Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 230366 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siregar, Beatrix
"Latar belakang: Kejadian penyakit ginjal kronik (PGK) pada anak berkembang dengan
cepat menuju penyakit ginjal tahap akhir (PGTA), yang sering disertai gejala saluran cerna termasuk infeksi Helicobacter pylori (H. pylori). Faktor risiko infeksi H. pylori pada anak PGTA yang menjalani dialisis termasuk status nutrisi, status sosioekonomi, kepadatan lingkungan, tipe dan durasi dialisis.
Tujuan: Mengidentifikasi faktor risiko infeksi H. pylori pada anak dengan PGTA yang
menjalani dialisis. Metode: Penelitian cross-sectional ini menganalisis data primer pasien anak dengan PGTA yang menjalani dialisis di RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kiara pada tahun 2023.
Hasil: Jumlah subyek penelitian ini adalah 47 anak yang terdiri dari 30 (63,8%) lelaki dan 17 (36,2%) perempuan. Nilai rerata usia adalah 13,15 ± 2,72 tahun. Mayoritas pasien tinggal pada pedesaan (57,4%), menjalani hemodialisis (70,2%) dengan durasi dialisis ≥1 tahun (55,3%), mengalami malnutrisi (51,1%) dengan status sosioekonomi rendah (61,7%), crowding index (CRI) >2 (66%), terinfeksi H. pylori (80,9%), memiliki skor frequency scale for the symptoms of GERD (FSSG) ≥8 (61,7%) dan skor pediatric quality of life inventory (PedsQL) <70 (97,9%). Berdasarkan analisis multivariat, faktor risiko yang berhubungan dengan infeksi H. pylori pada pasien anak dengan PGTA adalah kepadatan lingkungan (p=0,012) dan status sosioekonomi (p=0,048). Kesimpulan: Prevalens infeksi H. pylori pada anak dengan PGTA yang menjalani dialisis adalah sebesar 80,9% dengan reratan usia pasien 13.15 ± 2,72 tahun. Dari hasil analisis multivariat, faktor risiko infeksi H.pylori adalah kepadatan lingkungan (p=0,012) dan status sosioekonomi (p=0,048). Mayoritas pasien memiliki kualitas hidup yang terganggu.

Background: The incidence of chronic kidney disease (CKD) in children increases rapidly towards end stage renal disease (ESRD) which is often accompanied with gastrointestinal symptoms include Helicobacter pylori (H. pylori) infection. Risk factors for H. pylori infection in ESRD children undergoing dyalisis include poor nutritional and low socioeconomic status, crowded environments, type and duration of dialysis. Objective: To identify risk factors of H. pylori infection in pediatric ESRD patients undergoing dialysis.
Methods: This cross-sectional study analyzed primary data on pediatric ESRD patients undergoing dialysis at Dr. Cipto Mangunkusumo National Central Public Hospital in 2023.
Results: The number of subjects in this study were 47 children, 30 (63.8%) boys and 17 (36.2%) girls. The mean value for age was 13.15 ± 2,72 years. Most patients lived in rural areas (57.4%), had hemodialysis (70.2%) with duration of ≥1 year (55.3%), had malnutrition (51.1%), with low socioeconomic status (61.7%), crowding index (CRI) >2 (66%), infected by H. pylori (80.9%), had frequency scale for the symptoms of GERD (FSSG) score of ≥8 (61.7%) and pediatric quality of life inventory (PedsQL) score <70 (97.9%). Based on multivariate analysis, the risk factors associated with H. pylori infection in pediatric ESRD patients were environmental density (p=0,012) and socioeconomic status (p=0,048).
