Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 142391 dokumen yang sesuai dengan query
cover
William Gularso
"Hak cipta dan hak terkait merupakan komponen integral dalam karya sinematografi seperti film.  Upaya kolaboratif para pembuat film menghidupkan ide cerita, dengan para aktor mengambil peran untuk memerankan karakter dan adegan. Di bawah Undang-Undang Hak Cipta, aktor yang ditampilkan dalam film diberi hak ekonomi atas karya hak cipta film tersebut. Aktor juga membutuhkan perlindungan, selain pencipta karya seni. Aktor dalam sebuah produksi harus diberi pertimbangan khusus untuk waktu dan energi yang mereka curahkan untuk keahlian mereka. Meskipun Undang-undang Hak Cipta dimaksudkan untuk melindungi karya kreatif, seringkali undang-undang tersebut mengabaikan hak-hak pelaku. Hak Cipta, pada hakikatnya, adalah hak milik pribadi yang melindungi ekspresi seorang seniman atas ide-idenya dalam bidang sastra, sains, dan seni. Aktor sebagai pelaku pelaku pertunjukan mengikatkan diri melalui perjanjian dengan sutradara dan produser, yang memegang hak atas ciptaannya. Namun, jarang sekali aktor menerima royalti dalam perjanjian ini. Tujuan penelitian untuk menganalisa untuk mengeksplorasi bagaimana hukum dan peraturan di Indonesia dapat mengatur pembayaran royalti untuk aktor film, serta mengusulkan model pelaksanaan pembayaran tersebut. Melalui metode penelitian hukum normatif, penulis menganalisis pengaturan pemberian royalti dan merumuskan model pemberian royalti kepada pelaku film. Penelitian hukum ini menggunakan pendekatan preskriptif untuk menganalisis dan mengumpulkan informasi yang relevan, untuk memberikan rekomendasi untuk secara efektif menangani masalah terkait sistem royalti untuk aktor di industri film, sesuai dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktor berhak atas royalti, tetapi hanya jika ada kesepakatan sebelumnya dengan produser atau sutradara.  Untuk menentukan model royalti yang sesuai, persentase keuntungan dari media lain selain bioskop diusulkan.  Disimpulkan bahwa pemain berhak atas royalti berdasarkan hak terkait, tetapi hanya dalam kasus di mana model persentase disetujui sebelumnya.  Menurut penelitian, disarankan agar pembuat film dapat membangun ekosistem film yang mendukung pekerjaan dan kesejahteraan mereka.

Copyright and related rights are an integral component in cinematographic works such as films. The filmmakers' collaborative effort brought story ideas to life, with actors taking on roles to portray characters and scenes. Under the Copyright Act, actors featured in films are granted economic rights to the film's copyrighted work. Actors also need protection, apart from creators of works of art. Actors in a production must be given special consideration for the time and energy they devote to their craft. Although Copyright Laws are intended to protect creative works, they often ignore the rights of perpetrators. Copyright, in essence, is a private property right that protects an artist's expression of his ideas in the fields of literature, science and art. Actors as performers bind themselves through agreements with directors and producers, who hold the rights to their creations. However, it is rare for actors to receive royalties under these agreements. The purpose of this research is to analyze to explore how laws and regulations in Indonesia can regulate the payment of royalties for film actors, as well as to propose a model for implementing these payments. Using normative legal research methods, the author analyzes the arrangements for granting royalties and formulates a model for awarding royalties to film actors. This legal research uses a prescriptive approach to analyze and collect relevant information, in order to provide recommendations for effectively addressing issues related to the royalty system for actors in the film industry, in accordance with Indonesian laws and regulations. The results show that actors are entitled to royalties, but only if there is prior agreement with the producer or director. To determine the appropriate royalty model, profit percentages from media other than cinema were proposed. It concluded that players are entitled to royalties based on related rights, but only in cases where a percentage model is agreed beforehand. According to research, it is suggested that filmmakers can build a film ecosystem that supports their work and well-being."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Radifan Daffa Raharjo
"Perkembangan internet mendorong perubahan penggunaan teknologi, seperti teknologi untuk memutar musik yang sekarang tidak memerlukan alat khusus dengan menggunakan internet, seperti melalui Youtube. Pemutaran musik melalui internet menimbulkan cara pembajakan baru dengan memanfaatkan internet, tepatnya menggunakan illegal online music converter yang dapat mengancam hak cipta suatu karya musik. Tulisan ini berupaya untuk menelusuri lebih lanjut bagaimana peraturan perundang-undangan dan peran pemerintah di Indonesia dalam melindungi hak cipta atas suatu karya musik yang berada di Youtube dari ancaman pembajakan melalui website illegal online music converter dengan membandingkan peraturan perundang-undangan serta peran pemerintah milik Amerika Serikat. Selain itu, tulisan ini akan menganalisa peran dan tanggung jawab Penyelenggara Sistem Elektronik. Hasil analisa dalam penelitian ini menunjukkan adanya beban tanggung jawab yang dimiliki Youtube dalam mencegah dan menanggulangi pembajakan.

