the Bugis term for transgender woman,
negotiates her gender subjectivity to own position in the current Bugis society.
Calabai?s existence and roles have been acknowledged in Bugis tradition for
hundreds years. Changes in social system, including the entry of Islam with its
dichotomous sex/gender system, modern education and changing political system
have brought fundamental changes in calabai?s life context. Some calabai hold on
to traditional roles, while others enter non-traditional roles in social context with
stricter gender dichotomy. This qualitative research studied the life of 12 calabai
with diverse roles. By adopting Michel Foucault?s viewpoint on power systems,
Judith Butler?s gender performativity and Patricia Hill Collins? intersection
oppression, the research found that gender subjectivity is negotiated fluidly in a
complex way throughout calabai?s life. Different calabai negotiate her gender
subjectivity in different ways, the process is not rigid and linear but fluid and
changing through different life context that intertwined with power relations and
through life stages. Calabai gender subjectivity is constructed with diverse aim,
there is no ideal and stable aim, but expressed in a colourful ways;"
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Verrina Salsabilla
"Sextortion adalah pemerasan yang dilakukan melalui jaringan komputer dan melibatkan beberapa ancaman untuk melepaskan gambar korban yang eksplisit secara seksual. Kejahatan ini merupakan kejahatan teknologi berbasis gender baru yang masih kurang diteliti di Indonesia. Oleh sebab itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat peran relasi gender dalam viktimisasi sextortion terhadap perempuan melalui pengalaman empat narasumber, yaitu AY, AP, I, dan WNS dengan menggunakan feminist radical theory. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk mendengar pengalaman para narasumber secara mendalam. Berdasarkan pengalaman para narasumber, diketahui bahwa relasi gender sangat berpengaruh dalam pembangunan nilai-nilai maskulinitas agresif dan budaya patriarkis. Hal ini dengan melihat aspek kontrol dan kekuasaan, perilaku seksisme, dan objektifikasi tubuh perempuan, dari pengalaman para narasumber. Penelitian ini juga melihat pengaruh online misogini terhadap kekerasan terhadap perempuan, serta melihat kontinum kekerasan seksual yang meliputi perilaku sextortion.

Sextortion is a type of extortion carried out through a computer network and involves threats to release sexually explicit images of the victim. This crime is a new gender-based technology crime that is still under-researched in Indonesia. Therefore, this study aims to look at the role of gender relations in the victimization of sextortion against women through the experiences of four informants, namely AY, AP, I, and WNS using a feminist radical theory. This study uses qualitative methods to know more about the experiences of the informants deeply. Based on the experiences of the informants, it is known that gender relations are very influential in the development of aggressive masculinity values and patriarchal culture. This is done by looking at the aspects of control and power, sexist behavior, and the objectification of women's bodies, from the experiences of the informants. This research also looks at the influence of online misogyny on violence against women, and looks at the continuum of sexual violence which includes sextortion behavior."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A. Sulkarnaen
"Kelanjutan Tradisi Lisan Maddoja Bine Dalam Konteks Perubahan Sosial Masyarakat Bugis Disertasi ini mengkaji kelanjutan tradisi maddoja bine dalam konteks perubahan sosial masyarakat Bugis. Secara harfiah maddoja berarti begadang atau berjaga, tidak tidur; bine berarti benih. Petani yang melaksanakan maddoja bine akan berjaga di malam hari menunggui benih padi yang diperam, sebelum ditabur di persemaian keesokan harinya. Untuk mengisi waktu berjaga-jaga tersebut diadakan massureq, yaitu pembacaan Sureq La Galigo dengan berlagu resitasi. Maddoja bine merupakan salah satu tradisi La Galigo yang dilaksanakan sebagai bentuk penghormatan kepada Sangiang Serri dewi padi. Dalam epos/mitos La Galigo diceritakan bahwa Sangiang Serri merupakan puteri Batara Guru. Pada mulanya pelaksanaan maddoja bine merupakan bagian dari ritual komunal dalam satu wanua kampung, ketika itu pranata adat masih ada dan berfungsi. Perubahan sosial masyarakat Bugis berpengaruh pada pelaksanaan tradisi maddoja bine.