Conclusion: Prevalence of pediatric ESRD patients who had dialysis that were infected by H. pylori was 80.9% and the age’s average value was 13.15 ± 2,72 years. Based on multivariate analysis, the risk factors for H. pylori infection were environmental density (p=0,012) and socioeconomic status (p=0,048). Most of the patients had low quality of life.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Safitrie
"ABSTRAK
Peningkatan jumlah penderita gagal ginjal terminal di Indonesia akan memberikan dampak kepada peningkatan jumlah pasien yang menjalani terapi penggantian ginjal. Pengambilan keputusan terhadap terapi yang akan dipilih merupakan hal yang sangat penting dan dapat memberikan dampak pada kelangsungan hidup pasien selanjutnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggali pengalaman pasien dalam pengambilan keputusan untuk melakukan hemodialisis. Desain kualitatif dengan pendekatan fenomenologi melibatkan 7 partisipan yang memenuhi kriteria penelitian. Metode wawancara mendalam dan analisis menggunakan Colaizzi menghasilkan empat tema yaitu 1 persepsi tentang hemodialisis; 2 menjalani hemodialisis dengan adanya support system; 3 kurang mendapatkan informasi spesifik tentang hemodialisis; dan 4 peran tenaga kesehatan pra inisiasi dialisis. Hasil menjelaskan bahwa suatu persepsi dapat mempengaruhi pengambilan keputusan pada pasien akan tetapi adanya dukungan dari berbagai pihak mampu mengubah persepsi tersebut. keterlibatan tenaga kesehatan diharapkan dapat membantu pasien dalam melakukan suatu pengambilan keputusan.

ABSTRACT
The increasing End Stage Renal Disease cases in Indonesia will the straightly impact on the dialysis patients. The decision making process to decide the option therapy yields an essential step for future life. The purpose of this study was to explore the patients experience on dialysis decision making. This study used phenomenology qualitative design approach, 7 participants met the inclusion criteria recruited purposively. In depth interview was used to gather the data. Colaizzi data analysis approach revealed four themes 1 the dialysis perception 2 the support system of dialysis 3 the lack of spesific information and 4 the role of healthcare provider before dialysis initiation. This result showed that the influence of perception on decision making must be considered yet the existing of support system could further change it. It 39 s also emphasises the importance of the healthcare provider involvement in the decision making process."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T49537
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trisha Rahmi Dian Reswara
"End-stage kidney disease (ESKD) pada anak berdampak tidak terbatas pada aspek kesehatan fisik, tetapi juga perubahan emosi dan perilaku. Namun, kondisi ini seringkali diabaikan. Di Indonesia, data mengenai gangguan emosi dan perilaku khususnya pada pasien ESKD anak yang menjalani hemodialisis (HD) jumlahnya pun terbatas. Studi potong lintang ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi, jenis gangguan, dan asosiasi faktor-faktor yang berhubungan terhadap gangguan emosi dan perilaku pada pasien ESKD anak yang menjalani HD. Total 28 pasien ESKD anak di RSCM usia 4-18 tahun yang menjalani hemodialisis minimal 1 bulan diikutkan dalam penelitian. Skrining gangguan emosi dan perilaku diukur menggunakan PSC-17. Analisis bivariat dilakukan menggunakan uji Chi-Square/Fisher. Studi ini menemukan prevalensi gangguan emosi dan perilaku pada pasien ESKD anak yang menjalani HD di RSCM sebesar 32%, dengan persentase abnormal tertinggi pada subskala internalisasi (21,4%). Variabel jenis kelamin menunjukkan hubungan signifikan (p<0,05) terhadap gangguan emosi dan perilaku.

Children with end-stage kidney disease (ESKD) have behavioral and emotional difficulties in addition to physical health problems. But this condition is frequently disregarded. Data on emotional and behavioral issues among pediatric ESKD patients in Indonesia, especially those receiving hemodialysis (HD), is still scarce. The purpose of this cross-sectional study is to identify the prevalence, type, and correlation of variables associated with emotional and behavioral issues in pediatric hemodialysis patients. There were a total of 28 pediatric ESKD patients at RSCM, ages 4 to 18, who received hemodialysis treatment for at least one month included in this study. The children were screened for emotional and behavioral problems using PSC-17 questionnaire. Bivariate analysis was measured using Chi-Square/ Fisher test. This study discovered the prevalence of behavioral and emotional issues in children with ESKD receiving HD in RSCM is 32%, high proportion found in internalization subscale (21.4%). The risk of emotional and behavioral issues was shown to be significantly correlated with gender (p<0.05)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Imelda
"Pendahuluan. Berbagai panduan menganjurkan hemodialisis HD tiga kali seminggu. Di Indonesia pasien dengan hemodialisis dua kali seminggu lebih banyak ditemukan. Perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui gambaran klinis dan kualitas hidup pada pasien yang menjalani hemodialisis dua kali seminggu dibandingkan tiga kali seminggu.
