Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 197086 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sihotang, Alfons Ken Billyarta
"Latar Belakang: Dibandingkan negara lain, tidak banyak jumlah tindakan trakeostomi yang dilakukan pada anak di Indonesia. Hal tersebut menimbulkan terbatasnya informasi terkait karakteristik dan luaran dari anak yang menjalani tindakan trakeostomi. Berbagai karakteristik yang dimiliki anak dapat menjadi faktor risiko mortalitas ketika dalam status trakeostomi. Metode: Penelitian potong lintang dilakukan terhadap 98 subjek berusia >2 bulan hingga ≤18 tahun yang menjalani trakeostomi pada Januari 2020-Oktober 2023 melalui rekam medis RSCM. Hasil: Kejadian mortalitas pada anak dengan trakeostomi adalah 21,4%. Sebagian besar anak yang menjalani trakeostomi berada di usia 2 bulan hingga 5 tahun (55,1%), laki-laki (59,2%), gizi baik (57,1%), imunokompeten (81,6%), indikasi terbagi merata antara obstruksi saluran napas dengan penggunaan ventilator berkepanjangan (50%), tidak mengalami komplikasi (67,3%), dan memiliki komorbid (77,6%). Pada analisis multivariat, faktor risiko yang memiliki hubungan signifikan terhadap mortalitas anak dengan trakeostomi adalah gizi kurang (p=0,013; AOR 6,901; IK95%=1,492-31,920), gizi berlebih (p=0,025; AOR 9,623; IK95%=1,336-69,324), mengalami komplikasi (p <0,001; AOR 28,737; IK95%=6,248-132,174), dan memiliki komorbid (p=0.030; AOR 9,518; IK95%=1.247-72.621). Kesimpulan: Angka kejadian mortalitas pada anak dengan trakeostomi sebesar 21,4%. Faktor risiko yang berperan terhadap kejadian mortalitas pada anak dengan trakeostomi adalah status gizi kurang, gizi berlebih, mengalami komplikasi, dan memiliki komorbid.

Introduction: Compared to other countries, there are not many tracheostomy procedures performed on children in Indonesia. This results in limited information regarding the characteristics and outcomes of children who undergo tracheostomy procedures. Various characteristics of children can be a risk factor for mortality when in tracheostomy status. Method: Cross sectional study was conducted on 98 subjects aged >2 months to ≤18 years who underwent tracheostomy from January 2020-October 2023 through the medical records of RSCM. Results: The incidence of mortality in children with tracheostomy is 21,4%. Most children who underwent tracheostomy were aged 2 months to 5 years (55,1%), male (59,2%), well-nourished (57,1%), immunocompetent (81,6%), indications were evenly distributed between airway obstruction with prolonged ventilator (50%), not experiencing complications (67,3%), and having comorbidities (77,6%). In multivariate analysis, risk factors that had significant relationship mortality in children with tracheostomy were undernutrition (p=0,013; AOR 6,901; 95%CI=1,492-31,920), overnutrition (p=0,025; AOR 9,623; 95%CI=1,336-69,324), experienced complications (p<0,001; AOR 28,737; 95%CI=6,248-132,174), and had comorbidities (p=0,030; AOR 9,518; 95%CI=1,247-72,621). Conclusion: The incidence of mortality in children with tracheostomy is 21.4%. Risk factors that contribute to the incidence of mortality in children with tracheostomy are malnutrition, overnutrition, experiencing complications, and had comorbidities."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dyanti Prima Putri
"Pendahuluan: Ventricular septal defect (VSD) adalah penyakit jantung bawaan (PJB) ditandai dengan terdapatnya lubang atau foramen di dinding yang memisahkan bilik kiri dan kanan. Profil pasien antara lain umur, berat badan, tinggi badan, tanda-tanda vital, jumlah anggota keluarga, keluhan utama, ukuran VSD, klasifikasi VSD, adanya kardiomegali, komplikasi, riwayat penyakit jantung bawaan di keluarga, dan tata laksana VSD. Terdapat pula beberapa faktor risiko dari VSD antara lain jenis kelamin, berat lahir, usia kehamilan, status nutrisi, status sosio-ekonomi, kondisi genetik seperti sindrom Down, usia ibu ketika hamil, riwayat ibu merokok selama kehamilan, kebiasaan ibu minum-minuman beralkohol selama kehamilan, riwayat ayah merokok, dan riwayat diabetes ibu selama kehamilan. Namun, faktor risiko dan profil dari VSD di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo masih belum diketahui. Maka dari itu, penelitian ini diperlukan untuk menginvestigasi informasi ini. Metode: Studi potong lintang ini melibatkan 40 pasien VSD terisolasi dan 40 pasien kontrol yang datang ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada tahun 2020. Data diperoleh dari rekam medis dan/atau wawancara pasien setelah dilakukan pemilihan sampel dengan metode acak sederhana. Data tersebut kemudian dianalisis menggunakan Statistical Package for Social Sciences (SPSS) versi 24 untuk Mac. Pearson Chi-squared test dan Fisher's exact test, digunakan untuk menyelidiki asosiasi variabel. Hasil: Dari 40 pasien VSD mayoritas balita, median berat badan 8,4 kg, rerata tinggi badan 85 cm, rerata tekanan darah, laju nadi dan laju napas dalam batas normal, keluhan utama tersering adalah berat badan sulit naik, jenis VSD terbanyak perimembranosa, ukuran VSD terbanyak ukuran besar, tidak ada komplikasi, tidak ada PJB dalam keluarga, dan terapi utama adalah operasi. Untuk faktor risiko, keberadaan kondisi genetik seperti sindrom Down terbukti secara bermakna [RP 2,143 (95% IK: 1,682-2,729), P= 0,02] sebagai satu-satunya faktor risiko VSD pada penelitian ini. Namun, beberapa faktor risiko lain termasuk status sosio-ekonomi (P=0,491), usia ibu saat hamil (P= 0,745), merokok ayah (P= 0,370), diabetes ibu saat hamil (P= 0,494), riwayat merokok ibu selama kehamilan (P= 1), dan riwayat asupan alkohol ibu selama kehamilan (P = 1) tidak terbukti sebagai faktor risiko VSD pada penelitian ini. Simpulan: Studi ini menemukan hubungan antara kondisi genetik seperti sindrom Down dengan VSD. Penelitian ini juga menemukan profil pasien VSD yang datang ke RSCM selama tahun 2020. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mencari faktor risiko yang belum terbukti bermakna dan untuk menyelidiki faktor risiko lain yang tidak dieksplorasi dalam penelitian ini. Studi di masa depan harus mencakup populasi yang lebih besar untuk menghasilkan data profil pasien yang lebih baik.

