Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 129592 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kaka Renaldi
"Inflamasi kronik adalah proses yang penting dalam patofisiologi adenokarsinoma duktal pankreas (PDAC). Beberapa studi telah meneliti potensi enzim siklooksigenase-2 (COX-2) sebagai faktor prognostik PDAC, dengan hasil yang kontradiktif. Nuclear factor kappa−B (NF−?B), specificity protein 1 (Sp1), dan c−Jun adalah faktor transkripsi gen COX2. Penelitian ini adalah studi observasional eksploratori yang bertujuan untuk mengidentifikasi asosiasi ekspresi protein NF−?B (RelA/ p65), COX−2, Sp1, dan c−Jun dengan kesintasan pasien PDAC. Ekspresi protein tersebut dinilai di jaringan pasien PDAC menggunakan metode imunohistokimia. Diidentifikasi ekspresi keempat protein tersebut dengan overall survival (OS) dan karakteristik klinikopatologis pasien PDAC. Sebanyak 53 jaringan PDAC dari biopsi atau reseksi kanker diikutkan dalam penelitian. Hasilnya terdapat korelasi antara keempat protein di jaringan kanker. Ekspresi NF−?B sitoplasmik (aHR = 0.31; 95% CI 0.11–0.90; p = 0.032) atau nuklear (aHR = 0.22; 95% CI 0.07–0.66; p = 0.007) berhubungan secara independen dengan prognosis pasien yang lebih baik. Protein lainnya tidak berhubungan dengan kesintasan pasien. Hal ini menunjukkan bahwa peran inflamasi di PDAC lebih kompleks dari yang diperkirakan sebelumnya.

Chronic inflammation is a crucial driver of carcinogenesis in pancreatic ductal adenocarcinoma (PDAC). Several studies have investigated the prognostic significance of cyclooxygenase−2 (COX−2) expression in PDAC patients, obtaining conflicting results. Nuclear factor kappa−B (NF−?B), specificity protein 1 (Sp1), and c−Jun are known as the transcription factors of the COX2 gene. This exploratory observational study investigated the association of the NF−?B, COX−2, Sp1, and c−Jun expressions with patient survival in PDAC. We used the immunohistochemical method to detect the PDAC tissue expressions of NF−?B (RelA/p65), COX−2, Sp1, and c−Jun. The expressions of these proteins were correlated with the overall survival (OS) and other clinicopathological characteristics of PDAC patients. We obtained 53 PDAC specimens from resections and biopsies. There were significant correlations between the four proteins’ expressions in the PDAC tissues. The expression of the cytoplasmic (aHR = 0.31; 95% CI 0.11–0.90; p = 0.032) or nuclear NF−?B (aHR = 0.22; 95% CI 0.07–0.66; p = 0.007) was independently associated with a better prognosis in the PDAC patients. COX−2, Sp1, and c−Jun showed no significant association with a prognosis in the PDAC patients. The PDAC patients who expressed NF−?B had a better prognosis than the other patients, which suggests that the role of inflammation in PDAC is more complex than previously thought."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evy Yunihastuti
"Pancreatic carcinoma commonly occur in patients over 60 years. It is usually manifested as abdominal pain, jaundice, and pancreatic mass. In this report, a pancreatic carcinoma occured in young woman is presented. A surgical drainage was done and followed by Whipple resection. However the patient passed away three month after the diagnosis.

Karsinoma pankreas umumnya terjadi pada pasien berusia di atas 60 tahun. Biasanya bermanifestasi sebagai perut nyeri, penyakit kuning, dan massa pankreas. Dalam laporan ini, karsinoma pankreas yang terjadi pada wanita muda adalah disajikan. Drainase bedah dilakukan dan diikuti dengan reseksi Whipple. Namun pasien tersebut meninggal hilang tiga bulan setelah diagnosis.