The development of the internet has encouraged changes in the use of technology, such as technology for playing music which now does not require special equipment using the internet, such as via YouTube. Playing music via the internet creates a new method of piracy by utilizing the internet, specifically using illegal online music converters which can threaten the copyright of a musical work. This article attempts to explore further how the laws and regulations and the role of the government in Indonesia protect copyright for musical works on YouTube from the threat of piracy through illegal online music converter websites by measuring the laws and regulations and the role of the United States government. In addition, this article will analyze the roles and responsibilities of Electronic System Operators. The results of the analysis in this research show that there is a burden of responsibility that YouTube has in preventing and overcoming piracy.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutauruk, Marulam J.
"Suatu tulisan tentang apa itu Public Performance di dunia musik yang selama ini seringkali disalahartikan sebagai performing, padahal konvensi internasional tidak menyebutnya demikian, termasuk pula kita seringkali tidak dapat membedakan antara public performance dan yang non-public performance. Buku ini mencoba untuk menyederhanakan penjelasan tentang apa itu public performance, khususnya di dalam hukum Indonesia, tetap sesuai dengan hukum internasional tanpa menguraikan konvensi-konvensi internasional yang seringkali akan menjadi terlalu panjang dibahas di dalam suatu Buku tentang Hak Cipta.
Basis uraian public performance di dalam buku ini adalah kebijakan hukum pemerintah di dalam aspek-aspek hukum administrasi negara, aspek hukum perdata, dan juga aspek hukum pidana, karena hukum mestinya dapat diharapkan menjadi acuan yang pasti di dalam suatu negara yang berdasarkan atas hukum. Termasuk pula pandangan hukum serta pengalaman Penulis sebagai Advokat, Konsultan Kekayaan Intelektual ter-register di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Indonesia, General Manager Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI)-Produser Rekaman di Indonesia, General Manager Yayasan Karya Cipta Indonesia (suatu Collective Management Organization/Lembaga Manajemen Kolektif yang mewakili Hak Pencipta), Ketua Harian sebuah asosiasi karaoke keluarga (APERKI) bahkan sebagai salah satu dari sepuluh Komisioner di Lembaga Manajemen Kolektif Nasional periode tahun 2019-2024.
Lisensi public performance memang unik, di mana lisensi tidak diterima secara langsung dari si Pemilik Hak akan tetapi melalui suatu lembaga tertentu yang di luar negeri disebut sebagai Collecting Society atau Collective Management Organization (CMO) dan yang di Indonesia disebut sebagai Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Karakteristik lisensi public performance selain diberikan oleh suatu Lembaga, juga tarif nya dihitung berdasarkan jenis usaha masing-masing, dan tidak menghitung jumlah lagu/musik yang diputar.
