Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 214201 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Reina
"Kepastian hukum dalam upaya penyelesaian sengketa merupakan faktor terpenting dalam terciptanya perlindungan konsumen. Awal pergerakan perlindungan konsumen di dunia salah satunya berkaitan dengan adanya revolusi industri yang mengubah kedudukan konsumen dan pelaku usaha, perkembangan industrialisasi dan globalisasi yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa yang dalam menyelesaikan penyelesaian sengketa dilakukan dengan sengketa alternatif. Permasalahan dalam penelitian ini dimulai dari bagaimana perbandingan proses penyelesaian sengketa konsumen di Amerika Serikat dan di Indonesia dan bagaimana proses penyelesaian sengketa konsumen melalui penyelesaian sengketa alternatif di Indonesia dilaksanakan untuk memperoleh kepastian hukum bagi konsumen di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian doktrinal yang menggunakan pendekatan komparatif. Hasil dalam penelitian ini adalah Perbandingan penyelesaian sengketa konsumen di Amerika Serikat dan di Indonesia, dalam hal penyelesaian sengketa melalui sengketa alternatif, baik di amerika dan di Indonesia tidak ditemukan perbedaan yang mendasar yang mengkhususkan terhadap konflik antara konsumen dan pelaku usaha. Di Indonesia khususnya penyelesaian sengketa konsumen melalui alternatif dilaksanakan oleh BPSK sebagai lembaga penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan diberikan kewenangan yudikatif untuk menyelesaikan sengketa konsumen berskala kecil dan bersifat sederhana. Secara kelembagaan BPSK dibentuk berdasarkan adopsi dari model small claim tribunal, seperti yang ada di Amerika Serikat namun pada akhirnya pembentukan BPSK didesain dengan memadukan kedua model small claim tribunal diadaptasikan dengan model pengadilan dan model penyelesaian sengketa alternatif (alternative dispute resolution-ADR) yang menggunakan ciri khas penyelesaian sengketa alternatif khas Indonesia. Namun pada pelaksanaannya keputusan BPSK belum dapat mewujudkan kepastian hukum pada Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang berbunyi “Putusan Majelis bersifat final dan mengikat”, yakni dengan menambahkan ketentuan bahwa Putusan BPSK wajib memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan lain sebagainya

Legal certainty regarding dispute resolution is the most important factor in the creation of consumer protection. One of the early movements of consumer protection in the world was related to the industrial revolution which changed the position of consumers and business actors, the development of industrialization and globalization that occurred in the United States and Europe which in resolving dispute resolution carried out with alternative dispute. The problem in this research starts with how the consumer dispute resolution process in the United States and Indonesia compares and how the consumer dispute resolution process in Indonesia is implemented to obtain legal certainty for consumers in Indonesia. The research method used in this research is doctrinal research that uses a comparative approach. The results in this study are a comparison of consumer dispute resolution in the United States and in Indonesia, in terms of dispute resolution through the courts, both in America and Indonesia there are no fundamental differences that specialize in conflicts between consumers and business actors. In Indonesia, especially through alternative consumer dispute resolution implemented by BPSK as an alternative dispute resolution institution outside the court, it is given judicial authority to resolve small-scale and simple consumer disputes. Institutionally BPSK was formed based on the adoption of the small claim tribunal model, as in the United States but in the end the formation of BPSK was designed by combining the two small claim tribunal models adapted to the court model and the alternative dispute resolution (ADR) model which uses typical Indonesian alternative dispute resolution characteristics specifically in relation to the law assurance, Article 54, paragraph (3) of Law on Consumer Protection that reads “The decision of Assembly shall be final and binding”, and adding the provision that the decision of BPSK shall contain the heading “For the sake of Justice under the One Almighty God”, and others."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irma Istihara Zain
"Kewenangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dalam melaksanakan penyelesaian sengketa konsumen di sektor jasa keuangan. Jenis penelitian yuridis normatif dengan Socio Legal Research. Setelah terbentuknya Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) di sektor jasa keuangan, atas amanat OJK yang didasari oleh Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, tidak menghilangkan kewenangan BPSK dalam melaksanakan penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan, karena pilihan atas lembaga mana yang digunakan dalam penyelesaian sengketa, baik BPSK ataupun LAPS merupakan pilihan sukarela para pihak dan atas kesepakatan para pihak yang bersengketa. Dari analisis 7 (tujuh) putusan, mayoritas hakim menolak permohonan keberatan pemohon, karena terdapat hubungan hukum berupa perjanjian pembiayaan. Debitur telah wanprestasi, menurut hakim wanprestasi merupakan kewenangan Peradilan Umum bukan BPSK. Selain itu, terhadap beberapa putusan hakim tidak menerapkan hukum dengan baik, hakim tidak konsisten dalam menjatuhkan putusan, dimana para pihak telah sepakat menentukan pilihan lembaga penyelesaian sengketa, namun hakim dalam pertimbangan hukumnya tidak mencantumkan pertimbangan tersebut. Oleh karena itu dikatakan bahwa BPSK memiliki wewenang dalam menangani sengketa di sektor jasa keuangan akibat ingkar janji/wanprestasi karena UUPK tidak menentukan batas-batas sengketa apa saja yang menjadi kewenangan BPSK, sepanjang terkait dengan sengketa atas peredaran barang dan jasa. Seharusnya, pemerintah merevisi pasal di UUPK terkait sengketa apa saja yang menjadi kewenangan BPSK, agar tidak terjadi disharmonisasi terhadap perundang-undangan yang ada. Hakim sbelum menjatuhkan putusan sebaiknya membuat pertimbangan hukum dengan benar dan bersikap konsisten dalam menjatuhkan putusan.

The Dispute Settlement Board (BPSK) in carrying out consumer dispute resolution in the financial services sector. This type of juridical normative research with Socio Legal Research. After the establishment of the Alternative Dispute Resolution Institution (LAPS) through the Financial Services Authority Regulation (POJK) in the financial services sector, as mandated by the OJK which is based on the Financial Services Authority Law, it does not diminish the authority of BPSK in carrying out dispute resolution in the financial services sector, by choice. on which institution is used in dispute resolution, either BPSK or LAPS is a voluntary choice of the parties and on the agreement of the parties in dispute. From the analysis of the 7 (seven) decisions, the majority of judges rejected the petitioner for objection, because there was a legal relationship in the form of a financing agreement. The debtor has defaulted, according to the judge, default is the authority of the General Court, not BPSK. In addition, for several judges' decisions that did not apply the law properly, the judges were inconsistent in making decisions, where the parties had agreed to determine the choice of dispute settlement institutions, but the judges in their legal considerations did not include these considerations. Therefore, it is said that BPSK has the authority to handle disputes in the financial services sector due to broken promises /or defaults because the UUPK does not determine the boundaries of what disputes are the authority of BPSK, as long as they are linked to disputes over the circulation of goods and services. The government should have revised the articles in the UUPK regarding any disputes that fall under the authority of BPSK, so that there is no disharmony with existing laws. Before making a decision, the judge should make proper legal considerations and be consistent in making the decision."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tiara Sumardi
"Proses penyelesaian sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen dibuat
selain untuk mendapatkan kepastian hukum juga dengan memperhatikan sisi
efektifitas dari prosedur penyelesaian sengketa, sehingga lahirlah proses penyelesaian
sengketa yang bisa dilakukan secara nonlitigasi dan penyelesaian secara litigasi.
Proses penyelesaian sengketa secara nonlitigasi ini bisa dengan sengketa secara
damai oleh para pihak sendiri. Dan melalui lembaga yang berwenang, yaitu melalui
BPSK dengan menggunakan mekanisme melalui konsiliasi, mediasi atau arbitrase.