Introduction: Ventricular septal defect (VSD) is a congenital heart disease (CHD) caused by a hole or foramen in the septum between the left and right ventricles. For profile, there are age, body weight, body height, vital signs, family size, main complaint, VSD size, VSD classification, presence of cardiomegaly, complications, familial congenital heart disease, and treatments of isolated VSD. There are also several risk factors of isolated VSD including gender, birth weight, gestational age, nutritional status, socio-economic status, genetic syndrome such as Down syndrome, maternal age when pregnant, maternal smoking history during pregnancy, maternal alcohol intake history during pregnancy, paternal smoking, as well as maternal gestational diabetes. However, the risk factors and profile of isolated VSD patients at Cipto Mangunkusumo Hospital are still unknown. As a result, research is required to investigate this information. Method: This cross-sectional study included 40 isolated VSD patients and 40 control patients from Cipto Mangunkusumo Hospital in 2020. Data were obtained from medical records and/or patient interviews following a simple random number sampling. The data was then analyzed using the Statistical Package for Social Sciences (SPSS) version 24 for Mac. The Pearson Chisquared Test and Fisher's Exact Test were used to investigate the variables' association. Results: From 40 patients, the majority was toddler, median body weight was 8.4 kg, mean body height was 85 cm, mean blood pressure, heart rate and respiratory rate were normal, the main complaints was difficulty gaining weight, types of VSD was perimembranous, most of patient had large VSD, there was no complications, there was no the presence of familial congenital heart disease and surgery was a most prevalent definitive VSD. For the risk factors, the presence of genetic syndrome such as Down syndrome [PR 2.143 (CI 95%: 1.682-2.729), P= 0.02] is confirmed as the only risk factor of isolated VSD in this population. However, several other parameters including socio-economic status (P= 0.491), maternal age when pregnant (P= 0.745), paternal smoking (P= 0.370), maternal gestational diabetes (P= 0.494), maternal smoking history during pregnancy (P= 1), and maternal alcohol intake history during pregnancy (P= 1) have not been shown to raise the risk of isolated VSD in this population. Conclusion: This study found a relation between genetic conditions like Down syndrome and isolated VSD. Furthermore, this study detailed the profile of isolated VSD patients in this population. However, more research is needed to establish stronger evidence and to investigate risk factors that were not explored in this study, and future studies should include a larger population to produce better patient profile data."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ihat Sugianti
"ABSTRAK
Latar belakang : Purpura Henoch-Schӧnlein (PHS) merupakan sindrom klinis
yang disebabkan vaskulitis akut sistemik pada pembuluh darah kecil yang paling
sering pada anak. Manifestasi klinis PHS sering melibatkan berbagai organ seperti
kulit, sendi, gastrointestinal, dan ginjal. Rekurensi terjadi pada hampir 50 % kasus
dan memengaruhi prognosis PHS. Sejauh ini belum ada publikasi penelitian PHS
yang meliputi manifestasi klinis, laboratorium, serta rekurensi di Indonesia.
Tujuan : Mengetahui manifestasi klinis, laboratorium serta rekurensi PHS anak di
Indonesia.
Metode : Penelitian deskriptif retrospektif. Data diperoleh dari rekam medis
pasien anak berusia 0-18 tahun dengan diagnosis PHS selama periode 1 Januari
2009 hingga 31 Desember 2012 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Hasil : Terdapat 71 kasus PHS dengan rentang usia 2 sampai 16 tahun dan usia
tersering pada kelompok 6-8 tahun. Proporsi anak wanita lebih tinggi dibanding
lelaki dengan rasio 1,2:1. Semua pasien mengalami purpura palpabel dan
manifestasi tersering lainnya adalah gangguan gastointestinal (79 %), artritis atau
artralgia (68 %), dan keterlibatan ginjal (41 %), sedangkan yang jarang adalah
gangguan neurologis (1 %), dan edema skrotum (4 %). Riwayat infeksi yang
mendahului gejala PHS didapatkan pada 56 % kasus. Peningkatan laju endap
darah (88 %) dan trombositosis (60 %) merupakan kelainan laboratorium yang
paling sering ditemukan, diikuti dengan hematuria (41 %), leukositosis (32 %),
dan anemia (31 %). Penurunan fungsi ginjal ditemukan pada 6/42 kasus.
