Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3913 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ira Tanti
"Etiologi gangguan sendi temporomandibula adalah kompleks dan multifaktorial. Selama ini diagnosa ditegakkan berdasarkan tanda klinis dan gejala. Tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan suatu indeks berdasarkan etiologi dalam penetapan diagnosis, sehingga pencegahan dan perawatan yang tepat dapat dilaksanakan. Penelitian dibagi dalam dua tahap. Pertama, tahap kualitatif eksploratif melalui konsep konsensus pakar untuk menentukan variabel dan indikator yang diduga menjadi penyebab gangguan sendi temporomandibula dan akan digunakan pada kuesioner etiologi gangguan sendi temporomandibula. Tahap ke dua penelitian kuantitatif, pembuatan indeks berdasarkan etiologi gangguan sendi temporomandibula, menggunakan baku emas RDC/TMD dengan desain kasus kontrol. Dihasilkan indeks yang mudah, sederhana, dan akurat untuk memprediksi etiologi gangguan sendi temporomandibula. Indeks tersebut terdiri atas stres, kebiasaan buruk, jenis kelamin, dan free way space yang merupakan bagian dari faktor maloklusi. Komponen kebiasaan buruk dan komponen stres diukur menggunakan kuesioner yang didapat dari proses ekploratif kualitatif. Kuesioner ini adalah valid (sahih) dan reliable (andal) untuk digunakan dalam penentuan etiologi gangguan sendi temporomndibula.

The etiology of temporomandibular disorders is complex and multifactorial. Usually diagnosis was done by clinical signs and symptoms. The purpose of this research is to produce an index based on etiology so early prevention and prompt treatment can be done. This study was divided in two stages. Firstly the qualitative explorative concept. It was done to get a consensus between the experts to define variables and indicators that were suspected as the causes of temporomandibular disorders. The variables and indicators will be used in the questionnaire based on the etiology of Temporomandibular disorders. Then, followed by a quantitative study with case-control design using the RDC/TMD as a gold standard, producing an easy, simple, and accurate index to predict the etiology of temporomandibular disorders. Included in this index are stress, bad habits, gender, and free way space which is a part of a malocclusion. Bad habit and stress could be measured by using a questionnaire which was obtained from a qualitative explorative study. This questionnaire is valid and reliable in the determination of the etiology of temporomandibular disorders."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melati Fitria Putri
"Latar belakang: Indeks Etiologi Gangguan Sendi Temporomandibula (GSTM) sebelumnya dibuat dengan Research Diagnostic Criteria for Temporomandibular Disorders (RDC/TMD) yang merupakan baku emas alat diagnostik TMD. Saat ini baku emas tersebut telah disempurnakan menjadi Diagnostic Criteria for Temporomandibular Disorders (DC/TMD). Belum ada penelitian yang menguji akurasi Indeks Etiologi GSTM dengan baku emas DC/TMD. Tujuan: Mencari nilai titik potong baru Indeks Etiologi GSTM dan menguji akurasinya menggunakan baku emas DC/TMD. Metode: Penelitian ini adalah uji diagnostik dengan desain potong lintang yang dilakukan pada 171 subjek menggunakan pengisian Indeks Etiologi GSTM dan pemeriksaan klinis DC/TMD. Hasil: Analisis kurva Receiver Operating Characteristic (ROC) menghasilkan nilai Area Under the Curve (AUC) sebesar 80,5% (95% CI: 73,7-87,4%). Nilai titik potong optimal yaitu 6 dengan sensitivitas 67,9% dan spesifisitas 86,2%. Nilai Positive Predictive Value (PPV) 82,6%, Negative Predictive Value (NPV) 73,7%, Likelihood Rasio Positive (LR+) 4,92, dan Likelihood Rasio Negative (LR-) 0,37. Kesimpulan: Indeks Etiologi GSTM yang diuji dengan DC/TMD sebagai baku emas memiliki akurasi yang baik untuk digunakan sebagai alat skrining TMD. Nilai titik potong 6 sebagai batas antara risiko tinggi dan risiko rendah GSTM.