Dari penelitian ini, didapatkan empat cara pelaksanaan maddoja bine di kalangan petani Bugis, yaitu; 1 dilaksanakan secara perorangan disertai dengan massureq, 2 dilaksanakan secara perorangan dengan memasukkan unsur agama Islam barzanji dan tanpa disertai dengan pembacaan Sureq La Galigo, 3 dilaksanakan secara perorangan tanpa disertai dengan pembacaan Sureq La Galigo, 4 dilaksanakan secara kolektif atau komunal dengan disertai pembacaan Sureq La Galigo. Munculnya empat cara pelaksanaan maddoja bine ini tidak terlepas dari konteks sosial budaya masyarakat di mana tradisi tersebut dilaksanakan. Keberlanjutan tradisi dipengaruhi oleh elemen-elemen eksternal dan internal sistem pewarisan. Kebertahanan tradisi merupakan cerminan kebermaknaan dari praktik budaya bagi komunitas pendukungnya.

The continuation of maddoja bine tradition in the context of Bugis society social changeThis dissertation examines the continuation of maddoja bine tradition in the context of Bugis society social change. Literally maddoja means staying up or waking, not sleeping Bine means seed. Farmers who carry out maddoja bine will be waking at night watching the seeds of the rice, before sowing in the field on the next day. To fill the waking time massureq is held. It is the recital of Sureq La Galigo in song. Maddoja bine is one of La Galigo 39 s traditions which is performed as a tribute to Sangiang Serri goddess of rice. It is told in the epic myth of La Galigo that Sangiang Serri is the daughter of Batara Guru.In the beginning, the implementation of maddoja bine was part of communal ritual in one wanua kampung, when the customary institutions still remained and functioned. The social changes of Bugis society affect the implementation of maddoja bine tradition.
This research finds four ways of the implementation of maddoja bine among Bugis farmers 1 conducted individually accompanied by massureq, 2 carried out individually by incorporating elements of Islamic religion barzanji and without accompanying the reading of Sureq La Galigo, 3 carried out individually without accompanying the reading of Sureq La Galigo, 4 executed collectively or in communal accompanied by the recital of Sureq La Galigo.The emergence of four ways of implementing maddoja bine is inseparable from the socio cultural context of the community in which the tradition is carried out. The sustainability of the tradition is influenced by external and internal elements inheritance systems. The survival of the tradition is a reflection of the meaningfulness of cultural practice for its supporting community.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2017
D2504
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liestya Stefani
"ABSTRAK
Setelah perang kemerdekaan dari Prancis (1954 ? 1962), Aljazair
mengalami perang saudara pada tahun 1990an antara agama dan pemerintah yang
menyebabkan perempuan menjadi korban dengan pembatasan aktivitas mereka.
Beberapa perempuan tidak menerima keadaan tersebut dan melakukan
emansipasi, salah satunya dengan menulis. Salah satu penulis perempuan feminis
Aljazair adalah Maïssa Bey dengan karya pertamanya, yaitu Au commencement
était la mer. Di dalam novel ini, Bey mendeskripsikan diskriminasi gender yang
dialami oleh perempuan Aljazair pada masa tersebut serta perlawanan terhadap
diskriminasi yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki. Melalui analisis unsur
intrinsik yang menggunakan teori struktural Roland Barthes mengenai hubungan
sintagmatik dan paradigmatik dan teori sekuen M. P. Schmitt dan Alain Viala,
ditemukan tiga bentuk diskriminasi gender dalam novel ini, yaitu stereotip,
marginalisasi, dan subordinasi. Selain itu, diketahui pula bahwa laki-laki ataupun
perempuan dapat menjadi pelaku ataupun penentang diskriminasi. Perlawanan
yang dilakukan terhadap diskriminasi gender berupa penggugatan stereotip serta
dukungan terhadap emansipasi perempuan untuk menghilangkan marginalisasi,
sedangkan subordinasi masih belum dapat dihindari karena berkaitan dengan
budaya patriarkal yang dianut oleh masyarakat. Kepala keluarga memiliki peran penting dalam diskriminasi gender ini.ABSTRACT
After the war of independence from France (1954 ? 1962), Algeria
experienced a civil war in the 1990s between religion and the government that led
to women becoming victims to restrictions on their activities. Some women did
not accept this situation and did the emancipation, by writing. One of Algerian
feminist writers is Maïssa Bey with her first work, named Au commencement était
la mer. In this novel, Bey describes gender discrimination experienced by
Algerian women in the era as well as the fight against it done by women and men.