"
Jakarta: The Indonesian Journal of Gastroenterology Hepatology and Digestive Endoscopy, 2001
IJGH-2-2-Agt2001-32
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ismawati
"Ruang lingkup dan cara penelitian: Proteasom adalah partikel subseluler yang berperan dalam degradasi protein intrasel. Dari kepustakaan diketahui bahwa konsentrasi proteasom serum pada penderita kanker meningkat dibandingkan individu normal. Belum diketahui apakah konsentrasi proteasom juga meningkat pada tahap prakanker. Telah dilakukan penelitian induksi karsinogenesis hati pada tikus Wistar dengan menggunakan N,2-Fluorenilasetamida (FAA) 40 lag. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati apakah terjadi perubahan konsentrasi proteasom dalam plasma dan jaringan hati pada tahap prakanker dan bagaimana efek pemberian tomat terhadap konsentrasi proteasom. Pada penelitian ini tikus dibagi menjadi 5 kelompok : kelompok kontrol 1(KKl) yaitu kelompok tikus yang hanya diberi akuabides, kelompok kontrol 2 (KK2) yaitu kelompok tikus yang diberi Pulvis Gum Arab (PGA) + minyak kelapa, kelompok kontrol 3 (KK3) yaitu kelompok tikus yang diberi emulsi tomat, kelompok perlakuan 1 (KP1) yaitu kelompok tikus yang diinduksi FAA dan kelompok perlakuan 2 (KP2) yaitu kelompok tikus yang diberi emulsi tomat dan diinduksi FAA. Pengamatan dilakukan dengan mengambil plasma dan jaringan hati setelah perlakuan selama 4 minggu dan 8 minggu. Dilakukan pengukuran konsentrasi proteasom dan pemeriksaan histopatologis jaringan hati untuk menilai derajat kerusakan hati. Pengukuran konsentrasi proteasom dilakukan dengan ELISA. Analisis hasil dilakukan dengan uji statistik Anava 1 arah, kecuali untuk konsentrasi proteasom plasma 4 minggu digunakan uji non parametrik Kruskal Wallis dengan batas kemaknaan p <0,05.
Hasil dan kesimpulan: Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi proteasom plasma KP1 berbeda bermakna (p<0,05) dibandingkan kelompok kontrol dan KP2 setelah 8 minggu, sedangkan konsentrasi proteasom jaringan hati KP1 telah berbeda bermakna (p<0,05) dibandingkan kelompok kontrol dan KP2 sejak perlakuan 4 minggu. Pengamatan secara histopatologis menunjukkan adanya perubahan pada tahap prakanker pada perlakuan 8 minggu pada KP1 dan tidak pada kelompok yang lain. Dengan demikian hasil pengamatan konsentrasi proteasom pada tikus menunjukkan, bahwa peningkatan konsentrasi proteasom plasma terjadi pada tahap prakanker sementara peningkatan konsentrasi proteasom hati terjadi lebih dahulu daripada plasma dan kelainan histopatologisnya. Dari penelitian ini ternyata tomat memiliki efek protektif terhadap terjadinya karsinogenesis hati.

Proteasome is subcellular particle, which have role in degradation of intracellular protein. It is known that concentration of proteasome in serum cancer patients is higher than normal subject, but whether proteasome concentration increased at precancer is still unknown. This study was conducted to investigate the alteration of proteasome concentration during hepatocarcinogenesis induced by N, 2-Fluorenilacetamide (FAA) and protective effect of tomato. This research use rats that divided randomly into 5 groups: control group I (KKI), which only received bidistilled water, control group 2 (KK2), received Pulvis Gummi Arabic (PGA) + palm oil, control group 3 (KK3), received tomato emulsion, group of treatment I (KPI), which induced by FAA and group of treatment 2 (KP 2), induced by FAA and received tomato emulsion. The rats were sacrificed in the forth and eights week after treatment. Some parts of the liver were taken for histological examination and the rest were homogenized. Concentration of proteasome was determined from liver homogenats and plasma by ELISA method.
