Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 113863 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fransiscus Xaverius Andi Wiyanto
"Pendahuluan: Merokok tembakau adalah kecanduan yang sangat umum di seluruh dunia dan faktor lingkungan predisposisi penyakit periodontal. Peran sitokin dan kemokin dalam patogenesis periodontitis kronis telah dikonfirmasi sebelumnya. Mengevaluasi sitokin serum dan kemokin sangat penting dalam menentukan respon inflamasi pada pasien periodontitis. Temuan sebelumnya menyiratkan hubungan dekat antara peningkatan sitokin interleukin-18 (IL-18) dan patogenesis periodontitis kronis pada perokok; Namun, kegunaan IL-18 sebagai penanda inflamasi pada gingivitis masih belum jelas. Tujuan: Untuk menganalisis tingkat IL-18 pada perokok dengan periodontitis kronis. Metode: Studi cross-sectional dari 76 subjek yang berusia 19-34 tahun dengan periodontitis kronis di Depok, Indonesia. Data klinis (OHIS, kantung, CAL), status merokok, dan sampel IL-18 dikumpulkan; sampel dideteksi menggunakan ELISA. Hasil: Tingkat IL-18 pada perokok dengan periodontitis sedang lebih tinggi dibandingkan pada mereka dengan periodontitis ringan. Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan kadar IL-18 tidak signifikan berdasarkan konsumsi rokok harian, dan tidak ada korelasi signifikan yang terungkap mengenai konsentrasi IL-18 pada perokok berdasarkan durasi merokok. Hasil uji korelasi menunjukkan hubungan yang signifikan antara keparahan periodontitis dan jumlah rokok yang dikonsumsi per hari, tetapi tidak ada korelasi yang signifikan antara keparahan periodontitis pada perokok dan durasi merokok. Kesimpulan: Tingkat IL-18 dalam air liur dan cairan crevicular gingiva dapat digunakan sebagai biomarker yang dapat diprediksi untuk perkembangan penyakit periodontal, tetapi tidak dapat digunakan untuk menentukan kebiasaan merokok pasien. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menegaskan hubungan antara IL-18 dan periodontitis kronis pada perokok.

Introduction: Tobacco smoking is a very common addiction worldwide and a predisposing environmental factor of periodontal disease. The role of cytokines and chemokines in chronic periodontitis pathogenesis has been previously confirmed. Evaluating serum cytokines and chemokines is essential in determining inflammatory responses in periodontitis patients. Previous findings imply a close relationship between elevated cytokine interleukin-18 (IL-18) levels and chronic periodontitis pathogenesis in smokers; however, the usefulness of IL-18 as an inflammatory marker in gingivitis remains unclear. Objective: To analyze IL-18 levels in smokers with chronic periodontitis. Methods: A cross-sectional study of 76 subjects aged 19–34 years with chronic periodontitis in Depok, Indonesia. Clinical data (OHIS, pockets, CAL), smoking status, and IL-18 samples were collected; samples were detected using ELISA. Results: IL-18 levels in smokers with moderate periodontitis were higher than in those with mild periodontitis. However, the results showed that the differences in IL-18 levels were not significant based on daily cigarette consumption, and no significant correlation was revealed regarding IL-18 concentrations in smokers based on smoking duration. The correlation test results demonstrated a significant relationship between periodontitis severity and the number of cigarettes consumed per day, but no significant correlation between periodontitis severity in smokers and smoking duration. Conclusion: IL-18 levels in saliva and gingival crevicular fluid can be used as a predictable biomarker for periodontal disease progression, but cannot be used to determine the patients’ smoking habits. Further studies are required to affirm the relationship between IL-18 and chronic periodontitis in smokers."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eric Sulistio
"Pendahuluan: Interleukin-17 (IL-17) adalah sitokin yang berasal dari sel T yang berperan penting dalam memulai dan mempertahankan respon pro-inflamasi dan perkembangan penyakit periodontal. Tujuan: untuk menilai kadar IL-17 dalam cairan crevicular gingiva (CKG) dari perokok dengan periodontitis kronis, dan dibandingkan dengan kelompok non-perokok. Metode: Sampel CKG diambil dari lokasi kehilangan perlekatan ≥ 3mm pada 14 subjek perokok dan 11 subjek tidak merokok dengan penyakit periodontal. Pemeriksaan ELISA dilakukan untuk menentukan jumlah total IL-17 di dalam sampel CKG. Hasil: Ada perbedaan bermakna (p≤ 0,05) total kadar IL-17 di dalam sampel CKG antara perokok dengan non-perokok. Tidak ada perubahan signifikan tingkat IL-17 di CKG sesuai dengan banyaknya jumlah konsumsi rokok.Tidak ada perbedaan kadar IL-17 pada kedalaman poket periodontal antara perokok dengan periodontitis kronis, dan tidak ada perbedaan kadar IL-17 antara perokok dengan non-perokok disertai periodontitis kronis. Kesimpulan: Merokok tidak mempengaruhi kadar IL-17 pada CKG penderita periodontitis kronis.

