Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 179340 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sihotang, Alfons Ken Billyarta
"Latar Belakang: Dibandingkan negara lain, tidak banyak jumlah tindakan trakeostomi yang dilakukan pada anak di Indonesia. Hal tersebut menimbulkan terbatasnya informasi terkait karakteristik dan luaran dari anak yang menjalani tindakan trakeostomi. Berbagai karakteristik yang dimiliki anak dapat menjadi faktor risiko mortalitas ketika dalam status trakeostomi. Metode: Penelitian potong lintang dilakukan terhadap 98 subjek berusia >2 bulan hingga ≤18 tahun yang menjalani trakeostomi pada Januari 2020-Oktober 2023 melalui rekam medis RSCM. Hasil: Kejadian mortalitas pada anak dengan trakeostomi adalah 21,4%. Sebagian besar anak yang menjalani trakeostomi berada di usia 2 bulan hingga 5 tahun (55,1%), laki-laki (59,2%), gizi baik (57,1%), imunokompeten (81,6%), indikasi terbagi merata antara obstruksi saluran napas dengan penggunaan ventilator berkepanjangan (50%), tidak mengalami komplikasi (67,3%), dan memiliki komorbid (77,6%). Pada analisis multivariat, faktor risiko yang memiliki hubungan signifikan terhadap mortalitas anak dengan trakeostomi adalah gizi kurang (p=0,013; AOR 6,901; IK95%=1,492-31,920), gizi berlebih (p=0,025; AOR 9,623; IK95%=1,336-69,324), mengalami komplikasi (p <0,001; AOR 28,737; IK95%=6,248-132,174), dan memiliki komorbid (p=0.030; AOR 9,518; IK95%=1.247-72.621). Kesimpulan: Angka kejadian mortalitas pada anak dengan trakeostomi sebesar 21,4%. Faktor risiko yang berperan terhadap kejadian mortalitas pada anak dengan trakeostomi adalah status gizi kurang, gizi berlebih, mengalami komplikasi, dan memiliki komorbid.

Introduction: Compared to other countries, there are not many tracheostomy procedures performed on children in Indonesia. This results in limited information regarding the characteristics and outcomes of children who undergo tracheostomy procedures. Various characteristics of children can be a risk factor for mortality when in tracheostomy status. Method: Cross sectional study was conducted on 98 subjects aged >2 months to ≤18 years who underwent tracheostomy from January 2020-October 2023 through the medical records of RSCM. Results: The incidence of mortality in children with tracheostomy is 21,4%. Most children who underwent tracheostomy were aged 2 months to 5 years (55,1%), male (59,2%), well-nourished (57,1%), immunocompetent (81,6%), indications were evenly distributed between airway obstruction with prolonged ventilator (50%), not experiencing complications (67,3%), and having comorbidities (77,6%). In multivariate analysis, risk factors that had significant relationship mortality in children with tracheostomy were undernutrition (p=0,013; AOR 6,901; 95%CI=1,492-31,920), overnutrition (p=0,025; AOR 9,623; 95%CI=1,336-69,324), experienced complications (p<0,001; AOR 28,737; 95%CI=6,248-132,174), and had comorbidities (p=0,030; AOR 9,518; 95%CI=1,247-72,621). Conclusion: The incidence of mortality in children with tracheostomy is 21.4%. Risk factors that contribute to the incidence of mortality in children with tracheostomy are malnutrition, overnutrition, experiencing complications, and had comorbidities."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyanti Prima Putri
"Pendahuluan: Ventricular septal defect (VSD) adalah penyakit jantung bawaan (PJB) ditandai dengan terdapatnya lubang atau foramen di dinding yang memisahkan bilik kiri dan kanan. Profil pasien antara lain umur, berat badan, tinggi badan, tanda-tanda vital, jumlah anggota keluarga, keluhan utama, ukuran VSD, klasifikasi VSD, adanya kardiomegali, komplikasi, riwayat penyakit jantung bawaan di keluarga, dan tata laksana VSD. Terdapat pula beberapa faktor risiko dari VSD antara lain jenis kelamin, berat lahir, usia kehamilan, status nutrisi, status sosio-ekonomi, kondisi genetik seperti sindrom Down, usia ibu ketika hamil, riwayat ibu merokok selama kehamilan, kebiasaan ibu minum-minuman beralkohol selama kehamilan, riwayat ayah merokok, dan riwayat diabetes ibu selama kehamilan. Namun, faktor risiko dan profil dari VSD di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo masih belum diketahui. Maka dari itu, penelitian ini diperlukan untuk menginvestigasi informasi ini. Metode: Studi potong lintang ini melibatkan 40 pasien VSD terisolasi dan 40 pasien kontrol yang datang ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada tahun 2020. Data diperoleh dari rekam medis dan/atau wawancara pasien setelah dilakukan pemilihan sampel dengan metode acak sederhana. Data tersebut kemudian dianalisis menggunakan Statistical Package for Social Sciences (SPSS) versi 24 untuk Mac. Pearson Chi-squared test dan Fisher's exact test, digunakan untuk menyelidiki asosiasi variabel. Hasil: Dari 40 pasien