Saat ini dunia usaha tidak dapat dilepaskan dari urusan musik. Musik merupakan added-value bagi dunia usaha. Bahkan usaha tertentu seperti karaoke misalnya, tidak akan dapat diselenggarakan tanpa adanya lisensi lagu/musik. Pengusaha atau setiap orang yang bekerja di jenis usaha yang ada kaitannya dengan musik wajib mengetahui aspek hukum lisensi public performance ini. Pengetahuan ini diperlukan agar tidak perlu terjadi suatu pelanggaran hukum yang dapat mengakibatkan kerugian bagi pihak lain sehingga menimbulkan upaya hukum bagi pihak-pihak tertentu yang akhirnya akan dapat merugikan dunia usaha.
Selain itu semua orang yang mau belajar, mahasiswa hukum, para pengajar, para lawyer, Konsultan Kekayaan Intelektual akan sangat membutuhkan pemahaman aspek hukum public performance di dalam buku ini. Uraian di dalam buku ini akan sangat membantu memahami karena penjelasan berkaitan dengan pekerjaan praktikal berbagai pihak, bukan hanya aspek hukum di dalam Hak Cipta Musik saja, akan tetapi juga dapat diterapkan pada jenis hak cipta yang lain selain lagu/musik
Anak-anak muda sejak awal perlu membaca buku ini. Apalagi saat ini banyak anak muda telah menjadi ‘creator-creator’ di mana mereka mengekspresikan originalitas mereka di berbagai kesempatan dan mereka juga memiliki hak-hak atas public performance."
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2022
346.048 HUT l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Akila Wargadalem
"Munculnya teknologi informasi di dunia perbankan telah mengakibatkan berkembangnya bank digital. Karena aktivitasnya berbeda dengan bank tradisional dimana bank digital melakukan semua aktivitasnya di platform digital, maka menimbulkan beberapa risiko yaitu risiko kejahatan dunia maya khususnya phishing dan juga risiko pelanggaran perlindungan data. Dalam kaitannya dengan produk tabungan, beberapa bank digital juga menawarkan bunga tinggi yang melebihi limit yang ditetapkan LPS, hal ini menimbulkan isu mengenai pertanggungjawaban bank terhadap suku bunga simpanan tersebut. Oleh karena itu, tujuan dari skripsi ini adalah untuk menganalisis perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan dana atas produk tabungan pada Bank Digital di Indonesia dan untuk menganalisis implementasi dari Bank Digital terhadap perlindungan hukum bagi nasabah penyimpan Bank Digital dalam produk tabungan di Indonesia. Metode penelitian dalam skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang menekankan pada penggunaan norma hukum secara tertulis, yang juga didukung dengan wawancara dengan narasumber. Hasil dari penelitian ini adalah bank digital memberikan perlindungan terhadap nasabah penyimpan dana dalam produk tabungannya dengan mematuhi peraturan OJK untuk bank tradisional dan peraturan Kementerian Komunikasi dan Informasi yang mana telah diterapkan oleh bank digital. Namun karena regulasi untuk bank digital masih tersebar, penulis menyarankan agar OJK membuat regulasi perlindungan konsumen untuk bank digital dan harus diikuti dengan kepatuhan bank digital terhadap regulasinya.

