Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 170110 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Retnoningtyas
"Latar belakang: Obesitas dan dislipidemia merupakan faktor risiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Salah satu strategi mengurangi faktor risiko tersebut adalah melakukan latihan fisik secara teratur. Pandemi COVID-19 mengharuskan masyarakat mencari alternatif latihan fisik yang fleksibel dalam hal lokasi dan efisien dalam waktu. Latihan fisik dengan supervisi jarak jauh juga belum banyak dilakukan sebelumnya. Oleh karena itu, studi ini bertujuan melihat perubahan profil lipid dan komposisi tubuh partisipan lakilaki dewasa muda obesitas setelah pemberian High Intensity Interval Training (HIIT) dengan kombinasi supervisi luring dan daring. Metode: Penelitian ini merupakan studi eksperimental dengan desain pretest-posttest dengan satu kelompok perlakuan. Tujuh partisipan laki-laki dewasa muda obesitas mengikuti intervensi program HIIT dengan kombinasi supervisi daring dan luring selama 12-14 minggu. Program latihan terdiri dari 5 gerakan berbasis lari dan kalistenik dengan rasio interval 8:12 detik pada 85–95% denyut jantung maksimal. Hasil: Hasil menunjukkan penurunan rerata LDL sebesar 12% (p=0,048) dan peningkatan rerata massa otot sebesar 3% (p=0,033) dengan angka kepatuhan latihan 92,3%. Selama intervensi, tidak didapatkan pengaruh asupan diet terhadap luaran penelitian. Kesimpulan: Program HIIT selama 12-14 minggu secara kombinasi daring dan luring dapat memperbaiki profil lipid dan komposisi tubuh dengan angka kepatuhan yang tinggi.

Background: Obesity and dyslipidemia are risk factors for the development of cardiovascular disease. One of the strategies to overcome these risk factors is by engaging viii regular physical exercise. The COVID-19 pandemic requires people to find alternative physical exercise that is flexible in terms of location and efficient in time. Moreover, a remote exercise supervision is yet uncommon to conduct. Therefore, this study aims to see changes in lipid profiles and body compositions in obese young adult male participants after prescription of High Intensity Interval Training (HIIT) with offline and online supervision. Methods: This research is an experimental study with a pretestposttest design with one treatment group. Seven obese young males participated in 12-14 weeks of HIIT with combination of offline and online supervisions. The program consists of 5 running and calisthenic based movements with 8:25 seconds of intervals at 85–95% maximum heart rates. Results: The results showed a decrease in LDL by 12% (p=0.048) and an increase in muscle mass by 3% (p=0.033) with an exercise adherence rate of 92.3%. During the intervention, there was no effect of dietary intake on the research outcome. Conclusions: The 12-14 weeks of HIIT program with combined online and offline supervisions improved lipid profiles and body compositions with high adherence rates."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Delima Engga Maretha
"Latar belakang: Pola hidup sedenter pada usia produktif berpengaruh terhadap kualitas hidup pada lansia, antara lain dapat menimbulkan penurunan massa dan fungsi otot atau sarkopenia. Salah satu pendekatan untuk menjaga kualitas hidup lansia adalah dengan latihan fisik. Latihan fisik intensitas tinggi dengan interval (high intensity interval training, HIIT) dan latihan fisik intensitas sedang (moderate intensity training, MIT) diketahui dapat menjaga dan meningkatkan kualitas hidup. Meskipun HIIT dinilai bermanfaat, kelayakannya pada individu dewasa tua masih belum banyak diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh HIIT untuk mencegah sarkopenia pada proses penuaan hewan coba.
Metode penelitian: Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Hewan Litbangkes Depkes dari September 2016-Maret 2017. Tikus Wistar jantan usia dewasa muda (6 bulan) dan dewasa tua (12 bulan), diberi perlakuan HIIT dan MIT selama 8 minggu. Masing-masing kelompok usia dibagi secara acak menjadi 4 kelompok yaitu: K1 (kontrol, didekapitasi pada hari-1 penelitian sebagai baseline; K2 (kontrol, sedenter); HIIT dan MIT. Pada akhir minggu ke-8 dilakukan pemeriksaan kadar Troponin-T, PGC-1α (ELISA); kadar asam laktat (spektrofotometri); morfologi otot rangka (HE); serta marker apoptosis (Caspase3, imunohistokimia).