Metode. Merupakan studi potong lintang pada pasien yang menjalani HD dua dan tiga kali seminggu di RS Cipto Mangunkusumo dan beberapa RS swasta. Dilakukan pemeriksaan laboratorium dan penilaian kualitas hidup dengan menggunakan Kidney Disease Quality of Life KDQOL-SF 36.
Hasil. Didapatkan 80 subjek dengan kelompok usia >50 tahun lebih banyak ditemukan. Secara bermakna lebih tinggi pada kelompok HD dua kali yaitu Interdialytic Weight Gain IDWG 4,91 SB 1,52 dan 3,82 SB 1,28 p=0,002. albumin 4,05 SB 0,26 dan 3,86 SB 0,48 p=0,027, saturasi transferin 25,5 12,0-274,0 dan 21,95 5,8-84,2 p=0,004, kadar fosfat 5,82 SB 1,68 dan 5,82 SB 1,68 p=0,026. Kadar TIBC 235,20 SB 55,72 dan 273,73 SB 58,29 p=0,004 pada kelompok tiga kali HD secara bermakna lebih tinggi. Pada kelompok HD dua kali seminggu 68 mencapai Kt/V>1,8, 93,3 yang HD tiga kali seminggu mencapai Kt/V>1,2. Kualitas hidup antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna baik pada Physical Componet Score PCS p=0,227, Mental Component Score MCS p=0,247 dan Kidney Disease Component Score KDCS p=0,889.
Simpulan. Didapatkan secara bermakna lebih tinggi pada kelompok HD dua kali seminggu pada pemeriksaan IDWG, albumin, saturasi transferin, fosfat, sedangkan TIBC lebih tinggi pada kelompok HD tiga kali seminggu. Kualitas hidup kedua kelompok tidak berbeda bermakna.

Introduction. Many guidelines recommend hemodialysis HD three times a week. In Indonesia there are more patients undergoing hemodialysis twice a week. It is necessary to investigate the clinical features and the quality of life in patients undergoing hemodialysis twice a week.
Method. A cross sectional study in patients undergoing HD two and three times weekly at Cipto Mangunkusumo Hospital and some private hospitals. Laboratory examination and assessment of quality of life by using Kidney Disease Quality of Life KDQOL SF 36.
Results. There were 80 subjects with age group 50 years is more common. Significantly higher in group HD twice a week were Interdialytic Weight Gain IDWG 4.91 SB 1.52 and 3.82 SB 1.28 p 0.002. 4,05 albumin SB 0.26 and 3.86 SB 0.48 p 0.027, transferrin saturation 25.5 12.0 to 274.0 and 21.95 5.8 to 84.2 p 0.004, the phosphate level 5.82 SB 1.68 and 5.82 SB 1.68 p 0.026. The TIBC level 235.20 55.72 SB and 273.73 58.29 SB p 0.004 was significantly higher in group HD thrice a week. In twice a week HD group 68 reached Kt V 1.8, 93.3 of HD thrice a week achieved Kt V 1.2. Quality of life between the two groups was not significant either on Physical Componet Score PCS p 0.227, Mental Component Score MCS p 0.247 and Kidney Disease Component Score KDCS p 0.889.
Conclusion. There were significantly higher in group HD twice a week on examination IDWG, albumin, transferrin saturation and phosphate levels, whereas the TIBC was higher in group HD three times a week. Quality of life of the two groups was not significant difference.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Prihatina Anjela
"Latar belakang: Penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) menjadi sorotan global dengan prevalens yang meningkat. Data di Indonesia tahun 2018 menunjukkan prevalens PGTA pada kelompok usia ≥15 tahun sebesar 19,3%. Anak dengan PGTA yang menjalani dialisis, menghadapi risiko mortalitas tinggi. Kemajuan teknologi dialisis telah meningkatkan kesintasan, tetapi terdapat beberapa faktor yang memengaruhi mortalitas.