Dari hasil penelitian ini, dalam prakteknya BPSK selama ini menerima dan memutus
perkara wanprestasi, tetapi ketika perkara ini sudah sampai pada tahap Peninjauan
Kembali, Mahkamah Agung menyatakan bahwa BPSK tidak berwenang atas perkara
wanprestasi tersebut. Mahkamah Agung menilai bahwa sengketa yang terjadi dalam
pelaksanaan perjanjian pembiayaan konsumen baik berdasarkan perjanjian fidusia
maupun hak tanggungan bukanlah termasuk sengketa konsumen, oleh karenanya
BPSK tidak memiliki kewenangan untuk mengadilinya. Sengketa yang timbul dari
pelaksanaan perjanjian pembiayaan konsumen tersebut menurut MA merupakan
sengketa perjanjian yang mana hal tersebut merupakan kewenangan dari pengadilan
negeri. Diharapkan tidak ada lagi ke tumpang-tindih peraturan hukum, itu harus
diselesaikan dengan baik karena banyak sekali peraturan perundang-undangan yang
saling tumpang-tindih, sehingga menyusahkan untuk penegakan hukum ataupun
menjalankan undang-undang tersebut. Ketidakjelasan ini menimbulkan
ketidakpastian hukum dan kerugian bari para pihak yang bersengketa, karena tidak
menjamin terselesaikannya sengketa yang efektif dan efisien. Serta perlu adanya
perubahan-perubahan terhadap kaedah-kaedah yang mengatur Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK), sehingga BPSK dapat berperan lebih aktif dalam
penyelesaian sengketa konsumen.

The dispute resolution process between business actors and consumers is
made in addition to obtaining legal certainty as well as by taking into account the
effective side of the dispute resolution procedure, so that a dispute resolution process
that can be carried out by non-litigation and litigation resolution is born. The nonlitigation
dispute resolution process can be carried out by peaceful disputes by the
parties themselves. And institutions that are in the forest, namely through BPSK by
using through conciliation, mediation or arbitration. From the results of this study, in
practice BPSK has received and decided cases of default, but when this case reached
the Reconsideration stage, the Supreme Court stated that BPSK was not awarded for
the default case. The Supreme Court is of the opinion that the dispute that occurs in
the implementation of consumer financing, whether based on a fiduciary agreement
or a consumer dispute coverage right, by BPSK does not have the authority to try
them. Disputes arising from the implementation of the financing agreement according
to the Supreme Court are disputes which are the authority of the district court. It is
hoped that there will be no more overlapping legal regulations, it must be
implemented properly because many regulations overlap each other, making it
difficult for law enforcement or to implement the law. This uncertainty creates legal
uncertainty and losses for the disputing parties, because it does not guarantee an
effective and efficient resolution of the dispute. And there need to be changes to the
methods that help the Consumer Dispute Resolution Agency (BPSK), so that BPSK
can be more active in resolving consumer disputes.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lavie Daramarezkya
"Telekomunikasi sebagai bagian dari komunikasi menjadi salah satu kebutuhan hidup manusia dalam bermasyarakat, oleh karena itu perkembangan usaha dan konsumen di bidang jasa telekomunikasi meningkat pesat. Pada akhirnya, masyarakat membutuhkan perlindungan hukum atas terjadinya sengketa di bidang jasa telekomunikasi. Adanya hukum perlindungan konsumen dapat dijadikan dasar dalam menyelesaikan sengketa di bidang jasa telekomunikasi. Penyelesaian sengketa antara konsumen dan pelaku usaha jasa telekomunikasi dapat dilakukan melalui peradilan umum atau melalui lembaga khusus yang dibentuk oleh Undang-Undang, yaitu BPSK. Penyelesaian sengketa melalui BPSK dapat dilakukan dengan mediasi, konsiliasi, dan arbitrase. Taufan Oktora Punu sebagai konsumen dari pelaku usaha jasa telekomunikasi PT. Excelcomindo Pratama Tbk merasa dirugikan dan tidak dipenuhi hak-haknya. Taufan Oktora Punu menggugat PT. Excelcomindo Pratama Tbk melalui BPSK dan atas kesepakatan bersama telah memilih untuk menyelesaikan sengketa konsumen secara damai dengan konsiliasi.