Background: The Temporomandibular Etiology Index was previously made with the Research Diagnostic Criteria for Temporomandibular Disorders (RDC/TMD) as the gold standard of TMD diagnostic tool. Now the gold standard has been refined to become the Diagnostic Criteria for Temporomandibular Disorders (DC/TMD). There are no studies that have tested the accuracy of the Temporomandibular Etiology Index with the DC/TMD gold standard. Purpose: To determine the new cut-off point of the Temporomandibular Etiology Index and test its accuracy using the DC/TMD gold standard. Methods: This study design was a cross-sectional diagnostic test conducted on 171 subjects using Temporomandibular Etiology Index questionnaires and DC/TMD clinical examination. Results: Receiver Operating Characteristic (ROC) curve analysis resulted in an Area Under the Curve (AUC) value of 80.5% (95% CI: 73.7-87.4%). The optimal cut-off point was 6 with 67.9% sensitivity and 86.2% specificity. Positive Predictive Value (PPV) 82.6%, Negative Predictive Value (NPV) 73.7%, Positive Likelihood Ratio (LR +) 4.92, and Negative Likelihood Ratio (LR-) 0.37. Conclusion: Temporomandibular Etiology Index has been tested with DC/TMD as the gold standard and has a good accuracy to be used as a TMD screening tool. The cut-off point of 6 is the boundary between high and low risk of temporomandibular disorders."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wendy Agus Wirawan
"ABSTRAK
Pada saat menyanyi, setiap penyanyi memiliki kebiasaan atau ciri tertentu, misalnya
duduk, memiringkan kepala ke satu sisi, dll yang dapat disebabkan karena rasa
nyaman atau karena ada gangguan. Kebiasaan atau ciri menyanyi yang disebabkan
adanya gangguan dapat mengakibatkan perubahan pada postur kranioservikal
sehingga terjadi hiperaktifitas otot-otot mastikasi yang dapat merupakan salah satu
etiologi terjadinya gangguan sendi temporomandibula. Gangguan sendi
temporomandibula atau temporomandibular disorder (TMD) merupakan hal yang
sering dijumpai di masyarakat. Etiologi TMD bersifat multifaktorial antara lain postur
kranioservikal yang kurang baik, gangguan otot, dll. Penelitian ini bertujuan
menganalisis hubungan antara postur kranioservikal dan durasi menyanyi pada
penyanyi terhadap terjadinya TMD. Desain penelitian adalah analitik observasional
case-control terhadap 40 penyanyi yang mengalami keluhan TMD. Diagnosis TMD
ditegakkan dengan Research Diagnostic Criteria for Temporomandibular Disorders
(RDC), sedangkan analisis postur kranioservikal digunakan radiografi sefalometri
untuk memperoleh sudut NSL/OPT. Dengani RDC, 24 penyanyi termasuk dalam
kategori TMD, dan 16 penyanyi non TMD. Hasil penelitian menunjukkan tidak
terdapat perbedaan postur kranioservikal antara penyanyi dengan TMD dan non
TMD dengan nilai p = 0,084. Namun terdapat hubungan yang bermakna antara
durasi menyanyi dan TMD pada penyanyi dengan nilai p = 0,000. Semakin panjang
durasi menyanyi dalam satu hari, semakin besar kemungkinan penyanyi mengalami
gangguan sendi temporomandibula.

ABSTRACT
While singing, every singer has a different style, like singing while sitting, singing
while tilting head to one side, etc. These behaviors, whether caused by habit or
discomfort, may change craniocervical posture, which then may trigger mastication
muscles hyperactivity. This is one possible etiology for temporomandibular disorder.