This study showed that proteasome concentration in plasma KP 1 is significantly increase compared to all control groups and KP 2 after 8 weeks, while concentration of proteasome in liver KP 1 significantly increase compared to all control groups and KP 2 after 4 weeks. Histological examinations showed signs of precancer only at KP 1 after 8 weeks treatment and not in other groups. This study suggested that proteasome concentration of rats? plasma were increased in precancer; elevation of liver proteasome were detected before alteration of liver cell occurred; and tomato emulsion has protective effect in liver carcinogenesis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T16220
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jovita Amelia
"Latar Belakang: Karsinoma pankreas umumnya merupakan adenokarsinoma duktus dari pankreas, karena lebih dari 90% tumor pankreas berasal dari epitel duktus dan memiliki angka mortalitas tinggi. Adenokarsinoma pankreas menyebabkan berbagai gejala akibat obstruksi duktus biliaris dan duktus pankreatikus serta hipermetabolisme terkait perubahan metabolik pada kanker. Tindakan kuratif meliputi pembedahan menyebabkan perubahan anatomi fisiologik saluran cerna dan dapat menimbulkan berbagai komplikasi gastrointestinal yang menyebabkan malnutrisi pada pasien. Perubahan metabolik, gejala penyakit, dan tatalaksana adenokarsinoma pankreas dapat menyebabkan malnutrisi dan kaheksia kanker. Terapi nutrisi perioperatif yang adekuat akan menghasilkan outome bedah yang baik, menurunkan morbiditas dan mortalitas pascabedah, dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
Metode: Laporan serial kasus ini menguraikan empat kasus adenokarsinoma pankreas, yaitu dua kasus adenokarsinoma papila Vateri, satu kasus adenokarsinoma papila Vateri yang sudah infiltrasi ke duodenum, dan satu kasus adenokarsinoma pankreas dari kaput sampai kauda. Keempat pasien serial kasus tergolong kaheksia kanker. Pembedahan pada keempat kasus disesuaikan dengan lokasi dan metastasis kanker. Terapi nutrisi pada serial kasus ini dilakukan sesuai dengan pedoman terapi nutrisi perioperatif. Seluruh pasien mendapat terapi nutrisi mulai dari masa prabedah hingga pascabedah dengan pemberian energi dan makronutrien ditingkatkan bertahap sesuai dengan kondisi klinis dan toleransi pasien. Suplementasi mikronutrien juga diberikan kepada keempat pasien. Pemantauan pasien meliputi keluhan subjektif, hemodinamik, analisis dan toleransi asupan, pemeriksaan laboratorium, antropometri, keseimbangan cairan, dan kapasitas fungsional.
Hasil: Selama pemantauan di RS, keempat pasien menunjukkan perbaikan klinis, peningkatan toleransi asupan, outcome bedah yang baik, serta perbaikan kapasitas fungsional dan hasil laboratorium.
Kesimpulan: Terapi nutrisi perioperatif pada keempat pasien berperan penting dalam menunjang perbaikan klinis, dan outcome bedah, serta mendukung terapi pada kasus kanker pankreas.

Background: Pancreatic cancer usually refers to ductal adenocarcinomas of the pancreas, since more than 90% of the tumors are ductal epithelium origin and have high mortality rate. Pancreatic adenocarcinoma causes various symptoms resulted from ductal biliary and pancreatic ducts obstruction, along with hypermetabolism related to metabolic alteration in cancer. Curative management involves surgery will make changes in gastrointestinal anatomy and physiology, and cause various gastrointestinal complication that will lead to malnutrition. Metabolic changes, symptoms of the disease and pancreatic adenocarcinoma therapy will cause malnutrition and cancer cachexia. Adequate perioperative nutrition will have good surgery outcome, reduce postoperative morbidity and mortality and increase patients quality of life.
Methods: This serial case report described four cases of pancreatic adenocarcinoma consist of two cases with adenocarcinoma of the papilla of Vater, one case with adenocarcinoma of the papilla of Vater with duodenum infiltration, and one case with pancreatic adenocarcinoma from head to tail. All patients classified as cancer cachexia. Surgery was carried out corresponds to cancer location and metastasis. Nutrition therapy in this serial case report was conducted in accordance to perioperative nutrition therapy guideline. All patients received nutrition support from preoperative to postoperative with gradual increased of energy and macronutrient adjusted to the clinical condition and food tolerance of the patients. Micronutrients supplementation was given to all patients. Monitoring included patients complaints, hemodynamic, food analysis and intake tolerance, laboratory results, anthropometry, fluid balance and functional capacity.
Results: During monitoring in the hospital, all patients showed improve clinical outcomes, increased food intake tolerance, good surgery outcomes, and improved functional capacity, and laboratory results.