VSD mayoritas balita, median berat badan 8,4 kg, rerata tinggi badan 85 cm, rerata tekanan darah, laju nadi dan laju napas dalam batas normal, keluhan utama tersering adalah berat badan sulit naik, jenis VSD terbanyak perimembranosa, ukuran VSD terbanyak ukuran besar, tidak ada komplikasi, tidak ada PJB dalam keluarga, dan terapi utama adalah operasi. Untuk faktor risiko, keberadaan kondisi genetik seperti sindrom Down terbukti secara bermakna [RP 2,143 (95% IK: 1,682-2,729), P= 0,02] sebagai satu-satunya faktor risiko VSD pada penelitian ini. Namun, beberapa faktor risiko lain termasuk status sosio-ekonomi (P=0,491), usia ibu saat hamil (P= 0,745), merokok ayah (P= 0,370), diabetes ibu saat hamil (P= 0,494), riwayat merokok ibu selama kehamilan (P= 1), dan riwayat asupan alkohol ibu selama kehamilan (P = 1) tidak terbukti sebagai faktor risiko VSD pada penelitian ini. Simpulan: Studi ini menemukan hubungan antara kondisi genetik seperti sindrom Down dengan VSD. Penelitian ini juga menemukan profil pasien VSD yang datang ke RSCM selama tahun 2020. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mencari faktor risiko yang belum terbukti bermakna dan untuk menyelidiki faktor risiko lain yang tidak dieksplorasi dalam penelitian ini. Studi di masa depan harus mencakup populasi yang lebih besar untuk menghasilkan data profil pasien yang lebih baik.

Introduction: Ventricular septal defect (VSD) is a congenital heart disease (CHD) caused by a hole or foramen in the septum between the left and right ventricles. For profile, there are age, body weight, body height, vital signs, family size, main complaint, VSD size, VSD classification, presence of cardiomegaly, complications, familial congenital heart disease, and treatments of isolated VSD. There are also several risk factors of isolated VSD including gender, birth weight, gestational age, nutritional status, socio-economic status, genetic syndrome such as Down syndrome, maternal age when pregnant, maternal smoking history during pregnancy, maternal alcohol intake history during pregnancy, paternal smoking, as well as maternal gestational diabetes. However, the risk factors and profile of isolated VSD patients at Cipto Mangunkusumo Hospital are still unknown. As a result, research is required to investigate this information. Method: This cross-sectional study included 40 isolated VSD patients and 40 control patients from Cipto Mangunkusumo Hospital in 2020. Data were obtained from medical records and/or patient interviews following a simple random number sampling. The data was then analyzed using the Statistical Package for Social Sciences (SPSS) version 24 for Mac. The Pearson Chisquared Test and Fisher's Exact Test were used to investigate the variables' association. Results: From 40 patients, the majority was toddler, median body weight was 8.4 kg, mean body height was 85 cm, mean blood pressure, heart rate and respiratory rate were normal, the main complaints was difficulty gaining weight, types of VSD was perimembranous, most of patient had large VSD, there was no complications, there was no the presence of familial congenital heart disease and surgery was a most prevalent definitive VSD. For the risk factors, the presence of genetic syndrome such as Down syndrome [PR 2.143 (CI 95%: 1.682-2.729), P= 0.02] is confirmed as the only risk factor of isolated VSD in this population. However, several other parameters including socio-economic status (P= 0.491), maternal age when pregnant (P= 0.745), paternal smoking (P= 0.370), maternal gestational diabetes (P= 0.494), maternal smoking history during pregnancy (P= 1), and maternal alcohol intake history during pregnancy (P= 1) have not been shown to raise the risk of isolated VSD in this population. Conclusion: This study found a relation between genetic conditions like Down syndrome and isolated VSD. Furthermore, this study detailed the profile of isolated VSD patients in this population. However, more research is needed to establish stronger evidence and to investigate risk factors that were not explored in this study, and future studies should include a larger population to produce better patient profile data."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ihat Sugianti
"ABSTRAK
Latar belakang : Purpura Henoch-Schӧnlein (PHS) merupakan sindrom klinis
yang disebabkan vaskulitis akut sistemik pada pembuluh darah kecil yang paling
sering pada anak. Manifestasi klinis PHS sering melibatkan berbagai organ seperti
kulit, sendi, gastrointestinal, dan ginjal. Rekurensi terjadi pada hampir 50 % kasus
dan memengaruhi prognosis PHS. Sejauh ini belum ada publikasi penelitian PHS
yang meliputi manifestasi klinis, laboratorium, serta rekurensi di Indonesia.
Tujuan : Mengetahui manifestasi klinis, laboratorium serta rekurensi PHS anak di
Indonesia.