Through analysis of the intrinsic unsure which use the structural theory of Roland
Barthes syntagmatic and paradigmatic relations and M. P. Schmitt and Alain
Viala theory of sequences, found three forms of gender discrimination in this
novel, such as stereotypes, marginalization, and subordination. In addition, also
known that men and women could be perpetrators or opposing discrimination.
The resistance to gender discriminations could be criticizing stereotypes as well as
supporting the women emancipation to eliminate marginalization, whereas
subordination still cannot be avoided because it is associated with patriarchal
culture embraced by the community. The head of family has an important role in this gender discrimination.;After the war of independence from France (1954 ? 1962), Algeria
experienced a civil war in the 1990s between religion and the government that led
to women becoming victims to restrictions on their activities. Some women did
not accept this situation and did the emancipation, by writing. One of Algerian
feminist writers is Maïssa Bey with her first work, named Au commencement était
la mer. In this novel, Bey describes gender discrimination experienced by
Algerian women in the era as well as the fight against it done by women and men.
Through analysis of the intrinsic unsure which use the structural theory of Roland
Barthes syntagmatic and paradigmatic relations and M. P. Schmitt and Alain
Viala theory of sequences, found three forms of gender discrimination in this
novel, such as stereotypes, marginalization, and subordination. In addition, also
known that men and women could be perpetrators or opposing discrimination.
The resistance to gender discriminations could be criticizing stereotypes as well as
supporting the women emancipation to eliminate marginalization, whereas
subordination still cannot be avoided because it is associated with patriarchal
culture embraced by the community. The head of family has an important role in this gender discrimination.;After the war of independence from France (1954 ? 1962), Algeria
experienced a civil war in the 1990s between religion and the government that led
to women becoming victims to restrictions on their activities. Some women did
not accept this situation and did the emancipation, by writing. One of Algerian
feminist writers is Maïssa Bey with her first work, named Au commencement était
la mer. In this novel, Bey describes gender discrimination experienced by
Algerian women in the era as well as the fight against it done by women and men.
Through analysis of the intrinsic unsure which use the structural theory of Roland
Barthes syntagmatic and paradigmatic relations and M. P. Schmitt and Alain
Viala theory of sequences, found three forms of gender discrimination in this
novel, such as stereotypes, marginalization, and subordination. In addition, also
known that men and women could be perpetrators or opposing discrimination.
The resistance to gender discriminations could be criticizing stereotypes as well as
supporting the women emancipation to eliminate marginalization, whereas
subordination still cannot be avoided because it is associated with patriarchal
culture embraced by the community. The head of family has an important role in this gender discrimination."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
MK-PDF
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Liestya Stefani
"ABSTRAK
Setelah perang kemerdekaan dari Prancis (1954 ? 1962), Aljazair mengalami perang saudara pada tahun 1990an antara agama dan pemerintah yang menyebabkan perempuan menjadi korban dengan pembatasan aktivitas mereka. Beberapa perempuan tidak menerima keadaan tersebut dan melakukan emansipasi, salah satunya dengan menulis. Salah satu penulis perempuan feminis Aljazair adalah Maïssa Bey dengan karya pertamanya, yaitu Au commencement était la mer. Di dalam novel ini, Bey mendeskripsikan diskriminasi gender yang dialami oleh perempuan Aljazair pada masa tersebut serta perlawanan terhadap diskriminasi yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki. Melalui analisis unsur intrinsik yang menggunakan teori struktural Roland Barthes mengenai hubungan sintagmatik dan paradigmatik dan teori sekuen M. P. Schmitt dan Alain Viala, ditemukan tiga bentuk diskriminasi gender dalam novel ini, yaitu stereotip, marginalisasi, dan subordinasi. Selain itu, diketahui pula bahwa laki-laki ataupun perempuan dapat menjadi pelaku ataupun penentang diskriminasi. Perlawanan yang dilakukan terhadap diskriminasi gender berupa penggugatan stereotip serta dukungan terhadap emansipasi perempuan untuk menghilangkan marginalisasi, sedangkan subordinasi masih belum dapat dihindari karena berkaitan dengan budaya patriarkal yang dianut oleh masyarakat. Kepala keluarga memiliki peran penting dalam diskriminasi gender ini.