Conclusion: Perioperative nutrition therapy in all patients play an important role in supporting clinical outcome improvement, surgery outcomes, and therapy in pancreatic cancer.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Firhat Idrus
"Latar Belakang: Kanker pankreas merupakan penyakit dengan kesintasan rendah dan kesulitan untuk melakukan diagnosis. Pemeriksaan Computed Tomography (CT)-Scan abdomen dan Ca 19-9 merupakan modalitas yang murah, mudah, dan terjangkau dalam diagnosis kanker pankreas. Endoscopic Ultrasound Fine Needle Aspiration (EUS-FNA) merupakan pemeriksaan baku emas untuk diagnosis kanker pankreas tetapi belum banyak tersedia di fasilitas kesehatan di Indonesia
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan diagnostik CT-Scan abdomen dan Ca 19-9 dibandingkan dengan EUS-FNA dalam diagnosis kanker pankreas.
Metode: Desain studi ini adalah potong lintang dengan melihat rekam medis 62 pasien dengan kecurigaan kanker pankreas di RSCM pada tahun 2015-2019. Diambil pasien-pasien yang memiliki data Ca 19-9 dan CT-Scan abdomen yang kemudian dilakukan EUS-FNA untuk penegakan diagnosis kanker pankreas.
Hasil: Sensitivitas dan spesifisitas CT-Scan abdomen masing-masing 76,27% dan 100%, sedangkan Ca 19-9 masing-masing 67,8% dan 33,33%. Nilai duga positif (NDP), nilai duga negatif (NDN), rasio kemungkinan positif (RKP), rasio kemungkinan negatif (RKN), dan akurasi CT-Scan abdomen masing-masing adalah 100%, 17.65%, tidak dapat dinilai, 0,24 , dan 77,42%. Nilai duga positif, NDN, RKP, RKN, dan akurasi untuk Ca 19-9 masing-masing adalah 95.24%, 5%, 1,02, 0,97, dan 66,13%.
Kesimpulan: Kombinasi pemeriksaan CT-Scan Abdomen dan Ca 19-9 memiliki sensitivitas yang tinggi untuk kanker pankreas. Computed Tomography abdomen dapat digunakan untuk diagnosis kanker pankreas dengan sensitivitas dan spesifisitas yang baik.

Introduction: Pancreatic cancer is a disease with low survival rate and difficult to diagnose. Abdominal computed tomography (CT) and Ca 19-9 are diagnostic modalities which are easy, simple, and non-invasive in diagnosis of pancreatic cancer. Endoscopic Ultrasound Fine Needle Aspiration (EUS-FNA) is the gold standard for diagnosis of pancreatic cancer but it is not available in many health care facilities in Indonesia.
Purpose: This study aims to know the diagnostic accuracy of abdominal CT and Ca 19-9 compared to EUS-FNA for diagnosis of pancreatic cancer.
Methods: The design of this study is cross-sectional by searching medical record of 62 patients with clinical suspicion of pancreatic cancer in Cipto Mangunkusumo hospital from year 2015-2019. Patients who undergo EUS-FNA with clinical suspicion of pancreatic cancer and have abdominal CT and Ca 19-9 data is included.
Results: The sensitivity and specificity of abdominal CT are 76.27% and 100%, respectively, and Ca 19-9 are 67.8% and 33.33%, respectively. Positive predictive value, NPV, positive likelihood ratio, negative likelihood ratio, and accuracy of abdominal CT are 100%, 17.65%, unmeasurable, 0.24 , and 77.42%, respectively. Positive predictive value, NPV, positive likelihood ratio, negative likelihood ratio, and accuracy of Ca 19-9 are 95.24%, 5%, 1.02, 0.97, and 66.13%, respectively.