Temporomandibular Disorder (TMD) is a common disorder caused by a variety of
factors such as bad craniocervical posture, or muscle disorder, etc. The purpose of
this study was to analyze the relationships among TMD, craniocervical posture, and
duration of singing. This observational case-control study was done with 40 singers
with TMD symptoms. TMD was diagnosed based on Research Diagnostic Criteria for
Temporomandibular Disorders (RDC). Radiographic cephalometry was taken for
craniocervical posture analysis of NSL/OPT angle. By RDC, the singers were
classified to 24 singers with TMD and 16 singers without TMD. This study found no
difference for craniocervical posture in singers with TMD and without TMD (p =
0,084). However, there was a significant relationship between duration of singing
and TMD (p = 0,000). The longer the duration of singing in a day, the bigger the
likelihood to develop TMD."
2013
T34998
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Antolis, Maureen
"Tujuan: Menganalisis pengaruh gangguan sendi temporomandibula terhadap aktivitas
otot mastikasi. Metode penelitian: Subjek merupakan pasien dengan tipe wajah
dolichofacial berusia 15 - 35 tahun yang belum melakukan perawatan ortodonti, yaitu 11
dengan gangguan sendi temporomandibula dan 11 tanpa gangguan sendi
temporomandibula sebagai kontrol. Pemeriksaan elektromiografi pada otot masseter dan
temporalis anterior dilakukan dengan menginstruksikan pasien menggigit cotton rolls
selama 5 detik. Perhitungan Root Mean Square dari pemeriksaan EMG masing-masing
otot dibandingkan dengan uji T tidak berpasangan dan uji korelasi Spearman. Hasil:
Terdapat perbedaan yang signifikan antara akticvitas otot kanan masseter, kiri masseter,
dan kanan temporalis anterior pada pasien maloklusi dengan dan tanpa gangguan sendi
temporomandibula yang memiliki tipe wajah dolichofacial. Terdapat korelasi negatif
antara otot mastikasi tersebut dengan gangguan sendi temporomandibula. Kesimpulan:
Pasien dolichofacial dengan gangguan sendi temporomandibula memiliki aktivitas otot
masseter dan otot temporalis anterior yang lebih lemah jika dibandingkan dengan pasien
tanpa gangguan sendi temporomandibula

Objectives: This study aimed to analyze the influence of temporomandibular joint
disorder (TMD) on surface electromyography activity in the masticatory muscles.
Methods: Dolichofacial patients (n = 22) aged 15 to 35 years were examined: 11 with
TMD and 11 control subjects without TMD. A standardized surface electromyography
recording was performed on the masticatory muscle during 5 s of maximum voluntary
clenching on cotton rolls. The root mean square value of each muscle was calculated and
analyzed for differences using an unpaired Student’s t-test. Spearman’s correlation
coefficients (r) were calculated for the determination of correlations between TMD and
root mean square values. Results: Surface electromyography revealed significant
differences in the right temporal, right and left masseter during maximum voluntary
clenching. Both sides of the masseter and right temporal also showed a negative
correlation with TMD. During maximum voluntary clenching, TMD patients had
relatively lower elevator muscle activity. Conclusions: Electromyographic activities in
the masseter muscles were lower in dolichofacial patients with TMD than non-TMD
controls. Surface electromyography of masticatory muscles may assist the clinical
assessment of TMD patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Grace Margaretha Anyelir
"Gangguan sendi temporomandibula (GSTM) adalah gangguan otot dan kelainan artikular dalam fungsi komponen otot dan/atau sistem artikular yang disertai dengan tanda dan gejala klinis yang sangat bervariasi. Adanya riwayat GSTM dapat menjadi pertimbangan dalam rencana perawatan ortodonti. Tidak semua menyadari bahwa mereka memiliki GSTM yang salah satunya disebabkan oleh maloklusi, sehingga mereka datang hanya ke klinik Ortodonti hanya untuk perbaikan maloklusi. Tujuan penelitian ini adalah (1) Mengetahui proporsi dan distribusi
demografi pasien dengan GSTM termasuk maloklusi (hubungan rahang, overjet, overbite, hubungan molar dan kaninus) dan sudut parameter vertikal pada
sefalometri lateral di klinik spesialis ortodonti RSKGM FKG UI. (2) Mengetahui hubungan GSTM dengan maloklusi serta hubungan GSTM dengan sudut parameter
skeletal. Studi deskriptif dengan desain penelitian potong lintang pada pasien tahun kunjungan 2013-2018 yang memiliki GSTM pada anamnesis dan/atau pemeriksaan fungsional. Digunakan analisis univariat menggunakan SPSS 23 untuk menggambarkan distribusi dan analisis korelasi untuk menggambarkan hubungan.