Introduction: Interleukin-17 (IL-17) is a cytokine derived from T cells. This cytokine has a role in beginning and continuing a pro-inflammatory response and the development of periodontal disease. Objective: to investigate the effect of smoking on IL-17 levels in the gingival crevicular fluid (CKG) of smokers with chronic periodontitis, and compared with the group non-smoking with chronic periodontitis. Methods: CKG samples were taken from the deepest pocket affected by periodontal disease (attachment loss ≥ 3mm) from 14 subjects of smokers and 11 subjects of non-smokers. ELISA examination was carried out to establish the total amount of IL-17 in the collected CKG samples. Results: There were significant differences in total IL-17 levels in CKG between smokers and non-smoker. There was no significant change in IL-17 levels in CKG related to the amount of cigarette consumption. There was no significant change in IL-17 levels related to periodontal pocket depth (PPD) smoker with chronic periodontitis. There was no significant change in IL-17 levels between smoker and non-smoker with chronic periodontitis. Conclusion: Smoking did not significantly affect total levels of IL-17 cytokines in CKG patients with chronic periodontitis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Benso Sulijaya
"Latar Belakang: Periodontitis kronis merupakan penyakit multifaktorial yang terjadi akibat interaksi respon host terhadap agregasi bakteri pada poket gingiva. Peran human beta-defensin-1 sebagai peptida antimikroba pada perokok dengan periodontitis kronis masih belum jelas.
Tujuan: Menganalisa kadar Human beta defensin-1 pada perokok penderita periodontitis kronis.
Bahan dan Metode: Seratus empat subjek berusia 33-78 tahun didiagnosis periodontitis kronis pada Departemen Periodonsia, Rumah Sakit Khusus Gigi Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Penelitian ini merupakan desain penelitian potong lintang dengan pemeriksaan klinis dan laboratoris. Pengumpulan data di dapat secara anamnesis, pemeriksaan klinis (OHIS, kedalaman poket, CAL) serta status merokok. Sampel lalu disimpan di suhu -20°C hingga uji laboratoris dilakukan. Sampel dipilih secara consecutive sampling dan dideteksi dengan uji ELISA.
Hasil: Berikut adalah nilai median (minimum-maksimum) dari kadar human beta-defensin-1. Kadar human beta-defensin-1 pada kelompok periodontitis kronis kelompok ringan-sedang adalah 57,61(.87-343.58) pg/ml sedangkan pada kelompok berat adalah 25,04(0.94-198.03) pg/ml dengan nilai kemaknaan p=0,087. Kadar human beta-defensin-1 pada periodontitis kronis bukan perokok adalah 27,82 (0.92-200.58) pg/ml sedangkan pada perokok adalah 25,04 (0.87-343.58) pg/ml dengan nilai kemaknaan p=0,457.