Conclusion: The combined sensitivity of abdominal CT and Ca 19-9 has high sensitivity to diagnose pancreatic cancer. Abdominal CT can be used to diagnose pancreatic cancer with good sensitivity and specificity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tandry Meriyanti
"Sepsis merupakan respons inflamasi sistemik pejamu terhadap infeksi. Respons inflamasi dimediasi oleh sitokin yang akan dilepaskan ke sirkulasi. Pelepasan sitokin akan menyebabkan terjadinya aktivasi koagulasi melalui peningkatan ekspresi tissue factor (TF) dan penurunan inhibitor alamiah, serta penurunan fibrinolisis. Tissue factor (TF) merupakan inisiator penting pada proses koagulasi, yang diekspresikan di sirkulasi darah oleh monosit aktif. Aktivasi TF selain menyebabkan aktivasi koagulasi juga dapat memodulasi inflamasi pada pasien sepsis berat. Heparin selain sebagai antikoagulan, berperan sebagai antiinflamasi. Berdasarkan fungsi heparin sebagai antiinflamasi dan peranan TF dalam inflamasi, ingin diteliti apakah pemberian heparin dapat menurunkan aktivitas TF yang diekspresikan monosit pada keadaan inflamasi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan aktivitas TF monosit pada orang sehat dan pasien sepsis berat dan perbedaan aktivitas TF monosit pada pasien sepsis berat dengan pemberian heparin in vitro dibandingkan dengan kelompok tanpa heparin.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan sampel 10 orang pasien sepsis berat dan 5 orang sehat. Darah sitrat dipisahkan sel mononuklear darah tepi (peripheral blood mononuclear cell/ PBMC) dengan teknik Ficoll-Paque, dan isolat monosit diperoleh dari PBMC menggunakan Monoclonal Antibody Cell Sorter (MACS) microbeads. Isolat monosit dipisahkan menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok pertama langsung diperiksa aktivitas TF, kelompok kedua diinkubasi 6 jam dengan heparin 0.1 IU, dan kelompok ketiga diinkubasi 6 jam tanpa heparin. Isolat monosit kemudian dibuat lisat sel dan supernatan diukur aktivitas TF (Actichrome TF).
Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan bermakna aktivitas TF monosit pada pasien sepsis berat dibandingkan orang sehat (p=0.002). Aktivitas TF monosit pada pasien sepsis berat yang mendapat heparin 0.1 IU berbeda bermakna setelah jam ke-6 dibandingkan tanpa heparin (p=0.003).

Sepsis is a host systemic inflammatory response to infection. Inflammatory response is mediated by cytokines released into circulation. Cytokine leads to coagulation activation by elevating tissue factor (TF) expression, reducing natural inhibitors, and impeding fibrinolysis. TF is an important initiator in coagulation process, expressed in blood circulation by active monocytes. TF activates coagulation and modulates inflammation in severe septic patients. Heparin acts as anticoagulant and antiinflammatory agent. Based on heparin as antiinflammatory agent and role of TF in inflammation, heparin can decrease TF activity expressed on monocyte in inflammation.
This study aims to find the difference between monocyte TF activities in healthy people and severe septic patients, and also between monocyte TF activities in severe septic patients receiving heparin in vitro and without heparin group.
This study is a laboratory experiment using 10 samples from severe septic patients and 5 healthy samples. Peripheral blood mononuclear cells (PBMCs) are separated from citrate blood using Ficoll-Paque technique. Monocyte isolation is performed using Monoclonal Antibody Cell Sorter (MACS) microbeads. Monocyte isolate is divided into three groups, first group is measured for TF activity directly, second group is incubated 6 hours with heparin 0.1 IU, and third group is incubated without heparin. Cell lysate is processed from monocyte isolate and supernatant is measured for activity TF (Actichrome TF).