Perbaikan gejala klinis terlihat dalam waktu kurang dari 4 minggu untuk
manifestasi kulit, gastrointestinal, dan persendian. Sebanyak 18/24 subjek dengan
hematuria mengalami perbaikan dalam waktu 6 bulan. Penurunan fungsi ginjal
menetap tidak ditemukan dalam penelitian ini. Rekurensi didapatkan pada 5/57
subjek yang memiliki data pemantauan.
Simpulan : Manifestasi klinis tersering pada PHS adalah purpura palpabel,
gangguan gastrointestinal, artritis atau artralgia, dan keterlibatan ginjal, sedangkan
yang jarang adalah gangguan neurologis dan edema skrotum. Pemeriksaan darah
perifer lengkap dan urinalisis sebaiknya dilakukan pada semua pasien PHS untuk
mendukung diagnosis dan menilai keterlibatan ginjal. Pada semua pasien PHS
sebaiknya dilakukan pemantauan minimal selama 6 bulan untuk menilai
keterlibatan ginjal yang mungkin timbul terlambat serta rekurensi

ABSTRACT
Background : Henoch-Schӧnlein purpura (HSP) is a clinical syndrome which
caused by systemic acute vasculitis in small vessel. Henoch-Schӧnlein purpura is
the most common etiology of vasculitis in children. Clinical manifestations
usually involved several organs, such as skin, joint, gastrointestinal, and kidney.
Recurrency occured in almost 50 % cases, and lead to poor prognosis. Up to now,
there was no publications of HSP study in Indonesia regarding in clinical profiles,
laboratory, and recurrency.
Objective : To investigate the clinical characteristics, laboratory, and recurrency
of HSP in Indonesian’s children.
Method : A retrospective descriptive study was conducted from medical records
of children up to 18 years, in Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH). Our
participants were children diagnosed as having HSP from January 1st 2009 to
December 31st 2012.
Results : There were 71 cases of HSP, with the range of age from 2 years old to
16 years old. Mostly subjects were at group age between 6 and 8 years old. Girl
was commonly affected compared to boy (1.2:1). All patients had palpable
purpura, other clinical symptoms that usually occured were gastrointestinal
(79 %), arthritis or arthralgia (68 %), and kidney disorder (41 %). Neurologic
symptoms (1 %) and scrotal edema (4 %) were the least found. 56 % of HSP
patient was preceeded by infection history. Laboratory results that commonly
found were increasing of ESR (88 %), thrombocytosis (60 %), hematuria (41 %),
and anemia (31 %), respectively. Kidney function impairment was occured in 6/42
cases. Clinical symptoms improvement had shown in less than 4 weeks for skin,
gastrointestinal, and joint disorder. Eighteen of twenty four subjects with
hematuria had recovery within 6 months. There were no cases of persistent kidney
function impairment. Recurrency occured in 5/57 subjects.
Conclusion : Clinical manifestations that commonly found in HSP patients were
palpable purpura, gastrointestinal disorder, arthritis or arthralgia, and kidney
involvements. Neurological disorder and scrotal edema were less found. Routine
blood and urine examination should be done in all HSP patients to confirm the
diagnosis and evaluate kidney involvement. In all HSP patients, we suggest to do
follow up on evaluating late kidney involvement and recurrency minimally in 6
months period."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Amaliah, supervisor
"[ABSTRAK
Ulkus peptikum perforasi merupakan salah satu kasus bedah gawat darurat yang cukup sering di RSCM. Perkembangan medikamentosa dalam tatalaksana ulkus peptikum telah berkembang pesat sehingga menurunkan angka tindakan bedah secara elektif. Studi ini bertujuan untuk melihat karakteristik dan faktor risiko pasien dengan morbiditas dan mortalitas ulkus peptikum perforasi. Seluruh pasien ulkus peptikum perforasi yang dilakukan tindakan pembedahan emergensi di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo periode Januari 2006 sampai dengan Maret 2012 dievaluasi secara retrospektif. Empat puluh delapan pasien ulkus peptikum perforasi telah dilakukan tindakan pembedahan di IGD RSCM yang terdiri dari 36 pasien laki-laki dan 12 pasien perempuan dengan usia berkisar antara 17 ? 97 tahun. Faktor risiko terbanyak adalah pemakaian obat-obatan ulserogenik (NSAID dan jamu) sebanyak 70.83%. Sebanyak 52.08% pasien dengan ulkus peptikum perforasi datang dengan keluhan yang dirasakan >24 jam dengan rerata durasi 42 jam. Lokasi perforasi tersering adalah prepilorus sebanyak 66.7% dengan median diameter perforasi 10 mm. Tindakan tersering yang dilakukan adalah penjahitan primer dengan omental patch sebanyak 93.75%. Komplikasi tersering adalah acute kidney injury, sepsis dan infeksi luka operasi sebanyak 45.83%, 31.25% dan 14.58%. Angka morbiditas dan mortalitas pasien ulkus peptikum perforasi adalah 68.75% dan 33.3%. Pada studi ini tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara karakteristik pasien dengan morbiditas dan mortalitas. Angka morbiditas dan mortalitas pasien ulkus peptikum perforasi masih tinggi. Faktor risiko yang ada dapat digunakan untuk meningkatkan pilihan tindakan dan menurunkan morbiditas dan mortalitas pasien ulkus peptikum perforasi. ABSTRACT Perforated peptic ulcer is one of the most common emergency case in RSCM. Development medicine treatment in peptic ulcer treatment had developed hence had decreased number of elective surgical treatment. This study was aimed to identify patients? characteristic and risk factor in perforated peptic ulcer in morbidity and mortality. All of the patient of perforated peptic ulcer that was done emergency laparotomy in emergency operating room of Cipto Mangunkusumo Hospital since 2006 January until 2012 March was evaluated retrospectively. Fourty eight percent of perforated peptic ulcer patients had been done surgery in Emergency Operating Room of Cipto Mangunkusumo Hospital that consist of 36 male and 12 female with age range 17 ? 