The arising of technology information in banking world has resulting the developments of digital bank. As its activities differs with traditional banks whereas digital bank conduct all of its activity on digital platform, it creates several risks which are risk of cybercrime specifically on phishing and also risk of violation of data protection. In regards to savings product, some of the digital banks also offers high interest rate which exceeds the limit set by LPS, which has raised the issue on the responsibility of the guarantee of the exceeding interest rate. Therefore, the objective of this thesis is to analyze the legal protection for Depositor on savings product in Digital Banks in Indonesia and to analyze the implementation of the Digital Bank towards the legal protection of Digital Bank Depositor on savings product in Indonesia. The research method in this thesis is normative juridical research method, namely research that emphasizes the use of legal norms in writing, which also supported by interviews with informants. The result of the study is that in order to provide legal protection towards its depositor, digital bank is still comply to regulation by OJK for traditional bank along with ministry of communication and information regulation and it has been implemented by the digital bank. However, as the regulation is still scattered for digital bank, the author suggests that OJK shall create consumer protection regulation for digital bank and must be followed with the compliance by the digital bank towards its regulation.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Joshua Gabriel Marcellio
"Skripsi ini membahas tentang permasalahan 1) perlindungan hukum bagi pemegang polis terhadap tindakan Twisting dan Churning di Indonesia dan Inggris; dan 2) perbandingan perlindungan hukum bagi pemegang polis terhadap tindakan tindakan Twisting dan Churning di Indonesia dengan Inggris. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan penggunaan data primer berupa wawancara dengan pihak yang berpengalaman di bidang asuransi, serta data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Analisis data dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian ini adalah 1) di Indonesia, bentuk perlindungan hukum terhadap tindakan Twisting dan Churning adalah dengan memberikan tanggung jawab atas penggantian kerugian kepada perusahaan asuransi, hak untuk melakukan pengaduan ke perusahaan asuransi, BPKN, LPKSM dan BPSK, kewajiban perusahaan asuransi untuk melakukan pengendalian internal dalam rangka pencegahan tindakan Twisting dan Churning, kewenangan OJK untuk memerintahkan perusahaan asuransi memberhentikan perjanjian keagenan, penyelesaian sengketa melalui LAPS SJK, BPSK, dan pengadilan umum, serta pemberian sanksi kepada agen asuransi; sedangkan di Inggris, bentuk perlindungan hukum terhadap tindakan Twisting dan Churning adalah dengan memberikan tanggung jawab atas penggantian kerugian kepada perusahaan asuransi, hak untuk melakukan pengaduan ke perusahaan asuransi dan FOS, serta penyelesaian sengketa melalui mediasi FOS, arbitrase, dan county courts; 2) Perbandingan antara Indonesia dan Inggris terkait perlindungan hukum bagi pemegang polis terhadap tindakan Twisting dan Churning adalah adalah tidak adanya kewajiban bagi perusahaan asuransi untuk melakukan pengendalian internal dalam rangka pencegahan tindakan Twisting dan Churning di Inggris, tidak ada penyelesaian sengketa berupa arbitrase atau konsiliasi FOS, tidak ada penindaklanjutan dari FCA, serta tidak ada mekanisme pemberian sanksi kepada agen asuransi secara eksplisit di Inggris. Selanjutnya, saran dari Penulis adalah dibuatnya pengaturan perudangan mengenai masa tunggu yang wajib dilalui agen asuransi setelah pindah ke perusahaan asuransi yang baru.

This thesis discusses the problems of 1) legal protection for policyholders against act of Twisting and Churning in Indonesia and the UK; and 2) comparison of legal protection for policyholders against acts of Twisting and Churning in Indonesia and the UK. The research method used is normative juridical with the use of primary data in the form of interviews with parties experienced in the field of insurance, as well as secondary data in the form of primary, secondary, and tertiary legal materials. Data analysis is done qualitatively. The results of this study are 1) in Indonesia, the form of legal protection against Twisting and Churning actions is by providing responsibility for compensation of losses to insurance companies, the right to make complaints to insurance companies, BPKN, LPKSM and BPSK, the obligation of insurance companies to carry out internal controls in order to prevent Twisting and Churning actions, OJK's authority to order insurance companies to terminate agency agreements, dispute resolution through LAPS SJK, BPSK, and general courts, as well as sanctions against insurance agents; while in the UK, the form of legal protection against Twisting and Churning is to provide liability for compensation to the insurance company, the right to complain to the insurance company and the FOS, as well as dispute resolution through FOS mediation, arbitration, and county courts; 2) The comparison between Indonesia and the UK regarding legal protection for policyholders against Twisting and Churning is that there is no obligation for insurance companies to carry out internal controls in order to prevent Twisting and Churning in the UK, there is no dispute resolution in the form of FOS arbitration or FOS conciliation, no follow-up from the FCA, and there is no mechanism for sanctioning insurance agents explicitly in the UK. Furthermore, the author's suggestion is to make a regulation regarding the waiting period that must be passed by insurance agents after moving to a new insurance company."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Fauza