Tujuan: Mengetahui faktor yang memengaruhi kesintasan pasien PGTA pada anak yang menjalani dialisis. Dengan intervensi terhadap faktor tersebut, diharapkan dapat meningkatkan kesintasan pasien anak dengan PGTA.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif berbasis analisis kesintasan 3 tahun terhadap pasien anak dengan PGTA yang menjalani dialisis di RSCM, serta faktor yang memengaruhinya. Data diperoleh melalui penelusuran rekam medis di Instalasi Rekam Medis RSCM, dengan rentang waktu rekam medis dari 1 Januari 2016 hingga 31 Oktober 2020. Populasi terjangkau adalah pasien anak usia <18 tahun dengan PGTA yang menjalani dialisis di RSCM. Sampel penelitian merupakan bagian dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dengan eksklusi terkait rekam medis yang tidak lengkap. Data dianalisis secara deskriptif dan menggunakan metode Kaplan-Meier untuk analisis kesintasan pasien secara keseluruhan. Analisis multivariat cox regression dilakukan untuk variabel yang memiliki nilai p < 0,250 pada uji bivariat.
Hasil: Penelitian ini melibatkan 207 subjek anak dengan PGTA. Proporsi jenis kelamin terdiri dari 52,7% lelaki, dengan usia dominan ≥ 5 tahun (92,3%). Sindrom nefrotik menjadi etiologi terbanyak (29%), diikuti oleh nefritis lupus (16,4%) dan hipoplasia ginjal (15,9%). Hemodialisis menjadi modalitas dialisis inisial utama (90,8%), dengan 77,8% subjek memiliki status gizi baik. Hipertensi dijumpai pada 65,5% subjek, dan anemia pada 93,7%. Sepsis menjadi penyebab kematian utama (38%). Kesintasan tiga tahun pasien mencapai 56,5%. Hasil analisis menunjukkan bahwa inisiasi dialisis pada usia <5 tahun [HR 3,26 (1,69-6,28)], etiologi glomerular [HR 2,02 (1,26-3,24)], dan gizi kurang/buruk [HR 1,59 (1,03-2,46)] berhubungan dengan risiko kematian yang signifikan.
Kesimpulan: Angka kesintasan 3 tahun pasien PGTA pada anak dengan dialisis di RSCM adalah 56,5%. Faktor yang memengaruhi kesintasan pasien PGTA anak di RSCM adalah inisiasi dialisis pada usia <5 tahun, etiologi glomerular, dan gizi kurang/buruk.

Background: End-Stage Renal Disease (ESRD) has garnered global attention with increasing prevalence. In Indonesia, ESRD prevalence in 2018 among individuals aged ≥15 years was 19.3%. Children with ESRD, particularly those undergoing dialysis, face a heightened risk of mortality. Technological advancements in dialysis have improved survival rates, yet several factors significantly influence mortality.
Objective: To identify factors that influence survival of children with ESRD undergoing dialysis. Intervention to these factors may improve the survival of children with ESRD.
Method: This study adopts a retrospective cohort design based on a 3-year survival analysis of pediatric patients with ESRD undergoing dialysis at RSCM, along with influencing factors. Data were obtained through the retrieval of medical records from the RSCM Medical Record Installation, covering the period from 1 January 2016 to 31 October 2020. The population comprised children under 18 years old with ESRD who are undergoing dialysis at RSCM. The study sample represents a subset of the accessible population meeting inclusion and exclusion criteria, with exclusions related to incomplete medical records. Descriptive analysis and Kaplan- Meier methods were employed for overall patient survival analysis. Multivariate Cox regression analysis was conducted for variables with a p-value < 0.250 in bivariate tests.
Results: The study involved 207 pediatric ESRD subjects. Gender distribution was 52.7% male, with the majority aged ≥ 5 years (92.3%). Nephrotic syndrome was the most prevalent etiology (29%), followed by lupus nephritis (16.4%) and renal hypoplasia (15,9%). Hemodialysis was the predominant initial dialysis modality (90.8%), with 77.8% of subjects having good nutritional status. Hypertension was found in 65.5% of subjects, and anemia in 93.7%. Sepsis emerged as the leading cause of death (38%). Three-year survival reached 56.5%. Analysis results indicated that initiation of dialysis at age <5 years [HR 3.26 (1.69-6.28)], glomerular etiology [HR 2.02 (1.26-3.24)], and moderate/severe malnutrition [HR 1.59 (1.03-2.46)] were associated with a significant risk of mortality.