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan antara kadar human beta-defensin-1 pada periodontitis kronis terkait keparahan dan status perokok.

Background: Chronic periodontitis is a multifactorial disease that occurs due to the host response to the aggregation of bacteria in the gingival pocket. The role of human beta-defensin-1 as an antimicrobial peptide in a smoker’s periodontitis is still unclear.
Materials and Methods: In total 104, 33-78 years old subjects were diagnosed to have chronic periodontitis in the Department of Periodontology, Oral Disease Special Clinic of The University of Indonesia. This cross-sectional study included clinical and laboratory examination. The data collected included those from anamnesis, clinical examination (OHIS, pocket depth, CAL), and smoking status. The samples were stored in -20oC until testing for human beta-defensin-1 level by ELISA.
Results: The median (min-max) human beta-defensin-1 level in the group of mild to moderate chronic periodontitis was 57.61 (0.87-343.58) pg/ml and in the group of severe periodontitis 15.27 (0.94-198.03) pg/ml (p=0.087). The median (min-max) human beta-defensin-1 level in non-smokers with chronic periodontitis was 27.82 (0.92-200.58) pg/ml, and in smokers 25.04 (0.87-343.58) pg/ml (p=0.457).
Conclusion: There were no significant differences in the human beta-defensin-1 levels in subjects with chronic periodontitis regardless of the smoking status or severity of the disease.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmatullah Irfani
"ABSTRAK
Latar Belakang: Beta Defensin-1 saliva merupakan salah satu peptida anti mikroba yang mempunyai peranan penting dalam pertahanan imun bawaan terhadap serangan mikroba oral. Aktifitas merokok dapat menyebabkan perubahan profil saliva dan profil kesehatan rongga mulut yang dapat mempengaruhi kadar Beta Defensin-1 saliva. Penelitian sebelumnya mengenai kadar Beta Defensin-1 saliva pada perokok dengan periodontitis kronis dan belum ada penelitian mengenai penilaian kadar Beta Defensin-1 pada perokok dikaitkan dengan profil merokok dan profil kesehatan rongga mulut.
Tujuan: Mengetahui profil saliva dan profil kesehatan rongga mulut serta pengaruhnya terhadap perubahan kadar Beta Defensin-1 saliva pada perokok dan bukan perokok, dikaitkan dengan profil merokok partisipan, yang terdiri dari jenis rokok, durasi merokok, dan frekuensi merokok serta kondisi kesehatan rongga mulut.
Metode: Sebanyak 68 partisipan, yang dibagi menjadi 2 kelompok: 44 (64,7%) perokok dan 24(35,5%) bukan perokok. Data dikumpulkan dari anamnesis, status klinis (gigi, mukosa rongga mulut, dan saliva), dan pemeriksaan laboratorium. Sampel saliva non-stimulasi dengan metode pengumpulan spitting dan disimpan pada -80°C. Analisis kadar Beta defensin-1 dengan menggunakan kit Beta Defensin-1 (Elabscience®, USA), dengan uji ELISA.
Hasil Penelitian: Kadar Beta Defensin-1 saliva perokok dibandingkan dengan pada bukan perokok secara statistik terdapat perbedaan signifikan (p< 0,05). Profil merokok (jenis, durasi dan frekuensi) tidak mempengaruhi kadar Beta Defensin-1, namun kadar Beta Defensin-1 saliva pada perokok jenis kretek cenderung lebih tinggi dibanding perokok non-kretek. Keberadaan lesi rongga mulut tidak berpengaruh terhadap kadar Beta Defensin-1 saliva. Profil saliva pada perokok khususnya pH lebih rendah dan berbeda secara statistik dibandingkan dengan bukan perokok (p< 0,05). Laju Alir Saliva pada perokok lebih tinggi dibandingkan bukan perokok. Nilai OHIS dan DMF-T pada kelompok bukan perokok cenderung lebih baik dibandingkan dengan perokok.