Didapatkan 98 status pasien yang mengalami GSTM. Ditemukan lebih banyak pasien perempuan daripada laki-laki dengan usia rata-rata 24,8 tahun dan
kebanyakan berprofesi sebagai karyawan swasta. Gejala GSTM yang paling sering ditemukan adalah deviasi pergerakan mandibula dan clicking. Terdapat hubungan antara GSTM dengan maloklusi skeletal kelas II dan hubungan kaninus kelas III.

Temporomandibular disorder (TMD) is a muscle disorder and articular abnormality in the functioning of the muscular components and/or articular system which is accompanied by very variable clinical signs and symptoms. A history of TMD can be considered in an orthodontic treatment plan. Not all are aware that they have TMD, one of which is caused by malocclusion, so they only come to the Orthodontics clinic only for treating malocclusion. The objectives of this study are
(1) To determine the proportion and demographic distribution of patients with GSTM including malocclusion (skeletal, overjet, overbite, molar and canine relations) and the angles of the vertical parameters in the lateral cephalometry at the orthodontic specialist clinic in Dental and Oral Hospital, Faculty of Dentistry, Universitas Indonesia. (2) To determine the relationship of TMD with malocclusion and the relationship of TMD with skeletal parameter angles. Descriptive study with
a cross-sectional study design in patients in the 2013-2018 visit who had TMD on history taking and/or functional examination. Univariate analysis using SPSS 23 is used to describe the distribution and correlation analysis to describe the relationship. Obtained 98 status of patients experiencing TMD. It found more female patients than men with an average age of 24.8 years and mostly work as private employees. The most common symptoms of TMD are deviation mandibular movement and clicking. There is a relationship between TMD with skeletal class II
malocclusion and class III canine relationship.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
David Su
"Latar Belakang: SARS-CoV-2 menyebabkan pandemi COVID-19 yang telah menyebar di seluruh dunia termasuk Indonesia. Pandemi membuat masyarakat umum menderita masalah psikologis, salah satunya adalah kecemasan. Kecemasan dapat terjadi sebagai akibat dari pembatasan sosial serta paparan media yang berlebihan. Kecemasan sendiri merupakan salah satu
Tujuan: Menganalisis hubungan antara tingkat kecemasan terhadap SARS-CoV-2 dengan gangguan sendi temporomandibula di masa pandemi COVID-19 pada masyarakat Jabodetabek dan menganalisis hubungan antara faktor sosiodemografi (usia dan jenis kelamin) dengan tingkat kecemasan terhadap SARS-CoV-2 dan gangguan sendi temporomandibula di masa
Metode: Desain penelitian ini adalah potong lintang pada 421 masyarakat Jabodetabek. Partisipan mengisi kuesioner Coronavirus Anxiety Scale bahasa Indonesia untuk mengukur kecemasan terhadap SARS-CoV-2 serta Indeks Diagnostik Temporomandibular Disorder untuk mengukur gangguan sendi temporomandibula. Pengambilan data dilakukan secara daring melalui google form pada bulan November 2021 hingga Desember 2021.
Hasil Penelitian: Uji Chi-Square menunjukkan tingkat kecemasan terhadap SARS-CoV-2 tidak memiliki hubungan bermakna dengan gangguan sendi temporomandibula di masa pandemi COVID-19 pada masyarakat Jabodetabek (p=0.151). Uji Chi-Square juga menunjukkan hubungan yang tidak bermakna antara usia dengan tingkat kecemasan terhadap SARS-CoV-2 (p=1) serta jenis kelamin dengan tingkat kecemasan terhadap SARS-CoV-2 (p=0.719). Uji Chi-Square menunjukkan hubungan yang bermakna antara usia dengan gangguan sendi temporomandibula (p=0.008), namun tidak pada hubungan antara jenis kelamin dengan gangguan sendi temporomandibula (p=0.137).