Metode : Penelitian deskriptif retrospektif. Data diperoleh dari rekam medis
pasien anak berusia 0-18 tahun dengan diagnosis PHS selama periode 1 Januari
2009 hingga 31 Desember 2012 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Hasil : Terdapat 71 kasus PHS dengan rentang usia 2 sampai 16 tahun dan usia
tersering pada kelompok 6-8 tahun. Proporsi anak wanita lebih tinggi dibanding
lelaki dengan rasio 1,2:1. Semua pasien mengalami purpura palpabel dan
manifestasi tersering lainnya adalah gangguan gastointestinal (79 %), artritis atau
artralgia (68 %), dan keterlibatan ginjal (41 %), sedangkan yang jarang adalah
gangguan neurologis (1 %), dan edema skrotum (4 %). Riwayat infeksi yang
mendahului gejala PHS didapatkan pada 56 % kasus. Peningkatan laju endap
darah (88 %) dan trombositosis (60 %) merupakan kelainan laboratorium yang
paling sering ditemukan, diikuti dengan hematuria (41 %), leukositosis (32 %),
dan anemia (31 %). Penurunan fungsi ginjal ditemukan pada 6/42 kasus.
Perbaikan gejala klinis terlihat dalam waktu kurang dari 4 minggu untuk
manifestasi kulit, gastrointestinal, dan persendian. Sebanyak 18/24 subjek dengan
hematuria mengalami perbaikan dalam waktu 6 bulan. Penurunan fungsi ginjal
menetap tidak ditemukan dalam penelitian ini. Rekurensi didapatkan pada 5/57
subjek yang memiliki data pemantauan.
Simpulan : Manifestasi klinis tersering pada PHS adalah purpura palpabel,
gangguan gastrointestinal, artritis atau artralgia, dan keterlibatan ginjal, sedangkan
yang jarang adalah gangguan neurologis dan edema skrotum. Pemeriksaan darah
perifer lengkap dan urinalisis sebaiknya dilakukan pada semua pasien PHS untuk
mendukung diagnosis dan menilai keterlibatan ginjal. Pada semua pasien PHS
sebaiknya dilakukan pemantauan minimal selama 6 bulan untuk menilai
keterlibatan ginjal yang mungkin timbul terlambat serta rekurensi

ABSTRACT
Background : Henoch-Schӧnlein purpura (HSP) is a clinical syndrome which
caused by systemic acute vasculitis in small vessel. Henoch-Schӧnlein purpura is
the most common etiology of vasculitis in children. Clinical manifestations
usually involved several organs, such as skin, joint, gastrointestinal, and kidney.
Recurrency occured in almost 50 % cases, and lead to poor prognosis. Up to now,
there was no publications of HSP study in Indonesia regarding in clinical profiles,
laboratory, and recurrency.
Objective : To investigate the clinical characteristics, laboratory, and recurrency
of HSP in Indonesian’s children.
Method : A retrospective descriptive study was conducted from medical records
of children up to 18 years, in Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH). Our
participants were children diagnosed as having HSP from January 1st 2009 to
December 31st 2012.
Results : There were 71 cases of HSP, with the range of age from 2 years old to
16 years old. Mostly subjects were at group age between 6 and 8 years old. Girl
was commonly affected compared to boy (1.2:1). All patients had palpable
purpura, other clinical symptoms that usually occured were gastrointestinal
(79 %), arthritis or arthralgia (68 %), and kidney disorder (41 %). Neurologic
symptoms (1 %) and scrotal edema (4 %) were the least found. 56 % of HSP
patient was preceeded by infection history. Laboratory results that commonly
found were increasing of ESR (88 %), thrombocytosis (60 %), hematuria (41 %),
and anemia (31 %), respectively. Kidney function impairment was occured in 6/42
cases. Clinical symptoms improvement had shown in less than 4 weeks for skin,
gastrointestinal, and joint disorder. Eighteen of twenty four subjects with
hematuria had recovery within 6 months. There were no cases of persistent kidney
function impairment. Recurrency occured in 5/57 subjects.