The result shows a significant difference between monocyte TF activity in severe septic patients compared to healthy people (p = 0.002). Monocyte TF activity in severe septic patients with heparin 0.1 IU/mL in the 6th hour is also significantly different than without heparin group (p = 0.003).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Darma Putra
"Kanker serviks merupakan salah satu kanker terbanyak pada perempuan dengan jumlah kasus dan kematian yang bermakna, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Penelitian terbaru menyoroti peran mikroRNA (miRNA) dalam karsinogenesis, terutama miR-21 yang terlibat dalam berbagai jenis kanker pada perempuan, termasuk kanker serviks. Selain itu, miR-145, LATS1, dan NF-κB dipercaya memiliki peran dalam radioresistensi. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh konsentrasi miR-21, miR-145, Large Tumor Suppressor 1 (LATS1), dan Nuclear Factor Kappa B (NF-kB) serta usia terhadap respons kemoradiasi pada pasien kanker serviks stadium lanjut lokal. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang analitik yang dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dari bulan Juli 2017 sampai Juni 2023. Sampel jaringan dari biopsi serviks diambil dan diperiksa menggunakan real-time reverse transcriptase quantitative polymerase chain reaction (RT-qPCR) untuk mendeteksi miR-21 dan miR-145, serta ELISA untuk mendeteksi konsentrasi LATS1 dan NF-kB sebelum pasien menerima terapi kemoradiasi. Pemeriksaan ultrasonografi kemudian dilakukan kembali untuk menilai respons radiasi dengan menggunakan kriteria RECIST 1.1. Dari 140 subjek, ditemukan gambaran histopatologi karsinoma sel skuamosa pada 119 (85%) sampel, dengan distribusi kanker serviks stadium IIIB pada 102 (72,9%) subjek dan stadium IVA pada 38 (27,1%) subjek. Ekspresi miR- 21 di atas cut-off lebih banyak ditemukan pada subjek yang radioresisten (p = 0,010; AUC = 67,6%). Ekspresi miR-145 dan LATS1 di atas cut-off lebih banyak ditemukan pada kelompok radioresisten, masing-masing dengan p = 0,132 (AUC = 38,8%) dan p = <0,001 (AUC = 32,7%). Ekspresi NF-kB di bawah cut-off ditemukan lebih banyak pada kelompok radioresisten (p = 0,009; AUC = 61%), dan usia di bawah cut-off juga lebih banyak ditemukan pada kelompok radioresisten (p = 0,138; AUC = 39,2%). Penelitian ini menunjukkan bahwa ekspresi miR-21 dan LATS1 pra-kemoradiasi yang tinggi serta ekspresi NF-κB yang rendah berhubungan dengan terjadinya radioresistensi. Sebaliknya, konsentrasi miR-145 dan usia tidak berhubungan dengan radioresistensi, sehingga dapat disimpulkan bahwa miR-21 memiliki potensi sebagai biomarker radioresisten pada pasien kanker serviks stadium lanjut lokal dan pemeriksaan kombinasi tidak disarankan.

Cervical cancer is one of the most common cancers in women with a significant number of cases and deaths, especially in developing countries such as Indonesia. Recent research highlights the role of microRNAs (miRNAs) in carcinogenesis, particularly miR-21, which is involved in various types of cancer in women, including cervical cancer. In addition, miR-145, LATS1 and NF-κB also considered to play a role in radioresistance. This study aims to determine the influence of miR- 21, miR-145, Large Tumor Suppressor 1 (LATS1), Nuclear Factor Kappa B (NF- κB), and age on chemoradiation response in locally advanced cervical cancer patients. This study used an analytical cross-sectional design conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital from July 2017 to June 2023. Cervical biopsy tissue samples were collected and examined using real-time reverse transcriptase quantitative polymerase chain reaction (RT-qPCR) to detect miR-21 and miR-145, and ELISA to measure LATS1 and NF-κB concentrations before patients underwent chemoradiation therapy. Ultrasound examination was then re-performed to assess radiation response using RECIST 1.1 criteria. This research obtained a total of 140 samples with histopathological subtype of squamous cell carcinoma found in 119 (85%) samples, with cervical cancer stage IIIB in 102 (72.9%) subjects and stage IVA in 38 (27.1%) subjects. Expression of miR-21 above the cut-off was more prevalent in radioresistant patients (p = 0.010; AUC = 67.6%). Expression of miR-145 and LATS1 above the cut-off were found