97 years old. The most common risk factor is ulcerogenic drug using (70.83%). Patients came to hospital >24 hours (52.08%) after felt complaint with mean duration 42 hours. The most common location of perforation was prepiloric with median of diameter was 10 mm. The most common surgical treatment was primary suturing with omental patch (93.75%). The common complication were acute kidney injury, sepsis and surgical wound infection around 45.83%, 31.25% and 14.58%/. Morbidity rate was 68.75%. Mortality rate was 33.3%. There were no relation between patients? characteristic with morbidity and mortality. Morbidity and mortality rate in perforated peptic ulcer were still high. Risk factor that still be used to increase more choice for surgical treatment and decrease morbidity and mortality rate in perforated peptic ulcer., Perforated peptic ulcer is one of the most common emergency case in RSCM. Development medicine treatment in peptic ulcer treatment had developed hence had decreased number of elective surgical treatment. This study was aimed to identify patients’ characteristic and risk factor in perforated peptic ulcer in morbidity and mortality. All of the patient of perforated peptic ulcer that was done emergency laparotomy in emergency operating room of Cipto Mangunkusumo Hospital since 2006 January until 2012 March was evaluated retrospectively. Fourty eight percent of perforated peptic ulcer patients had been done surgery in Emergency Operating Room of Cipto Mangunkusumo Hospital that consist of 36 male and 12 female with age range 17 – 97 years old. The most common risk factor is ulcerogenic drug using (70.83%). Patients came to hospital >24 hours (52.08%) after felt complaint with mean duration 42 hours. The most common location of perforation was prepiloric with median of diameter was 10 mm. The most common surgical treatment was primary suturing with omental patch (93.75%). The common complication were acute kidney injury, sepsis and surgical wound infection around 45.83%, 31.25% and 14.58%/. Morbidity rate was 68.75%. Mortality rate was 33.3%. There were no relation between patients’ characteristic with morbidity and mortality. Morbidity and mortality rate in perforated peptic ulcer were still high. Risk factor that still be used to increase more choice for surgical treatment and decrease morbidity and mortality rate in perforated peptic ulcer.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hanna Khairat
"Latar belakang. Delirium adalah komplikasi neuropsikiatri yang serius dan kerap terjadi pada pasien anak sakit kritis yang dirawat di unit rawat intensif anak (URIA). Diagnosis delirium sulit ditegakkan karena manifestasi klinis yang tidak khas. Kurangnya pengetahuan dokter anak mengenai faktor risiko dan diagnosis delirium menyebabkan terjadinya underdiagnosed atau misdiagnosed sehingga pasien tidak mendapat tata laksana yang adekuat. Hal ini menyebabkan morbiditas dan mortalitas pada pasien sehingga penting melakukan penapisan delirium dan identifikasi faktor risiko sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan dan tata laksana yang cepat. Implementasi penapisan dengan menggunakan Cornell Assessment of Pediatric Delirium (CAP-D) dan tata laksana yang adekuat terhadap delirium pada anak sakit kritis termasuk pengaturan dalam pemberian sedasi tertuang dalam pediatric intensive care unit (PICU) liberation bundle. Saat ini data mengenai prevalens dan faktor risiko kejadian delirium pada anak sakit kritis di Indonesia belum ada. Dibutuhkan data tersebut untuk dapat melakukan implementasi PICU Liberation Bundle di Indonesia, terutama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Tujuan. Mengetahui prevalens dan faktor risiko delirium pada anak sakit kritis.
Metode. Studi deskriptif observasional menggunakan desain potong lintang yang dilakukan pada 87 pasien anak sakit kritis yang dirawat di URIA Departemen Ilmu Kesehatan Anak (IKA), URIA Instalasi Gawat Darurat (IGD), dan URIA Unit Luka Bakar (ULB), URIA Pelayanan Jantung Terpadu (PJT) RSCM.
Hasil. Sebanyak 4 (4,6%) anak sakit kritis memenuhi kriteria delirium berdasarkan DSM IV-TR/ICD-10. Dua subjek mengalami delirium tipe campuran, satu subjek mengalami delirium tipe hipoaktif, dan satu subjek mengalami delirium tipe hiperaktif. Tiga subjek tidak mendapatkan sedasi tetapi salah satu subjek mendapatkan sedasi dengan kombinasi yang banyak, jumlah yang besar, dan waktu yang lama. Dua dari keempat subjek mengalami keterlambatan perkembangan. Satu dari empat subjek dengan delirium yang menggunakan ventilasi mekanik.