Telecommunication as a part of communication has become one of the primary needs for people to function in a day to day life. Today, telecommunication is one of the most vital tools for the functionality of a modern human civilization. As a result of this human social behaviour, there had been a sharp increase in the number of companies that provide telecommunication services. Telecommunication companies compete very strongly with each other in the varieties of services they provide to the consumers; as the more options they provide, the more they can reach to different kinds of consumers. Consumers became very vulnerable targets for high-valued promotional campaigns created by telecommunication companies, whose aim is to obtain bigger market shares in exchange of the cost utilized for the purpose to provide customer services. The lack of customer services can often create conflicts between telecommunication service providers and the consumers. When such conflicts regarding the legal rights and obligations of the two parties arise, it is necessary to have customer protection law in place to be used for the basis of settling an agreement or litigation. Conflict resolution can be done through court or through an organization formed by the constitution namely BPSK."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S258
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dhiyaa Ananda Khoirunnisaa
"Pesatnya aktivitas transaksi jual beli yang berlangsung melalui e-commerce tentunya berbanding lurus dengan peluang terjadinya sengketa antara pihak konsumen dengan pelaku usaha. Transaksi ini pun kerap kali melibatkan pelaku usaha dan e-commerce asing yang memiliki perbedaan dari segi yurisdiksi dengan konsumen Indonesia. Melalui metode penelitian yuridis-normatif dengan pendekatan komparatif penulis memperoleh jawaban bahwa mekanisme penyelesaian sengketa lintas batas negara melalui e-commerce pada akhirnya diatur melalui klausula baku yang tercantum dalam syarat dan ketentuan penggunaan e-commerce tersebut. Hanya saja terhadap transaksi yang berlangsung pada e-commerce asing tentu umumnya juga menggunaan pilihan hukum dan pilihan forum asing. Kondisi-kondisi di atas tentu mampu memperlemah kedudukan konsumen Indonesia dalam memperjuangkan hak-haknya. Belum lagi dibutuhkan biaya yang sangat besar untuk pergi dan berperkara di luar negeri yang belum tentu sebanding dengan kerugian yang diderita oleh konsumen. Seiring perkembangan teknologi, terdapat penyelesaian sengketa secara daring yang dikenal dengan istilah Online Dispute Resolution (ODR). Sejauh ini, Indonesia masih dalam tahap awal pengembangan ODR pasca berkomitmen melalui ASEAN Strategic Action Plan on Consumer Protection (ASAPCP) 2016-2025 untuk mewujudkan ASEAN Regional Online Dispute Resolution (ODR) Network bersama negara-negara ASEAN lainnya. Sebelum mewujudkan ODR dalam skala regional, Indonesia harus terlebih dahulu mewujudkan ODR tersebut dalam lingkup nasional. Kehadiran proyek Digital Trading Online Dispute Resolution (DODR) Indonesia merupakan peluang besar atas kehadiran ODR berskala nasional ini. Proyek ini juga dibiayai oleh China Silk Road Group (CSRG) dan dikelola oleh UNCTAD. Dalam melakukan pengembangan ODR ini, Indonesia masih harus berkaca dari pengalaman negara-negara lainnya yang telah berhasil mewujudkan ODR, sehingga Penulis juga melakukan studi komparatif dengan Negara China dan Uni Eropa. Tak hanya itu, Indonesia juga perlu menentukan model ODR apa yang hendak diimplementasikan dengan mempertimbangan kelebihan dan kelemahannya disertai peluang dan tantangan yang terjadi. ODR ini juga masih perlu dikembangkan lebih jauh agar tidak hanya bersifat regional saja tetapi bersifat internasional.