"Penelitian ini menganalisis bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen atas praktik penyalahgunaan dana konsumen dalam transaksi jual beli properti dengan sistem pre-project selling di Indonesia, serta norma pengaturan yang ideal terhadap penyalahgunaan dana konsumen dalam transaksi jual beli properti dengan sistem pre-project selling agar dapat memberikan perlindungan hukum bagi konsumen di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan tipologi penelitian deskriptif-analitis. Hasil penelitian ini menemukan Pengaturan yang ada saat ini belum dapat memberikan perlindungan yang maksimal terhadap konsumen atas praktik penyalahgunaan dana konsumen oleh pengembang dalam transaksi pembelian properti dengan sistem pre-project selling di Indonesia. Idealnya terdapat pengaturan secara khusus dalam UU Perlindungan Konsumen yang menegaskan bahwa pelaku usaha bertanggungjawab terhadap dana konsumen dalam transaksi jual beli dengan sistem pesanan sampai dengan diterimanya barang atau jasa oleh konsumen sesuai yang disepakati dengan pelaku usaha, serta adanya perluasan makna terhadap ketentuan Pasal 143 dan 160 UU Perumahan dan Kawasan Permukiman yang saat ini masih bersifat limitatif. Diperlukan pula penerapan pencairan kredit secara bertahap berdasarkan penilaian perkembangan proyek oleh bank kepada pengembang guna meminimalisir terjadinya penyalahgunaan dana pencairan kredit oleh pengembang yang dapat menyebabkan terhambatnya pembangunan proyek.

This research analyzes the legal protection for consumers from misappropriation of consumer’s fund in property purchase transactions that is conducted using the pre-project selling system, as well the ideal regulatory norms for protecting consumer’s funds in property purchase transactions in order to give legal protection for consumers in Indonesia. This research uses normative research methods with a descriptive-analytical typology of research. The results of this research found that the current regulations have not been able to provide maximum protection for consumers from the practice of misappropriation of consumer funds by property developers in property purchase transactions that is conducted using the pre-project selling system in Indonesia. Ideally, there is a regulation within the Indonesian Consumer Protection law that emphasizes that business actors are responsible of consumer funds in purchase transactions that is conducted using the pre-project selling system until the consumer receives goods and services accordingly, as well as an expansion of the meaning of the provisions of Articles 143 and 160 of the Housing and Settlement Areas Law. It is also necessary to apply credit disbursement from bank to developers in stages based on the bank’s assessment of the project’s progress in order to minimize misappropriation of credit disbursement funds by developers which can cause problems in the project development."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ardian Hananto Seto
"Tulisan ini menganalisis mengenai bagaimana keabsahan perjanjian pinjam meminjam online ilegal, upaya perlindungan hukum terhadap debitur yang menggunakan aplikasi pinjaman Online ilegal dan upaya pemerintah dalam memberantas peredaran pinjaman Online ilegal di Indonesia, perlindungan hukum debitur melibatkan data pribadi (undang-undang), serta upaya preventif dan represif dari pemerintah. Pada dasarnya, kontrak elektronik atau digital ialah perjanjian antar pihak yang dibuat melalui sarana yang berbeda, khususnya sistem elektronik. Dengan mempergunakan metode penelitian doktriner, sumber data diperoleh dari data sekunder. Pasal 1320 KUH Perdata mengatur syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, yang berdampak pada sahnya perjanjian pinjam meminjam online. Perjanjian online dengan demikian sah apabila dianggap sah karena diatur di KUH Perdata, khususnya Pasal 1320 dan 1338 KUH Perdata yang mengatur tentang perjanjian. Akan tetapi, Perjanjian melalui pinjaman online Ilegal tidak sah menurut hukum perjanjian dan hukum nasional. Hal itu disebabkan pinjaman online Ilegal banyak melanggar peraturan hukum nasional seperti melakukan pemerasan sesuai Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan melanggar UU ITE serta perlindungan konsumen. Pemerintah telah melakukan edukasi literasi keuangan, sosialisasi hukum, dan analisis data pinjaman online ilegal. Tindakan represif termasuk larangan, penyelidikan, identifikasi situs berbahaya, rekomendasi tindakan, dan bantuan hukum bagi debitur yang mengalami kerugian.