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan antara tingkat kecemasan terhadap SARS-CoV-2 dengan gangguan sendi temporomandibula di masa pandemi COVID-19 pada masyarakat Jabodetabek. Tidak terdapat hubungan antara faktor sosiodemografi (usia dan jenis kelamin) dengan kecemasan terhadap SARS-CoV-2 di masa pandemi COVID-19 pada masyarakat Jabodetabek. Terdapat hubungan antara usia dengan gangguan sendi temporomandibula, namun tidak antara jenis kelamin dengan gangguan sendi temporomandibula di masa pandemi COVID-19 pada masyarakat Jabodetabek.

Background: SARS-CoV-2 causes the COVID-19 pandemic which has spread throughout the world, including Indonesia. The pandemic makes the general public suffer from psychological problems, one of which is anxiety. Anxiety can occur as a result of social impact as well as excessive media exposure. Anxiety is one of many risk factors for temporomandibular joint disorders.
Objective: This study aims to analyze the association between anxiety levels against SARS-CoV-2 and temporomandibular joint disorders during the COVID-19 pandemic in the Jabodetabek population and analyzing the association between sociodemographic factors (age and gender) and anxiety levels against SARS-CoV-2 as well as temporomandibular joint disorders in the COVID-19 pandemic in the Jabodetabek population.
Methods: Cross-sectional study was conducted to 421 Jabodetabek population. Participant filled out the Indonesian Coronavirus Anxiety Scale questionnaire to assess the anxiety levels against SARS-CoV-2 and the Indeks Diagnostik Temporomandibular Disorder to assess the temporomandibular joint disorder. Data were collected online via google form in November 2021 until December 2021.
Result: The Chi-Square test showed that the anxiety levels against SARS-CoV-2 did not have a significant association with temporomandibular joint disorders during the COVID-19 pandemic in the Jabodetabek population (p=0.151). The Chi-Square test also showed a non-significant association between age and anxiety levels against SARS-CoV-2 (p=1) as well as gender and anxiety levels against SARS-CoV-2 (p=0.719). The Chi-Square test showed a significant association between age and temporomandibular joint disorders (p=0.008), but not on the association between gender and temporomandibular joint disorders (p=0.137).
Conclusion: There was no association found between anxiety levels against SARS-CoV-2 and temporomandibular joint disorders during the COVID-19 pandemic in the Jabodetabek Population. There was no association found between sociodemographic factors (age and gender) and anxiety levels against SARS-CoV-2 during the COVID-19 pandemic in the Jabodetabek population. There was an association found between age and temporomandibular joint disorders, however no association was found between gender and temporomandibular joint disorders during the COVID-19 pandemic in the Jabodetabek population.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Grace Margaretha Anyelir
"Gangguan sendi temporomandibula (GSTM) adalah gangguan otot dan kelainan artikular dalam fungsi komponen otot dan / atau sistem artikular yang disertai dengan tanda dan gejala klinis yang sangat bervariasi. Adanya riwayat GSTM dapat menjadi pertimbangan dalam rencana perawatan ortodonti. Tidak semua menyadari bahwa mereka memiliki GSTM yang salah satunya disebabkan oleh maloklusi, sehingga mereka datang hanya ke klinik Ortodonti hanya untuk perbaikan maloklusi. Tujuan penelitian ini adalah (1) Mengetahui proporsi dan distribusi demografi pasien dengan GSTM termasuk maloklusi (hubungan rahang, overjet, overbite, hubungan molar dan kaninus) dan sudut parameter vertikal pada sefalometri lateral di klinik spesialis ortodonti RSKGM FKG UI. (2) Mengetahui hubungan GSTM dengan maloklusi serta hubungan GSTM dengan sudut parameter skeletal. Studi deskriptif dengan desain penelitian potong lintang pada pasien tahun kunjungan 2013-2018 yang memiliki GSTM pada anamnesis dan/atau pemeriksaan fungsional. Digunakan analisis univariat menggunakan SPSS 23 untuk menggambarkan distribusi dan analisis korelasi untuk menggambarkan hubungan. Didapatkan 98 status pasien yang mengalami GSTM. Ditemukan lebih banyak pasien perempuan daripada laki-laki dengan usia rata-rata 24,8 tahun dan kebanyakan berprofesi sebagai karyawan swasta. Gejala GSTM yang paling sering ditemukan adalah deviasi pergerakan mandibula dan clicking. Terdapat hubungan antara GSTM dengan maloklusi skeletal kelas II dan hubungan kaninus kelas III.