Hasil: Kadar Troponin T kelompok HIIT dan MIT lebih tinggi dibandingkan K2 baik pada usia dewasa muda dan usia dewasa tua. Kadar PGC-1α lebih tinggi pada kelompok HIIT dan MIT dibandingkan kelompok K2 pada usia dewasa tua. Tidak terdapat perbedaan kadar asam laktat darah pada kelompok HIIT dan MIT usia dewasa muda dan dewasa tua dibandingkan dengan K2. Akan tetapi, kadar asam laktat darah K1-T dan K2T berbeda signifikan, namun tidak melebihi 4,0 mmol/L. Tidak terdapat perbedaan pada jumlah serat otot rangka kelompok HIIT dan MIT tikus dewasa muda dan dewasa tua dibandingkan K2. Pada tikus dewasa muda, luas penampang serat otot rangka lebih rendah bermakna pada kelompok HIIT dan MIT dibandingkan K2-M. Ekspresi Caspase3 pada jaringan otot rangka hanya ditemukan pada kelompok usia dewasa tua, namun tidak terdapat perbedaan antara kelompok HIIT dan MIT dengan K2.
Kesimpulan: HIIT dan MIT selama 8 minggu pada tikus dewasa tua dapat mempertahankan kadar Troponin T dan PGC-1α yang penting untuk kontraksi otot rangka. Penerapan kedua latihan ini pada usia dewasa tua tidak meningkatkan kadar laktat darah yang melebihi ambang normal serta tidak menyebabkan kerusakan dan apoptosis pada otot rangka. Penelitian ini menunjukkan bahwa HIIT dan MIT keduanya dapat diterapkan pada usia dewasa tua dan bermanfaat dalam mencegah sarkopenia.

Background: SSedentary lifestyle duringproductive age will influences the quality of life in the elderly, . among others, cIt can cause a decrease in function and muscle mass or which known as sarcopenia. One approach to maintaining the quality of life of thein elderly is physical exercise. High intensity interval training (HIIT) and moderate intensity training (MIT) are known to be able to maintain and improve quality of life. Although HIIT is considered beneficial, its feasibility in older adult individuals is still not widely known. This study aims to determine investigate the effect of HIIT to in preventing sarcopenia in the aging process of experimental animals.
Methods: This study was conducted at Animal Laboratory of Ministry of Health RI from September 2016-March 2017. Male of young adults (6 months) and older adults (12 months) Wistar rats, treated with HIIT and MIT for 8 weeks. Each age group was divided randomly into 4 groups, namely: K1 (control, decapitated on study day-1 as baseline); K2 (control, sedenter); HIIT and MIT. At the end of the 8th weeks, we examined Troponin T levels were examined, PGC-1α (ELISA); lactic acid levels (spectrophotometry); skeletal muscle morphology (HE); as well asand Caspase-3 as markers of apoptosis (Caspase-3, immunohistochemistry).
Results: Troponin-T levels of HIIT and MIT groups were higher than K2 in both in young adult and old adult rats. PGC-1α levels were higher in the HIIT and MIT groups than in thecompared to K2 group in old adult rats. There were no differences in blood lactic acid levels in the HIIT group and MIT groups in both young and older adults compared to K2. HoweverInterestingly, blood lactic acid levels were significantly difference between K1old adult and K2-old adult rats in older adult rats differ significantly, but do not exceed 4.0 mmol /L. There was no difference in the number of skeletal muscle fibers in the HIIT and MIT groups of young and old adult rats compared to K2all groups. In young adult rats, cross sectional area (CSA) skeletal muscle was significantly lower in HIIT training than K2. Caspase-3 expression in skeletal muscle tissue was only found in the old adult group rats, but there was no difference between HIIT and MIT groups with compared to K2 group.