Conclusion : Clinical manifestations that commonly found in HSP patients were
palpable purpura, gastrointestinal disorder, arthritis or arthralgia, and kidney
involvements. Neurological disorder and scrotal edema were less found. Routine
blood and urine examination should be done in all HSP patients to confirm the
diagnosis and evaluate kidney involvement. In all HSP patients, we suggest to do
follow up on evaluating late kidney involvement and recurrency minimally in 6
months period."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuni Astria
"Demam neutropenia pasca kemoterapi adalah morbiditas yang masih tinggi pada anak dengan keganasan. Sejumlah faktor prognostik, pola kuman, penggunaan antibiotik dan antijamur dapat memengaruhi luaran namun penelitian di Indonesia masih terbatas. Penelitian ini bertujuan mengetahui pola kuman, sensitvitas antibiotik serta faktor yang berpengaruh terhadap mortalitas infeksi anak DN. Penelitian ini dilakukan secara kohort retrospektif serta studi desktriptif terhadap 180 pasien (252 episode demam) di RSCM periode 2015-2017. Riwayat medis, pola kuman, sensitivitas antibiotik didata serta faktor prognostik dianalisis menggunakan uji multivariat regresi logistik. Bakteri terbanyak adalah gram negatif 51,5% diikuti gram positif 47,1%%. Golongan jamur terbanyak adalah Candida sp.(82,5%) Sensitivitas antibiotik Klebsiella sp. terutama amikasin (85,71%), Pseudomonas aeruginosa terhadap seftazidim (75%), amikasin dan gentamisin (100%). Staphylococcus sp. terutama amoksiklav dan ampicsulbactam (76.92%). Hampir semua golongan jamur sensitif flukonoazole, ketokonazole, vorikonazole (80-100%). Faktir prognostik yang meningkatkan mortalitas adalah pemasangan vena sentral (RR 1,947; IK95% 1,114-3,402), gizi kurang (RR 1,176;IK95% 1,044-1,325), gizi buruk (RR 1,241;IK95% 0,975-1,579), serta keganasan hematologi (RR 0,87;IK95% 0,788-0,976).

Fever post-chemotherapy neutropenia is still a high morbidity in children with malignancy. A number of prognostic factors, microorganisms, antibiotic and antifungal use can affect outcomes but research in Indonesia is still limited. This study aims to determine the pattern of germs, antibiotic sensitivity and factors that influence the mortality of FN child infections. This study was a retrospective cohort as well as a descriptive study of 180 patients (252 episodes of fever) in RSCM 2015-2017 period. Medical history, microorganisms, antibiotic sensitivity was recorded as well as prognostic factors were analyzed using multivariate logistic regression tests. The most common bacteria was gram negative 51.5% and gram positive 47.1 %%. In the fungus group, Candida sp. was most common (82.5%). Antibiotic sensitivity of Klebsiella sp. mainly amikasin (85.71%), Pseudomonas aeruginosa against seftazidim (75%), amikasin and gentamisin (100%). Staphylococcus sp. mainly amoksiklav and ampicsulbactam (76.92%). Almost all fungi groups was sensitive flukonoazole, ketoconazole, voriconazole (80-100%). Prognostic factors that increase mortality was central venous insertion (RR 1,947; 95%CI 1,114-3,402), wasted (RR 1,176; 95%CI 1,044-1,325), severe malnutrition (RR 1,241; 95%CI 0.975-1,579), and hematological malignancies (RR 0.87; 95%CI 0.788-0.976)."
2020: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Nindita
"Latar belakang. Gagal ginjal terminal (GGT) atau penyakit ginjal kronik (PGK) stadium 5 merupakan masalah serius pada populasi anak dan dewasa, dengan insidens dan prevalensnya yang terus meningkat setiap tahun dan dapat menyebabkan komplikasi penyakit kardiovaskular. Kardiomiopati dilatasi (KMD) merupakan salah satu penyakit kardiovaskular yang dapat menyebabkan kematian pada anak dengan GGT. Prevalens KMD pada anak GGT cukup bervariasi, antara 2- 41%. Namun, saat ini studi tentang kejadian KMD pada anak GGT di Indonesia masih terbatas, terutama pada anak dengan GGT yang menjalani dialisis. 
Tujuan. Mengetahui prevalens KMD dan faktor risiko yang berasosiasi dengan kejadian KMD, yaitu etiologi GGT, status nutrisi, anemia, hipertensi dan jenis dialisis pada anak dengan GGT yang menjalani dialisis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). 
Metode. Desain studi potong lintang dilakukan di RSCM pada anak dengan GGT yang menjalani dialisis selama periode 2017-2022 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pengambilan data dilakukan melalui penelusuran rekam medik. 
Hasil. Terdapat 126 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dengan jenis kelamin lelaki lebih banyak (59,5%), mayoritas usia di atas 5 tahun (98,4%), dengan median 12 tahun (10-15). Sebanyak 95,2% subjek adalah rujukan dari rumah sakit luar datang pertama kali ke RSCM dengan kegawatdaruratan dan membutuhkan dialisis segera. Prevalens KMD pada studi ini adalah 53,2%. Hasil analisis multivariat dengan regresi logistik menunjukkan anemia dan status nutrisi berasosiasi positif dengan kejadian KMD (OR 4,8, IK 95% 1,480-15,736, p=0,009) ; (OR 9,383, IK 95% 3,644-24,161, p=0,000). Tidak terbukti adanya hubungan etiologi PGK, hipertensi dan jenis dialisis dengan kejadian KMD. 
Kesimpulan. Prevalens KMD pada anak dengan GGT yang menjalani dialisis di RSCM adalah 53,2%. Terdapat asosiasi positif antara anemia dan status nutrisi dengan kejadian KMD. Etiologi GGT, hipertensi, dan jenis dialisis tidak berasosiasi dengan kejadian KMD pada anak dengan GGT yang menjalani dialisis.  