The rapid activity of buying and selling transactions that take place through e-commerce is certainly directly proportional to the opportunity for disputes between consumers and business actors. These transactions also often involve foreign business actors and e-commerce actors who have differences in terms of jurisdiction with Indonesian consumers. Through juridical-normative research methods with a comparative approach, the author obtained the answer that the mechanism for resolving disputes across national borders through e-commerce is ultimately regulated through the standard clauses contained in the terms and conditions of use of the e-commerce. It's just that transactions that take place in foreign e-commerce, of course, generally also use legal choices and foreign forum options. The above conditions are certainly able to weaken the position of Indonesian consumers in fighting for their rights. Not to mention that it takes a huge amount of money to go and litigate abroad, which is not necessarily worth the losses suffered by consumers. Along with the development of technology, there is online dispute resolution known as Online Dispute Resolution (ODR). So far, Indonesia is still in the early stages of ODR development after committing through the ASEAN Strategic Action Plan on Consumer Protection (ASAPCP) 2016-2025 to realize the ASEAN Regional Online Dispute Resolution (ODR) Network with other ASEAN countries. Before realizing ODR on a regional scale, Indonesia must first realize the ODR in the national scope. The presence of the Digital Trading Online Dispute Resolution (DODR) Indonesia project is a great opportunity for the presence of this national-scale ODR. The project is also financed by China Silk Road Group (CSRG) and managed by UNCTAD. In developing this ODR, Indonesia still has to reflect on the experiences of other countries that have succeeded in realizing ODR, so the author also conducted a comparative study with China and the European Union. Not only that, Indonesia also needs to determine what ODR model to implement by considering its strengths and weaknesses along with the opportunities and challenges that occur. This ODR also still needs to be developed further so that it is not only regional but international."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Nadya Cesaria
"Permasalahan pelindungan konsumen dapat terjadi dalam bidang bisnis wedding organizer, dimana wedding organizer selaku pelaku usaha dalam melaksanakan jasanya menimbulkan kerugian bagi calon pengantin selaku konsumen. Adapun skripsi ini membahas mengenai kerugian yang dialami oleh konsumen dari jasa wedding organizer karena tidak dipenuhinya prestasi dalam paket perkawinan, sedangkan konsumen telah memenuhi prestasinya. Kasus nyata yang terjadi mengenai hal tersebut adalah kasus antara Yunike dengan Eva Bun Bridal EBB , dimana video hasil perekaman pesta perkawinan Yunike sebagai salah satu prestasi dalam paket perkawinan yang diberikan oleh EBB tidak memiliki rekaman suara pada saat sakral di Gereja. Hal tersebut jelas merugikan Yunike.
Rumusan masalah dari kasus tersebut adalah apakah wedding organizer merupakan pelaku usaha berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, pelanggaran hukum apa saja yang dilakukan EBB, dan bagaimana kesesuaian dan ketepatan putusan BPSK DKI Jakarta dalam memutus sengketa antara Yunike dengan EBB.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa wedding organizer merupakan pelaku usaha berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, EBB melakukan pelanggaran hukum sehingga merugikan Yunike, dan putusan BPSK DKI Jakarta cukup dalam menghukum EBB. Disarankan baik pihak konsumen maupun pelaku usaha lebih memahami hak dan kewajibannya masing-masing agar tidak timbul kerugian dikemudian hari.

Consumer protection issue could happen in wedding organizer's field, where wedding organizer's as the service party causing losses for the future bride and groom as consumer. This essay talks about any losses that experienced by wedding organizer service's consumer, due to non fullfilment of the wedding's package, whereas consumer already fulfill its obligations. Case that occurred was case between Yunike and Eva Bun Bridal EBB . Yunike's wedding video which is one of the EBB's wedding package did not have any voice over recording when the party held at Church. It was very detrimental in Yunike's side as consumer.
The issues are, is wedding organizer corporate as mentioned in the law of consumer protection, what kind of violations are EBB committed, and is decision of BPSK DKI Jakarta conformity with the law.
In this study, the authors use the method of normative research with the data gathered from literature studies. Results showed wedding organizer is a corporate according to law of consumer protection, EBB has committed violation of the law that suffer a financial lose to Yunike, and the decision of BPSK DKI Jakarta has been conformity to the law. Both parties should understand their rights and obligations of each in order to avoid losses in the future.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S66415
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alya Nurhalizah
"Perkembangan kegiatan ekonomi perdagangan di Indonesia memberikan banyak tantangan bagi pihak konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah. Wujud dari perkembangan ini tampak dalam hal penawaran dan penjualan produk barang dan/atau jasa oleh pelaku usaha kepada konsumen. Beberapa tahun belakangan ini banyak diberitakan mengenai modus penawaran dan penjualan barang yang merugikan konsumen. Salah satu dari kasus-kasus yang terjadi adalah modus penawaran dan penjualan yang dilakukan oleh Toko Kazuo/ Hiro/ Horvern, yang melakukan praktik iklan pancingan dalam bentuk pemberian hadiah secara cuma- cuma dan penekanan psikis dalam menawarkan dan menjual produk dagangannya. Dari hasil penelitian ini disimpukan bahwa Toko Kazuo/ Hiro/ Horvern telah melanggar ketentuan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yaitu dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang bersifat hukum atau berupa norma hukum tertulis.