Kesimpulan: Aktifitas merokok berpengaruh terhadap peningkatan kadar Beta Defensin-1 saliva. Terdapat perbedaan bermakna pada kadar Beta Defensin-1 antara perokok dan bukan perokok. Peningkatan kadar Beta Defensin-1 cenderung terjadi pada rongga mulut yang terdapat lesi. Perokok lebih rentan mengalami karies dan penurunan pH saliva dibandingkan dengan bukan perokok. Profil kesehatan bukan perokok lebih baik jika dibandingkan dengan perokok.

ABSTRACT
Background: Salivary Human Beta Defensin-1 (SHBD-1) is one of the anti-microbial peptides that has an important role in innate immune defense against oral microbial attacks. Smoking activity can cause changes in saliva profile and health profile of the oral cavity that can affect levels of SHBD-1. The previous studies were focused on SHBD-1 levels in smokers with chronic periodontitis, but there are no studies to assess the SHBD-1 levels in smokers and associated with smoking profiles and oral health profile.
Objective: To compare the salivary profile and health profile of the oral cavity and its effect on changes in SHBD-1 levels in smokers and nonsmokers. The alteration of SHBD-1 levels was associated with smoking profiles of the participants, which consist of the type of cigarette, duration of smoking, and frequency of smoking and oral health conditions.
Methods: A total of 68 participants were divided into 2 groups: 44 (64.7%) smokers and 24 (35.5%) non-smokers. Data were collected from interviews, clinical examination (teeth, oral mucosa, and saliva), and laboratory examination. The unstimulated salivary flow rate was collected by spitting method and stored at -80 ° C. SHBD-1 level was analyzed by ELISA test using Human Beta Defensin-1 kit (Elabscience®, USA).
Results: The smoker's SHBD-1 levels was compared with non-smokers, and there were statistically significant (p <0.05). The smoking profile (type, duration and frequency) did not affect the SHBD-1 levels, but the SHBD-1 levels in kretek smokers tended to be higher than non-clove cigarette smokers. The presence of oral lesions did not affect the SHBD-1 levels. The saliva profile in smokers typically in lower pH was statistically different with nonsmokers (p <0.05). Salivary Flow Rate (SFR) for smokers is higher than for nonsmokers. OHIS and DMF-T indexes in nonsmokers tend to be better than smokers.
Conclusion: Smoking effected the increasing levels of SHBD-1. There were significant differences in SHBD-1 levels between smokers and nonsmokers. Increasing SHBD-1 levels tend to occur in the oral cavity with lesions. Smokers are prone to have caries and the decrease of salivary pH compared to nonsmokers. The health profile of non-smokers is better than smokers."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yunita
"ABSTRAK
Proporsi perokok di Indonesia meningkat setiap tahunnya dengan usia perokok pemula yang semakin muda. Merokok memberikan dampak kerugian ekonomi pada perokok dan juga orang yang terpapar asap rokok. Penelitian dari beberapa negara membuktikan berhenti merokok dapat menurunkan utilisasi pelayanan kesehatan dan pengeluaran kesehatan dibanding tidak berhenti merokok. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor risiko berstatus mantan perokok dengan utilisasi pelayanan kesehatan pada peserta JKN tahun 2016. Desain studi adalah potong lintang dengan pendekatan kuantitatif. Menggunakan data sekunder Susenas dan Podes dengan sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi sebanyak 75.352 individu. Analisis regresi logistik multinomial multivariabel dilakukan dengan proses analisis faktor risiko. Dari analisis diketahui laki-laki berstatus mantan perokok meningkatkan utilisasi rajal saja, ranap saja, dan rajal dan ranap sebesar 1,3 kali (b= 3%; p=0,017), 2,6 kali (b=94%; p=0,000), dan 1,7 kali (b=55%; p=0,000) lebih besar dibanding laki-laki bukan perokok, setelah dikontrol dengan status perkawinan, proporsi ART mantan perokok, dan persepsi keparahan. Dapat disimpulkan adanya riwayat merokok pada laki-laki berhubungan dengan peningkatan utilisasi pelayanan kesehatan dibanding bukan perokok, terlebih yang tidak berhenti merokok. Peningkatan utilisasi pelayanan kesehatan akan berdampak pada peningkatan pengeluaran kesehatan. Upaya promosi tidak merokok dan kampanye berhenti merokok harus terus ditingkatkan.