Conclusion: Three years survival of children with ESRD undergoing dialysis at RSCM was 56.5%. Factors that influence the survival were initiation of dialysis at age <5 years, glomerular etiology, and moderate/severe malnutrition.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan
"Latar belakang: Pasien dengan Penyakit Ginjal Tahap Akhir (PGTA) yang menjalani hemodialisis dilaporkan adanya penurunan pendengaran. Beberapa studi mengatakan adanya hubungan antara hemodialisis dengan penurunan pendengaran. Penurunan pendengaran yang terjadi juga diduga adanya faktor risiko lain seperti usia, hipertensi, diabetes melitus dan riwayat/lamanya dilakukan hemodialisis. Beberapa penelitian, dikatakan masih kontroversi sehingga dibutuhkan penelitian lebih lanjut.
Metode: Penelitian potong lintang pre dan post ini melibatkan 50 subyek penelitian yang sesuai kriteria inklusi dan ekslusi. Pemeriksaan dilakukan dengan menilai pemeriksaan otoskopi, dilanjutkan dengan pemeriksaan timpanometri, audiometri nada murni dan DPOAE (Disortion Product Otoacoustic Emissions). Pemeriksaan fungsi pendengaran dilakukan secara pre post hemodialisis. Pengolahan data dilakukan dengan uji t berpasangan dan Wilcoxon Signed Ranks Test, P-value.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan adanya hubungan bermakna (p<0,001) antara perubahan rerata ambang dengar dan SNR (Signal to Noise Ratio) dengan terapi hemodialisis pada pasien PGTA.
Kesimpulan: Hemodialisis dapat menurunkan ambang dengar dan perubahan SNR terutama pada frekuensi tinggi. Pada penelitian ini perubahan ambang dengar dan SNR bersifat reversibel, diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui perubahan ambang dengar dan SNR yang bersifat irreversibel.

Introduction: Patients with End Stage Renal Disease (ESRD) undergoing hemodialysis reported hearing loss. Several studies suggest a relation between hemodialysis and hearing loss. The decrease in hearing that occurs is also suspected to be due to other risk factors such as age, hypertension, diabetes mellitus and history/length of hemodialysis. Some research is said to be still controversial so further research is needed.
Methods: This cross-sectional pre and post study involved 50 research subjects who met the inclusion and exclusion criteria. The examination is carried out by assessing the otoscopic examination, followed by tympanometry, pure tone audiometry and DPOAE (Disortion Product Otoacoustic Emissions) examinations. Hearing function examination is carried out pre-post hemodialysis. Data processing was carried out using the paired t test and Wilcoxon Signed Ranks Test, P-value.
Results: In this study, it was found that there was a significant relationship (p<0.001) between changes in the average hearing threshold and SNR (Signal to Noise Ratio) with hemodialysis therapy in ESRD patients.
Conclusion: Hemodialysis can reduce hearing thresholds and changes in SNR, especially at high frequencies. In this study, changes in hearing threshold and SNR are reversible, further research is needed to determine whether changes in hearing threshold and SNR are irreversible.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sylvia Lioner
"Analisis resep pada pasien program rujuk balik memainkan peran krusial dalam memastikan keselamatan dan keberhasilan perawatan pasien. Analisis resep dilakukan guna memverifikasi kesesuaian obat dengan diagnosis pasien, mencegah kesalahan atau kontraindikasi dalam pengobatan, serta memantau interaksi obat. Penelitian ini bertujuan untuk menelaah jumlah pemenuhan obat antihipertensi PRB di Apotek Kimia Farma Pos Pengumben pada Bulan Februari 2023 serta mengkaji resep obat antihipertensi pasien PRB. Penelitian ini dilakukan dengan mengambil data resep pasien PRB pada bulan Februari 2023, lalu diolah untuk mengetahui pola peresepan obat. Selanjutnya, dilakukan pemilihan 3 resep untuk dikaji menurut aspek administrasi, farmasetis, dan klinis. Jumlah obat antihipertensi pasien PRB untuk kebutuhan 30 hari sudah dapat dipenuhi oleh Apotek Kimia Farma Kemayoran dengan total 30486 obat antihipertensi dari 456 resep pasien PRB. Pada resep pasien PRB yang mengandung obat antihipertensi ditemukan beberapa masalah terkait obat seperti efek samping dan interaksi antara obat yang perlu diperhatikan. Masalah tersebut dapat diatasi dengan mengubah jadwal konsumsi obat pasien atau dengan memberikan obat tambahan untuk mengatasi efek samping yang muncul pada pasien.