ABSTRACT
After the war of independence from France (1954 ? 1962), Algeria experienced a civil war in the 1990s between religion and the government that led to women becoming victims to restrictions on their activities. Some women did not accept this situation and did the emancipation, by writing. One of Algerian feminist writers is Maïssa Bey with her first work, named Au commencement était la mer. In this novel, Bey describes gender discrimination experienced by Algerian women in the era as well as the fight against it done by women and men. Through analysis of the intrinsic unsure which use the structural theory of Roland Barthes syntagmatic and paradigmatic relations and M. P. Schmitt and Alain Viala theory of sequences, found three forms of gender discrimination in this novel, such as stereotypes, marginalization, and subordination. In addition, also known that men and women could be perpetrators or opposing discrimination. The resistance to gender discriminations could be criticizing stereotypes as well as supporting the women emancipation to eliminate marginalization, whereas subordination still cannot be avoided because it is associated with patriarchal culture embraced by the community. The head of family has an important role in this gender discrimination.
"
2016
S63397
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Kemal Nouval Hamzani
"Penulisan ini mengangkat permasalahan diskriminasi yang dialami minoritas di ranah politik dengan studi kasus ujaran kebencian yang dialami Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menjelang Pilkada Jakarta 2017. Melalui penulisan ini, penulis bertujuan untuk menjelaskan apa yang menjadi sebab ujaran kebencian terhadap Ahok, seorang Tionghoa dan Kristen, di Indonesia menjelang Pilkada Jakarta 2017. Metode penulisan ini menggunakan analisis konten berupa tweet yang mengandung unsur kebencian terhadap Basuki Tjahaja Purnama dalam periode September 2016-April 2017 dan publikasi jurnal dari beberapa ahli, dengan landasan teori group threat. Hasil analisis menunjukkan bahwa ujaran kebencian ke Basuki Tjahaja Purnama didorong oleh empat perasaan yang menjurus pada prasangka rasial, yakni (1) perasaan superioritas; (2) perasaan bahwa kelompok minoritas secara intrinsik berbeda dan asing; (3) perasaan kepemilikan atas bidang, hak istimewa, dan keuntungan tertentu; serta (4) ketakutan dan kecurigaan terhadap kelompok minoritas akan mengusik hak prerogatif mereka. Kebaruan penulisan ini adalah menggunakan analisis naratif untuk melihat keterkaitan antara satu kejadian dengan kejadian lainnya untuk mengetahui sebab sebuah fenomena

This paper raises the problem of discrimination experienced by minorities in the political sphere with a case study of hate speech experienced by Basuki Tjahaja Purnama or Ahok ahead of the 2017 Jakarta Regional Election. Through this writing, the author aims to explain what is the cause of hate speech against Ahok, a Chinese and Christian, in Indonesia ahead of the 2017 Jakarta regional election. This writing method uses content analysis in the form of tweets containing elements of hatred against Basuki Tjahaja Purnama in the period September 2016 - April 2017 and journal publications from several experts, based on group threat theory. The results of the analysis showed that hate speech to Basuki Tjahaja Purnama was driven by four feelings that lead to racial prejudice, namely (1) feelings of superiority; (2) a feeling that minority groups are intrinsically distinct and foreign; (3) a feeling of ownership over certain fields, privileges, and advantages; and (4) fear and suspicion of minority groups will undermine their prerogatives. The novelty of this writing is to use narrative analysis to see the relationship between one event and another to find out the cause of a phenomenon."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>