Conclusion: Our study revealed that HIIT and MIT for 8 weeks in old adult rats can maintain levels of Troponin T and PGC-1α which are important for skeletal muscle contraction of skeletal muscles. The application of these two exercises in older adult rats does not increase blood lactate lactic acid levels that exceed the normal threshold and does not cause damage and apoptosis in skeletal muscles. This research Therefore our study shows that both HIIT and MIT can both be applied in older adult rats and are useful beneficial in preventing sarcopenia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Risky Dwi Rahayu
"Prevalensi kelebihan berat badan dan obesitas di dunia meningkat dalam tiga dekade terakhir. Pada usia muda, lebih banyak laki-laki yang mengalami kelebihan berat badan daripada wanita. High-Intensity Interval Training adalah alternatif latihan fisik yang membutuhkan komitmen waktu lebih singkat. Pada penelitian ini dilakukan modifikasi protokol untuk mengetahui efektivitas latihan dalam memperbaiki komposisi tubuh dan kebugaran kardiorespirasi serta tingkat keamanan dan kesenangan yang ditimbulkan pada laki-laki dewasa muda dengan kelebihan berat badan. Penelitian ini memiliki desain eksperimental dengan uji pre-post. Subyek adalah laki-laki dengan berat badan berlebih sesuai klasifikasi WHO berusia 18-30 tahun yang sehat dan tidak terlatih. Durasi intervensi 12 minggu dengan jumlah latihan 3 kali per minggu. Dalam satu set, subyek melakukan 5 gerakan (lari lurus, zigzag, dan kotak serta jumping jackdan burpees) dalam waktu masing-masing 8 detik. Waktu istirahat aktif antar gerakan 25 detik dan antar set 2 menit. Jumlah set ditingkatkan per minggu dari 3 hingga 14 set. Hasil penelitian menunjukkan penurunan persentase lemak, lemak viseral, lingkar pinggang namun tidak bermakna. Indeks Massa Tubuh meningkat tidak bermakna dan massa otot meningkat bermakna {p-value 0,03; CI -1,7 (-3,21 – [- 0,19]}. VO2max meningkat namun tidak bermakna. Terdapat laporan 3 insiden yang digolongkan sebagai cedera musculoskeletal ringan dan intoleransi latihan. Rerata skor PACES adalah 83,79 ± 8,14 dengan tren skor yang menurun seiring peningkatan jumlah set. Kesimpulannya, High-Intensity Interval Training efektif dalam memperbaiki komposisi tubuh dan kebugaran kardiorespirasi pada laki-laki dewasa muda dan overweight, aman, dan menyenangkan.

Worldwide prevalence of overweight and obesity is increasing in the last three decades. Prevalence overweight in young males is higher than females at the same age. High-intensity interval training is an alternative of exercise which need less time commitment. We modify the protocol to identify the its effect on body composition and cardiorespiratory fitness, its safety and enjoyment in overweight young males. This is an experimental study with pre-post assessment. Subjects are healthy untrained male aged 18 – 30 years old with overweight according to WHO classification. Duration of intervention is 12 weeks, 3 times per week. During one set, the subjects perform 5 movements (straight running, zig zag running, squared running, jumping jack, burpees) in 8 seconds interval, active recovery 25 seconds between movements and 2 minutes between sets. The number of sets is increased weekly from 3 to 14 sets. The fat percentage, visceral fat, and waist circumference are decreased after intervention. Body mass index is increased and muscle mass is increased significantly (p-value 0,03; CI -1,7 (-3,21 – (- 0,19)) after intervention. VO2max is increased but not significant. There are 3 reports of minor musculoskeletal injuries and exercise intolerance, all categorized as mild injuries. The average PACES score is 83,79 ± 8,14 and the score tends to decrease with weekly set increments. High-Intensity Interval Training is effective to improve body composition and cardiorespiratory fitness in overweight young males. It is also safe and provide enjoyment."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rifqi Sabita
"Stroke adalah penyebab kematian kedua dan penyebab disabilitas ketiga di dunia. Oklusi arteri serebral mengakibatkan defisiensi oksigen, glukosa, lipid dan menyebabkan nekrosis parenkim serebral. Stroke iskemik memodulasi proses eksitotoksisitas, stres oksidatif, dan neuroinflamasi. HIIT adalah latihan fisik intensitas tinggi diselingi dengan latihan fisik intensitas rendah. HIIT dapat meningkatkan fungsi memori spasial melalui faktor neurotropik yang dikeluarkan setelah HIIT seperti BDNF yang dapat memicu neuroplastisitas, yang dimanifestasikan dalam peningkatan dendrit-spinogenesis. GFAP juga diekpresikan setelah HIIT yang dapat memicu BDNF untuk perbaikan spasial memori setelah stroke iskemia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ekspresi BDNF, GFAP, dan densitas dendrit-spinogenesis pada tikus stroke iskemia yang diberikan HIIT. Penelitian ini menggunakan 28 tikus Wistar jantan usia 22-24 minggu, berat badan 250-400 gr, dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu tikus yang diberi operasi palsu (Sham), tikus MCAO yang diberikan latihan intensitas tinggi (HIIT), tikus MCAO yang diberikan latihan intensitas sedang (MIIT), dan tikus dengan operasi MCAO yang tidak diberikan latihan (NI). Dilakukan analisis ekspresi BDNF dan GFAP dengan ELISA, dendrit-spinogenesis dengan golgi-cox, dan uji klinis spasial memori dengan force dan spontaneous alteration y-maze. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara kadar ekspresi BDNF dan GFAP, densitas dendrit-spinogenesis dan memori spasial  sebelum dan sesudah diberikan intervensi HIIT.