This article analyze the validity of illegal online lending and borrowing agreements, legal protection efforts for debtors who use illegal online loan applications and the government's efforts to eradicate the distribution of illegal online loans in Indonesia, legal protection of debtors involving personal data (law), as well as efforts preventive and repressive measures from the government. Basically, electronic or digital contracts are agreements between parties made through different means, especially electronic systems. By using doctrinal research methods, data sources are obtained from secondary data. Article 1320 of the Civil Code regulates the conditions for the validity of an agreement, which has an impact on the validity of online lending and borrowing agreements. Online agreements are therefore valid if they are inline with the Civil Code, specifically Articles 1320 and 1338 of the Civil Code which regulate agreements. However, agreements via illegal online loans are invalid according to contract law and national law. This is because illegal online loans often violate national legal regulations, such as committing extortion in accordance with Article 368 of the Criminal Code (KUHP) and violating the ITE Law and consumer protection. The government has carried out financial literacy education, legal outreach, and data analysis of illegal online loans. Repressive measures include prohibitions, investigations, identification of dangerous sites, recommendations for action, and legal assistance for debtors who experience losses."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Yulianto
"Hubungan bisnis antara induk dan anak perusahaan sudah sering terjadi, salah satunya dibidang ketenagakerjaan yaitu dengan melakukan pemindahan pekerja antar induk dan anak perusahaan. Salah satu upaya pemindahan pekerja antar perusahaan adalah dengan cara penugasan pekerja, yaitu dengan cara menugaskan pekerja dari perusahaan asal untuk bekerja pada perusahaan penerima tanpa mengakhiri perjanjian kerja dari pekerja yang ditugaskan dengan perusahaan asal. Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia belum ada ketentuan yang mengatur bagaimana pelaksanaan pemindahan pekerja antar perusahaan, sehingga dalam tulisan ini terdapat tiga rumusan masalah yaitu bagaimana ketentuan mengenai penugasan pekerja antar induk perusahaan dan anak perusahaan, bagaimana perlindungan hukum terhadap pekerja yang ditugaskan selama penugasan antar induk perusahaan dan anak perusahaan, serta bagaimana ketentuan yang ideal mengenai pemindahan pekerja antar induk perusahaan dan anak perusahaan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian doktrinal yang memberi penjelasan secara sistematis mengenai penugasan pekerja antar perusahaan dengan cara menganilisis hubungan antar peraturan yang relevan dan memprediksi perkembangannya. Dalam penugasan pekerja antar induk perusahaan dan anak perusahaan melibatkan tiga subyek hukum yaitu perusahaan asal, perusahaan penerima, serta pekerja yang ditugaskan. Hubungan kerja serta hak dan kewajiban antara subyek hukum dalam penugasan harus dipastikan dalam perjanjian penugasan. Karena penugasan antar perusahaan tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, untuk memberikan perlindungan hukum kepada pekerja yang ditugaskan, maka ketentuan mengenai penugasan pekerja antar induk perusahaan dan anak perusahaan harus diatur dalam kaidah otonom yang melibatkan pekerja dalam pembentukannya yaitu Perjanjian Kerja Bersama (PKB), agar terwujud hubungan industrial yang harmonis.