..... The analysis of prescriptions in Back-Referral Program (BRP) plays a crucial role in ensuring the safety and success of patient treatment. Prescription analysis aims to verify the suitability of prescribed medications with the patient's diagnosis, prevent errors or contraindications in treatment, and monitor drug interactions. This study aims to examine the fulfillment of antihypertensive medication prescriptions for PRB patients at Apotek Kimia Farma Pos Pengumben in February 2023 and assess the prescriptions for antihypertensive drugs. The research involved collecting prescription data from PRB patients in February 2023 and analyzing the prescribing patterns. Subsequently, three prescriptions were selected for evaluation based on administrative, pharmaceutical, and clinical aspects. The quantity of antihypertensive drugs for PRB for 30 days use was met by Apotek Kimia Farma Kemayoran, totaling 30,486 antihypertensive drugs from 456 patient prescriptions. Several drug-related issues were identified in the prescriptions containing antihypertensive drugs, such as side effects and drug interactions that need attention. These issues can be addressed by adjusting the patient's medication schedule or providing additional medication to manage the observed side effects."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas ndonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Alhaura
"Hipertensi umum dikaitkan dengan peningkatan tekanan darah yang salah satu penyebabnya adalah kerusakan pada ginjal. Fenomena ini disebut juga sebagai hipertensi renovaskular. Pada hipertensi ini, kerusakan ginjal menyebabkan peningkatan renin dan angiotensin II yang kemudian akan meningkatkan produksi mediator inflamasi seperti Transforming Growth Factor beta 1 (TGF-β1) yang dapat mengindikasikan hipertensi renovaskular sebagai respon inflamasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek pemberian ekstrak resep jamu kuno au fere II yang berasal dari Maluku menggunakan hewan uji tikus galur wistar yang akan diinduksi hipertensi renovaskular dengan metode 2K1C. Diamati parameter respon inflamasi (TGF-β1), berat badan, tekanan darah, serta morfologi ginjal tikus. Tikus dibagi menjadi 6 kelompok: kelompok normal (Sham, n=4); kelompok induksi 2K1C (n=4); kelompok kontrol positif kaptopril (n=4); 3 kelompok dosis 1 (0.495 mL/200 gr BB), 2 (0.99 mL/200 gr BB) dan 3 (1.98 mL/200 gr BB) jamu kuno au fere II (n=4/kelompok). Tikus yang diinduksi 2K1C perkembangan berat badannya tidak terganggu namun mengalami peningkatan tekanan darah setelah lima minggu dan setelah dibedah, ginjal kiri tikus yang diklip mengalami fibrosis dan menyusut sementara ginjal kanan mengalami pembesaran. Pemberian resep jamu kuno diamati mampu menurunkan nilai tekanan darah secara signifikan, namun tidak mempengaruhi kondisi fibrosis ginjal hasil induksi dan berat badan. Selain itu, konsentrasi TGF-β1 plasma pada kelompok induksi 2K1C menunjukkan peningkatan jika dibandingkan dengan kelompok sham. Penurunan konsentrasi TGF-β1 (p>0.05, kecuali dosis 2) diamati pada kelompok perlakuan kaptopril dan au fere II. dengan kelompok induksi 2K1C dan tidak ada korelasinya dengan nilai tekanan darah. Dapat disimpulkan bahwa au fere II mampu menurunkan tekanan darah dan memperbaiki respon inflamasi dengan menurunkan kadar TGF-β1 pada tikus 2K1C.