Kesimpulan. Prevalens delirium pada anak sakit kritis di RSCM adalah 4,6%. Penggunaan midazolam, opioid, dan deksmedetomidin infus kontinu di URIA sebagai faktor risiko delirium pada anak sakit kritis belum memiliki data yang cukup untuk dapat disimpulkan karena data prevalens delirium pada penelitian ini yang rendah meskipun dengan minimal besar sampel telah terpenuhi.

Background. Delirium is a serious neuropsychiatric complication that occurs frequently in critically ill pediatric patients who admitted to the pediatric intensive care unit (PICU). The diagnosis of delirium is difficult to establish because of the atypical clinical manifestations. The lack of knowledge from pediatricians regarding risk factors and the diagnosis of delirium causes underdiagnosed or misdiagnosed of it so that patients do not receive adequate management. This causes morbidity and mortality in patients making it important to screen delirium and identify supporting factors so the preventive action and fast management can be carried out. Implementation of screening using Cornell Assessment of Pediatric Delirium (CAP-D) and management of delirium in critically ill children, including arrangements for administering sedation, is contained in PICU liberation bundle. Currently there is no data regarding prevalence and risk factors for delirium in critically ill children in Indonesia. This data is needed to be able to implement the PICU Liberation Bundle in Indonesia, especially Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM).
Objectives. Knowing the prevalence and risk factors for delirium in critically ill children.
Methods. Observational descriptive study using a cross-sectional design conducted on 87 critically ill pediatric patients treated at PICU Department of Pediatrics, PICU of Emergency Room, PICU of Burn Unit, and Cardiac Intensive Care Unit RSCM.
Results. A total of 4 (4.6%) critically ill children met the criteria for delirium based on DSM IV-TR/ICD-10. Two subjects had a mixed type of delirium, one subject had a hypoactive type of delirium, and one subject had a hyperactive type of delirium. Three subjects did not get sedation but one subject got sedation with a lot of combinations, large amounts, and long duration. Two of the four subjects experienced developmental delays. One in four subjects with delirium is on mechanical ventilation.
Conclusion. The prevalence of delirium in critically ill children at RSCM is 4.6%. The use of midazolam, opioids, and continuous infusion of dexmedetomidine in PICU as a risk factor for delirium in critically ill children does not yet have sufficient data to be conclusive because the data on the prevalence of delirium in this study was low even though the minimum sample size was met.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hutomo Laksono
"Anak dengan kolestasis kronik memiliki risiko tinggi mengalami malnutrisi yang memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan. Berbagai faktor risiko penyebab malnutrisi pada kolestasis kronik penting untuk diidentifikasi agar penanganan malnutrisi lebih terarah. Tujuan studi ini untuk mengetahui prevalens, profil dan faktor risiko yang memengaruhi malnutrisi pada anak dengan kolestasis kronik. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang pada anak kolestasis kronik berusia 3 bulan – 5 tahun di klinik rawat jalan gastrohepatologi RSCM. Dilakukan pemeriksaan antropometri, status gizi, pola asupan nutrisi makronutrien dan mikronutrien dan identifikasi faktor risiko malnutrisi. Kemudian dinilai hubungan antara faktor risiko tersebut dengan status gizi. Dari 94 subyek didapatkan prevalens malnutrisi 53,3%, prevalens stunting 59,6%, prevalens mikrosefali 59,6%. Persentase subyek dengan riwayat rawat inap 71,1%, riwayat puasa 44,7%, asites sedang-masif 38,3% dan perdarahan saluran cerna 11,7%. Jumlah subyek dengan kekurangan asupan makronutrien: asupan kalori 67,1%, asupan karbohidrat 53,2%, asupan protein 13,8%, asupan lemak 77,7% dan asupan MCT 76,6%. Jumlah subyek dengan kekurangan asupan mikronutrien: vitamin A 56,4%, vitamin D 55,3%, vitamin E 21,3%, vitamin K 24,5%, vitamin B1 21,3%, vitamin B2 13,8%, vitamin B6 24,5%, vitamin B12 2,1%, vitamin C15,8%, zat besi 69,1%, seng 87,2%, fosfor 3,2% dan magnesium 66%. Faktor risiko yang memiliki hubungan bermakna dengan malnutrisi pada anak kolestasis kronik adalah perdarahan saluran cerna dan asites sedang-masif  dengan nilai p  0,001 dan 0,025. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara asupan makronutrien, riwayat durasi rawat inap, riwayat durasi puasa dengan malnutrisi pada anak kolestasis kronik. Prevalens dan penyebab malnutrisi pada anak kolestasis kronik cukup tinggi dan bervariasi, dibutuhkan evaluasi status gizi berkala pada anak kolestasis kronik untuk mengatasi dan mencegah malnutrisi. Perdarahan saluran cerna dan asites sedang- masif sebagai faktor risiko yang berpengaruh terhadap malnutrisi harus mendapat penanganan yang komprehensif agar pemberian asupan nutrisi tidak terhambat.

Kata kunci: kolestasis kronik, status gizi, makronutrien, mikronutrien, ascites, perdarahan saluran cerna.