Business relationships between parent and subsidiary companies often occurred, including in the field of employment, especially transferring workers between parent and subsidiary companies. One way to transfer workers between companies is by assigning employees from the original company to work at the host company without terminating the work agreement between workers and the original company. It's called employee secondment. There are no provisions governing how to carry out employee secondment between companies in Indonesian regulations, so in this paper there are three problem formulations, first of all, what are the provisions regarding employee secondment between parent companies and subsidiaries? Secondly, what is the legal protection for employee secondment during intercompany secondment? And the third, what are the ideal provisions regarding the employee secondment? The research method used in this research is doctrinal research, which provides a systematic explanation of employee second-met between companies by analyzing the relationship between relevant regulations and predicting their development. The second employee meeting between parent companies and subsidiaries involves three legal subjects, namely the originating company, the receiving company, and the assigned workers. The employment relationship as well as the rights and obligations between legal subjects in the secondment must be confirmed in the secondment agreement. Intercompany secondment is not regulated by Indonesian laws and regulations, so to provide legal protection for the secondee, provisions regarding employee secondment must be regulated by autonomous rules that involve employees in its formation. The Collective Labor Agreement is the best autonomous rule in order to realize harmonious industrial relations."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afnaan
"Tesis ini membahas mengenai perlindungan hukum bagi penerima fidusia apabila terjadinya wanprestasi atas suatu perjanjian fidusia berdasarkan Undang Undang Jaminan Fidusia, akibat hukum bagi Pihak Ketiga mengajukan sita eksekusi atas objek jaminan fidusia, serta perlindungan hukum bagi pemberi fidusia atas permohonan sita eksekusi yang diajukan oleh Pihak Ketiga berdasarkan pertimbangan Mahkamah Agung dalam memutus perkara yang berkaitan. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Hasil penelitian adalah apabila pemberi fidusia melakukan wanprestasi maka penerima fidusia dapat melakukan sita eksekusi, penjualan dibawah tangan dan pelelangan atas objek jaminan fidusia, dan apabila Pihak Ketiga mengajukan permohonan sita eksekusi atas benda yang bukan miliknya, maka perbuatan tersebut merupakan perubatan melawan hukum. 

This thesis discusses about the legal protection for fiduciary reciever should there be any default of fiduciary agreement arrises pursuant to the Fiduciary Act; the legal consequences for the third party who file the executorial seizure of the fiduciary object; and the legal protection for the fiduciary giver of the executorial seizure filed by the third party based on the Supreme Court consideration in making decision for the related dispute. This thesis uses an analytical methode through approach of normative juridis. The result shows that if there is any default conducted by the fiduciary giver, therefore the fiduciary giver may process the executorial seizure and conduct the under hand sale and purchase agreement and auction for the fiduciary object. Furthermore, if the third party files the executorial seizure request for the objects that do not belong to them, then the party has conducted an unlawful act."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Helida
"ABSTRAK
Bahwa landasan atau dasar hukum yang utama dan yang paling dasar bagi
perlindungan Hak Cipta di Indonesia adalah berbagai konvensi/perjanjian
internasional di bidang Hak Cipta yang harus diejawantahkan dalam Undang-
Undang Hak Cipta. Sehingga terhadap segala aturan-aturan serta prinsip-prinsip
yang ada dalam Undang-Undang Hak Cipta haruslah sejalan dengan Konvensi
internasional mengenai Hak Cipta. Begitu pula atas hal-hal yang tidak diatur
ataupun tidak jelas dalam Undang-Undang Hak Cipta, maka secara langsung,
hukum yang berlaku serta digunakan dalam menjawab serta mengisi kekosongan
hukum tersebut haruslah dilandaskan atas konvensi internasional yang berlaku