to be higher in the radioresistant group with p = 0.132 (AUC = 38.8%) and p = <0.001 (AUC = 32.7%), respectively. NF-κB expression below the cut-off were found to be higher in the radioresistant group (p = 0.009; AUC = 61%), and age below the cut-off were also found to be higher in the radioresistant group (p = 0.138; AUC = 39.2%). This study showed that high expression of miR-21 and LATS1 pre-chemoradiation and low expression of NF-κB pre-chemoradiation were all associated with radioresistance, while miR- 145 concentration and age were not associated with radioresistance. This study concluded that miR-21 had the potential to be used as a radioresistant biomarker in patients with local advanced-stage cervical cancer and combination testing was not suggested."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Eka Putri
"ABSTRAK
Senyawa 4-[(E)-2-{4-okso-3-(4-metoksifenil)-kuinazolin-2-il}vinil] benzensulfonamida merupakan senyawa baru yang mempunyai kemiripan dengan senyawa diarilheterosiklik, turunan 4(3H)-kuinazolinon yang tersubstitusi oleh gugus sulfonamida (SO2NH2), kebanyakan inhibitor selektif COX-2 merupakan senyawa diarilheterosiklik. Senyawa ini diprediksi mempunyai aktivitas penghambat konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin oleh enzim siklooksigenase. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh hasil uji aktivitas penghambatan enzim siklooksigenase-2 terhadap senyawa tersebut dengan menggunakan Kit COX (ovine) inhibitor screening assay. Prostaglandin yang dihasilkan ditentukan dengan metode Enzyme Immunoassay (EIA) dan diukur menggunakan plate reader pada panjang gelombang 415nm. Dari hasil uji didapatkan nilai IC50 senyawa 4-[(E)-2-{4-okso-3-(4-metoksifenil)-kuinazolin-2-il}vinil]benzensulfonamida adalah 16,67 μM. Pengujian juga dilakukan terhadap senyawa pembanding yaitu Asetosal dan Selekoksib dengan hasil yang diperoleh untuk nilai IC 50 Asetosal dan Selekoksib berturut-turut yaitu 24,97 μM dan 0,43 μM.

ABSTRACT
4-[(E)-2-{4-oxo-3-(4-methoxyphenyl)-quinazolin-2-yl}vinyl]benzensulfonamide is a new compound that has similarity with diarylheterocyclic, derivative of 4(3H)-quinazolone subtituted by sulfonamide (SO2NH2), Most of COX-2 selective inhibitors is diarylheterocyclic compounds. These compounds predicted has an activity to inhibiting conversion of arachidonic acid into prostaglandin by cyclooxygenase enzyme. This research was designed to obtain inhibitory activity assay of cyclooxygenase enzyme compound 4-[(E)-2-{4-oxo-3-(4-methoxyphenyl)-quinazolin-2-yl}vinyl]benzensulfonamide use Kit COX (ovine) inhibitor screening assay. Prostaglandin which produced was determined by Enzyme Immunoassay (EIA) and measured using plate reader at a wavelength of 415 nm. From the test result obtained IC50 of 4-[(E)-2-{4-oxo-3-(4-methoxyphenyl)-quinazolin-2-yl}vinyl] benzensulfonamide is 16.67 μM. Tests were also conducted with control, Acetosal and Celecoxib which shows of IC50 for Acetosal and Celecoxib respectively are 24.97 μM and 0.43 μM."
Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2012
S42505
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lutfie
"Latar Belakang. Pasien dengan karsinoma sel hati (KSH) umumnya baru datang berobat ketika kanker sudah mencapai tahap lanjut, dengan pilihan terapi sangat terbatas. Belum diperoleh adanya marker prediktor yang akurat untuk dapat mengindentifikasi kelompok pasien mana yang dapat diuntungkan bila pasien diterapi.
Tujuan. Menganalisis peran indeks status inflamasi sebagai prediktor kesintasan satu tahun pada pasien karsinoma hepatoselular tahap lanjut yang tidak menjalani terapi.
Metode. Penelitian ini memiliki desain kohort retrospektif dengan menggunakan data sekunder pada subjek dengan KSH tahap lanjut yang tidak menjalani terapi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Kanker Dharmais. Rasio neutrofil limfosit (RNL) dan Indeks imun-inflamasi sistemik (IIS) dievaluasi kemampuan diskriminasinya sebagai prediktor kesintasan satu tahun berdasarkan Area Under Receiving Operator Curve (AUROC). Ditentukan titik potong optimal terbaik untuk RNL dan IIS berdasarkan indeks Youden, dilanjutkan dengan analisis kesintasan berdasarkan titik potong optimal. Variabel perancu dianalisis menggunakan analisis multivariat cox regression.