ABSTRACT
The proportion of smokers in Indonesia continues to increase annually and with younger age of new-smokers. Smoking causes substantial economic losses for smokers as well as secondhand smokers. A plenitude of research from many countries proves that quitting smoking can reduce healthcare utilization and spending compared to those that do not quit smoking. This study aims to determine the relationship of risk factors of former smokers with healthcare utilization among JKN members in 2016. This is a cross- sectional study with a quantitative approach using Susenas and Podes data with samples meeting the inclusion and exclusion criteria of 75,352 individuals. Multivariable multinomial logistic regression analysis was performed through the risk factor analysis process. The analysis revealed that male ex-smokers increase the utilization of outpatient only, inpatient only, and outpatient and inpatient by 1.3 times (b=23%; p= 0.017), 2.6 times (b=94%; p=0.000), and 1.7 (b=55%; p=0.000) than male nonsmokers, after controlling for marital status, proportion of former smokers among household members, and perception of severity. It can be concluded that a smoking history among men is associated with the increase in healthcare utilization, more than for non-smokers and more so for those who do not quit smoking. Increased healthcare utilization will result in increased health spending. Efforts for non-smoking and smoking cessation campaigns should be prioritized and improved."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T50320
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christina Paulina Zully Lang
"Berdasarkan penelitian, didapatkan rokok tembakau dapat mengakibatkan peningkatan laju pernapasan. Merokok tembakau menyebabkan kematian sejumlah 5 juta orang setiap tahunnya di Indonesia. Jika hal ini tidak segera diatasi, maka jumlah kematian akan meningkat dua kali mencapai 10 juta orang per tahun pada 2020. Jika merokok 1-2 tahun, pada perokok usia muda akan terjadi perubahan pada saluran pernapasan kecil yaitu inflamasi atau reaksi peradangan dan sumbatan saluran napas kronis. Merokok adalah penyebab utama dari penyakit paru obstruksi kronik. Merokok selama 20 tahun akan menyebabkan perubahan patofisiologi paru secara signifikan sesuai dengan intensitas dan lama merokok. Penelitian ini meneliti tentang perbedaan frekuensi pernapasan pada pria perokok dan bukan perokok tembakau usia 20-60 tahun di Salemba tahun 2009-2010. Data dari 24 orang pria perokok dan 24 orang pria bukan perokok yang didapatkan secara consecutive sampling dan diperoleh dari pengisian angket dan pengukuran frekuensi pernapasan. Pengukuran dilakukan dengan cara melihat pergerakan dada dan perut disertai dengan palpasi atau meletakkan telapak tangan di atas perut pasien. Hasilnya, nilai rerata frekuensi pernapasan pada yang bukan perokok adalah 16,4 (IK95% 15,1;17,6) kali/menit, sedangkan rerata frekuensi pernapasan pada perokok adalah 19,7 (IK95% 18,3;21,1) kali/menit. Dengan demikian, dapat dikatakan terdapat perbedaan bermakna frekuensi pernapasan antara perokok dan bukan perokok tembakau yaitu (p=0,001).