Background.  Kidney failure is a serious problem in children with the incidence and prevalence increasing every year, can cause cardiovascular disease. Dilated cardiomyopathy (DCM) is one of the cardiovascular disease can cause mortality in children with kidney failure. The prevalence varies between 2-44% and limited studies in Indonesia especially in children with kidney failure on dialysis. 
Objective. To determine the prevalence of DCM and risk factors in children with kidney failure on dialysis in Cipto Mangunkusumo hospital. The association of etiology of kidney failure, nutritional status, anemia, hypertention, and type of dialysis with DCM in children with kidney failure. 
Methods. A cross-sectional study among children with kidney failure according to the inclusion and exclusion criteria during 2017-2022 periode, in Cipto Mangunkusumo hospital. Collecting data using medical record. 
Result. There were 126 study subjects, with 59,5% male and 98,4% over 5 years old, the median is 12 years (10-15). The prevalence of DCM was 53.2%. The results of the multivariate analysis showed anemia and nutritional status were associated with the incidence of DCM, (OR 4.8, 95% CI 1.480-15.736, p=0.009); (OR 9.383, 95% CI 3.644-24.161, p= 0.000). There is no association between the etiology of kidney failure, hypertension and type of dialysis with DCM. 
Conclussion. The prevalence of DCM in children with kidney failure on dialysis was 53.2%. Anemia and nutritional status was associated with DCM in children with kidney failure on dialysis. The etiology of kidney failure, hypertension, and type of dialysis were not associated with DCM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andini Rizayana
"Latar Belakang: Pneumonia merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada anak usia di bawah lima tahun (balita). Penelitian terkait faktor prognostik mortalitas pneumonia juga sudah banyak dilakukan sebagai upaya untuk menurunkan angka kematian. Namun, data terkait faktor yang memengaruhi mortalitas balita yang dirawat dengan pneumonia di Indonesia masih terbatas. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka mortalitas anak usia balita yang dirawat dengan pneumonia serta faktor prognostik yang memengaruhi luaran tersebut. Metode: Pengambilan data dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada periode Januari 2019 hingga Maret 2022, dengan metode analisis potong lintang pada populasi anak usia 1-59 bulan yang dirawat dengan pneumonia. Hasil: Dari 600 subyek didapatkan proporsi pneumonia yang tidak berbeda antara usia < 1 tahun (51,8%) dan 1-5 tahun (48,2%). Proporsi pneumonia pada anak balita di RSCM adalah sebesar 5 %, yang sebagian besar merupakaan pneumonia terkait rumah sakit (56,8%). Angka mortalitas yang didapatkan dari penelitian ini adalah sebanyak 195 subyek (32,5%). Faktor prognostik yang terbukti berhubungan dengan mortalitas adalah status imunisasi tidak lengkap (PR 3,706; IK 95% 1,320-10,405; p=0,013), peningkatan nilai prokalstitonin (PR 1,606; IK 95% 1,196-2,154; p=0,002), dan komplikasi sepsis (PR 2,090; IK 95% 1,486-2,940; p<0,0001). Faktor usia, hipoksemia, malnutrisi, anemia, abnormalitas nilai trombosit dan leukosit, peningkatan CRP, dan komorbiditas tidak terbukti berhubungan dengan mortalitas pada anak usia balita yang dirawat dengan pneumonia. Kesimpulan : Proporsi pneumonia pada anak usia balita yang dirawat dengan pneumonia di RSCM adalah 5%, dengan angka kematian mencapai 32,5%. Faktor yang berhubungan dengan mortalitas adalah status imunisasi tidak lengkap, peningkatan nilai prokalsitonin, dan komplikasi sepsis. Kata kunci: pneumonia, faktor prognostik, mortalitas, anak.