Stroke is the second cause of death and the third cause of disability in the world. Cerebral artery occlusion results in a deficiency of oxygen, glucose, lipids and causes necrosis of the cerebral parenchyma. Ischemic stroke modulates excitotoxicity, oxidative stress and neuroinflammatory processes. HIIT is high-intensity physical exercise interspersed with low-intensity physical exercise. HIIT can improve spatial memory function through neurotrophic factors released after HIIT such as BDNF which can trigger neuroplasticity, which is manifested in increased dendrite-spinogenesis. GFAP is also expressed after HIIT which can trigger BDNF to improve spatial memory after ischemic stroke. This study aims to analyze the expression of BDNF, GFAP, and density of dendrite-spinogenesis in ischemic stroke rats given HIIT. This study used 28 male Wistar rats aged 22-24 weeks, body weight 250-400 g, divided into 4 groups, namely rats given sham surgery (Sham), MCAO rats given high intensity exercise (HIIT), MCAO rats given moderate intensity exercise (MIIT), and mice with MCAO surgery without training (NI). Analysis of BDNF and GFAP expression was performed with ELISA, dendrit-spinogenesis with golgi-cox, and spatial memory clinical trials with force and spontaneous alteration y-maze. The results showed that there were significant differences between the expression levels of BDNF and GFAP, density of dendrite-spinogenesis and spatial memory before and after being given HIIT intervention."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Attika Dini Ardiana
"Obesitas dan berat badan berlebih memiliki dampak negatif pada fungsi kognitif. Hal ini disebabkan oleh adanya inflamasi sentral yang terjadi di otak. Latihan fisik yang sesuai dan efektif adalah salah satu solusi untuk mencegah dampak negatif dari obesitas. High Intensity Interval Training (HIIT) merupakan jenis olahraga efektif yang menggunakan intensitas tinggi dengan durasi yang singkat. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan pengaruh respon akut dan kronik dari HIIT terhadap fungsi kognitif yang ditinjau dari kadar BDNF, Irisin, dan uji fungsi kognitif (MoCA, Trail Making Test, N-Back). Penelitian ini menggunakan uji eksperimental pada 15 laki laki dewasa yang memiliki berat badan berlebih. Latihan HIIT akan dilakukan selama 12 minggu dengan frekuensi 3 kali setiap minggu, kemudian akan dilakukan pengambilan sampel darah dan uji fungsi kognitif pada minggu ke-1 dan minggu ke-12 latihan HIIT. Terdapat respon akut HIIT pada minggu ke-12 terhadap fungsi kognitif pada uji TMT-A, TMT-B, N-Back, serta terhadap peningkatan kadar irisin dan BDNF. Tidak terdapat respon kronik HIIT terhadap peningkatan pada uji fungsi kognitif, kadar irisin dan BDNF.

Obesity and overweight have a negative impact on cognitive function. This is caused by a central inflammation that occurs in the brain. Appropriate and effective physical exercise is one of the solutions to prevent the negative effects of obesity. High Intensity Interval Training (HIIT) is an effective type of exercise that uses high intensity for a short duration. The purpose of this study is to assess the acute and chronic effects of HIIT on cognitive function as measured by BDNF, Irisin, and cognitive function tests (MoCA, Trail Making Test, N-Back). This study applied an experimental test on 15 overweight adult males. HIIT exercises will be carried out for 12 weeks with a frequency of 3 times per week, then blood samples and cognitive function tests will be carried out in the 1st and 12th weeks of HIIT training. There was an acute HIIT response at week 12 to cognitive function on the TMT-A, TMT-B, N-Back tests, as well as to increased levels of irisin and BDNF. There was no chronic HIIT response to improvements in cognitive function tests, irisin levels and BDNF.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Shabrina
"ABSTRAK
Komposisi tubuh yang tidak ideal memberikan masalah kesehatan pada manusia yakni terkait dengan obesitas maupun obesitas sentral. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh High-Intensity Interval Training Focus T25 Workout terhadap penurunan persen lemak tubuh. Penelitian ini menggunakan desain studi kuasi eksperimental pada 13 orang mahasiswa perempuan di FKM, FIK dan FMIPA UI pada bulan Mei 2017. Subjek diberikan intervensi berupa kegiatan HIIT dengan frekuensi 3 x perminggu untuk kelompok intervensi dan 2 x per minggu untuk kelompok kontrol. Data diperoleh denganpengukuran berat badan, tinggi badan, persen lemak tubuh dan pengisian formulir pencatatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan persen lemak tubuh setelah dilakukan intervensi pada kedua kelompok. Pada uji bivariat didapati perbedaan yang signifikan pada persen lemak sebelum dan sesudah intervensi. Namun tidak didapati perbedaan yang signifikan pada penurunan persen lemak tubuh jika dibandingkan pada kedua kelompok.