Hypertension is often linked with blood pressure increase which one of the causes is renal damage. This phenomenon is also known as renovascular hypertension. Renal damage causes renin and angiotensin II increase which will upregulate inflammatory mediators like Transforming Growth Factor beta 1 (TGF-β1) that can indicate renovascular hypertension as an inflammatory response. The study aims to discover administration effects of au fere II ancient herbal concoction extract, originated from Maluku, using Wistar rats that are induced renovascular hypertension by the 2K1C method. Inflammatory response (TGF-β1), body weight, blood pressure and renal morphology are observed. Rats were grouped into 6: normotensive (Sham, n=4); 2K1C induction (water, n=4); positive control (captopril, n=4); 3 groups of ancient herbal concoction dose 1 (0.495mL/200grBB), 2 (0.99mL/200grBB) and 3 (1.98mL/200grBB) (n=4/group). Body weight development on rats induced with 2K1C were not disturbed, but after operating, the clipped left renal was found to have fibrosis and have shrunk, while the right renal enlarged. Treatment with ancient herbal concoction was observed able to alleviate blood pressure significantly but does not affect renal fibrosis as well as body weight. TGF-β1 concentrations on 2K1C induction group were also shown to have increased compared to sham. TGF-β1 concentrations decreased (p>0.05, except Dose 2: <0.05) for positive control and au fere II groups after treatment compared with 2K1C induction group and has no correlation with blood pressure values. Au fere II can be concluded to help alleviate blood pressure and fix inflammatory response by downregulating TGF-β1 on 2K1C rats."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Mardy Fitria
"Au Fere II merupakan resep obat tradisional asal Maluku yang sering digunakan sebagai pengobatan alternatif hipertensi. Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko terbesar dari berbagai penyakit kardiovaskular. Jenis penyakit kardiovaskular yang paling banyak menyebabkan kematian adalah infark miokard. Pada kejadian infark miokard terdapat peningkatan tekanan darah dan konsentrasi endotelin-1 pada plasma darah. Peningkatan pelepasan endotelin-1 sebagai vasokonstriktor akan menyebabkan peningkatan tekanan darah atau hipertensi. Hipertensi yang berkelanjutan akan menyebabkan infark miokard. Oleh karena itu, tekanan darah dan konsentrasi endotelin-1 pada plasma dapat dijadikan sebagai acuan terjadinya infark miokard. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan dan mengevaluasi kemampuan Au Fere II sebagai pengobatan preventif terhadap infark miokard melalui kemampuan mempertahankan tekanan darah dan kadar endotelin-1 plasma normal tubuh. Infark miokard diinduksi melalui injeksi subkutan Isoproterenol pada tikus putih galur Wistar. Tikus dibagi menjadi 6 kelompok perlakuan. Perlakuan diberikan selama 28 hari, kemudian diberikan injeksi subkutan isoproterenol selama 2 hari. Hasil analisis tekanan darah dan konsentrasi endotelin-1 menunjukan bahwa ada perbedaan signifikan antara kelompok negatif dengan semua kelompok dosis. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa Au Fere II memiliki kemungkinan efek kardioprotektif terhadap infark miokard.

Au Fere II is a traditional concoction from Maluku that is used as hypertension alternative medicine. Hypertension is one of risk factors for cardiovascular diseases. Myocardial infarction is the leading cause of death among CVDs. There is a rise in plasma endotelin-1 concentration and blood pressure in myocardial infarction. Endotelin-1 release cause blood pressure to risen, causing hypertension. Prolonged hypertension will lead to myocardial infarction. This leads to the use of blood pressure and endothelin-1 as a marker for myocardial infarction. The purpose of this study was to prove and evaluate Au Fere II potency as myocardial infarction preventive medication by evaluating its ability to maintain normal blood pressure level and endothelin-1 concentration. Myocardial infarction was induced by subcutaneous injection of Isoproterenol on Wistar strain white rats. Rats were divided into 6 treatment group. Treatment was done for 28 days and induction was done for 2 days. The result of blood pressure measurement and analysis of plasma sample showed that there was a significant difference of blood pressure level and endothelin-1 concentration between negative kontrol group and the three dose groups. Therefore, it can be concluded that Au Fere II has a possible cardioprotective effect against myocardial infarction."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Surya Wijaya
"Latar Belakang: Dengan adanya hemodialisis, angka harapan hidup pasien penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) meningkat. Akan tetapi, kualitas hidupnya semakin lama semakin menurun. Kualitas hidup pasien PGK dinilai dengan KDQOL SF-36 yang memiliki 3 komponen, yaitu PCS (fisik), MCS (mental), dan KDCS (berhubungan dengan penyakit ginjalnya). Status nutrisi merupakan salah satu faktor penentu kualitas hidup. Belum jelas apakah massa otot atau massa lemak yang berpengaruh terhadap peningkatan kualitas hidup pasien PGTA.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi hubungan antara persentase massa bebas lemak (FFM) dengan kualitas hidup pasien PGTA.