Background: Pneumonia is still a major cause of morbidity and mortality in children under five years of age (toddlers). Research related to prognostic factors that have roles in assessing mortality outcomes has also been carried out in an effort to reduce mortality due to pneumonia. However, until now, data regarding the factors that affect the mortality of children with pneumonia in Indonesia are still limited. Aim: This study aims are to determine the mortality rate of children under five who are treated with pneumonia, as well as prognostic factors that influence the outcome. Method: Data collection was carried out at Cipto Mangunkusumo Hospital in the period from January 2019 to March 2022, using analytic cross sectional on a population of children aged 1-59 months who were treated with pneumonia. Result: Of the 600 subjects, the proportion of pneumonia did not differ between the ages of <1 year (51.8%) and 1-5 years (48.2%). The proportion of pneumonia in children under five at the RSCM was 5%, most of which were hospital associated pneumonia (56.8%). The mortality rate obtained from this study was 195 subjects (32.5%). Prognostic factors that were shown to be associated with mortality outcomes were incomplete immunization (PR 3.706; 95% CI 1.320-10.405; p=0.013), increased procalcitonin value (PR 1.606; 95% CI 1.196-2.154; p=0.002), and complications of sepsis (PR 2.090; 95% CI 1.486-2.940; p<0.0001). Age, hypoxemia, malnutrition, anemia, abnormal platelet count, abnormal leukocyte count, elevated CRP, and comorbidities have not been shown to be associated with increased mortality in children under five who are treated with pneumonia. Conclusions : The proportion of pneumonia in children under five years of age who were treated with pneumonia at the RSCM was 5%, with a mortality rate of 32.5%. Factors"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Kartika Putriasih
"Latar belakang. Pemakaian kotrimoksazol sedini mungkin sejak diberikan ARV bermanfaat mencegah infeksi oportunistik terkait HIV (PCP dan toksoplasmosis) dan mengurangi mortalitas terkait pasien HIV dengan jumlah CD4 rendah. Faktor risiko yang memengaruhi mortalitas pada anak terinfeksi HIV yang telah mendapat ARV perlu dicari sehingga dapat membantu klinisi dalam memberikan tata laksana pada anak terinfeksi HIV di Indonesia.
Tujuan. Evaluasi pemakaian kotrimoksazol dan hubungannya terhadap mortalitas pada anak terinfeksi HIV yang telah mendapat ARV di RSCM pada tahun 2005-2018.
Metode. Uji deskriptif-analitik menggunakan analisis kesintasan yang dilakukan secara kohort retrospektif di RS. Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) menggunakan data rekam medis periode Januari 2005 - Desember 2018. Subyek adalah anak berusia 1 bulan-18 tahun yang mendapat ARV pertama kali di RSCM. Hubungan pemakaian kotrimoksazol dengan mortalitas dianalisis dengan uji log rank. Faktor-faktor risiko selanjutnya dianalisis secara multivariat.
Hasil. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 403. Proporsi pemakaian kotrimoksazol saat inisiasi ARV pada anak terinfeksi HIV adalah 88%. Tidak terdapat hubungan antara pemakaian kotrimoksazol saat inisiasi ARV dengan mortalitas (HR 1,498; IK 95% 0,620-3,618, p=0,369), namun pemakaian kotrimoksazol saat inisiasi ARV menurunkan mortalitas pada kondisi imunodefisiensi berat (HR 2,702; IK 95% (1,036-7,049); p=0,042). Faktor risiko yang memengaruhi mortalitas pada anak terinfeksi HIV yang mendapat terapi ARV adalah stadium HIV (stadium 3-4).
Kesimpulan. Pemakaian kotrimoksazol saat inisiasi ARV menurunkan mortalitas pada anak terinfeksi HIV dengan imunodefisiensi berat. Faktor risiko yang memengaruhi mortalitas pada anak terinfeksi HIV yang telah mendapat ARV adalah stadium HIV 3-4.

Background. The use of cotrimoxazole as early as possible since being administered antiretroviral drugs is beneficial in preventing HIV-related opportunistic infections (PCP and toxoplasmosis) and reducing mortality associated with HIV patients with low CD4 counts. Risk factors that affect mortality in HIV-infected children who have received antiretroviral drugs need to be sought so that they can help clinicians in providing HIV-infected children in Indonesia.
Objective. Evaluation of the use of cotrimoxazole and its association with mortality in HIV-infected children who had received ARV at RSCM in 2005-2018.
Methods. Descriptive analytic test using survival analysis were carried out in a retrospective cohort in Dr. Cipto Mangunkusumo hospital using medical record data for the period January 2005 - December 2018. Subjects were children aged 1 month - 18 years who have received ARV for the first time at RSCM. The association of cotrimoxazole use with mortality was analyzed by log rank test. Risk factors are then analyzed multivariately.
Results. This study involved 403 subjects. The proportion of cotrimoxazole use at ARV initiation in HIV-infected children was 88%. There was no association between the use of cotrimoxazole at ARV initiation and mortality (HR 1.498; 95% CI 0.620-3.618; p=0,369), but the use of cotrimoxazole at ARV initiation reduced mortality in severe immunodeficiency conditions (HR 2.702; 95% CI 1,036-7,049; p=0.042). Risk factors that affect mortality in HIV-infected children who received ARV therapy are stages of HIV (stage 3-4).