ABSTRACT
Unideal body composition can caused health problem such as obesity or viseral obesity. This study was conducted to assesseffect of HIIT Focus T25 Workout to body fat percentage loss. This study used quasi experimental design on 13 overfat ge 30 woman college students in FPH, FN and FMNS University of Indonesia in May 2017. HIIT was offered for 4 week,3 x per week for intervention group and 2 x week for control group 25 minute session . Body fat percentage of subject were compared before and after intervention. Data was collected weight, height, body fat percentage and macronutrient intake. Result of this study show that HIIT decreased body fat percentage on both of group. There is statistically significant on body fat percentage before and after intervention, but if it were compared both of grup were not statistically significant. There was correlation between carbohydrate and fat intake and body fat percentage loss. HIIT decreased body fat percentage loss effectively."
2017
S68015
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alif Nurrachman
"Selama pandemi Covid-19, PT Pertamina RU III mengubah metode pelatihan pegawai yang tadinya dilaksanakan secara langsung menjadi pelatihan online (e-Training). Selain metode, turut terjadi tiga perubahan, yakni dalam hal sistem di mana e-Training dilaksanakan secara sentralistik oleh holding PT Pertamina, unifikasi karena pelaksanaannya digabung dengan subholding PT Pertamina lain, serta pendekatan yang menghilangkan unsur experiential learning karena adanya pembatasan sosial. Kondisi tersebut menjadi tantangan karena e-Training yang diadopsi di PT Pertamina RU III hanya bersifat mendadak dan temporal saja, yakni pada saat pandemi Covid-19. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas penyelenggaraan e-Training pada PT Pertamina RU III selama pandemi Covid-19 (November 2019 – Desember 2021) menggunakan pendekatan kuantitatif. Teknik pengumpulan data adalah mixed method yakni menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif secara bersamaan melalui survey, wawancara, dan studi kepustakaan. Terdapat 303 responden yang diperoleh dalam penelitian ini dan merupakan pegawai dari PT Pertamina RU III yang mengikuti e-Training selama pandemi Covid-19. Berdasarkan hasil akumulasi dan pengolahan data, hasil penelitian ini menunjukan bahwa e-Training yang dilaksanakan di PT Pertamina RU III selama pandemi Covid-19 adalah tidak efektif. Mayoritas responden menyatakan bahwa perusahaan sudah efektif dalam melaksanakan sistem asesmen kebutuhan (48 persen) namun tidak efektif dalam mengaplikasikan pengalaman pembelajaran yang positif (45 persen), memberikan kontrol kepada peserta (49 persen), serta menyediakan waktu dan ruang saat melaksanakan e-Training (54 persen). Penelitian ini menyarankan adanya prosedur e-Training kepegawaian khusus yang dirancang secara komprehensif dan turut melibatkan holding, subholding, serta pegawai sebagai langkah perbaikan.

During the Covid-19 pandemic, PT Pertamina RU III changes its employee training method from offline to online (e-Training). Aside from the method, there are other three changes: the system in which the e-Training is implemented, which is a centralistic system, by PT Pertamina holding, unifications with other PT Pertamina sub-holdings, and the approach that omits experimental learning due to the social restrictions. These conditions are challenging as the e-Training adopted in PT Pertamina RU III is abrupt and temporal, which is only during the Covid-19 pandemic. This research aims to analyze the effectiveness implementation of e-Training in PT Pertamina RU III throughout the Covid-19 pandemic (November 2019 – December 2021) using a quantitative method. This study uses the mixed-method technique, which utilizes quantitative and qualitative methods at the same time through surveys, interviews, and literature reviews. There are 303 respondents in this research, and they are the employees of PT Pertamina RU III who participate in the e-Training during the Covid-19 pandemic. According to the data accumulation, this study indicates that the e-Training implemented in PT Pertamina RU III during the Covid-19 pandemic is not effective. The majority of the respondents stated that the company has effectively executed the needs assessment system (48 percent), but they were not as effective in applying a positive learning experience (45 percent), giving control to the participants (49 percent), and providing time and place for the e-Training (54 percent). Therefore, a particular employee e-Training procedure is needed, which is designed comprehensively and involves holding, sub-holding, as well as employees as measures towards improvement."