Abstract

Children with chronic cholestasis have a higher risk of malnutrition that affect growth and development in life. There are several risk factors that should be identified and managed to reduce the risk of malnutrition. In this study we want to know the prevalence of malnutrition, the profile and risk factors that are related to malnutrition in children with chronic cholestasis. This cross-sectional study involved children age 3 months to 5 years old at pediatrics gastro-hepatology clinic RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Methods include standard anthropometric examination, evaluation of nutritional status, pattern of intake nutrition and identification risk factors that are related to malnutrition. Out of 94 subjects, the prevalence of malnutrition is 53.3%, prevalence of stunting is 59.6% and prevalence of microcephaly is 59.6%. 71.1% had history of hospitalization, 44.7% had history of fasting, 38.3% had moderate and massive ascites, and 11.7% had gastro-intestinal bleeding. Insufficient daily macronutrient intake are as follows: calorie 67.1%, carbohydrate 53.2%, protein 13.8%, lipid 77.7% and MCT 76.6%. Insufficient daily micronutrient intake are as follows: vitamin A 56.4%, vitamin D 55.3%, vitamin E 21,3%, vitamin K 24,5%, vitamin B1 21,3%, vitamin B2 13.8%, vitamin B6 24.5%, vitamin B12 2.1%, vitamin C 15.8% Fe 69.1%, zinc 87.2 %, P 3.2% and Mg 66%. There were significant relationships between gastro-intestinal bleeding (p value of 0.001) and moderate-massive ascites (p value of 0.025) in nutrition status in children with chronic cholestasis. No relationships were observed among insufficient macronutrient intake, duration of hospitalization and duration of fasting with nutrition status in children with chronic cholestasis. The high prevalence of malnutrition in children with chronic cholestasis and the causes of malnutrition are varied. Although some causes have no specific treatment, all children with chronic cholestasis should have periodic nutritional evaluation to optimized macronutrient and vitamin intake. Comprehensive management moderate – massive ascites and gastro-intestinal bleeding are important to prevent malnutrition in children with chronic cholestasis."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuni Astria
"Demam neutropenia pasca kemoterapi adalah morbiditas yang masih tinggi pada anak dengan keganasan. Sejumlah faktor prognostik, pola kuman, penggunaan antibiotik dan antijamur dapat memengaruhi luaran namun penelitian di Indonesia masih terbatas. Penelitian ini bertujuan mengetahui pola kuman, sensitvitas antibiotik serta faktor yang berpengaruh terhadap mortalitas infeksi anak DN. Penelitian ini dilakukan secara kohort retrospektif serta studi desktriptif terhadap 180 pasien (252 episode demam) di RSCM periode 2015-2017. Riwayat medis, pola kuman, sensitivitas antibiotik didata serta faktor prognostik dianalisis menggunakan uji multivariat regresi logistik. Bakteri terbanyak adalah gram negatif 51,5% diikuti gram positif 47,1%%. Golongan jamur terbanyak adalah Candida sp.(82,5%) Sensitivitas antibiotik Klebsiella sp. terutama amikasin (85,71%), Pseudomonas aeruginosa terhadap seftazidim (75%), amikasin dan gentamisin (100%). Staphylococcus sp. terutama amoksiklav dan ampicsulbactam (76.92%). Hampir semua golongan jamur sensitif flukonoazole, ketokonazole, vorikonazole (80-100%). Faktir prognostik yang meningkatkan mortalitas adalah pemasangan vena sentral (RR 1,947; IK95% 1,114-3,402), gizi kurang (RR 1,176;IK95% 1,044-1,325), gizi buruk (RR 1,241;IK95% 0,975-1,579), serta keganasan hematologi (RR 0,87;IK95% 0,788-0,976).

Fever post-chemotherapy neutropenia is still a high morbidity in children with malignancy. A number of prognostic factors, microorganisms, antibiotic and antifungal use can affect outcomes but research in Indonesia is still limited. This study aims to determine the pattern of germs, antibiotic sensitivity and factors that influence the mortality of FN child infections. This study was a retrospective cohort as well as a descriptive study of 180 patients (252 episodes of fever) in RSCM 2015-2017 period. Medical history, microorganisms, antibiotic sensitivity was recorded as well as prognostic factors were analyzed using multivariate logistic regression tests. The most common bacteria was gram negative 51.5% and gram positive 47.1 %%. In the fungus group, Candida sp. was most common (82.5%). Antibiotic sensitivity of Klebsiella sp. mainly amikasin (85.71%), Pseudomonas aeruginosa against seftazidim (75%), amikasin and gentamisin (100%). Staphylococcus sp. mainly amoksiklav and ampicsulbactam (76.92%). Almost all fungi groups was sensitive flukonoazole, ketoconazole, voriconazole (80-100%). Prognostic factors that increase mortality was central venous insertion (RR 1,947; 95%CI 1,114-3,402), wasted (RR 1,176; 95%CI 1,044-1,325), severe malnutrition (RR 1,241; 95%CI 0.975-1,579), and hematological malignancies (RR 0.87; 95%CI 0.788-0.976)."