Several studies have shown cigarette tobacco can cause an increase in respiratory frequency. Smoking has caused the death of as many as 5 million people per year in Indonesia. If this can not be prevented, then the number of deaths will increase two times approaching 10 million people per year in 2020. Within 1-2 years of smoking, at a young smokers will be changes of inflammation or inflammatory reaction in the respiratory tract of small, until there chronic airway obstruction. Smoking is the major cause of chronic obstructive pulmonary disease. After 20 years of smoking on lung pathophysiology changes proportionally along with the intensity and duration of smoking. This study examines the respiratory frequency differences in men tobacco smokers and nonsmokers aged 20-60 years in Salemba 2009-2010. Data from 24 male smokers and 24 male non-smokers who were taken by consecutive sampling from filling the questionnaire and assessment of respiratory frequency by means of inspection or see the movement of the chest and abdomen accompanied by palpation or put his hands on the patient's stomach. average value of respiratory frequency in the group of non-smokers was 16.4 (95% CI 15.1, 17.6) times / min, whereas the mean frequency of respiration in the group of smokers was 19.7 (95% CI 18.3, 21.1) times / min. Thus, there are significant differences in respiratory frequency group of tobacco smokers and nonsmokers (p = 0.001).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurfadillatul Zannah
"ABSTRAK
Pendahuluan: Hubungan rokok dengan kerusakan paru merupakan bagian dari proses inflamasi, peningkatan stres oksidatif dan peningkatan protease. Banyak proses ini dimodulasi oleh vitamin D. Data terkini menunjukkan bahwa defisiensi vitamin D memiliki kaitan dengan gangguan pernapasan. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan nilai vitamin D laki-laki perokok dan laki-laki bukan perokok di Indonesia serta nilai CO ekshalasinya.
Metode: Penelitian potong lintang yang dilaksanakan pada Agustus 2017 dilakukan pada subjek laki-laki di kantor pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Jumlah sampel sebanyak 60 orang yang terdiri dari 30 orang perokok dan 30 orang bukan perokok dipilih secara consecutive sampling. Wawancara dilakukan untuk mengisi kuesioner data dasar, kuesioner Fagerstrom, skor pajanan sinar matahari dan asupan gizi. Dilakukan pengukuran CO ekshalasi dengan menggunakan alat pengukur CO portable dan pengambilan darah untuk pemeriksaan vitamin D.
Hasil: Penelitian ini mendapatkan hasil sebagian besar peserta (90%) mengalami defisiensi vitamin D. Rerata nilai vitamin D pada kelompok perokok lebih rendah dibandingkan kelompok bukan perokok (15,21±3,15 ng/ml vs 16,9±2,9 ng/ml, p=0,029). Rerata kadar CO ekshalasi lebih tinggi pada kelompok perokok dibandingkan kelompok bukan perokok (17,3±12,54 ppm vs 5,4±2,51 ppm, p=0,000). Perokok lebih banyak mengalami keluhan respirasi dahak/reak dibandingkan bukan perokok (43,3% vs 13,3%, p=0,022). Peserta perokok lebih banyak mengalami dada terasa berat dibandingkan bukan perokok (10% vs 2%, p=0,024).
Kesimpulan: Sebagian besar peserta mengalami defisiensi vitamin D. Nilai vitamin D pada perokok lebih rendah dibandingkan bukan perokok. Nilai CO ekshalasi perokok lebih tinggi dibandingkan kelompok bukan perokok. Peserta perokok lebih banyak mengalami keluhan respirasi dahak/reak dan kehabisan napas dibandingkan bukan perokok.

ABSTRACT<>br>
Introduction: Lung destructionis mediated in part through inflammation, oxidativestress and increased proteases. Many of these processes are modulated by vitamin D. Recent data suggest vitamin D deficiency associated with respiratory diseases. This study aims to compare vitamin D serum concentration and exhaled air CO level among male smokers and non smokers.
Methods: This study used cross sectional method conducted on Agustus 2017. A total subject consist of 30 smokers and 30 non smokers selected based on consecutive sampling. Interview was done to fill out question about sociodemografic and smoking habit, Fagerstrom test for nicotine dependence, vitamin D intake, sun exposure score, measurement of serum vitamin D concentration using CLIA method and breath CO measurement using portable CO analyzer ((piCO+cSmokerlyzer Bedfont).