Conclusion. The use of cotrimoxazole at ARV initiation reduces mortality in HIV-infected with severe immunodeficiency. Risk factors that affect mortality in HIV-infected children who have received ARV are stage 3-4.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59144
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nia Astarina
"Latar belakang: Clostridium difficile merupakan bakteri anaerob gram positif yang sering menyebabkan diare pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Manifestasi klinis diare karena C. difficile bervariasi dapat berupa diare ringan sampai keadaan klinis yang berat seperti kolitis, komplikasi megakolon toksik, perforasi, serta syok. Faktor risiko yang berperan meningkatkan diare karena C. difficile salah satunya adalah pengunaan antibiotik namun masih dapat disebabkan oleh hal lainnya. Penelitian ini merupakan studi untuk mengetahui prevalens, faktor risiko, dan gambaran klinis diare karena C. difficile pada anak. Metode: Penelitian ini merukapan studio potong lintang, dilakukan pada pasien 105 anak dengan keluhan diare di Poliklinik Anak dan ruang rawat inap pada bulan Mei 2019 sampai Januari 2020 dengan mendeteksi antigen toksin A/B C. difficile menggunakan metode ELISA. Hasil: Prevalens diare pada anak karena C. difficile sebesar 13,3%.Usia kurang dari 2 tahun meningkatkan risiko kejadian diare karena C. difficile 3,84 kali dibandingkan dengan pasien usia lebih dari 2 tahun dan penggunaan PPI atau H2 antagonis meningkatkan risiko terjadinya diare karena C. difficile 5,48 kali dibandingan dengan kelompok yang tidak menggunakan PPI atau H2 antagonis. Semua subyek menderita diare karena C. difficile memiliki riwayat penggunaan antibiotik. Golongan sefalosporin merupakan antibiotik yang dominan terkait dengan diare karena C. difficile (92,9%), diikuti aminoglikosida 7,1%. Gambaran klinis pasien diare karena C. difficile pada penelitian ini sebagian besar mengalami frekuensi diare 6-9 kali/24 jam, lama diare 14 hari,  nyeri perut, diare dengan dehridrasi berat ataupun ringan, leukosit tinja 10/LPB, dan terdapat darah samar tinja. Diagnosis penyakit yang mendasari pada penelitian ini meliputi infeksi paru 4 subyek, penyakit lain (kongenital dan malnutrisi) 4 subyek,  penyakit hematologi dan onkologi 3 subyek, penyakit imunologi 2 subyek, dan neurologi 1 subyek. Kesimpulan: Penggunaan PPI atau H2 antagonis serta usia kurang dari 2 tahun meningkatkan risiko kejadian diare karena C. difficile. Semua subyek yang mengalami diare karena C. difficile memiliki riwayat penggunaan antibiotik lebih dari tujuh hari.

Background and aim: Clostridium difficile is a gram-positive anaerobic bacterium that often causes diarrhea in patients who are hospitalized. Clinical manifestations of diarrhea due to C. difficile can vary from mild diarrhea to severe clinical conditions such as colitis, toxic megacolon complications, perforation, and shock. Risk factors that play a role in increasing diarrhea due to C. difficile one of which is the use of antibiotics but can still be caused by other things. This study is a study to determine the prevalence, risk factors, and clinical picture of diarrhea due to C. difficile in children. Methods: This study was a cross-sectional study, conducted on 105 pediatric patients with diarrhea complaints in the Children's Polyclinic and inpatients in May 2019 to January 2020 by detecting C. difficile A/B toxin antigen using the ELISA method. Results: The prevalence of diarrhea in children due to C. difficile is 13.3%. Age less than 2 years increased the risk of occurrence of diarrhea due to C. difficile 3,84 times compared with patients aged more than 2 years and the use of PPI or H2 antagonists increased the risk of diarrhea due to C. difficile 5,48 times compared to the group who did not use PPI or H2 antagonists. All subjects suffered from diarrhea due to C. difficile had a history of antibiotic use. Cephalosporins are the dominant antibiotics associated with diarrhea due to C. difficile (92.9%), followed by aminoglycosides 7.1%. The clinical features of diarrhea patients due to C. difficile in this study are the frequency of diarrhea 6-9 times/24 hours, duration of diarrhea 14 days, abdominal pain, diarrhea with severe or mild dehridration, stool leukocytes 10/LPB, and fecal faint blood. Diagnosis of the underlying disease in this study included 4 subjects lung infection, other diseases (congenital and malnutrition) 4 subjects, hematological and oncological diseases 3 subjects, immunological diseases 2 subjects, and neurology 1 subject.
Conclusion: The use of PPI or H2 antagonists and age less than 2 years increases the risk of diarrhea due to C. difficile. All subjects who had diarrhea due to C. difficile had a history of antibiotic use for more than seven days.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harsya Dwindaru Gunardi
"Latar Belakang: Di negara maju, angka mortalitas gastroskisis adalah 5-10%, berbeda dengan di negara berkembang. Angka mortalitas gastroskisis mencapai 52% di Brazil, 43% di Afrika Selatan, 35% di Iran, dan 79% di Jamaika. Di RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM), sampai saat ini belum ada data mengenai angka mortalitas gastrosksis. Angka mortalitas gastroskisis di RSCM perlu diketahui karena karakteristik pasien yang diperkirakan berbeda dengan di negara maju. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui angka mortalitas gastroskisis di RSCM serta mengidentifikasi faktor risiko yang berpengaruh terhadap mortalitas gastroskisis, antara lain: usia kehamilan, berat badan lahir, jumlah operasi, usia saat operasi pertama kali, serta gastroskisis komplikata.