2020: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Nindita
"Latar belakang. Gagal ginjal terminal (GGT) atau penyakit ginjal kronik (PGK) stadium 5 merupakan masalah serius pada populasi anak dan dewasa, dengan insidens dan prevalensnya yang terus meningkat setiap tahun dan dapat menyebabkan komplikasi penyakit kardiovaskular. Kardiomiopati dilatasi (KMD) merupakan salah satu penyakit kardiovaskular yang dapat menyebabkan kematian pada anak dengan GGT. Prevalens KMD pada anak GGT cukup bervariasi, antara 2- 41%. Namun, saat ini studi tentang kejadian KMD pada anak GGT di Indonesia masih terbatas, terutama pada anak dengan GGT yang menjalani dialisis. 
Tujuan. Mengetahui prevalens KMD dan faktor risiko yang berasosiasi dengan kejadian KMD, yaitu etiologi GGT, status nutrisi, anemia, hipertensi dan jenis dialisis pada anak dengan GGT yang menjalani dialisis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). 
Metode. Desain studi potong lintang dilakukan di RSCM pada anak dengan GGT yang menjalani dialisis selama periode 2017-2022 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pengambilan data dilakukan melalui penelusuran rekam medik. 
Hasil. Terdapat 126 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dengan jenis kelamin lelaki lebih banyak (59,5%), mayoritas usia di atas 5 tahun (98,4%), dengan median 12 tahun (10-15). Sebanyak 95,2% subjek adalah rujukan dari rumah sakit luar datang pertama kali ke RSCM dengan kegawatdaruratan dan membutuhkan dialisis segera. Prevalens KMD pada studi ini adalah 53,2%. Hasil analisis multivariat dengan regresi logistik menunjukkan anemia dan status nutrisi berasosiasi positif dengan kejadian KMD (OR 4,8, IK 95% 1,480-15,736, p=0,009) ; (OR 9,383, IK 95% 3,644-24,161, p=0,000). Tidak terbukti adanya hubungan etiologi PGK, hipertensi dan jenis dialisis dengan kejadian KMD. 
Kesimpulan. Prevalens KMD pada anak dengan GGT yang menjalani dialisis di RSCM adalah 53,2%. Terdapat asosiasi positif antara anemia dan status nutrisi dengan kejadian KMD. Etiologi GGT, hipertensi, dan jenis dialisis tidak berasosiasi dengan kejadian KMD pada anak dengan GGT yang menjalani dialisis.  

Background.  Kidney failure is a serious problem in children with the incidence and prevalence increasing every year, can cause cardiovascular disease. Dilated cardiomyopathy (DCM) is one of the cardiovascular disease can cause mortality in children with kidney failure. The prevalence varies between 2-44% and limited studies in Indonesia especially in children with kidney failure on dialysis. 
Objective. To determine the prevalence of DCM and risk factors in children with kidney failure on dialysis in Cipto Mangunkusumo hospital. The association of etiology of kidney failure, nutritional status, anemia, hypertention, and type of dialysis with DCM in children with kidney failure. 
Methods. A cross-sectional study among children with kidney failure according to the inclusion and exclusion criteria during 2017-2022 periode, in Cipto Mangunkusumo hospital. Collecting data using medical record. 
Result. There were 126 study subjects, with 59,5% male and 98,4% over 5 years old, the median is 12 years (10-15). The prevalence of DCM was 53.2%. The results of the multivariate analysis showed anemia and nutritional status were associated with the incidence of DCM, (OR 4.8, 95% CI 1.480-15.736, p=0.009); (OR 9.383, 95% CI 3.644-24.161, p= 0.000). There is no association between the etiology of kidney failure, hypertension and type of dialysis with DCM. 
Conclussion. The prevalence of DCM in children with kidney failure on dialysis was 53.2%. Anemia and nutritional status was associated with DCM in children with kidney failure on dialysis. The etiology of kidney failure, hypertension, and type of dialysis were not associated with DCM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andini Rizayana
"Latar Belakang: Pneumonia merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada anak usia di bawah lima tahun (balita). Penelitian terkait faktor prognostik mortalitas pneumonia juga sudah banyak dilakukan sebagai upaya untuk menurunkan angka kematian. Namun, data terkait faktor yang memengaruhi mortalitas balita yang dirawat dengan pneumonia di Indonesia masih terbatas. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui angka mortalitas anak usia balita yang dirawat dengan pneumonia serta faktor prognostik yang memengaruhi luaran tersebut. Metode: Pengambilan data dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada periode Januari 2019 hingga Maret 2022, dengan metode analisis potong lintang pada populasi anak usia 1-59 bulan yang dirawat dengan pneumonia. Hasil: Dari 600 subyek didapatkan proporsi pneumonia yang tidak berbeda antara usia < 1 tahun (51,8%) dan 1-5 tahun (48,2%). Proporsi pneumonia pada anak balita di RSCM adalah sebesar 5 %, yang sebagian besar merupakaan pneumonia terkait rumah sakit (56,8%). Angka mortalitas yang didapatkan dari penelitian ini adalah sebanyak 195 subyek (32,5%). Faktor prognostik yang terbukti berhubungan dengan mortalitas adalah status imunisasi tidak lengkap (PR 3,706; IK 95% 1,320-10,405; p=0,013), peningkatan nilai prokalstitonin (PR 1,606; IK 95% 1,196-2,154; p=0,002), dan komplikasi sepsis (PR 2,090; IK 95% 1,486-2,940; p<0,0001). Faktor usia, hipoksemia, malnutrisi, anemia, abnormalitas nilai trombosit dan leukosit, peningkatan CRP, dan komorbiditas tidak terbukti berhubungan dengan mortalitas pada anak usia balita yang dirawat dengan pneumonia. Kesimpulan : Proporsi pneumonia pada anak usia balita yang dirawat dengan pneumonia di RSCM adalah 5%, dengan angka kematian mencapai 32,5%. Faktor yang berhubungan dengan mortalitas adalah status imunisasi tidak lengkap, peningkatan nilai prokalsitonin, dan komplikasi sepsis. Kata kunci: pneumonia, faktor prognostik, mortalitas, anak.