Temporomandibular joint disorders (GSTM) are muscle disorders and articular abnormalities in the function of the components of the muscle and/or articular system accompanied by highly variable clinical signs and symptoms. The presence of a history of GSTM can be considered in the orthodontic treatment plan. Not all are aware that they have GSTM, one of which is caused by malocclusion, so they come only to the Orthodontic clinic only to repair the malocclusion. The aims of this study were (1) to determine the proportion and demographic distribution of patients with GSTM including malocclusion (jaw relationship, overjet, overbite, molar and canine relationship) and vertical angle parameters on lateral cephalometry at the orthodontic specialist clinic of RSKGM FKG UI. (2) Knowing the relationship between GSTM and malocclusion and the relationship between GSTM and the parameter angle skeletal. Descriptive study with a cross-sectional design on patients in the 2013-2018 visit year who had GSTM on history and/or functional examination. Univariate analysis was used using SPSS 23 to describe the distribution and correlation analysis to describe the relationship. There were 98 patients who had GSTM status. There were more female than male patients with a mean age of 24.8 years and Most of them work as private employees. The most common symptoms of GSTM are deviation of mandibular movement and clicking. There is a relationship between GSTM with skeletal malocclusion class II and class III canine relationship."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rifa Astari Gumay
"Latar belakang: Gangguan sendi temporomandibula dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Belum ada penelitian yang membahas hubungan gangguan sendi temporomandibula dan kualitas hidup khususnya dengan menggunakan indeks OHIP-TMD-ID dan ID-TMD di Indonesia.
Tujuan: Menganalisis hubungan gangguan sendi temporomandibula dan kualitas hidup, hubungan gangguan sendi temporomandibula dan faktor sosiodemografi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan tingkat ekonomi, hubungan kualitas hidup dan faktor sosiodemografi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan tingkat ekonomi.
Metode: Penelitian ini dilakukan dengan metode potong lintang pada 115 subjek berusia 20-40 tahun dari pasien Klinik Integrasi RSGM Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Dilakukan pencatatan data diri subjek dan wawancara untuk pengisian kuesioner ID-TMD dan OHIP-TMD-ID.
Hasil penelitian: uji analisis Man-Whitney menunjukan perbedaan bermakna yang signifikan antara gangguan sendi temporomandibula dan kualitas hidup. Namun, tidak terdapat perbedaan bermakna yang signifikan antara kualitas hidup dan faktor sosiodemografi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi. Hasil uji analisis Chi Square menunjukan tidak perbedaan bermakna yang signifikan antara gangguan sendi temporomandibula dan faktor sosiodemografi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi.
Kesimpulan: Penderita gangguan sendi temporomandibula mengalami penurunan kualitas hidup dari aspek nyeri orofacial.

Background: Temporomandibular disorders may have an impact on quality of life. No studies have been done to analyze relationship between temporomandibular disorders and quality of life in particular by using OHIP TMD ID and ID TMD in Indonesia.
Objectives: To analyze the relationship between temporomandibular disorder and quality of life, temporomandibular disorder and sociodemographic factors age, gender, education level economic level, quality of life and sociodemographic factors age, gender, education level, economic level.