Results: Serum vitamin D concentration were found to be deficient in 54 subject (90%) and none were in the standard normal range. Average vitamin D concentration in smokers were lower compared to non smokers (15,21 ± 3,15 ng/ml vs 16,9 ± 2,9 ng/ml, p=0,029). Average exhaled air CO levels were 17,3 ± 12,54 ppm in smokers, significantly higher compared to non smokers with level of exhaled air CO were 5,4±2,51 ppm (p=0,000). Respiratory simptoms (sputum) in smokers were frequent compared to non smokers (43,3% vs 13,3%, p=0,022). Chest tightness were frequent in smokers compared to non smokers (10% vs 2%, 0,024).
Conclusion: Serum vitamin D concentration in smokers were lower compared to non smokers. Exhaled air CO levels in smokers is higher than non smokers.Respiratory simptoms (sputum and chest tightness) in smokers were frequent compared to non smokers."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dhia Fairuz Auza
"Latar belakang: Terdapat peningkatan jumlah perokok remaja di Indonesia berdasarkan perbandingan data Riskesdas 2016 dan Riskesdas 2018. Jika dibandingkan dengan data pada tahun 2016, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan terdapat peningkatan jumlah perokok remaja di Indonesia sebesar 0,3% dengan perokok usia 10- 18 tahun mencapai 9,1%. Beberapa faktor yang melatarbelakangi terbentuknya perilaku merokokpadasiswaadalahhargadiri,tekanandalampertemanan,danpolaasuhnegatif. Metode: Studi cross-sectional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara harga diri, tekanan dalam pertemanan, dan pola asuh negatif dengan perilaku merokok m elalui Angket Perilaku Remaja Siswa Sekolah Menengah di DKI Jakarta pada bulan November 2023.Penelitianmelibatkan160respondendarikelas10dan11diSMAN38danSMAN 90 Jakarta yang diambil secara stratified proportional random sampling. Hasil: Tidak ada hubungan yang siginifikan antara harga diri (p -value 0,725) dan pola asuh negatif (p-value 0,942) dengan perilaku merokok. Namun, ada hubungan yang signifikan antara tekanan dalam pertemanan (p-value 0,004) dengan perilaku merokok. Kesimpulan: Disarankan bagi SMAN 38 dan SMAN 90 mengadakan program peer educator terkait dampak negatif dari rokok untuk membantu mengurangi tekanan merokok dalam lingkaran pertemanan siswa.

Background: There is an increase in the number of teenage smokers in Indonesia based on a comparison of Basic Health Research of the year 2016 and 2018. When compared with 2016 data, the 2018 Basic Health Research (Riskesdas) shows that there is an increase in the number of teenage smokers in Indonesia by 0.3% with smokers aged 10 - 18 years reached 9.1%. Several factors behind the formation of smoking behavior in studentsareself-esteem,peerpressure,andnegativeparentingpatterns.Method:Across- sectional approach which aims to determine the relationship between self -esteem, peer pressure, and negative parenting patterns with smoking behavior through the Adolescent Behavior Questionnaire for Middle School Students in DKI Jakarta in November 2023. The research involved 160 respondents from grades 10 and 11 at SMAN 38 and SMAN 90 Jakarta using stratified proportional random sampling. Results: There is no significant relationshipbetweenself-esteem(p-value0,725)andnegativeparentingpatterns(p-value 0,942) and smoking behavior. However, there is a significant relationship between peer pressure (p-value 0,004) and smoking behavior. Conclusion: It is recommended for SMAN 38 and SMAN 90 to hold a peer educator program regarding the negative impacts of smoking to help reduce the pressure to smoke within students' circle of friends."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Cinthya Theresia
"The Smoking behavior is one of the biggest public health threats in the world. Wherever, whenever, and anyone can smoke, not exception the police in National Traffic Management Center Police of Republik Indonesia. (NTMC Polri). This research was conducted to find out the relationship of the factors that increase the success of quit smoking of in NTMC Polri. This descriptive study using a cross-sectional study design and are semi-quantitative from 51 police who become the respondents. The results showed that there is a significant relationship between a predisposing, enabling, and reinforcing factors and the success of quit smoking from the police in NTMC Polri. Control and explicit sanctions needs to be enhanced so that the smoke free workplace program in NTMC Polri runs well and can create a favorable environment to quit smoking.