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sari Tri Yulianti
"ABSTRAK

Proses penuaan menyebabkan penurunan massa otot rangka, terutama pada protein kontraktil. Latihan interval merupakan salah satu latihan fisik yang dapat menginduksi sintesis miofibril, sehingga berpotensi dapat meningkatkan massa otot rangka pada proses penuaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh latihan interval terhadap kadar protein aktin dan myosin heavy chain (MHC) otot rangka tikus dewasa muda dan dewasa. Penelitian ini menggunakan 24 tikus strain Wistar jantan usia 6 dan 12 bulan yang dibagi menjadi 6 kelompok (n=4). Latihan interval terdiri dari berlari selama 4 menit (intensitas tinggi) dengan interval istirahat aktif 1 menit sebanyak 4 kali pengulangan. Kecepatan berlari pada treadmill ditingkatkan dari 16 m/menit hingga 25 m/menit. Latihan diberikan selama 8 minggu. Kadar aktin dan MHC jaringan otot gastrocnemius diukur dengan ELISA. Pada penelitian ini ditemukan bahwa tidak terdapat penurunan bermakna kadar protein kontraktil aktin dan MHC otot rangka antara kelompok usia dewasa muda dengan usia dewasa. Tidak terdapat peningkatan kadar protein kontraktil aktin dan MHC antara kelompok tanpa latihan dan dengan latihan interval pada kelompok usia dewasa muda. Pada kelompok usia dewasa, tidak terdapat peningkatan bermakna kadar protein kontraktil aktin dan MHC otot rangka antara kelompok tanpa latihan dan dengan latihan interval


ABSTRACT


Aging process leads to decline skeletal muscle mass, particularly in contractile protein. Interval training is the one of physical training that induce myofibrillar protein synthesis, thus increase skeletal muscle mass in aging process. This study aims to determine the effect of interval training on actin and myosin heavy chain (MHC) levels in rats skeletal muscle young adult and adult. This study use twenty-four male Wistar rats aged 6 and 12 months were divided into six groups (n=4). Interval training consisted of 4 min running (high intensity) interspersed by 1 min of active rest, 4 repetitions. The running speed of the treadmill were gradually increased from 16 to 25 m/min. The treatments were given for 8 wk. Actin and MHC gastrocnemius muscle levels were measured by ELISA. This study shows that there were no significant decrease in actin and MHC skeletal muscle levels between young adult and adult groups. There were no increase in actin and MHC skeletal muscle levels between interval training group and control group in the young adult group. For adult group, there were no significant increase in actin and MHC skeletal muscle levels between interval training group and control group.

"
2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widia Sari
"Ketidakseimbangan asupan dan pengeluaran energi dapat menyebabkan terjadinya obesitas yang merupakan faktor risiko utama terjadinya noncommunicable disease (NCD). Latihan fisik dapat menurunkan berat badan penderita overweight dan obesitas melalui penekanan terhadap asupan makanan. HIIT merupakan salah satu bentuk latihan fisik yang dapat mempengaruhi regulasi asupan makanan melalui efek yang dikenal dengan exercise induced anorexia. Efek ini dapat dimediasi oleh IL-6 dan laktat yang meningkat setelah melakukan HIIT. IL-6 dan laktat bekerja secara langsung di hipotalamus untuk menurunkan sekresi AgRP yang merupakan neuropeptida oreksigenik. Penelitian ini bertujuan untuk menilai pengaruh HIIT terhadap asupan makanan yang dilihat dari perubahan kadar IL-6, laktat, dan AgRP. Penelitian menggunakan bahan baku tersimpan (serum darah) dari penelitian payung yang dilakukan sebelumnya pada subjek laki-laki overweight yang diberikan HIIT selama 12 minggu. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan kadar IL-6 serum yang signifikan segera setelah HIIT di minggu ke-12 (p<0,05), peningkatan signifikan kadar laktat segera setelah HIIT di minggu ke-1 dan minggu ke-12 (p<0,05) serta ditemukan tidak ada perubahan kadar AgRP (p>0,05). Selain itu, juga tidak ditemukan korelasi antara IL-6 dan AgRP serta laktat dan AgRP. Dapat disimpulkan pelaksanaan HIIT selama 12 minggu belum dapat menekan asupan makanan jika ditinjau dari kadar IL-6, laktat, dan AgRP.