The development of trading activities in Indonesia leaves many challenges to the consumers, businesses, and the government. The realization of this development appears in terms of the sale of goods and/or services by the businesses to the consumers. In the past few years there were reports about the methods of selling products that deceived the consumers. One of the cases was the offering and selling method performed by Toko Kazuo/ Hiro/ Horvern. Toko Kazuo/ Hiro/ Horvern performed the bait advertising in the form of giving out free gifts in order to attract the consumers and then asked them to buy other products in an aggressive way. The result of this research concluded that Toko Kazuo has violated the provisions of the Consumer Protection Law (UU No. 8 Tahun 1999). This research used normative legal research method by examining literatures or other secondary data related to law and any form of written legal norms."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46554
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adirizal Muhammad Dito
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai definisi konsumen dari UU No. 8 Tahun 1999 Tentang perlindungan konsumen yang dilakukan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK dan Pengadilan. Fokus dari penelitian ini adalah meninjau sejauh mana seseorang dapat dikatakan sebagai seorang konsumen dalam sebuah transaksi. Pembahasan di dalam penelitian ini dilakukan melalui studi kepustakaan dan hasil wawancara dengan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK serta Pengadilan. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan metode kualitatif. Penelitian ini mengangkat sebuah kasus antara Namin dengan PT. Transport Nusantara Indonesia mengenai pengalihan hak milik mobil taksi di dalam perjanjian campuran kemitraan dengan jual-beli angsuran. Kasus ini berawal pada saat Namin menandatangani perjanjian kemitraan dengan PT. Transport Nusantara Indonesia yang didalamnya terdapat klausula pengalihan hak milik mobil taksi dengan secara angsuran. Pada pertengahan dalam berjalannya perjanjian ini, Namin terjatuh sakit dan tidak dapat memenuhi prestasinya untuk mengangsur mobil taksinya. Kemudian PT. Transport Nusantara Indonesia secara sepihak mengambil mobil yang sedang di angsur oleh Namin. Hal ini jelas merugikan Namin sebagai pihak yang telah mengangsur mobil tersebut selama kurang lebih empat tahun, kemudian Namin mengajukan gugatan sebagai konsumen melalui Badan Penyelesaian Sengketa konsumen BPSK . Kasus ini dimenangkan oleh Namin hingga ke tingkat kasasi. BPSK dan Pengadilan berpendapat bahwa Namin merupakan seorang konsumen karena keberadaan hak milik dari mobil tersebut telah berada di Namin. Hal itu diakibatkan oleh adanya klausula pengalihan hak di dalam perjanjian kemitraan tersebut. Disarankan kepada para pihak yang akan mengadakan sebuah perjanjian agar menjelaskan perjanjian tersebut secara rinci dan jelas.

ABSTRACT
This thesis discusses about the definition of consumer based to the law No. 8 year 1999 about consumer protection, referring to the verdicts established by Consumer Dispute Settlement Agency and Disctrict Courts. This thesis main focus is to review extent on how someone could become a consumer in every transactions. This research was conducted through literature study and results interview with the Dispute Settlement Agency and the District Courts. This research is a normative juridical with qualitative method. This research lift a case between Namin and PT. Transport Nusantara Indonesia about transfer property rights for a taxi car, which had been written on the partnership agreement between them. This case begins when Namin signed the partnership agreement with PT. Transport Nusantara Indonesia that follow a clause which regulate about the transfer of propert right of the taxi car by gradually payments. In the middle of their agreement, Namin was suffering from a disease therefore Namin could not accomplish Namin rsquo s job to fulfill the daily payment. Thereafter, PT. Transport Nusantara Indonesia forcibly withdraw the taxi car from Namin. This is clearly a huge loss for Namin, since Namin has already paid his obligation for 4 years. Furthermore, Namin sued PT. Transport Nusantara Indonesia with consumer claim to Consumer Dispute Settlement Agency. For those parties who are about to arrange an agreement are highly recommend to interpret the agreement detailed and clearly before the establishment."