Methods: Cross sectional study was conducted on 115 subjects aged 20 40 years from patients at Integration Clinic of RSGM FKG UI. Subject rsquo s personal data were obtained and interview for ID TMD questionnare and OHIP TMD ID questionnare were conducted.
Results: Man Whitney test showed significant differences between temporomandibular disorders and quality of life. However, there are no significant differences between the quality of life and sociodemographic factors age, gender, education level, economic level. Chi Square test showed no significant differences between temporomandibular disorders and sociodemographic factors age, gender, education level, economic level.
Conclusion: Temporomandibular disorders patients suffered from impaired orofacial pain related quality of life. Keywords temporomandibular disorder, quality of life, OHIP TMD ID, ID TMD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Madina F. KH.
"Latar Belakang: Temporomandibular disorders (TMD) memiliki prevalensi yang bervariasi antara 45% hingga 88% di berbagai tempat di dunia. Beberapa gejalanya berupa sakit dan kesulitan membuka mulut. Gejala ini dapat mengganggu pola makan dan pada akhirnya mengganggu status nutrisi individu penderita TMD. Tujuan penelitian ini adalah membandingkan perbedaan Indeks Massa Tubuh (IMT) pada individu dengan dan tanpa TMD. Metode: Penelitian dengan desain cross-sectional dilakukan dengan partisipan 100 orang penduduk Desa Klecoregonang, Pati, Jawa Tengah. Variabel yang diteliti yaitu status TMD, IMT, asupan nutrisi, usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan tingkat ekonomi. Pengambilan data dilakukan sepanjang bulan November 2020. Partisipan diwawancarai untuk mengisi kuesioner ID-TMD sebagai alat skrining TMD dan kuesioner food frequency questionnaire (FFQ) untuk mengukur asupan nutrisi. Partisipan juga diukur tinggi dan berat badannya untuk menghitung IMT. Selain itu, data usia, jenis kelamin, pendidikan terakhir, dan jumlah pengeluaran per bulan juga dicatat sebagai data sosiodemografis. Hasil: Analisis data menggunakan uji komparatif kategorik tidak berpasangan menunjukkan tidak ada perbedaan IMT pada partisipan dengan dan tanpa TMD (p = 0,933). Variabel confounding yang menujukkan perbedaan nilai secara statistik pada partisipan dengan dan tanpa TMD adalah asupan nutrisi (p = 0,003), usia (p = 0,025), dan tingkat ekonomi (p = 0,01). Lebih lanjut, tidak ada perbedaan IMT antar kategori asupan nutrisi (p=0,454). Kesimpulan: tidak terdapat perbedaan IMT pada partisipan dengan dan tanpa TMD.

Background: Temporomandibular disorders (TMD) occurrence ranged between 45%- 88% in various part of the world. Some of the symptoms include pain and mouth opening difficulty. These symptoms can interfere with eating patterns and ultimately disrupt the nutritional status of individuals with TMD. Aim of this study is to compare the differences in Body Mass Index (BMI) in individuals with and without TMD. Methods: This study is a cross-sectional study with 100 participants from Klecoregonang Village, Pati, Central Java. Data collection was carried out throughout November 2020. The variables studied were TMD status as dependent variable, BMI as independent variable, and the confounding variable were nutritional intake, age, gender, education level, and economic level. Participants were interviewed to fill out ID-TMD questionnaire as TMD screening tool and Food Frequency Questionnaire (FFQ) to measure nutritional intake. Participants were also measured for height and weight to calculate BMI. In addition, data about age, gender, education level, and monthly expenditure were also recorded as sociodemographic data. Results: Data analysis using unpaired categoric comparative test showed no difference in BMI between participants with and without TMD. The confounding variables that showed statistically different values for paricipants with and without TMD is nutritional intake (p = 0,003), age (p = 0,025), and economic level (p = 0,01). Furthermore, there was no difference in BMI between nutritional intake categories (p=0,454). Conclusion: there is no difference in BMI between participants with and without TMD."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Resmi Kartini Setiawan