atas Hak Cipta. Hak Cipta tidak hanya selalu mengenai seni baik itu musik, tari,
dan lain-lain. Dalam usaha tekstil juga terkait dengan Hak Cipta. Dalam usaha
perdagangan tekstil, beberapa perusahaan yang bergerak dalam bidang produksi
textile memperdagangkan kain-kain serta bahan-bahan pakaian dengan
mempergunakan tanda garis berupa benang yang terletak pada pinggiran kain
dengan berbagai macam warna benang, termasuk benang yang berwarna kuning
sebagai tanda produksi pada textile dan motif-motif textile yang diproduksi oleh
perusahaan tersebut. Tanda garis berupa benang yang berwarna kuning yang
terletak pada pinggiran kain tersebut kemudian diakui oleh salah satu perusahaan
yang bernama PT. Sri Rejeki Isman sebagai ciptaannya. Tanda garis berupa
benang kuning yang terletak pada pinggiran kain tersebut kemudian didaftarkan
oleh PT. Sri Rejeki Isman dengan judul ciptaan ?Kode Benang Kuning pada
tanggal 18 Agustus 2011 berdasarkan nomor Surat Pendaftaran Ciptaan: 052664
yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal HKI Direktorat Hak Cipta,
Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia. Diakui dan didaftarkannya
tanda garis berupa benang yang berwarna kuning yang terletak pada pinggiran
kain oleh PT. Sri Rejeki Isman kemudian menimbulkan permasalahan hukum
dengan salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang produksi textile
lainnya yaitu PT. Delta Merlin Dunia Textile, Secara hukum, pendaftaran atas
suatu ciptaan yang tidak memenuhi unsur-unsur suatu ciptaan yang dapat
dilindungi haruslah ditolak pendaftarannya oleh Direktorat Hak Cipta dan dalam
hal Direktorat Hak Cipta ternyata keliru ataupun tidak cermat dalam menerima
suatu pendaftaran ciptaan tersebut, maka para pihak yang berkepentingan berhak
untuk mengajukan gugatan pembatalan atas ciptaan yang tidak memenuhi unsurunsur
ciptaan yang dilindungi. Bahwa dengan demikian, jelas bahwa maksud dari
?pihak lain? dalam Undang-Undang Hak Cipta haruslah diartikan secara luas
sebagaimana dalam konvensi internasional khususnya mengenai hak cipta, sebab
Undang-Undang Hak Cipta ditetapkan sebagai bentuk pengejawantahan dari
konvensi-konvensi internasional di bidang Hak Cipta.

ABSTRACT
The primary and most fundamental legal grounds for the protection of copyright
in Indonesia are the various conventions/ international agreements on copyright
law which must be incorporated under the Copyright Act. Therefore, all of the
regulations and principles under the Copyright Act must be in accordance with the
international conventions on copyright law. At the same time, norms that are not
regulated or unclear under the Copyright Act must be interpreted and
implemented using provisions which exist under international conventions on
copyright law. Copyright does not only protect arts, such as music, dance, etc., but
it is also related to textile industry. In textile industry, several enterprises trade
fabric and cloth by using a stripe made of thread located at the tip of the cloth,
including yellow colored thread as a symbol of production on textile and textile
motives produced by those enterprises. The stripe made of the yellow thread was
claimed by a company named PT. Sri Rejeki Isman as its creation. Such stripe
was subsequently registered by PT. Sri Rejeki Isman with the title ?Yellow Thread
Code‟ on August 18, 2011 in accordance with Letter of Creation Registration
numbered: 052664 which was issued by the Directorate General of Intellectual
Property Rights, Directorate of Copyright, Ministry of Law and Human Rights of
the Republic of Indonesia. The recognition and registration of the yellow thread
stripe as a form of copyright raised a legal dispute with another textile
manufacturer, PT. Delta Merlin Dunia Textile. Under the law, registration of a
creation which does not fulfill elements of a copyright-protected creation must be
denied by the Directorate of Copyright, and in case the Directorate of Copyright
errs in accepting the registration of such creation, interested parties have the right
to submit a lawsuit to annul the registration of that creation. Therefore, the
meaning of ?other party? under the Copyright Act must be interpreted in a broad
manner as stipulated under international conventions on copyright, because
Copyright Act is an implementation of international conventions on copyright."
2012
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>