2017
S70041
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kurniawan
"buku ini membahas tentang hukum perlindungan konsumen yang cara penyelesain sengketa."
Malang: Universitas Brawijaya Press, 2011
381.34 KUR h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ambar Ditya Hanesty
"Skripsi ini membahas tentang kedudukan brosur dalam Hukum Perlindungan Konsumen, dimana brosur yang merupakan suatu bentuk kegiatan promosi dari pelaku usaha juga merupakan salah satu bentuk pemenuhan hak atas informasi konsumen. Tujuan kegiatan promosi adalah untuk untuk mempengaruhi konsumen agar membeli produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha, demi mencapai tujuan ini seringkali pelaku usaha melakukan segala macam cara untuk memikat konsumen dalam masa promosi atau pratransaksi, salah satu caranya yaitu termasuk memberikan informasi yang tidak jujur di dalam brosur produk mereka. Brosur yang tidak jujur ini sangat merugikan konsumen, hal inilah yang dialami oleh Ludmilla Arief, seorang konsumen yang tergiur membeli sebuah mobil Nissan March karena dalam brosurnya tercantum bahwa konsumsi bahan bakar mobil tersebut sangat irit sedangkan setelah beberapa bulan mengendarai mobil tersebut ternyata mobil tersebut sangat boros. Akhirnya Ludmilla Arief mengadukan hal ini ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Provinsi DKI Jakarta dan para pihak sepakat untuk menempuh penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dimana data penellitian ini sebagian besar dari studi kepustakaan yang diperoleh.
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa kedudukan brosur adalah mengikat dalam Hukum Perlindungan Konsumen karena brosur merupakan janji-janji prakontrak sehingga memiliki akibat hukum apabila hal ini diingkari; kegiatan promosi yang dilakukan oleh PT. Nissan Motor Indonesia melalui brosur Nissan March dalam kasus ini telah melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen; PT. Nissan Motor Indonesia bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh konsumen dengan sesuai dengan Pasal 19 Undang Undang Perlindungan Konsumen; Putusan Arbitrase dalam kasus tersebut sudah sesuai dengan ketentuan dalam Hukum Perlindungan Konsumen.

This thesis discusses the position of the brochure in Consumer Protection Law. The brochure is a medium for promoting business activities and also a medium for communicating the rights that consumers have to accurate information. In order to achieve the former (the promotion of business activities to influence consumers to purchase a product or service), businesses will often engage in all sorts of tactics to lure consumers. One such unscrupulous tactic is to provide information that is not honest in the brochure. Dishonest brochures are obviously detrimental to consumers, as they purposely assert claims that are not empirically valid. One such incident occurred to Ludmilla Arief, a consumer tempted to buy a Nissan car in March given the brochure's claim that fuel consumption was very economical. In reality, after only several months, the car's actual fuel mileage was very wasteful. Arief Ludmilla eventually complained to the Consumer Dispute Settlement Agency of DKI Jakarta and the parties agreed to pursue a settlement of disputes through arbitration. This paper uses a normative juridical study whereby data is largely derived from the literature.
The results suggest that the position of the brochure is binding as related to the Consumer Protection Act because the brochure is a collection of promises that, if denied, are legally enforceable. As such, promotional activities conducted by PT. Nissan Motor Indonesia through its March brochures violate the provisions of the Consumer Protection Act. PT. Nissan Motor Indonesia is thus responsible for the losses suffered by consumers in accordance with Article 19 of the Consumer Protection Law. The Arbitration Award in the case conforms with the provisions of the Consumer Protection Law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43099
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>