Imbalance of energy intake and expenditure can induce obesity, a main risk factor of noncommunicable disease. Physical exercise can aid weight loss in overweight and obese patients by decreasing food intake. HIIT is a form of physical exercise that causes exercise-induced anorexia, which reduces food intake. This effect may be mediated by the increase of IL-6 and lactate following HIIT. IL-6 and lactate directly regulate the expression of AgRP, an orexigenic neuropeptide, in the hypothalamus. This study aims to investigate the effect of HIIT on food intake as seen from changes in IL-6, lactate, and AgRP. This study used blood serum from previous study conducted on overweight males who participated in HIIT for 12 weeks. This study showed a significant increased in serum IL-6 concentration immediately after HIIT at 12th week (p<0,05), a significant increased in serum lactate concentration immediately after HIIT at 1st and 12th week (p<0,05), and no change in AgRP concentration (p>0,05). In addition, no correlation was found between IL-6 and AgRP as well as lactate and AgRP. It can be concluded that the implementation of HIIT for 12 weeks has not been able to suppress food intake based on the concentration of IL-6, lactate, and AgRP"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Samuel Oetoro
"Latar belakang. Obesitas merupakan masalah kesehatan masyarakat dunia dengan prevalensi yang semakin meningkat. Obesitas meningkatan risiko sindrom metabolik dan penyakit kardiovaskular, yang diyakini akibat inflamasi dan stres oksidatif. Penurunan berat badan (BB) dengan cara diet dan olahraga merupakan strategi dasar dalam manajemen obesitas. Penyandang obesitas seringkali mengalami peningkatan dan penurunan BB yang dikenal sebagai weight cycling (WC). Penelitian menunjukkan risiko sindrom metabolik dan penyakit kardiovaskular meningkat pada WC dibandingkan dengan penyandang obesitas pemula [first encounter obesity (FEO)]. Penelitian ini bertujuan untuk menilai pengaruh program penurunan BB terhadap komposisi tubuh, petanda sindrom metabolik, petanda inflamasi dan stres oksidatif pada penyandang obesitas WC dibandingkan dengan FEO.
Metode. Penelitian ini merupakan uji klinis terbuka selama delapan minggu yang dilakukan di Balai Kota DKI Jakarta. Subyek penelitian diambil secara konsekutif dan diklasifikasikan menjadi kelompok WC dan FEO. Kedua kelompok diberikan program penurunan BB yang terdiri dari pengurangan asupan energi sebesar 1000 kkal/hari dan olah raga intensitas ringan - sedang tiga kali seminggu selama 45 menit. Pengukuran antropometri dan komposisi tubuh (BB, indeks massa tubuh/IMT, massa lemak/ML, massa bebas lemak/MBL, massa otot/MO, rating lemak viseral, intracellular water /ICW yang merupakan indikator anabolisme protein ), petanda sindrom metabolik (kadar trigliserida/TG dan LP), petanda inflamasi (high sensitivity C-reactive protein/hs-CRP, interleukin/IL-6), dan stres oksidatif (F2-isoprostan) dilakukan pada awal penelitian, minggu ke-4 dan pada akhir penelitian (minggu ke-8).
Hasil. Dari total 73 subyek (34 subyek kelompok WC dan 39 subyek kelompok FEO) didapatkan karakteristik yang setara dalam hal usia, riwayat obesitas pada keluarga, asupan makanan, proporsi komposisi makronutrien, dan aktivitas fisik, namun tidak terdapat kesetaraan dalam hal distribusi subyek laki-laki dan perempuan, riwayat lamanya obes. Kelompok WC memiliki ML yang lebih tinggi , MBL, MO dan ICW yang lebih rendah, serta petanda inflamasi yang lebih buruk dibanding kelompok FEO, sebaliknya kelompok FEO memiliki kadar TG, F2-isoprostan lebih tinggi daripada WC. Setelah intervensi diet dan olah raga selama 8 minggu, penurunan BB, IMT, ML, MBL, MO, rating lemak viseral dan kadar ICW pada kelompok WC cenderung lebih rendah daripada kelompok FEO (p >0,05). Penurunan LP pada kelompok WC cenderung lebih rendah daripada kelompok FEO (p = 0,23). Kadar TG pada kelompok WC meningkat, sedangkan pada kelompok FEO terjadi penurunan kadar TG, namun perbedaannya tidak bermakna (p = 0,055). Penurunan kadar hs-CRP dan IL-6 pada kelompok WC cenderung lebih besar daripada FEO (p >0,05). Penurunan kadar F2-isoprostan lebih tinggi pada kelompok FEO daripada kelompok WC (p = 0,017).