Perilaku merokok merupakan salah satu ancaman terbesar kesehatan masyarakat dunia. Dimanapun, kapanpun, dan siapapun dapat merokok, tak terkecuali polisi di National Traffic Management Center Polisi Republik Indonesia (NTMC Polri). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan faktor-faktor yang meningkatkan kemungkinan seseorang untuk berhenti merokok dengan keberhasilan berhenti merokok pada polisi di NTMC Polri. Penelitian deskriptif ini menggunakan desain studi cross-sectional dan bersifat semi kuantitatif, pada 51 polisi yang menjadi responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara faktor predisposisi, pemungkin, penguat dan keberhasilan berhenti merokok pada polisi di NTMC Polri. Pengawasan dan sanksi yang tegas perlu ditingkatkan supaya program Kawasan Tanpa Rokok di NTMC Polri berjalan dengan baik serta dapat menciptakan lingkungan yang baik untuk berhenti merokok.
"
Universitas Indonesia, 2015
S60878
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pandu Lesmana Putra
"Kecemasan adalah perasaan subjektif seperti rasa waswas, takut, atau antisipasi dan terdapat kewaspadaan dan sikap menghindar dari keadaan yang membuat cemas. Cemas merupakan respon psikologis primer terhadap stress. Kebiasaan merokok sendiri merupakan kegiatan yang menjadi salah satu faktor risiko penyakit mematikan tertinggi di dunia dan mempunyai efek terhadap berbagai sistem di tubuh. Kecemasan dan kebiasaan merokok memiliki hubungan timbal balik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan kecemasan dengan tingkat kebiasaan merokok. Penelitian dilakukan pada mahasiswa di Universitas Indonesia, Depok pada bulan Juni 2013 hingga bulan Juli 2013.
Penelitian dilakukan dengan disain crosss-sectional. Pengambilan data dilakukan dengan memberikan kuesioner kepada mahasiswa yang telah setuju mengikuti penelitian. Jumlah subyek penelitian adalah 97 mahasiswa. Kuesioner berisi pertanyaan mengenai kebiasaan merokok mahasiswa, dan Zung?s Self Rating Anxiety Scale.
Hasil penelitian menunjukkan 53% mahasiswa memiliki kecemasan dan 53% mahasiswa merupakan perokok berat. Analisis bivariat terhadap kecemasan dan tingkat kebiasaan merokok subyek menunjukkan hasil p=0,983. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara antara tingkat kebiasaan merokok dan cemas. Meskipun demikian, masih perlu dilakukan penelitian lanjutan mengingat lebih dari setengah responden memiliki kecemasan.

Anxiety is a subjective feeling like anxious, afraid or anticipation for situation that make anxious. Smoking is one risk factor for deadly disease and has effect on many different systems in our body. Anxiety and smoking have a connection. This research is conducted to find out whether there is a connection between smoking and anxiety. This research was conducted on university of Indonesia?s students in June to July 2013.
This research design's is cross-sectional. The data is gathered by giving approved students a questionnaire which they would fill in. The number of subjects of this research is 97. The questionnaire is filled with question about students smoking behavior and Zung?s Self Rating Anxiety Scale.
The results shows that 53% students had anxiety and 53% students was a heavy smoker. The bivariat analyst between anxiety and students smoking behavior showed p=0,983. The score showed that there is no relationship between anxiety and the smoking heavyness. Nevertheless, further research need to be conducted because more than half respondent have anxiety.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>