Metode: Metode penelitian ini adalah studi kohort retrospektif dengan total sampling seluruh neonatus yang menjalani operasi penutupan defek di RSCM dari Januari 2015 – September 2020. Analisis bivariat dilakukan menggunakan uji Chi Square atau uji Fisher. Didapatkan 49 subjek neonatus dengan 7 data masuk kategori drop out sehingga 42 subjek diambil untuk dianalisis.
Hasil: Angka mortalitas neonatus dengan gastroskisis di RSCM tahun 2015-2020 adalah 69% (29 dari 42 subjek). Pada penelitian ini didapatkan usia saat operasi (<1 hari) berpengaruh menurunkan angka mortalitas gastrosksis (p = 0,005). Usia kehamilan, berat badan lahir, jumlah operasi, dan gastroskisis komplikata didapatkan tidak berpengaruh terhadap angka mortalitas gastroskisis.
Kesimpulan: Angka mortalitas gastrokisis di RSCM adalah 69% dan dipengaruhi oleh usia saat operasi.

Background: Unlike developing countries, the mortality rate of gastroschizis in developed countries is much lower, accounting at 5-10%. In developing countries, for example, Brazil, the mortality rate can reach up to 52%, 43% in South Africa, 35% in Iran, and 79% in Jamaica. Until recently, there are no data regarding gastrochizis-related mortality rate in Cipto Mangkunkusumo National Referral Hospital, Indonesia. This is important as it reflects patient characteristics that is different with developed countries. The objective of this research is to find out the mortality rate of gastroschizis in Indonesia along with other possible influencing risk factors such as; gestational age, birth weight, number of operations, age at closure, and the presence of complicated gastroschizis.
Methods: A cohort retrospective study with total sampling is used to document all neonates who undergo defect closure surgery from January 2015 to September 2020. Bivariate analysis is done using Chi Square test or Fisher test. A total of 49 neonates were documented, however 7 neonates were excluded due to drop out criteria, resulting in 42 neonates who were included in the analysis.
Results: The mortality rate of gastroschizis in Cipto Mangkunkusumo National Referral Hospital is 69% (29 out of 42 subjects). The age at closure is related to lower mortality rate (p = 0.005), while other factors such as gestational age, birth weight, number of operations, and the presence of complicated gastroschizis has no impact on mortality.
Conclusions: The mortality rate of gastroschizis in Cipto Mangkunkusumo National Referral Hospital is 69% and is influenced by age at closure.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"[Salah satu komplikasi berat akibat kolestasis kronik adalah peritonitis bakteri spontan (PBS). Kondisi ini dapat meningkatkan angka mortalitas pada anak dengan kolestasis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko dan spektrum klinis PBS pada anak dengan kolestasis di RSCM. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus sampai Oktober 2015 dengan metode kohort retrospektif terhadap pasien anak dengan kolestasis usia 0-5 tahun yang diikuti selama 6 bulan melalui rekam medis pasien. Dari 97 pasien, didapatkan prevalensi PBS sebanyak 13,4%. Dari analisis multivariat didapatkan rasio odds untuk sirosis sebesar 10,21 (IK 95%=1,83-56,84). Manifestasi klinis yang sering ditemukan adalah infeksi di tempat lain (n=12, 92,3%), sirosis (n=11, 84,6%), hepatomegali (n=9, 69,2%), splenomegali (n=8, 61,5%), dan perdarahan saluran cerna (n=8, 61,5%). Mikroorganisme patogen dari hasil kultur cairan asites adalah Streptococcus epidermidis (n=1) dan Klebsiella pneumoniae(n=1). Sirosis merupakan faktor risiko independen terhadap kejadian PBS pada anak dengan kolestasis, Spontaneous bacterial peritonitis (SBP) is a serious complication of chronic cholestasis. This condition may increase mortality rate among the children with cholestasis. The aim of this research is to identify risk factors and clinical spectrums of SBP in children with cholestasis admitted to RSCM. This research was conducted from August to October 2015 by using retrospective cohort study toward cholestatic children age 0-5 years old who were followed-up for 6 months through medical record. From 97 patients, prevalence of SBP is 13.4%. In multivariate analysis, odds ratio for cirrhosis is 10.21 (95% CI=1.83-56.84). The most common clinical manifestations in children with SBP are other source of infections (n=12, 92.3%), cirrhosis (n=11, 84.6%), hepatomegaly (n=9, 69.2%), splenomegaly (n=8, 61.5%), and gastrointestinal bleeding (n=8, 61.5%). Microorganism pathogens from ascitic fluid cultures are Streptococcus epidermidis (n=1) and Klebsiella pneumoniae (n=1). Cirrhosis is an independent risk factor of SBP in children with cholestasis.]"
[, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>