Metode. Studi potong lintang ini dilakukan di Unit Hemodialisis, Divisi Ginjal hipertensi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada bulan Juni-Juli 2018. Sebanyak 102 pasien diteliti pada studi ini. Sampel darah diambil untuk pemeriksaan laboratorium. Persentase massa bebas lemak dihitung menggunakan Bioimpedance Analysis (BIA). Kualitas hidup dievaluasi menggunakan kuesioner KDQOL SF-36 versi 1.3. Analisis statistik dilakukan menggunakan uji korelasi Pearson. Analisis kualitas hidup berdasarkan klasifikasi persentase lemak dilakukan dengan uji Anova.
Hasil. Pada penelitian ini, rerata skor KDQOL keseluruhan adalah 47,86+6,56, dengan rerata skor PCS 40,97+9,66, median skor MCS 46,6 (22,05-59,95), dan KDCS 55,98+9,02. Persentase FFM subjek 74,21+1% dengan rerata massa 43,06+8,16 kg. Hasil uji korelasi Pearson antara skor keseluruhan KDQOL dan persentase FFM mendapatkan nilai r 0,032 dan p 0,750. Hasil signifikan didapatkan antara subkomponen PCS dengan FFM (r 0,223, p 0,024). Persentase massa otot didapatkan berhubungan dengan KDCS (r 0.23, p 0.041) dengan usia sebagai faktor perancu dalam hubungan persentase massa otot dan KDCS.
Kesimpulan. Terdapat hubungan positif lemah antara FFM (dalam kg) dengan kualitas fisik pasien PGTA. Terdapat hubungan positif lemah antara persentase massa otot dengan komponen KDCS pada pasien PGTA .

Background. Due to the occurrence of hemodialysis, the life expectancy of end stage renal disease (ESRD) patients are lengthening. However, their quality of life (QoL) are decreasing. The QoL of ESRD patients are composed of physical (PCS), mental (MCS), and kidney-related (KDCS) components. Nutritional status is one of the influencing factors of QoL. It is not clear whether free fat mass (FFM) or fat mass that contribute to the increase of QoL of ESRD patients.
Objectives. This study aims to identify the correlation of FFM percentage and quality of life of ESRD patients.
Method. This cross-sectional study was conducted in Hemodialysis Unit, Division of Kidney and Hypertension Cipto Mangunkusumo General Hospital Jakarta from June-July 2018. 102 subjects were included in this study. Blood samples were collected for laboratory examination. FFM percentage was measured using bioimpedance analysis (BIA). Meanwhile, QoL was evaluated using KDQOL SF-36 version 1.3. Statistical analysis was done using Pearson correlation test. Analysis of QoL based on fat percentage was done using Anova test.
Result. In this study, the overall KDQOL score was 47,86+6,56 with PCS 40,97+9,66, MCS 46,6 (22,05-59,95), and KDCS 55,98+9,02. FFM percentage was 74,21+1% with mean mass of 43,06+8,16 kg. Statistical analysis showed no correlation between FFM percentage and overall KDQOL score (r 0,032, p 0,750). However, there was a significant correlation between PCS and FFM (r 0,223, p 0,024). Muscle mass percentage also shows a positive correlation with KDCS (r 0.23, p 0.041) with age as confounding factor between this two variables.
Conclusion. There is a weak positive correlation between FFM in kg and physical quality of ESRD patients. There is also a weak positive correlation between muscle mass percentage and KDCS."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>