"ABSTRAK
Ruang Lingkup dan Cara Penelitian: Amiloid merupakan suatu substansi protein patologis. Amiloidosis pada manusia merupakan penyakit dengan kelainan klinik yang sangat bervariasi, maka penyelidikan amiloidosis pada hewan percobaan mempunyai arti yang penting. Dinding sel C. albicans mengandung mannan, yang diduga berperan dalam terjadinya amiloidosis; demikian pula kasein dikenal dapat menimbulkan amiloidosis pada hewan percobaan. Perjajanan penyakit atau proses terjadinya amiloidosis pada kedua cara induksi tersebut belum jelas. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari proses terjadinya amiloidosis dengan membandingkan cara induksi antara C. albicans dan kasein, dengan menilai terjadinya amiloidosis pada lokalisasi tertentu yang merupakan tempat predisposisi pada hati dan Limpa mencit murni C3H. Digunakan 112 mencit betina dan jantan umur 10-12 minggu, dibagi dalam kelompok yang mendapat 1) C. albicans 100.000 sel/0,5 ml; 2) Larutan kasein 50 mg/0,5 ml; 3) larutan 0,85% NaCL/0,5 ml; 4) larutan 0,15 M NaHC0310,5 ml; 5) kelola tanpa perlakuan. Mencit dibunuh 2, 4, 6 dan 8 minggu setelah perlakuan; jaringan hati dan Limpa diambil untuk membuat sediaan mikroskopik dan dipu;as dengan hematoksilin eosin dan merah kongo. Deposit amiloid ditetapkan berdasarkan reaksi spesifik dengan cahaya polarisasi.
Hasil dan Kesimpulan: C. aLbicans dosis 100.000 sel/0,5 ml mempunyai daya induksi amiloidosis pada mencit C3H Lebih tinggi daripada yang disebabkan kasein dosis 50 mg/0,5 ml. Pada amiloidosis limpa terdapat perbedaan sebesar 5,3% pada 2 minggu setelah perlakuan, 14,6% pada 4 minggu, dan 5,6% pada 6 dan 8 minggu setelah perlakuan. Pada amiLoidosis hati terdapat perbedaan 39% pada 4 minggu, dan 33% pada 6 dan 8 minggu setelah perlakuan. Hasil ini menunjukkan perbedaan bermakna (p<0,0005) Gambaran mikroskopik amiloidosis limpa dan hati yang disebabkan C. albicans berbeda bermakna (p<0,0005) dibanding dengan yang disebabkan kasein, bila dihubungkan dengan waktu perkembangannya.

ABSTRACT
Amyloid is a pathologic proteinaceous substance. amyloidosis could cause illness to human beings, with varied clinical signs; the study of amyloidosis on experimental animals was very useful. The cell wall of C. albicans contains mannan which was suspected of causing amyloidosis, and casein was also known to cause amyloidosis in experimental animals. The aim of this research is to study the process of amyloidosis and to compare the induction by C. albicans and casein by examining amyloidosis at the pre-disposing localization in the liver and spleen of C3H mice. The experiment used 112 mice (male and female) 10-12 weeks old; they were divided into groups given: 1) C. albicans 100,000 cells/0.5 ml, 2) casein 50 mg/ 0.5 ml, 3) 0.85% NaCL10.5 ml, 4) 0.15 M NaHC03/0.5 ml, 5) control without treatment. The mice were killed at the 2nd, 4th, 6th and 8th week after treatment finished, and the liver and spleen were taken out to make microscopic preparation and stained with hematoxylin eosin and Congored. Amyloid deposit was examined by specific reaction to polarized Light.
Findings and Conclusions: C. albicans 100,000 cells/0.5 ml showed higher effect in inducing amyloidosis in C3H mice compared to casein 50 mg/0.5 ml. There were 5.3% difference on the 2nd week of treatment in the spleen, 14.6% on the 4th week, and 5.6% on the 6th and 8th week. In the Liver amyloidosis process, there were 39% difference on the 4th week after treatment and. 33% on the 6th and 8th week. These differences were statistically significant (p<0.0005).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>