Hasil. Sebanyak 196 subjek dimasukkan ke dalam analisis data. Kesintasan satu tahun adalah sebesar 6,6% (SE±2%), dengan median kesintasan 56 hari (IK 95% 46-67). RNL memiliki kemampuan diskriminasi berdasarkan AUROC terhadap prediksi kesintasan hidup satu tahun pada pasien dengan KSH tahap lanjut yang tidak menjalani terapi sebesar 0,667 (IK 95% = 0,536-0,798, p = 0,044), dengan titik potong optimal RNL untuk membedakan kesintasan adalah 3,7513. IIS memiliki kemampuan diskriminasi berdasarkan AUROC sebesar 0,766 (IK 95% = 0,643-0,889, p = 0,001), dengan titik potong optimal untuk membedakan kesintasan adalah 954,4782. IIS memiliki superioritas dalam kemampuan diskriminasi berdasarkan AUROC (p = 0,0415).
Kesimpulan. Kemampuan diskriminasi IIS berdasarkan AUROC lebih baik dibandingkan dengan RNL dalam memprediksi kesintasan hidup satu tahun pada pasien dengan KSH tahap lanjut yang tidak menjalani terapi.

Background. Patients with hepatocellular carcinoma (HCC) generally only come for treatment when the cancer has reached an advanced stage, with very limited treatment options. There has not been an accurate predictor marker to be able to identify which group of patients can benefit if the patient is treated.
Aim. Analyzing the role of the inflammation status index as a predictor of one-year survival in patients with advanced hepatocellular carcinoma who did not undergo therapy.
Method. This study has a retrospective cohort design using secondary data on subjects with advanced HCC who did not undergo therapy at Cipto Mangunkusumo Hospital and Dharmais Cancer Hospital. Neutrophil lymphocyte ratio (NLR) and systemic immune-inflammation index (SII) were evaluated for their role as predictors of one-year survival based on Area Under Receiving Operator Curve (AUROC). Best optimal cutoff for NLR and SII were decided based on Youden index, resumed by survival analysis based on those cutoffs. Confounding factors were analyzed with multivariate cox regression analysis.
Results. A total of 196 subjects were included in the data analysis. One year survival was 6.6% (SE±2%), with a median survival of 56 days (95% CI 46-67). The NLR had a discriminatory ability based on AUROC to predict one-year survival in patients with advanced HCC who did not undergo therapy of 0.667 (95% CI = 0.536-0.798, p = 0.044), with the optimal cut-off point for NLR to differentiate survival was 3.7513. SII has a discriminatory ability based on AUROC of 0.766 (95% CI = 0.643-0.889, p = 0.001), with the optimal cut-off point to distinguish survival is 954.4782. SII had superiority in the discriminatory ability (p = 0.0415).
Conclusion. The discriminatory ability based on AUROC of SII was better than that of NLR in predicting one-year survival in patients with advanced HCC who did not undergo therapy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Phalerin is an active component of mahkota dewa (Phaleria macrocarpa (scheff.) Boerl) proven to have an anti inflamation effect. The labeling of phalerin with gamma emiting radionuclides was aimed to study is pharmacokinetic behavior and particularly to trace its metabolites. The labeling with I was caried our using iodogen as oxidator. Radiolabeled compound was characterized by high performance liquid choromatography (HPLC) using C-18 column eluted with methanol 70% and detected with UV detector (z=291 nm) and by thin layer chromatography (TLC) using silica gel strips eluted with chloroform - methanol (9:2), and lebeling efficiency was determined using the same TLC system. Purification of radiolabeled product was carried out using size exclusion chromatography (Sephadex G-25 column) eluted with 0.05 M phosphate buffer pH 7.4 Biodistributions of I-phalerin in various organs of normal and inflammation - induced mice were observed at 1,4 and 24 hours post-intravenous injection. radiochemical purity of I-phalerin was 90.2 krang lebih 2.8% and increased to 96.0 krang lebih0,4% after purification. Radioactivities in inflamed tissue at 1,4 and 24 hours post injection were respectively 1.6 times, 1,4 times and 1.3 times higher than that in normal tissue. The results showed a significant uptake of radiolabeled phalerin in inflamed."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>