Kesimpulan: Penyandang obesitas WC memiliki ML yang lebih tinggi dari FEO, disamping itu memiliki anabolisme protein yang lebih rendah, oleh karena itu program diet dan olahraga pada WC harus mempertimbangkan modalitas yang mampu meningkatkan anabolisme protein.Penyandang WC memiliki petanda inflamasi yang lebih buruk dibanding FEO, sedangkan setelah menjalani program diet dan olahraga selama 8 minggu pada penelitian ini tidak didapatkan perbedaan perubahan BB, komposisi tubuh, petanda sindrom metabolik, dan petanda inflamasi, kecuali perubahan petanda stres oksidatif yang lebih baik pada penyandang FEO.

Background. The worldwide prevalance obesity is increasing rapidly and has become serious health burden globally. Obesity increases risks of metabolic syndrome and cardiovascular diseases which may partly caused by inflammation and oxidative stress. Effective weight loss programs include diet and exercise,and these interventions are considered as first line strategy of obesity management. Obese individuals often experience repeated cycles of weight loss followed by weight regain, which is recognized as weight cycling (WC). Several studies demonstrated that weight cycler has higher risk of metabolic syndrome and cardiovascular diseases than individuals with first encounter obesity (FEO). This study aimed to assess the effect of weight loss programs using diet and exercise on body composition, selected markers of metabolic syndrome, inflammation, and oxidative stress in obese subjects with WC and FEO.
Methods.This study was an 8-week open clinical trial held at Balai Kota DKI Jakarta. Subjects were recruited consecutively and classified into WC and FEO groups. All subjects were assigned to receive weight loss programs with the following goals: 1,000 Kcal reduction of total energy intake/day and 45-minute mild-to-moderate intensity exercise, three times a week. Antropometric and body composition (body weight/BW, body mass index/BMI, fat mass, fat free mass, muscle mass, visceral fat rating, intracellular water/ICW as indicator of protein anabolism), markers of metabolic syndrome (triglyceride/TG levels and waist circumference), inflammation (high sensitivity C-reactive protein/hs-CRP, interleukin/IL-6), and oxidative stress(F2-isoprostane)were measured at baseline, week 4, and the end of study (week 8).
Results. A total of 73 subjects consisting of 34 subjects with WC (WC group) and 39 subjects with FEO (FEO group). Both groups had similar characteristics in age, family history of obesity, dietary intakes, macronutrient composition, and physical activities; meanwhile, gender and duration of obesity were significantly different between groups. WC group had more body fat, less fat free mass, muscle mass and ICW, higher markers of inflammation than FEO group. On the other hand, TG and F2-isoprostane levels in FEO group were higher than WC group. Following 8-week intervention with diet and exercise, the reduction in BW, BMI, fat free mass, muscle mass, visceral fat rating, and ICW in WC group was comparable with FEO group (p>0.05). The reduction of waist circumference in WC group tended to be lower than FEO group (p = 0.23). Triglyceride levels in WC group increased, but it declined in FEO group. However, these differences were not statistically significant(p= 0.055). The decline in hs-CRP and IL-6 levels in WC group tended to be higher than FEO group (p>0.05). Meanwhile, the decrease in F2-isoprostane levels in FEO group was significantly higher than WC group (p=0.017).
Conclusion.Obese subjects with WC had more body fat but lower protein anabolic capacity than those with FEO. These results suggest that diet and exercise program for weight cycler should consider effective ways to enhance protein anabolism.In addition, obese subjects with WC had higher inflammatory process than those with FEO.Using the current model of 8-week intervention with diet and exercise, this study was not able to demonstrate differences between WC and FEO groupsin the magnitude of changes in body composition and inflammation indicators, except oxidative stress indicator.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>