Background: Pneumonia is still a major cause of morbidity and mortality in children under five years of age (toddlers). Research related to prognostic factors that have roles in assessing mortality outcomes has also been carried out in an effort to reduce mortality due to pneumonia. However, until now, data regarding the factors that affect the mortality of children with pneumonia in Indonesia are still limited. Aim: This study aims are to determine the mortality rate of children under five who are treated with pneumonia, as well as prognostic factors that influence the outcome. Method: Data collection was carried out at Cipto Mangunkusumo Hospital in the period from January 2019 to March 2022, using analytic cross sectional on a population of children aged 1-59 months who were treated with pneumonia. Result: Of the 600 subjects, the proportion of pneumonia did not differ between the ages of <1 year (51.8%) and 1-5 years (48.2%). The proportion of pneumonia in children under five at the RSCM was 5%, most of which were hospital associated pneumonia (56.8%). The mortality rate obtained from this study was 195 subjects (32.5%). Prognostic factors that were shown to be associated with mortality outcomes were incomplete immunization (PR 3.706; 95% CI 1.320-10.405; p=0.013), increased procalcitonin value (PR 1.606; 95% CI 1.196-2.154; p=0.002), and complications of sepsis (PR 2.090; 95% CI 1.486-2.940; p<0.0001). Age, hypoxemia, malnutrition, anemia, abnormal platelet count, abnormal leukocyte count, elevated CRP, and comorbidities have not been shown to be associated with increased mortality in children under five who are treated with pneumonia. Conclusions : The proportion of pneumonia in children under five years of age who were treated with pneumonia at the RSCM was 5%, with a mortality rate of 32.5%. Factors"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Shabira Anjani
"Industi yang memproduksi alat kesehatan wajib menerapkan CPAKB (Cara Pembuatan Alat Kesehatan yang Benar). CPAKB bertujuan untuk menjamin alat kesehatan yang diproduksi memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan manfaat sesuai dengan tujuan pembuatannya. Salah satu aspek dasar dalam CPAKB adalah manajemen resiko mutu, contohnya yaitu Failure Mode Effects Analysis (FMEA). FMEA merupakan metode sistematis yang bertujuan untuk mengevaluasi kemungkinan terjadinya suatu kegagalan dari sebuah sistem, desain, proses atau servis. Setelah potensial kegagalan dari suatu proses telah teridentifikasi, maka dilanjutkan dengan pengendalian resiko. Tujuannya adalah untuk mengurangi risiko hingga mencapai batas yang dapat diterima. Salah satu produk dari PT. Forsta Kalmedic adalah Surgical Suture. Terdapat beberapa tahap dalam proses produksi Surgical Suture, salah satunya adalah proses unwiding menggunakan alat Rack Winder dan Mono Winder. Oleh karena itu, tugas khusus ini bertujuan untuk menganalisis resiko pontesial kegagalan dan rencana pengendalian untuk mesin Rack Winder dan Mono Winder. Proses penyusunan tugas khusus ini diawali dengan penetapan penyebab potensial, modus kegagalan potensial, dan dampak dari kedua mesin tersebut. Kemudian, menentukan tingkat resiko dengan menggunakan risk rating factors. Setelah tingkat kekritisan potensial resiko sudah ditentukan kemudian membuat atau mencari rencana pengendalian. Informasi yang digunakan dalam penyusunan Failure Mode Effect Analysis (FMEA) untuk mesin rackwinder dan monowinder diperoleh dari SOP, prosedur pelaksanaan dan mewawancarai operator serta staf produksi. Data kemudian diolah dalam bentuk Microsoft Excel.

Industries that produce medical devices are required to implement CPAKB (Correct Method of Manufacturing Medical Devices). CPAKB aims to ensure that the medical devices produced meet the requirements for safety, quality and benefits according to the purpose for which they were made. One of the basic aspects of CPAKB is quality risk management, for example Failure Mode Effects Analysis (FMEA). FMEA is a systematic method that aims to evaluate the possibility of failure of a system, design, process or service. After the potential failure of a process has been identified, it is followed by risk control. The goal is to reduce risk to an acceptable limits. One of the products of PT. Forsta Kalmedic is Surgical Suture. There are several stages in the Surgical Suture production process, one of which is the unwiding process using Rack Winder and Mono Winder machines. Therefore, this paper aims to analyze the potential risk of failure and control plans for Rack Winder and Mono Winder machines. Firstly, it begins with determining the potential causes, potential failure modes, and impacts of the two machines. Then followed by determining the level of risk using risk rating factors. After the criticality level of the potential risk has been determined then it is possible to create a control plan. Information used in preparing the Failure Mode Effect Analysis (FMEA) for rackwinder and monowinder machines was obtained from SOPs, implementation procedures and interviewing operators and production staff. The data is then processed in Microsoft Excel."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas ndonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>